Saturday, April 28, 2012

Bersama Gol A Gong, Seri Ke-2

Pagi ini cuaca masih cukup segar, ini menambah semangatku untuk bermain tennis, olahraga mingguan tiap hari Jum'at pagi di Zayeed Sport City, Abu Dhabi bersama reka-rekan Indonesia yang tergabung dalam Indonesian Tennis Player Club, ITPC, Abu Dhabi. Olahraga mingguan ini selain sebagai olahraga juga sebagai selingan hidup yang melulu di kantor selama hampir seminggu dengan orang-orang yang ampir sama, juga sebagai ajang silaturrahmi antar sesama warga Indonesia di mana diantara kami kebanyakan bekerja di tempat yang berlainan. Ada berbagai perkumpulan kegiatan out-door dan in-door di sini, antara lain;  Badminton, Pencak Silat, Sepak Bola, Bola Basket, dan Fotografi, serta sedang dirintis Perkumpulan Bowling.

Selesai tennis badan terasa capek, satu jam aku bermain tunggal melawan temanku yang lebih muda, tenaga terkuras hampir habis. Sambil menjatuhkan diri di atas tempat duduk tepi lapangan tennis aku raih botol berisi minuman ionic untuk aku minum. Aku lihat ada satu missed call di Blackberry-ku, ternyata ketika aku panggil ada pekerjaan mendadak yang dengan segera harus aku tangani. Salah satu kapal tongkang milik klain yang aku tangani untuk otoritas pantai Abu Dhabi mempunyai masalah dengan Ramp Door-nya.

Aku bergegas dari Zayeed Sport City menuju ke Free Port, Mina Zayeed, Abu Dhabi, perjalanan 15 Kilometer aku tempuh dalam waktu sekitar 15 menit. Jalan-jalan sungguh legang. Aku ingin masalah di kapal itu apabila memungkinkan harus aku selesaikan sebelum shalat Jum'at tiba. Aku dapati salah satu pipa lentur dari sistem hydrouliknya pecah karena sudah lama dan berkarat dari dalam. Aku meminta anak buah kapal kunci pas untuk aku buka sendiri sebagai contoh dalam pembutan pipa lentur baru besok pagi. Hari ini tidak ada teknisi yang membukanya, pikirku ini pekerjaan kecil dan mudah, maka aku putuskan untuk aku buka sendiri. Hari jum'at adalah hari libur resmi negara, jadi hari ini tidak bisa memesan pipa lentur baru karena bengkel-bengkel pada tutup. Pipa lentur ini hanya aku bawa saja agar besok ketika bengkel hidrolis khusus yang melayani pembuatan pipa lentur bisa langsung aku serahkan tanpa harus ke kapal lagi.

Keesokan harinya aku sudah membuatkan pipa lentur baru seperti contoh yang aku bawa di sebuah bengkel langgananku di Musaffah dekat kantorku. Pipa aku bawa ke kantor. Teknisi yang akan memasang baru akan datang dari Ras Ghomis sore ini. Aku pesan kepada rekanku yang akan menangani kerja ini bahwa pipanya sudah siap dan pipa itu aku letakkan di atas meja kerjaku.

Kerja lemburku tidak dibayar oleh perusahaan, itu merupakan aturan bagi semua karyawan perusahaan tempat aku bekerja bagi karyawan yang memiliki golongan tertentu tidak dibayar uang lembur yang telah dilakukan. Hanya saja apabila ada pekerjaan sangat penting dan harus turun tangan sendiri, maka jam yang dihabiskan selama kerja lembur akan dikompensasi sebagai jam libur untuk kemudian hari.

Hari Minggu ini aku akan libur sebanyak empat jam mengambil jam kompensasi karena kerja lembur hari Jum'at dan Sabtu kemarin. Ketika aku utarakan hal itu kepada istriku, ia menuturkan bahwa pagi ini akan ada acara sarapan pagi bersama Gol A Gong dan istrinya di Souq Qadim (Souq Qadim berarti Pasar Lama, di mana sekarang sudah dibongkar dan dibangun pusat perkantoran dan perbelanjaan dengan gedung menjulang berujung seperti bambu runcing). Bagai tumbu dapat tutup kata orang, tanpa rencana aku dapat lembur, kompensasinya bisa bertemu Gol A Gong lagi, suatu pertemuan yang aku inginkan.

