Tuesday, October 05, 2010

Ke Seattle

Sejak pagi aku sudah mulai sibuk dengan urusan cutiku di kantor, ketika itu tanggal 22 September 2010, mempersiapkan perbekalan dokumen mulai dari mengurus surat clearance tanggungan di kantor sebelum mengambil paspor sebagai tanda bebas untuk bepergian ke luar Uni Emirat Arab. Rekan-rekan di kantor banyak yang bertanya padaku tentang ketidak biasaanku tetap berada di kantor sampai pukul 11:30 pagi, dimana biasanya aku sudah berada di lapangan memberi pengawasan terhadap jalannya pekerjaan kepada pekerja teknisi dalam memperbaiki kerusaka-kerusakan pada kapal. Pasporpun sudah di tangan, dan waktu menunjukkan pukul 12:00 siang, tibalah waktu untuk menyimpan dan/atau mengamankan barang-barang berupa peralatan dan perkakas kerja milik kantor ataupun milik pribadi yang ada didalam mobil kantor karena mobil kantor harus diserahkan sebelum cuti dimulai. Setelah sampai di Free Port Zayeed aku sempatkan bertemu beberapa pekerja bawanku serta memberikan pengarahan tentang pembagian kerja ketika aku cuti mulai besok pagi. Kendaraan kantor aku serahkan kepada bawahan bernama Legi, seorang Service Engineer baru yang selalu bekerja denganku dan mempunyai surat ijin mengemudi(SIM) UAE, kemudian ketika jam menunjukkan pukul 14:30 aku memintanya untuk diantar pulang dan kendaraan kantor dibawanya untuk dikembalikan ke kantor pada Christian, penanggung jawab kendaraan kantor yang sebelumnya sudah aku beritahu. Di rumah, Ila masih sibuk dengan persiapan terakhir keberangkatan ke Seattle, apalagi perjalanan ini merupakan perjalanan yang sangat dinantikan, selain bersejarah bagi keluarga kami, bagi Ila ini merupakan hari yang ia tunggu-tunggu, karena ia begitu menginginkan berpisah untuk meninggalkan Abu Dhabi dan hidup mandiri tidak serumah dengan keluarga, sungguh keinginan yang berbeda ketika aku dulu baru lulus SMA dan berhasrat mendaftarkan kuliah di Bandung atau Jogjakarta saya urungkan karena saya akan jauh dengan orang tua. Untuk itu ia memilih melanjutkan sekolah di perguruan tinggi yang jauh dari kami di Abu Dhabi, yaitu di University of Washington, Seattle. Kira-kira pukul 21:00 aku dan Ila diantar oleh istriku Sukarsi dan putraku Tanwin keluar rumah berangkat menuju bandara udara dengan taksi, istriku tidak bisa mengantarkan dengan mobil pribadi karena perjalanan dengan menyupir dimalam hari sangat mengganggu penglihatannya karena gelap dan letak pelabuhan udara Abu Dhabi yang cukup jauh, kira-kira 35 kilometer dari rumah, supir taksi berkebangsaan India dan selalu mengajak bicara selama di perjalanan, adalah merupakan kebiasaan sopir-sopir taksi di Abu Dhabi mengajak bicara penumpangnya terutama penumpang dari Asia, bahkan ia meminta untuk disebarkan nomor telephonnya kepada komuniti Indonesia di UAE apabila ada diantara temanku membutuhkan taksi, ia bersedia dipanggil dimanapun di Uni Emirat Arab ini. Tetapi yang perlu diperhatikan ketika naik taksi adalah; apabila si sopir taksi sudah memulai menjelaskan kesulitan keuangannya, itu biasanya akan diungkapkan apabila si penumpang sudah masuk dalam jeratannya, yaitu ketika status si penumpang sudah jelas terutama tentang profesi pekerjaan di Abu Dhabi, dan supir menyimpulkan bahwa si penumpang mempunyai penghasilan yang cukup baik, maka supirpun akan memulai menjelaskan