Saturday, April 19, 2014

PEMILU 2014

UMUM

Aku dan keluargaku sudah terhitung cukup lama hidup di Luar Negeri. Anak perempuanku sejak umur 1 tahun ikut denganku merantau ke Luar Negeri sekarang sudah berumur 21 tahun dan kini sudah akan lulus kuliah program Sarjananya. Sedangkan adiknya, anak lelaki yang lahir di perantauan kini sedang kuliah di tingkat pertama.

Pemilu tahun ini merupakan Pemilu yang ke empat aku ikuti selama di Luar Negeri, semuanya aku lakukan di Abu Dhabi. Bagiku sebagai warga Negara, Pemilu memberikan makna  suatu kewajiban sebagai seorang warga Negara di dalam bernegara, karena Pemilu merupakan suatu cara/mekanisme penentuan wakil rakyat di Parlemen dan memilih seorang Pimpinan suatu Daerah atau Negara. Walaupun secara kasat mata kebanyakan terutama para calon wakil yang maju untuk dipilih tidak banyak atau bahkan tidak pernah dikenal. Tetapi tetap saja sebagai warga negara aku merasa terpanggil untuk berpartisipasi di dalam setiap Pemilu.

PANITIA PEMILIHAN UMUM LUAR NEGERI (PPLN)

PPLN merupakan badan panitia yang dibentuk atas usulan daripada Kantor Perwakilan Indonesia di Luar Negeri. Di Abu Dhabi, sebelum anggota PPLN diusulkan, KBRI akan mengundang para masyarakat untuk menentukan para calon anggota PPLN. Setelah disepakati mulai dari Ketua, Sekertaris, Bendahara dan para Anggoranya, kemudian Kepala Perwakilan KBRI mengusulkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat susunan anggota PPLN Negara tempat Kantor Perwakilan. Biasanya terdiri dari anggota masyarakat dan pegawai KBRI, tetapi ketua PPLN setelah Masa Reformasi selalu dijabat oleh anggota masyarakat setempat.

Pada Pemilu tahun 2004 yang lalu aku menjadi Ketua PPLN Emirates Abu Dhabi. Dari pengalaman itu aku banyak mengetahui mekanisme bagaimana suatu Pemilu dilaksanakan di Luar Negeri.

Pada umumnya Pemilu di Luar Negeri memiliki suatu faktor kesulitan yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan setiap warga atau keluarga masyarakat Indonesia dengan jumlah yang terbatas tersebar di banyak Kota atau seluruh Propensi atau Negara. Bagi Negara Bagian atau Propensi Emirates Abu Dhabi jumlah masyarakatnya cukup banyak dan sulit dijangkau untuk dihubungi. Mengenai berapa jumlah pastinya, tidak ada yang mengetahui kecuali pihak Immigrasi UAE. Dengan demikian untuk menjangkau mereka tidaklah mudah.  Selain itu, kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dan sesuai dengan kultur di sini, terutama pembantu yang kebanyakan wanita tidak diperkenankan untuk menjalin hubungan dengan dunia luar rumah majikan.

Suatu hari aku pernah menanyakan kepada seorang rekan kerjaku, dia warga penduduk asli Abu Dhabi tentang mengapa para pembantu tidak diperkenankan berhubungan dengan orang luar. Dia mengatakan bahwa, yang pertama keluarga majikan khawatir dan tidak menginginkan, bahwa keadaan rumah tangga yang diketahui oleh pembantu diceritakan kepada pihak luar, adalah keinginan yang wajar untuk keluarga manapun. Sedangkan yang kedua, untuk keselamatan si pembantu itu sendiri, hal ini dikarenakan para pembantu cepat tergoda oleh para lelaki di luar rumah.