Setelah mengantar putraku ke sekolah aku dan istriku langsung ke kantor KBRI. Tepat pada jam pagi yang sudah dijanjikan kami sampai di KBRI. Aku masuk dari pintu utama KBRI. Seorang penjaga mempersilahkan aku memasuki Kantor Bagian Tenaga Kerja tempat Gol A Gong menginap bersama istrinya. Aku lihat laptopnya sudah beroperasi, lalu aku ucapkan salam kepada Gol A Gong, setelah salamku ia jawab kemudian aku menganggukkan kepala kepada wanita di sebelah Gol A Gong, dialah Tias Tatanka, istri dari Gol A Gong, nama yang sering muncul pada setiap buku yang ditulis oleh Gol A Gong. Setelah perbincangan masalah kealpaan hari dan tanggal dengan Tias, lalu kami sepakat memulai perjalanan pagi ini seperti yang telah mereka rencanakan.

Dengan baju luaran ala Amerika Latin (secarik kain wool bermotif garis berukuran kira-kira 50x150 centimeter dengan lubang di tengah sebesar kepala) Gol A Gong keluar KBRI bertiga menuju mobilku, istriku menunggu saja di dalam mobil. Kami berempat menaiki mobil Corolla tua warna merah darah kesayanganku menuju Souq Qadim daerah Hamdan Street. Gol A Gong duduk di kananku dan istrinya di belakangnya bersama istriku duduk di kursi belakang.

Terbayang oleh ku kesulitan menemukan tempat parkir di daerah Souq Qadim, ini sangat penting sebagai prioritas antisipasi yang harus aku pikirkan sebelum sampai di sana, sehingga jikalau mendapatkan tempat parkir kosong di sana nanti bisa segera aku ambil. Laju mobil sengaja aku jalankan agak pelan-pelan agar lebih memberi waktu kepada kedua tamu khusus kami ini untuk lebih menikmati pemandangan Kota Abu Dhabi. Terkadang aku asyik sendiri bersama Gol A Gong berbicara satu topik dan istriku asyik sendiri juga dengan istri Gol A Gong membicarakan topik yang lain.

Tepat di sebelah Souq Qadim aku dapati parkir seri lowong. Ruang/space parkir untuk mobilku agak kecil tetapi aku tetap nekad mengambilnya. Perasaanku mengatakan bahwa aku bisa memarkir mobilku dengan sekecil space ini hanya dengan sekali mundur. Hal demikian sudah aku latih sejak limabelas tahun yang lalu dari guru montirku di Abu Dhabi.

Di atas trotoar sebelah kanan seberang Souq Qadim seorang wanita teman dari istriku sudah menunggu dengan lemparan senyumnya. aku selalu melihat demikian kepada setiap teman istriku ketika menjumpai aku. Aku baru mengetahui kalau Souq Qadim sudah dibuka untuk umum. Interiornya bernafaskan pasar-pasar ala Timur Tengah. Sisi-sisi lorong yang dilewati menuju restoran tempat makan pagi dipenuhi toko-toko barang antik yang masih meutup rapat daun-daun pintu mereka. Jendela-jendela kaca tidak juga menyembunyikan barang-barang antik menakjubkan di dalamnya. Lemari-lemari ukiran sederhana, kotak-kotak kayu bermotip kuno dan hiasan dinding ukiran kayu ukuran besar tetap saja dibiarkan di luar toko. Aku coba melirikan mata sambil dengan rabaan tanganku untuk melihat badrol harga yang dipasang, "Huh..!", kataku dalam hati, "daripada membeli barang begini semahal lebih baik uangnya aku simpan di bank saja", sambil memikirkan kekecewaanku karena mempunyai banyak barang-barang di rumah dari pemberian kantorku yang dulu dengan kondisi sudah lama tetapi tidak rusak-rusak, ingin dibuang sayang, mau diganti juga harganya mahal-mahal.

Sementara aku membiarkan diriku terlena  pada lamunanku, membayangkan wajah Souq Qadim dulu, Souq dengan toko-toko sejenis kios tidak bertingkat. Kios-kios dengan halaman terbuka dan dapat langsung melihat langit biru. Banyak pengunjung sekelas sopir dan kuli bangunan saling bersenda-gurau sambil berjalan, atau duduk-duduk di ujung-ujung jalan. Bau keringat dapat langsung menguap ke atas langit yang terbuka. Aku akan selalu merasa lapar ketika sedang melintas karena harga shawarma (irisan ayam panggang bersama irisan kentang goreng dicampur ketimun yang sudah menjadi acar, dengan bumbu jus bawang putih dibalut dengan roti Arab seperti lempeng menjadi seukuran genggam dan panjang dua kepalan) dan soft drink hanya sekocek. 