tentang kesulitan keuangan yang dihadapi dalam kehidupannya di Abu Dhabi dengan tujuan untuk mendapatkan ongkos tambahan (semacam tip) ketika sampai tujuan. Boarding lancar-lancar saja, tetapi karena tas bagasi dibatasi 2 tas bagi setiap penumpang dengan berat maksimum 25 kilogram dengan ketentuan kelebihannya akan di denda 20 USD per kilogram akan bebankan kepada penumpang yang membawa kelebihan dari yang sudah ditentukan, maka terpaksa harus mengepak kembali tas yang akan dimasukkan kedalam bagasi agar 4 tas berisi sepadat mungkin dengan berat tidak lebih dari 50 kilogram karena aku dan Ila membawa 5 tas besar (ukuran 25x40x60 cm3, 1 buah; 20x30x50 cm3, 2 buah; 30x30x60 cm3, 1 buah; dan ukuran 25x35x55 cm3, 1 buah) untuk dimasukkan kedalam bagasi, dan tas punggung 2 buah. Karena persaratan pihak penerbangan diatas, maka aku putuskan untuk membawa ke dalam kabin saja 1 tas kecil dan beratnya paling ringan setelah diatur pengepakan kembali di depan konter boarding. Sebelum memasuki pintu Passport Control aku dan Ila mengurus pembatalan (cancellation) resident visanya Ila, karena Ila akan meninggalkan UAE lebih dari 6 bulan secara terus-menerus tanpa memasuki UAE lagi akan mengakibatkan dibatalkan secara otomatis resident visanya oleh pihak Imigrasi UAE dan jika demikian, maka untuk memasuki kembali ke UAE akan mendapatkan kesulitan karena dianggap melarikan diri, tetapi jikalau pembatalannya dilakukan sesuai dengan prosedur, maka akan mempermudah urusannya nanti apabila dikemudian hari ingin kembali memasuki UAE lagi. Seterlah melalui Passport Controll langsung menunggu di depan Gate-9, sambil menunggu boarding untuk memasuki pesawat, aku dan Ila mencoba membenahi 3 tas (2 tas punggung dan 1 tas jinjing besar) agar menjadi 2 tas saja, alkhirnya semuanya bisa diatasi, dan memasuki pesawat dengan 2 tas (1 tas punggung dan 1 tas jinjing) saja ditambah tas filling yang isinya buku dan dokumen yang dikeluarkan dari tas punggung karena sebelumnya sudah ditempatkan didalam tas khusus untuk filling, serta jaket milikku dan Ila yang tadinya disimpan didalam tas dikeluarkan dan dipakai menuju pesawat. Penerbangan menuju Seattle harus transit di pelabuhan udara Amsterdam, didalam pesawat dari Amsterdam menuju Seattle aku dan Ila selalu diberi makanan khusus yang menurut pramugarinya bahwa kami memesan type makanan itu, aku menanyakannya kepada Ila apakah ia melakukan pemesanan melalui internet atau selainnya dia menjawab tidak. Ketika aku sudah turun dari pesawat di Seattle, aku mencoba memeriksa kembali e-tiket pesawat yang telah aku pesan di Abu Dhabi, dan ternyata didalam tiket tertulis bahwa meal (makanan) khusus untuk Muslim. Suasana pelabuhan udara Tacoma-Seattle cukup sejuk, saat itu waktu menunjukkan pukul 13:05, aku melihat loket Passport Control pelabuhan udara Tacoma-Seattle dibagi menjadi loket-loket untuk orang-orang Amerika Serikat dan Kanada, Amerika Latin dan Tengah, dan untuk orang dari selainnya. Antrian manusia cukup banyak disetiap loketnya, itu dikarenakan secara bersamaan ada 4 pesawat yang mendarat, apalagi saat itu ada kemacetan pada system komputer imigrasi pelabuhan udara Seattle, sehingga yang belakangan harus menunggu sekitar 45 menit sampai system komputer beroperasi kembali dan orang-orang yang sudah lama menunggu pun bersorak