Perlu diketahui bahwa banyak para pekerja di sini tidak membawa keluarga karena gaji mereka tidak memungkinkan oleh peraturan setempat, sehingga banyak sekali laki-laki yang sedang mencari mangsa, dimana mangsa yang paling lunak adalah para pembantu rumah tangga. Demikian pula bagi para pembatu rumah tangga, mereka sebagai wanina yang tidak membawa keluarga mereka di sini. Apabila terjadi hal yang tidak diinginkan seperti sampai hamil atau diculik dlsb., hal ini akan menjadi tanggungjawab si majikan. Untuk itu sebaiknya para pembantu tidak diperkenankan menjalin hubungan dengan pihak luar rumah majikan.

Untuk itu PPLN sangat dituntut untuk bekerja keras dan memerlukan usaha yang maksimum agar semua masyarakat Indonesia di daerahnya dapat berpartisipasi dalam melakukan pesta demokrasi atau yang lazim disebut Pemilu.

Sulitnya lagi berkenaan dengan penyusunan anggaran PPLN. Anggaran PPLN disusun berdasarkan jumlah orang calon pemilih yang berdomisili di daerah operasi PPLN bersangkutan. Di Abu Dhabi pada kenyataannya hampir dipastikan mustahil untuk mengetahui jumlah masyarakat yang sedang berdomisili di Emirates ini kecuali meminta data dari pihak Immigrasi setempat. Dimana untuk keperluan data Pemilu suatu negara pihak Immigrasi tidak akan memberikan atau membuka data mereka kepada pihak lain. Selain dikarenakan permasalahan di atas, juga karena antara lain, banyak orang yang tidak melapor diri ke KBRI. Walaupun sudah lapor diri, ketika meninggalkan Abu Dhabi seterusnya tidak juga melaporkan/dilaporkan.

Satu-satunya cara untuk mendapatkan data dan jumlah orang yang tinggal di Luar Negeri adalah meminta data dari pihak KBRI walaupun datanya tidak akurat. Seperti yang disebutkan di atas bahwa jumlah itupun berdasarkan orang yang melapor diri, sedangkan yang tidak melapor atau mereka yang melapor tetapi sudah pulang atau pindah tidak ada yang mengetahui secara pasti. Jika tingkat akurasi datanya bisa sacapai 60% benar, itu sangat baik, karena ketika aku menjadi Ketua PPLN dulu, yang diajukan dibanding dengan yang  memberikan hak suaranya baik melalui Pos atau datang langsung Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (TPSLN) adalah sekitar seperlimanya atau 20%-nan saja.

Dari keadaan di atas, maka aku sebagai warga negara merasa diharuskan untuk menghadiri setiap Pemilu. Selain menjunjung tinggi hakku dalam bernegara, menghormati kerja keras PPLN didalam menjaring setiap calon pemilih di Luar Negeri, juga menjadi penambah semangat  untuk datang ke TPSLN.

PILIH YANG MANA DAN SIAPA?

Aku mengamati Pemilu kali ini sepertinya tidak terlalu menarik bagiku. Ini dikarenakan antara lain:
  • Banyak Wakil Rakyat atau Pemimpin hasil Pemilu yang lalu terjerat masalah hukum.
  • Sudah menjadi rahasia umum, bahwa para Wakil Rakyat untuk daerah manapun mereka menjadi wakil, akan menjadi tertuduh secara opini masyarakat karena dipastikan telah melakukan praktek korupsi.
  • Dari semua korupsi yang mengemuka, dipastikan akan selalu, baik langsung atau tidak selalu  berhubungan dengan orang-orang yang menjadi anggota partai. Dengan kata lain, orang-orang dari partai sudah memiliki cap keterlibatan pada masalah korupsi baik secara langsung atau tidak langsung.
  • Jika melihat berita internet tentang Indonesia, tak pernah seharipun koran on line yang tidak memberitakan korupsi, dan aktor yang selalu diberitakan adalah mereka yang berasal dari anggota partai. 
Sehingga apabila ada seorang politikus yang melakukan tugasnya dengan benar dan sungguh-sungguh, maka dia akan menjadi banyak perhatian. Dia mendapatkan banyak pujian. Padahal melakukan perbuatan yang benar dengan sejujurnya adalah sudah menjadi kewajiban seorang yang digaji. Barangkali semua orang memang sedang haus dan lapar untuk santapan melihat politikus yang bisa bekerja dengan baik dan jujur.