Souq Qadim kini, tidak lagi aku lihat pengunjung-pengunjung seperti dulu lagi. Mereka entah pergi ke mana. Atau mereka sudah tidak berhasrat lagi pada Souq Qadim yang baru ini. Yang ada kini, pintu-pintu kaca selalu dilalui oleh orang-orang berbau wewangian dengan pakaian serba necis. Wajah langit tidak lagi bisa dipandang dari halaman sejuk ber AC dalam Souq Qadim ini. Sungguh, aku tidak akan merasa lapar lagi jika melewati Souq Qadim ini. Restoran-restoran baru banyak memberikan fasilitas pembayaran kartu kredit. Bagaimanapun, aku masih berharap dalam hati; jika aku akan merayakan ulang tahunku atau untuk anggota keluargaku, aku akan mengajak mereka menikmati masakan di salah satu restoran di sini.

Pagi ini aku ingin makan makanan yang tidak mengandung minyak, atau jika terpaksa makan makanan yang paling sedikit mengandung minyak. Aku tau, acara pagi ini adalah sarapan di salah satu restoran dengan masakan dari Sub-continent, makanannya kebanyakan dimasak dengan minyak, minyak dan minyak. Walaupun Gol A Gong sudah menyatakan hasratnya pada roti Barata (adalah roti berbentuk lempeng sebesar kira-kira 20 sd 25 cm diameternya, terbuat dari tepung terigu yang dicampur dengan minyak goreng, di Surabaya dikenal dengan nama Roti Maryam), aku mungkin akan memilih yang lainnya saja, pokoknya tidak berminyak. Ternyata istriku dan teman-temannya sudah sepakat sebelum kami ke restoran ini untuk memesan menu masakan India bernama 'Masala Dosa' (bukan "Tentang Dosa" kalau dibahasa Indonesiakan) buat kami semua. Masala Dosa merupakan makanan ala India terdiri dari selembar roti bundar berukuran besar dengan diameter sekitar 40 centimeter, tipis yang terbuat dari tepung beras semacam bahan dasar apem agak asin. Dimasak layaknya apem tipis, bundar besar. Penyajiannya digulung dengan isian campuran irisan sayur kentang, wortel dan kacang panjang dimasak berbumbu kare. Isian sayur jumlahnya kira-kira empat sendok makan, sehingga gulungan roti terlihat melompong. Selain itu sajian diikuti dengan tiga mangkuk kecil bumbu-bumbu semacam sambal, khomus dan kuah kare. Ketika dimakan roti dicelupkan pada bumbu yang ada, terserah mana yang disuka. Didorong dengan juice jeruk atau teh manis (Sulaimani) atau teh manis campur susu cream (chai) atau kopi untuk menambah nikmat makan pagi di Restoran India ini. Selain itu, ada tambahan lain seperti omlet yang juga dipesan sebagai penambah nikmatnya makanan pagi ini.

Keindahan interior Souq Qadim yang baru ini memang memangsa banyak mata untuk mengabadikannya. Interior yang didominasi warna kayu coklat tua dengan sinar agak remang-remang memberi kesan seperti suasana pasar tua ala Timur Tengah. Di sudut restoran yang mempunyai meja-kursi makan di emperan-nya terdengar cekikikan para wanita berkebaya dan kerudung serba hitam, mereka makan sambil mengabadikan suasana sarapan dengan kamera telepon genggam mereka. Gol A Gong dan istrinya memilih tempat dengan patung ceret besar terbuat dari kuningan sebagai tempat awal fotografinya. Tidak ketinggalan istriku dan teman-temannya berpose menyatu bergantian bersama Gol A Gong dan istrinya. Ada restoran dengan pelayan berpakaian tradisional Maroko, yang demikian juga tidak luput dari pengambilan foto Gol A Gong.  Di atas meja setengah bundar bertuliskan 'Information' yang tidak ada penjaganya ada banyak pamflet-pamflet dan buku petunjuk tempat wisata di Abu Dhabi, pamflet-pamflet yang disediakan secara cuma-cuma aku ambil, demikian juga Gol A Gong.

Tidak terasa waktu sudah mendekati acara pelatihan menulis oleh Gol A Gong dan Tias Tatanka bagi Ibu-Ibu Dharma Wanita KBRI Abu Dhabi dan Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang ada di KBRI. Aku harus kembali ke kantor hari ini setelah empat jam cuti karena kompensasi kerja lemburku. Aku kendalikan mobil sampai halte bis jurusan Musaffah depan kantor Etisalat, lalu aku turun. Etisalat adalah nama perusahaan telekomunikasi Semi-goverment Abu Dhabi. Istriku berpindah tempat duduk menggantikan aku untuk mengendalikan mobil menuju Kantor KBRI bersama kedua tamu khusus kami ini, dan Gol A Gong berpindah ke kursi belakang sedangkan istrinya berganti duduk di sebelah kanan istriku.

Bey Gol A Gong, sampai ketemu lagi, sekarang aku harus berangkat kerja, demikian aku ucapkan dengan lirih sambil melambaikan tanganku mengakhiri pertemuanku hari ini dengan Gol A Gong dan istrinya.
End.