kegirangan. Itulah kekurangan system komputer, jikalau ada masalah semuanya akan menjadi tidak jalan. Transportasi dari pelabuhan udara menuju kota seattle ada beberapa macam, Taxi, Shuttle Express, Bis Umum, dan lainnya. Shuttle Express cukup mudah dan relatip murah, dengan taxi bisa dipungut sampai 70 USD, dengan Shuttle Express dipungut biaya 23 USD per orang, dan hanya 45 USD untuk 2 orang dengan membayar harus memakai credit card. Sesampai di Hagget, dorm tempat Ila akan menginap tinggal selama kuliah tahun ajaran 2010/2011 sekitar pukul 16:30, setelah check in di Hagget langsung menuju lantai 4 kamar nomor 20an, sebelum memasuki kamarnya, Ila bertemu dengan teman kamarnya, Moly dari Nebraska, AS. Setelah masuk kamar untuk meletakkan tas untuk Ila, aku dan Ila keluar menuju Hotel College Inn dengan berjalan kaki, hotel tua dan termasuk bangunan yang dilindungi oleh Pemerintah Kota Seattle, aku mendapatkan kamar no. 311, dengan nomor saluran telephone 41, sesuai status hotel sebagai Hotel Tua, maka salah satu dari tiga korden kisi metalnya ada yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, ketika diratik untuk dibuka hanya satu sisi kiri yang terangkat dan sisi kanan tetap tertinggal dibawah, semakin ditarik untuk diangkat terbuka semakin tinggi sisi kiri korden, sehingga menyebabkan seolah sisi kiri menggantung pada tali korden, selain itu perlengkapan didalamnya merupakan perlengkapan lama, kamar yang aku tempati ada 1 tempat tidur ganda, 1 meja telephon, 1 meja kopi, 1 meja tulis, 1 kursi makan, 1 kursi panjang terpasang permanen dibawah jendela, 1 meja setrika lipat, 1 washtafle, 1 CD player lama, 1 kipas angin, 2 gelas, 1 kertas tissue kotak, dan 2 sabun mandi keras, ada fasilitas internet wireless, telephone hanya antar kamar saja kecuali hanya bisa menerima telephone dari luar, untuk urusan faksimil dan komputer dengan internet dan printer semuanya harus dilakukan di kantor administrasi Hotel. Fasilitas sanitasi merupakan fasilitas umum, artinya setiap lantai dengan 6 kamar hanya ada satu ruangan sanitasi yang berisi 2 kamar mandi dengan shower, 1 toilet/WC, 1 tempat buang air kecil, dan 1 washtafle. Di toilet tidak ada air kecuali kertas tissue, jadi, tidak seperti di Negara Muslim membersihkan sisa kotoran setelah membuang air besar memakai air cukup dengan kertas tissue saja, ini membuat aku kagok karena tidak biasa, tetapi bukan hanya di Hotel ini saja yang demikian, di kampus University of Washington, Seattle, toilet umum di stasiun Down Town, bahkan mungkin pemakaian air di toilet memang tidak umum di Seattle. Perut terasa lapar setelah selesai mandi dan menikmati suasana Hotel, keluar dengan Ila mencari makan malam, sepanjang jalan banyak restoran mulai dari Thai, Vietnam, Timteng, Amerika, Meksiko, India, dll.. Ila sudah berpengalaman disini karena pada bulan Juli yang lalu ia dan ibunya ke Seattle melakukan orientasi, sehingga secara langsung dapat menunjukkan restoran Timteng bertuliskan halal. Aku sudah terbiasa dengan aneka menu masakan Timteng seperti di Abu Dhabi, tetapi ada satu menu mmurah disebut Gyros, yaitu terdiri dari kobus (roti lempeng bakar berdiameter kira-kira 20 centimeter), homus (saos kacang gerinda lembut khas Timteng), salad segar, dan daging potong bumbu semacam kare goreng, bisa daging ayam, lembu atau