Terkadang aku sendiri merasa melihat suatu kejanggalan jika memikirkan terlalu jauh tentang perilaku para politikus. Atau di dalam politik memang harus selalu terjadi kejanggalan tetapi benakku menuntut untuk tidak. Apabila aku melihat ke belakang tentang naik-turunnya para pelaku politik di dunia ini. Meraka saling jegal, membunuh, berlaku curang, menuduh yang bukan-bukan terhadap lawannya hanya untuk mengambil atau meneruskan kekuasaannya, sehingga tidak heran jika ada opini bahwa politik itu diidentikkan dengan suatu perilaku yang kotor bahkan kejam.

Bagaimana seorang Nabi atau Rasul difitnah, para sahabat Nabi dibunuh, orang-orang yang tidak mengetahui apa-apa dibantai, Agama yang dianut oleh banyak orang dianggap berbahaya, dlsb. seharusnya ini menjadi penjernih pikiranku untuk tidak menuntut para politikus berlaku baik ketika mereka sedang berjuang dalam menggapai tujuannya. Mungkin bagi politikus semboyannya adalah, "Tujuan menghalalkan cara".

Sehingga, adalah sesuatu yang biasa bagi para politikus yang sedang menjabat sebagai seorang Kepala Negara tidak sepenuhnya terfokus mengurus Negara melainkan sebagian waktu berharga bagi negaranya diperuntukkan untuk mengurusi golongan atau Partainya.

Apakah seorang Pemuka Agama yang sedang menjadi Kepala Kelompoknya juga sedang berpolitik? sehingga hal ini sama saja ketika seorang Pemuka Agama yang kebetulan menjadi Kepala Negara lalu dia memakai waktunya untuk urusan Agamanya?,

Aku teringat ketika aku dulu masih remaja, ketika aku masih duduk di bangku SMP. Aku beberapa kali ikut pawai suatu Partai sampai sejauh 15 kilometer hanya dengan menaiki sepeda milik ayahku. Di sepanjang jalan tidak ada gangguan dari pihak manapun, seolah-olah semuanya berjalan dengan menyenangkan. Ketika aku dengar ada yang mendapatkan bagian kaos partai aku merasa kagum waktu itu. Jangankan kaos partai, untuk mendapatkan bendera partai untuk aku tancapkan di sepeda tidak dapat aku dapati. Aku tidak pernah mendengar adanya survei siapa yang unggul dan siapa yang tidak. Semuanya seperti berjalan secara lebih alamiah saja.

Sekarang, ketika dunia informasi demikian dahsyat kecepatannya. Ketika dunia informasi sudah menjadi bagian terbesar menyita waktu manusia. Memberikan akibat semakin cepat didalam menggapai tujuan seseorang. Hal ini menuntut untuk bergerak lebih cepat, bahkan terkadang lebih berani dan memberikan resiko bukan hanya kepada dirinya tetapi juga kepada yang lain.

Dengan adanya kecepatan informasi juga semakin membuka mata semua orang tentang kejadian di setiap sudut tempat dimanapun berada. Efek informasi ini sudah demikian dahsyatnya, sehingga bagi mereka yang ketinggalan informasi berarti mereka dianggap ketinggalan dalam hidup mereka. Untuk itu informasi akan membawa seseorang menjadi besar atau kecil, beruntung atau rugi, pandai atau bodoh, terkenal atau tidak, dlsb.

Untuk itu sekarang, semua orang dituntut pula untuk berhati-hati didalam menerima informasi, baik itu melalui media ataupun mendengar dari orang lain. Jika tidak akan berakibat pula tersesat karena menerima informasi yag tidak tepat. Inilah yang membuat aku bingung, apa dan siapa yang harus aku pilih, karena informasi yang aku terima aku khawatir tidak akurat adanya. Dan mereka yang harus aku pilih tidak satupun yang aku kenali tentang tingkah laku dan latar belakang mereka.

ANTARA JOKO WIDODO (Jokowi) DAN PARTAI

Semenjak media massa meributkan pemberitaan mobil buatan para siswa Sekolah Menengah Kejuruan dari Kota Solo beberapa tahun yang lalu, yang ketika itu Pak Jokowi menjabat sebagai Walikota Solo, namanya mulai populer. Walaupun kepopuleran Pak Jokowi sebenarnya sudah mulai tumbuh ketika dianggap berhasil menjadi Walikota Solo dan untuk kedua kalinya terpilih menjadi Walikota di sana. Berkat kepopulerannya itu dia dicalonkan oleh Partainya untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta.

Ketika terpilih dan menjadi Gubernur DKI, dia langsung melakukan peninjauan sendiri di lapangan terutama ke sungai-sungai yang sudah mulai mendangkal. Begitu terus dilakukannya terhadap masalah-masalah yang selama ini melekat di DKI, misalnya banjir, kemacetan, sungai yang mendangkal, waduk-waduk yang menyempit, dlsb. Kerja demikian adalah jarang dilakukan oleh pejabat-pejabat publik, dan ini mengakibatkan kekaguman banyak orang. Apalagi kerja demikian dirasa aneh saat ini, maka semua kegiatan yang dia lakukan dalam kesehariannya selalu diliput oleh media massa. Dengan memiliki Wakil Gubernur yang tegas, dan bekerja kompak, maka kepopulerannya semakin memiliki pengaruh yang sangat luas, baik di Dalam ataupun di Luar Negeri.

Di lapangan pada kenyataannya memang melakukan banyak pembenahan di DKI, Semua sungai-sungai dinormalisasi, semua gorong-gorong dibersihkan, semua perduduk liar yang menempati tanah Negara seperti di atas waduk di pindah atau diusir, dan waduknya dinormalisasi lagi kemudian di bagian sisinya dijadikan taman. Banyak juga daerah kumuh yang dibenahi dengan dibuatkan rumah susun. Admintrasi pemerintahan yang khususnya yang berhubungan dengan pelayanan publik di benahi, dlsb.

Harapan banyak orang untuk membenahi Jakarta semacam ada harapan. Banyak orang sebelum Pak Jokowi menjadi Gubernur DKI yang putus asa dalam membenahi masalah di Jakarta karena rumitnya permasalahan, kini sedikit demi sedikit mulai dapat diurai. Dukungan masyarakat luas untuk membenahi Jakarta memberikan tenaga lebih besar lagi bagi pemimpin baru Jakarta ini.

Hampir setiap hari tidak akan ada berita apabila nama Jokowi tidak diberitakan oleh media massa, sampai suatu saat banyak orang yang menginginkan dan mengusulkan melalui media agar pada Pemilu tahun 2014 ini Pak Jokowi  mencalonkan diri untuk menjadi calon Presiden (Capres)  Indonesia.

Setiap dilakukan survei untuk calon presiden, nama Jokowi selalu menempati urutan paling atas. Semakin lama kepopuleran namanya semakin jauh meninggalkan nama-nama calon presiden lainnya. Tetapi Pak Jokowi tetap tidak bergeming, dia tetap fokus menjalankan tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta, Pak Jokowi tetap tidak memperdulikan keinginan banyak orang untuk mencalonkan diri menjadi presiden di Pemilu yang akan datang ini. Jawaban politis yang bekiau katakan ketika ditanya mengenai pencalonan dirinya sebagai Capres mendatang selalu dikatakan itu bukan wewenangnya, itu tergantung Ketua Partainya.

Calon-calon presiden lain yang sudah terlebih dahulu mendeklarasikan diri mulai merasa khawatir. Karena, apabila Jokowi dicalonkan, maka mimpi mereka untuk menjadi Presiden mendatang akan jauh menjadi lebIh kecil. Apalagi bagi Capres yang menduduki perikngat kedua dan ketiga di setiap survei.