biri-biri. Kobus dipakai sebagai bungkus luar dari semua bahan makanan itu, harga kecil adalah 5 USD, dan yang besar 7 USD, Aku dan Ila selalu memesan yang kecil saja karena sudah cukup mengenyangkan, terkadang Ila tidak dapat menghabiskannya untuk sekali makan dan ia bawa pulang untuk nanti, demikian seperti yang ibunya ajarkan; habiskan makanan yang dipesan di restoran, kalau tidak, bungkus dan dibawa untuk nanti, membuang makanan adalah penganiayaan. Ila disibukkan dengan dirinya sendiri, aku memakluminya, ia mesti banyak urusan sebagai mahasiswa baru di UW Seattle walaupun kuliahnya baru akan dimulai pada tanggal 29 September mendatang, ia disibukkan juga melayani teman lama ataupun teman barunya berkomunikasi dari face book atau emailnya di Seattle. Saya sedikit heran, ternyata di Seattle ini tidak seperti yang saya bayangkan yaitu suatu tempat yang didominasi oleh orang keturunan kulit putih, disini etnis Asianya cukup banyak, terutama etnis-etnis seperti China (China, Jepang, Korea, Vietnam, Philipina, dll), India dan Arab, sedangkan orang kulit putihnya tidak terlalu mendominasi. Kondisi kota nampak relatip aman, penyeberang jalan selalu didahulukan daripada kendaraan bermotor, sehingga sopir akan 'lingak-linguk' ke kanan dan ke kiri ketika akan melintasi tanda penyeberangan (zebra cross) untuk memastikan ada tidaknya penyeberang, jikalau ada maka mobilnyapun berhenti untuk memberi kesempatan pada penyeberang jalan, istriku bilang kalau di Loss Angles beda, di sana sama dengan di Abu Dhabi, penyeberang harus menunggu jalan kosong sebelum menyeberang jalan, kalau tidak akan mendapatkan damprat dari sopir berupa jeritan klakson bahkan akan fatal tertabrak mobil yang berkecepatan tinggi karena tidak perduli dengan zebra cross. Pak Arianto Ridwan, seorang Indonesia yang pindah ke Seattle sejak 16 tahun lalu, aku dan Ila harus bertemu dengan Pak Arianto karena ketika Ila berkunjung ke Seattle pada bulan Juli lalu meminta tolong Pak Ari untuk dibelikan I-phone-4, kebetulan Pak Ari bekerja di Microshoft Company di Seattle, maka dalam pembelian barang-barang elektronik yang berhubungan dengan Microshoft akan mendapatkan harga khusus. Kami kenal beliau karena adik perempuan Pak Arianto berada di Abu Dhabi mengikuti tugas kerja suaminya, Aku dan Ila diajak makan siang bersama anggota keluarganya di salah satu Thai Restoran di University Village dekat kampus UW, saya taunya menu masakan Tom Yam saja di Restoran Thailand, sangat lezat karena rasa gurih dan pedas, masalahnya adalah aku tidak mempunyai pertahanan yang bagus menghadapi makanan pedas, cairan dari hidung mudah keluar karena makanan pedas, apalagi sedang diajak makan oleh orang yang baru dikenal, malu nantinya. Untuk itu aku memilih makanan soup-noodle ayam yang tidak saya kenal karena semua orang semeja sudah menentukan pilihannya, maka saya mengatakan setuju ketika pelayan restoran menanyaiku apakah pakai santan (sari kelapa) atau tidak. Wah, menunya banyak sekali, ukuran mangkoknya sebesar tempat kuah untuk porsi makan satu keluarga di rumah dan isinya penuh, tetapi ketika memulainya untuk menyantapnya, aku merasakan tidak terlalu menyukai rasanya, perlahan-lahan aku makan dan akhirnya tersisa tigaperempatnya, lain halnya dengan Ila, ia memesan mie goreng ala Thailand, rasanya memang lezat setelah