Walaupun Pemilu Legislatif sudah mendekati tidak lebih dari dua bulan lagi, nama Jokowi belum juga dikeluarkan oleh Partainya untuk menjadi Capres. Tekanan dan permintaan banyak kalangan termasuk anggota Partai di mana Jokowi bernaung, terhadap Partai Jikowi agar Jokowi dicalonkan jadi Capres, tetapi tetap saja tidak dikeluarkan sampai suatu saat di Bulan Maret Partainya mencalonkannya menjadi Capres, tepatnya pada tanggal 14.

Dengan dicalonkannya nama Jokowi sebagai Capres oleh Partainya, maka banyak sekali para pengamat politik Tanah Air yang sudah meramalkan, bahwa Jokowi akan menjadi presiden Indonesia berikutnya. Ini artinya, Jokowi sudah menjadi Presiden Indonesia sejak Pemilu belum dimulai dilaksanakan. Oleh karena itu sebelum Penilu dimulai jabatan yang menarik banyak figur adalah jabatan sebagai Wakil Presiden. Sepertinya Presiden yang akan datang sudah pasti Pak Jokowi.

Tidak terkecuali siapa saja, banyak politikus senior, baik Ketua Partai, bekas Ketua Partai, bekas Wakil Presiden, tokoh Agama yang melirik karena tertarik untuk menjadi pasangan pendamping sebagai Wakil dari Pak Jokowi yang poluler ini. Para pengamat juga sering memberikan pendapat siapa dan dari golongan mana Cawapres Pak Jokowi sebaiknya?. Tidak ketinggalan pula survei-survei dilakukan untuk mencari opini dari masyarakat sebaiknya siapa calon pendaping sebagai Cawapres yang paling diminati oleh masyarakat untuk mendampingi Pak Jokowi jika kelak menjadi Presiden Indonesia?.

Untuk membendung kepopuleran Pak Jokowi, ada anggota Partai lain menyerang Pak Jokowi.  Aku melihat hal ini sebagai refleksi bagaimana politik itu bermain. Politik bukanlah seperti ilmu pasti satu tambah satu sama dengan dua. Orang-orang politik menilai suatu kebenaran itu dari standard golongannya, apabila standard itu diterima oleh semua orang berarti itu suatu kebetulan saja.

Tentu partai lain akan merasa banyak dirugikan dengan pencalonak Pak Jokowi ini oleh partainya. Pemilih bisa juga tidak perduli dengan orang-orang yang diajukan untuk dipilih sebagai calon legislatif (Caleg) dari partai Pak Jokowi, sehingga para pemilih akan memilih Caleg dari partai Pak Jokowi demi untuk memenangkan Pak Jokowi sebagai Presiden mendatang.

ATURAN PEMILU DI INDONESIA

Bagi orang yang memahami tentang bagaimana politik itu berlaku, maka untuk memberikan suara terhadap pilihannya akan dilakukan dengan hati-hati. Karena di dalam setiap Pemilu akan ada dua pemilihan, yang pertama memilih calon Legislatif, lalu yang kedua memilih Presiden. Untuk mencalonkan seorang presiden suatu partai harus memiliki paling sedikit 20% daripada hasil suara sah Pemilu Legislatif, apabila tidak suatu partai harus berkoalisi agar dapat memiliki jumlah itu untuk dapat mencalonkan seorang calon presiden.

Sulitnya bagi pemilih adalah, apabila ada calon presiden (Capres) yang ingin dipilih, karena si Capres memiliki suatu kemempuan yang diharapkan oleh banyak orang untuk dapat mengatasi masalah yang ada, tetapi Capres bersangkutan berasal dari Partai tertentu dengan anggota legislatif aatau anggota lainnya yang memiliki track record yang jelek, maka sangat dilematis bagi calon pemilih. Apabila tidak memilih Partai bersangkutan maka Capres yang diinginkan akan dapat tidak memiliki dukungan untuk mencalonkan Capres idamannya, apabila memilih Partai bersangkutan berarti mendukung track record yang sedang dilakukan oleh para anggota Partai bersangkutan. Walaupun ketika memilih tidak mencoblos salah satu calon anggota legislatifnya (Calegnya) melainkan mencoblos nama Partainya, namun suara itu secara otomatis akan dialokasikan kepada Caleg nomor paling atas yang belum memenuhi quota sebagai anggota legislatif. Apabila Partainya kalah atau tidak memenuhi quota dapat mencalonkan Capres sendiri, maka Capres yang didambakan mungkin dapat tidak bisa dicalonkan. Seandainya bisapun maka harus berkoalisi dengan Partai yang lain.

Di sinilah kemungkinan banyak pemilih yang tersesat, terutama jika Calon Presiden (Capres) nya baik tetapi partainya tidak baik, dan orang akan terpaksa memilih partai yang tidak baik demi untuk memenangkan partai Capres berasal. Karena apabila partai tidak memiliki lebih dari 20% dari jumlah suara yang sah, maka Capres yang diidamkan harus berkoalisi dengan yang lainnya. Tetapi akan lebih susah lagi bagi mereka yang melihat baik Capres ataupun partai partai peserta Pemilu tidak ada yang baik.

APA YANG HARUS DILAKUKAN?

Walaupun antara Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) secara tidak langsung berhubungan dan merupakan satu kesatuan, tetapi apabila diibaratkan adalah sebagai berikut:

A adalah himpunan yang beranggotakan Pileg, B adalah himpunan yang beranggotakan Pilpres, C himpunan semesta beranggotakan himpunan A dan B, dan dimana A tidak sama dengan B. Jadi sebenarnya, antara A dan B beridiri sendiri-sendiri. Walaupun A mempengaruhi C karena adanya B.

Dalam memecahkan persoalan Pemilu ini maka ketika A berlangsung calon pemilih harus hanya terfokus pada A saja. Pilihlah Caleg yang dianggap baik atau sesuai dengan kehenknya ketika sedang melakukan A, jangan perdulikan Partainya. Suatu keberuntungan bagi calon pemilih apabila Caleg yang dipilih sama dengan partai Capres yang dikehendaki.

Jadi sebenarnya, apabila dilogikakan secara matematika antara Pileg dan Pilpres adalah tidak sama walaupun hubungan antara Pilpres tergantung dari Pileg. Ini berarti pemilih seharusnya didalam memberikan suaranya tidak perlu dipusingkan oleh adanya perbedaan antara Partai si Caleg berasal dan Partai si Capres berasal, karena si Caleg bukanlah orang yang sama denga si Capres.

Pemilih diharuskan memberikan suaranya untuk memilih Caleg yang dianggap kredibel, baik dan memiliki track record yang baik. Artinya selesaikan terlebih dahulu masalah Caleg yang sedang dihadapi dengan memberikan suaranya kepada Caleg yang tepat. Karena, dengan menyelesaikan masalah Caleg dengan baik, maka itu sama saja memberikan anggota himpunan A yang baik sehingga membantu memberikan anngota himpunan semesta C dengan anggota yang baik pula.  Apabila calon pemilih memberikan suara kepada Partai hanya untuk mengejar si Capres, maka sama saja memberikan suaranya kepada Caleg yang tidak dikehendakinya. Konsekwensinya adalah  melakukan cara yang tidak baik demi mengejar tujuan yang baik.  Dengan demikian dipastikan akan menghasilkan pilihan anggora Legislatif yang tidak baik. Secara matematikas sebenarnya pemilih demikian telah mengisi anggota himpunan A dengan aggota yang tidak baik, dan akibatnya anggota himpunan C dengan sengaja diisi dengan anngota yang tidak baik. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah setelah memilih Partai dengan Caleg yang tidak dikehendaki akan menjamin Capres yang dikehendaki dapat terwujud untuk dipilih?