aku mencicipinya. Lalu Ila meminta sisa soup-noodle sisaku dan ia memakannya, karena tidak habis juga, maka Ila mengusulkan agar sisa makanan yang saya pesan untuk dibungkus dibawa pulang, tetapi karena mie kuwah nantinya akan menjadi becek, maka aku menolaknya. Sekejap teringat ketika kuliah di Fakultas Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) dulu, buku-buku referensi kebanyakan yang saya miliki kebanyakan dari fotokopi bagian dari buku-buku asli yang dipinjam dari Perpustakaan Pusat ITS, dan ada beberapa buku pegangan hasil karya dosen-dosen fakultas Mipa, TI dan Kelautan seperti Matematika Dasar, Statistik, Bahasa Ingris, Getaran dan Finite Element Method. Sedangkan di UW Seattle, seluruh buku referensi ada tersedia di toko buku milik kampus yang bernama Book Store University of Washington, bahkan toko buku tsb, semacam grand store, selain buku-buku dan alat tulis untuk keperluan kuliah, ada bergagai macam majalah, komik buku bacaan cerita fiksi ataupun nonfiksi, kafe, souvenir, berbagai pakaian terutama kaos, topi dan jaket berlogo UW, bank, pokoknya menyediakan segala keperluan mahasiswa dan dikelola secara profesional, yaitu apabila mahasiswa melakukan transaksi dianjurkan memekai kartu kredit mahasiswa, dan diakhir tahun kumpulan transaksi tsb. bisa dikembalikan lagi kepada mahasiswa sebesar 10% dari nilai total transaksi dengan kartu kredit mahasiswa, untuk itu setiap harinya dipenuhi oleh mahasiswa untuk membeli keperluannya disitu. Pelayan toko akan memberikan jawaban sepuas dan seramah mungkin kepada pengunjung tentang barang yang akan dibeli, Ila memilih buku kimia untuk keperluan satu tahun ajaran, pelayan toko memberikan alternatip; apakah ingin membeli buku baru atau buku bekas pakai. Setelah memperhatikan secara seksama, buku bekas keadaannya bagus sekali dengan harga sekitar 60% dari harga buku baru, didalam memilih bukupun pelayan toko masih memberikan pengarahan, karena selain buku tahunan (3 semester sekaligus) ada juga buku semesteran, pelayan toko menganjurkan untuk membeli buku semesteran saja, selain harganya lebih murah juga lebih baik apabila ada pergantian buku karena revisi untuk semester berikutnya, untuk buku tahunan selebihnya tidak bisa dipakai, sedangkan untuk buku semesteran bisa langsung membeli yang baru tanpa harus kehilangan bagian buku yang tidak terpakai. Selama 10 hari di Seattle Campus District, sekali saja melihat taksi melintas di jalan, selainnya jalan-jalan hanya dilewati oleh pejalan kaki, sepeda, mobil pribadi dan bis kota. Bis kota merupakan alat transportasi yang paling populer, bagi mahasiswa UW, tidak dimintai uang tiket ketika naik bis, mereka hanya cukup menunjukkan kartu mahasiswa saja karena biaya yang dipungut pihak kampus sudah termasuk ongkos bis dalam kota Seattle. Aku tertarik untuk naik bis, dan aku mencobanya ketika pergi ke Down Town, seluruh penumpang menunggu di Halte pemberhentian bis, setiap orang selalu menoleh ke arah bis yang datang memperhatikan nomor line/lintas yang ada di bagian atas depan bis, ke Down Town bisa memakai bis nomor 70an, 71, 72, dan seterusnya dari kampus UW. Orang akan langsung membentuk antrean begiatu bis yang dikehendaki datang, supir bis cukup ramah, biasanya antara sopir dan penumpang langsung bertegursapa baik dengan salam atau dengan senyum, demikian ketikan turun melewati pintu depan dekat sopir, nampaknya setiap penumpang selalu mengucapkan 'thank you' kepada sopir sebelum keluar bis. Biaya tiket bis 2 dolar berlaku untuk 3 jam, setiap penumpang harus membayar dengan uang pas dimasukkan pada mesin disamping tempat duduk sopir. Tetapi ketika naik dari Stasion di Down Town setiap penumpang dipersilahkan duduk dulu membayarnya belakangan, aku sekali pernah membayar dengan uang 5 dolaran ketika mau turun, maka sopir wanita bis itu mengatakan bayarlah dengan uang pas, kami tidak punya uang kembalian, ketika aku mengutarakan alasan bahwa aku tidak punya uang pas, dan uang 5 dolar ini adalah uang pecahan terkecil yang saya punya dan saya jelaskan bahwa saya benar-benar tidak mengetahuinya, maka si sopir akhirnya menasehati aku bahwa 'sekarang akan saya lepas, lain kali sediakan uang pas'. Lama sekali terlintas dalam pikiran, mengapa sopir bis tidak mempunyai atau menyediakan uang pecahan untuk tukar uang dalam keadaan dibutuhkan?, apakah sopir tidak diperkenankan berhubungan dengan uang?, ataukah agar semua orang bertanggungjawab demi cepat dan lancarnya jalan dan pelayanan bis kota?. Setelah turun dari bis saya merasa bersalah, atas ketidak tahuanku menyebabkan aku tidak membayar bis perjalanan dari Down Town ke UW, Seattle, sebetulnya sebelum naik bis di Down Town tadi aku sempat berfikir bagaimana nanti aku akan membayar bis sedangkan aku tidak mempunyai uang pas pecahan sebanyak 2 dolar, aku nekad naik karena toh pembayaran bis dilakukan nanti ketika akan turun bis, uang 5 dolar pasti akan ditukar oleh sopir bis nanti, itu seperti pengalamanku di Inggris dulu, sopir bis akan memberi uang kembali sebelum memberikan tiket bis karena uang kembalian. Ahirnya aku putuskan memberiakan uang bis yang tidak aku bayar tadi kepada pengamen yang ada di depan Book Store UW sebanyak 1 dolar, dan 1 dolar lagi untuk yang lainnya walaupun akhirnya tidak menemukan lagi karna hari sudah larut malam. Di Down Town Seattle seperti kota besar lainya yang pernah aku singgahi, Jenewa, Paris, Oxford, London, Menchester, Abu Dhabi, Dubai, Surabaya, Jakarta, Bangkok, Singapore, Makkah, Madinah, Hamburg, dan Helsinki. Seattle terdiri dari gedung-gedung tinggi, mall-mall, shopping center, kafe, dan lainnya, semua orang sibuk dan kebanyakan berjalan kaki cepat-cepat seperti takut ketinggalan sesuatu, minum sisa makan pagi atau siang kebanyakan diselesaikan sambil berjalan. Aku sempat singgah di Public Market, pasar tradional lama terletak di tepi laut bernama Pike Market, aku tidak tertarik dengan kebanyakan barang yang ditawarkan, selain aku tidak suka belanja, tujuanku hanya untuk jalan-jalan melihat-lihat suasana pasar tradisional di Seattle, pasarnya orang Amerika. Ketika merasa lapar karena sudah siang, aku sebagai muslim susah mencari makan di Pike Market, karena semua restoran yang saya minati disitu juga menjual menu masakan babi, dimana babi dilarang dikonsumsi oleh Muslim, ada satu restoran Turki tetapi tutup, akhirnya kembali ke tempat dekat Hotel dimana saya tinggal, di Campus District hanya untuk makan siang. Penjaga toko juga ramah-ramah, pengunjung akan ditanya apabila memerlukan bantuan tentang barang yang sedang dicari, aku merasa terlalu tersanjung ketika memilih jas yang sedang diobral (baca sale), ketika memilih aku dianjurkan mencoba tiga ukuran sebelum aku memutuskan yang mana yang paling cocok untuk ukuranku, aku merasa kesulitan menemukan jas yang pas dengan ukuran badanku, ketika menemukan ukuran panjang lengan yang pas, maka ukuran panjang badan kepanjangan; ketika mendapatkan panjang badan yang pas, ukuran lengan sedikit kependekan, akhirnya dianjurkan untuk memodifikasi jas yang memakan waktu sekitar satu minggu. Akhirnya aku pilih yang cocok dengan panjang badanku, sedangkan panjang lengannya akan aku rubah nanti di Abu Dhabi. Tidak terasa sudah tanggal 29 September, merupakan hari pertama masuk kuliah Ila, di pagi hari cepat-cepat aku mengunjungi kampus, dan Hagget asrama mahasiswa tempat Ila menetap, suasana sebelum jam 8 pagi seolah serempak para mahasiswa keluar dari asrama menuju kuliah, semua terliahat kontras seperti sebelum kuliah, mereka berpakaian sopan celana panjang dan kaos atau baju lengan panjang, hampir semuanya memakai jaket karena waktu itu kebetulan suhu lebih dingin dari hari sebelumnya. Tidak seperti ketika sebelum kuliah dimulai, dimana sempat terlintas kekhawatiran karena cara berpakaian mereka apakah akan seperti ini nantinya ketika masuk kuliah, tidak seperti yang saya lihat di Abu Dhabi kebanyakan, disini orang kebanyakan memakai pakaian serba pendek, kecuali sepatu kulit boot yang panjang juga sepatu short sleeve dengan kaos kaki panjang, maklumlah kondisi udara cukup hangat barangkali untuk ukuran orang yang sudah lama tinggal di seattle, tetapi sukurlah ketika kuliah semuanya tidak seperti yang saya khawatirkan. Di hari awal kuliah lapangan Palza kampus dipenuhi vendor menawarkan promosi aneka makanan dan minuman gratis, termasuk vendor kue, roti, minuman aneka juice, kopi dan soft drink, bahkan mereka membagikan kaos, topi ataupun muk minum cuma-cuma. Kegiatan kelas kuliah sampai pukul 9 malam, aku masih melihat sinar dari proyektor dari dalam kelas ketika mencoba menyusuri kampus pada malam hari sekitar pukul 9 malam, pukul 11 malam masih banyak mahasiswa yang berkeliaran di kampus yang dalam keadaan masih diterangi lampu-lampu, mobil anggota keamanan kampus terlihat diparkir di beberapa pojok kampus barangkali untuk menjaga keamanan kampus yang memang terlihat aman. Hati terasa tenang meninggalkan Ila kuliah di kampus seperti ini jauh dari aku dan ibunya di Abu Dhabi, Ila sepertinya keranjingan dengan suasana di UW Seattle, itu saya maklumi, ia memang menginginkan menjauh dari Abu Dhabi menimba ilmu ke Uk atau US, bagaimanapun ia merupakan buah hatiku, aku harus tetap memantaunya walaupun hidupnya berjauhan, ini merupakan bagian dari suatu perjuangan agar ia menjadi orang yang baik, petjuangan akan selalu menuntut pengorbanan, apakah perasaan, harta, bahkan terkadang nyawa, dimana yang sampai kini aku siap adalah perasaan dan harta. Pagi sudah menunjukan pukul 2:30, dan tanggal sudah 30 September, maka aku bergegas beranjak dari tempat tidur Hotel mempersiapkan perjalananku kembali ke Abu Dhabi, malam sebelumnya aku sudah menyerahkan barang -barang yang tidak aku perlukan untuk dibawa ke Abu Dhabi kepada Ila. Tepat pukul 3:20 pagi mobil jemputan Shuttle Express datang, di dalam mobil sudah ada dua orang tua dengan tujuan yang sama, dari College District ke bandara Takoma Seattle ditempuh dengan perjalanan sekitar 20 menit melalui jalan bebas hambatan, ketika jam menunjukkan hampir pukul 5 pagi, aku mulai memulai antri untuk check in, penjaga konter memberitahuku bahwa boarding passku hanya untuk penerbangan dari Seattle ke New York, kemudian New York ke Amsterdam, kemudian di Amsterdam aku disarankan untuk melihat boarding board untuk menentukan kepastian nomor Gate penerbanganku selanjutnya. Tepat pukul 6:02 pagi pesawat mulai bergerak meninggalkan Seattle, penerbangan ke New York sebenarnya memakan waktu sekitar 4 jam, dimana seharusnya sampai pada pukul 10 pagi waktu Seattle, tetapi karena perbedaan waktu New York lebih lambat 3 jam dibandingkan Seattle, maka pesawat mendarat diatas pukul 14 siang, apalagi pesawat harus ditunda pendaratannya selama kira-kira 20 menit karena sibuknya pelabuhan John F. Kennedy (JFK), New York, demikian seperti apa yang diumumkan oleh pihak krew pesawat. Di ruang tunggu bandara udara JFK sudah merasa lapar, maklum didalam pesawat dari Seattle ke New York hanya dikasih kacang atau biskuit sebagai service mealnya, tidak seperti apa yang saya harapkan berupa sarapan pagi berbentuk roti atau lainnya yang cukup untuk mengganjal perut agar tidak terasa lapar. Ketika makan di salah satu fast food restorant aku teringat Tanwin, puteraku di Abu Dhabi, pikirku, merupakan suatu kesempatan membelikan barang kenangan ketika di bandara ini, aku mengambil kaos oranye untuk Tanwin, dan buku Negotiation with Giant tulisan Peter D. Jonston untuk bacaanku. Ketika aku sudah masuk dan duduk di dalam pesawat menuju Amsterdam waktu sudah menunjukkan pukul 5:05 sore, seorang petugas boarding pass menghampiriku menanyakan passporku, setelah aku tunjukkan ia membukanya untuk memeriksa resident visaku di United Arab Emirates sesuai tujuan akhirku ke Abu Dhabi, pikirku, ini barangkali merupakan bagian dari pemeriksaan keamanan bagi penerbangan, dimana baik di Seattle, New York, Abu Dhabi semuanya terasa berbeda tentang pihak keamanan didalam memperlakukan calon penumpang pesawat udara. Calon penumpang dilarang membawa barang cairan lebih dari 100 mililiter, kemudian semua barang bawaan harus masuk scanner termasuk sepatu, ikat pinggang, semua barang dalam kantong baju maupun celana, jam tangan, jaket harus dilepas, pokoknya sangat merasa tidak nyaman dibuatnya. Penerbangan dari New York ke Amsterdam memakan waktu sekitar 6 jam, tiba di Amsterdam bersamaan waktunya untuk makan siang, tetapi waktu di bandara udara Amsterdam menunjukkan pukul 11 pagi, nampak harga semua menu makanan dan minuman terasa sangat mahal, kopi ukuran kecil lebih dari 3 Euro, kue kroson keju 4 Euro, akhirnya aku putuskan untuk mencari mini market, dan yang aku pilih orange juice dan kue manis sebanyak 5 biji. Bandara udara Schifol Amsterdampun terasa membosankan, keluar masuk toko Duty Free mencari tas untuk Sukarsi, istriku tidak ada, yaitu tas kulit punggung bermerek disebut Back Pack Bag. Penerbangan menuju Abu Dhabi sudah dimulai, pukul 6 sore pesawat mendarat di Abu Dhabi International Airport, inilah saatnya memulai hidup baru lagi, hidup sekeluarga dengan Ila tinggal jauh terpisah sejauh 12 jam selisih waktu, bagaimanapun saya yakin, bahwa ini merupakan salah satu cara agar anak-anakku menjadi orang yang baik dan mandiri didalam mengarungi masa depannya, semoga !.