Setelah Pileg selesai, dan semua hasinya sudah disahkan, lalu tiba giliran untuk Pilpres. Pilpres adalah lebih sederhana jika dibandingkan dengan Pileg, karena setelah Pilpres tidak ada Pemilu lagi lagi menunggu setelahnya. Tidak ada Pemilu lagi yang tergantung kepadanya. Maka bagi pemilih langsung saja memilih Capres yang mana yang sesuai dengan kehendaknya. Tentu didalam menentukan pilihannya, Pemilih harus benar-benar memberikan suaranya kepada Capres yang dianggap baik olehnya.

Apabila tidak ada Capres yang sesuai kehendaknya, lalu apa yang harus dilakukan oleh calon pemilih?. Hal ini merupakan hal yang mungkin saja terjadi, bahkan bisa juga terjadi ketika melakukan pemilihan Caleg, tidak ada Caleg yang sesuai dengan yang dikehendakinya.

Untuk menjawab pertanyaan itu maka marilah kita analisa bersama.

GOLONGAN PUTIH (GOLPUT)

 Golongan Putih (Golput) memang tidak didefinisikan secara gamblang, tetapi siapapun yang tidak berpartisipasi secara sengaja pada Pemilu dianggap Golput. Golput bisa disebabkan karena banyak alasan, antara lain karena menganggap Pemilu tidak sesuai dengan keyakinan yang sedang dia anut. Karena tidak ada pilihan yang dapat menjadi wakilnya di Parleman. Atau karena semua calon Presiden atau pimpinan yang mencalonkan diri tidak memenuhi kriteria yang sedang diinginkannya. Atau bahkan dikarenakan tidak memiliki keinginan samasekali untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan Pemilu, tidak perduli terhadap Pemilu.

Seperti yang telah disinggung di atas bahwa kegiatan Pemilu merupakan salah satu kegiatan bernegara daripada warga negara Indonesia untuk menentukan wakil-wakil rakyat di Parlemen, menentukan Pimpinan yang akan memimpin Daerah atau Negara dalam waktu limatahun yang akan datang. Dengan demikian adalah wajib hukumnya bagi warga negara Indonesia untuk berpartisipasi di dalam setiap Pemilu.

Pertanyaannya adalah, sejauh mana kewajiban itu berlaku?.  Apabila calon pemilih tidak menemukan Caleg atau Ca Ca yang lain sesuai dengan yang ia yakini apakah hukum Pemilu masih wajib bagi warganya?.

Memberikan suara pada Pemilu berarti mendelegasikan dirinya sendiri kepada orang lain agar dapat mewakili dirinya di Parlemen nanti apabila yang didelegasikan duduk di Parlemen atau sebagai Pimpinan. Sehingga pendelegasian itu bukanlah pekerjaan untuk memenuhi kewajiban sebagai warga Negara saja melalui Pemilu, tetapi lebih dari itu adalah memberikan amanat kepada seseorang agar diri pemilih dapat terwakilkan untuk berbuat sesuatu bagi Daerah atau Negara.

Dengan demikian menurut hemat penulis maka, apabila tidak ada satupun Calon Wakil yang dapat memenuhi kriteria yang dikehendaki oleh Calon Pemilih adalah tidak wajib lagi hukumnya bagi Calon Pemilih untuk untuk memberikan suaranya, tetapi Calon Pemilih harus datang secara langsung ke Tempat Pemungutan Suara dan melihat langsung kertas suara dengan membukanya dan melihat semua Calon Wakil yang ditawarkan di dalam Bilik Suara.

Lain halnya bagi mereka yang menjadi Golput karena memang tidak perduli pada Pemilu. Orang-orang demikian telah melanggar UU yang telah dibuat untuk kegiatan ber-Negara. Hal ini lebih parah lagi bagi mereka yang memperjual belikan hak suaranya demi untuk mengejar harta sehingga rela memberikan suaranya walaupun wakil yang akan di[ilihnya nanti sudah diketahui memiliki sifat yang tidak baik. Orang ini merupakan kepanjangan perusak Negara dengan memberikan suara untuk menjadi wakilnya kepada orang yang sudah jelas dan nyata memiliki karakter yang tidak baik.

No comments: