Monday, April 16, 2007

Surat Untuk Bpk. Muhammad Subari.

SURAT UNTUK BAPAK M. SUBARI
BEDA TUHANKU DAN TUHANMU
Oleh: Nasuki

Yth. Bpk. M. Subari;

Assalamualaikum Wr. Wb.;
Kami mengharap Bapak masih ingat tentang kami, adalah salah satu pendengar Bapak ketika dibacakan puisi karya Bapak belum lama ini di KBRI Abu Dhabi, PEA.
Kami mengharap pula Bapak mempunyai kesempatan membaca surat ini, mengingat kesibukan Bapak di Tanah Air, terutama sebagai Kepala Lembaga Berita Nasional Antara.
Ketika itu Bapak menyebutkan bahwa jika diumpamakan, perbandingan besar ilmu manusia dengan Ilmu Tuhan, sebagaimana kisah dialog antara Nabi Hidir A.S dan Nabi Musa A.S, yaitu Nabi Hidir A.S meminta agar Nabi Musa A.S mencelupkan kakinya kedalam air laut, kemudian ia dimintanya mengangkat kakinya keluar dari air laut, air laut yang melekat pada kakinya merupakan besar ilmu milik manusia, sedangkan sisa air laut seluruhnya merupakan Ilmu Tuhan.
Kemudian pada kesempata tanya-jawab kami menanyakan dengan nada sanggahan kira-kira seperti berikut; “Kalau besar Ilmu Tuhan bisa dibandingkan dengan besar ilmu manusia, maka Ilmu Tuhan dapat diukur, sesuatu yang dapat diukur, itu berarti sesuatu itu terbatas, yaitu sebanyak yang tertera dalam skala ukuran tersebut, dalam hal ini diumpamakan sebanyak air laut di lautan minus air laut yang melekat pada kaki Nabi Musa A.S. Sepanjang yang kami ketahui bahwa Ilmu Tuhan itu tidak terbatas, lalu bagaimana Bapak mengumpamakan besar Ilmu Tuhan sebanyak itu atau mengukur dengan skala besar lautan?”.
Kami tidak ingat betul argumentasi Bapak, akan tetapi ujung-ujungnya Bapak mengatakan kepada kami kira-kira begini; “Itu Firman Tuhan, kamu mau melawan Tuhan?”. Kami tidak siap dengan argumentasi Bapak yang berupa pertanyaan itu, tanpa kami menjawabnya dapat dipastikan bahwa Bapak mengetahui apa jawaban kami. Ketika itu kami percaya dengan apa yang telah Bapak katakan karena kapasitas Bapak semata, walaupun sebenarnya didalam pikiran kami bahwa itu tidak logis, untuk itu kami diam saja. Lalu kata Bapak lagi “Itu kan perumpamaan”.

Dimana ayat itu?
Adanya konflik didalam pikiran kami, membuat kami semakin penasaran, kami mencoba untuk mencari ayat dimaksud didalam Al-Qur’an, dan juga kami meminta bantuan beberapa teman kami dalam hal ini, kesimpulan yang kami dapati adalah; bahwa ayat semacam itu didalam Al-Qur’an belum dapat kami temukan, tetapi paling tidak ada dua ayat yang mengatakan tentang hubungan Kalam Tuhan dan air laut, yaitu (semua terjemahan diambil dari Tafsir Al-Qur’an oleh Departemen Agama R.I, Jakarta tahun 1996);
Surat Kahfi, ayat 109: “Katakanlah, sekiranya air laut itu dijadikan tinta untuk menuliskan Kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya dia akan kering terlebih dahulu sebelum habis Kalimat-Kalimat Tuhanku dituliskan, sekalipun Kami datangkan lagi tambahan air laut sebanyak itu”.
Surat Luqman, ayat 27: “Seandainya semua pohon-pohon di bumi dijadikan pena dan lautan menjadi tintanya, sesudah kering ditambah lagi dengan tujuh lautan, semuanya akan kering, namun tak akan habis-habisnya Kalam Allah dituliskan. Sesungguhnya Tuhan Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.
Dari dua ayat diatas tidak mengindikasikan bahwa Kalimat-Kalimat Allah akan habis ditulis, malah sebaliknya, dimana pada surat Luqman, ayat 27 lebih dipertegas lagi, yaitu walaupun titanya ditambah lagi sebanyak tujuh lautan. Kalau sesuatu itu tidak akan habis-habisnya, itu berarti sesuatu itu tidak ada akhirnya, itu dapat dikatakan sesuatu itu tidak ada batasnya atau tidak terbatas.

Referensi lain
Informasi dari salah satu sahabat kami di Abu Dhabi mengatakan, bahwa hal itu ada hadisnya, akan tetapi bukan kaki yang dicelupkan kedalam air laut, melainkan tangan, sayangnya sahabat kami waktu itu tidak ingat darimana hadis itu, dan kami juga tidak tertarik untuk menanyakan lebih lanjut tentang itu kepada dia, karena itu bukan dari Al-Qur’an.
Kami teringat pada bait sebuah lagu yang pernah dinyanyikan oleh si Raja Dangdut, Rhoma Irama, akan tetapi judulnya kami lupa, bait itu kira-kira berbunyi; “…Ilmumu bagai setetes air di lautan, kalau dibandingkan dengan Ilmu Tuhan…”
Dari kedua referensi terahir diatas, kami melihat ada sedikit perbedaan dengan apa yang pernah dikatan Bapak, yang pertama ilmu manusia bagai air laut yang menempel pada tangan setelah dicelupkan, yang kedua bagai setetes air di lautan, tetapi kami kira pada prinsipnya sama, apakah kaki atau tangan yang dicelupkan ataupun setetes air di lautan, yaitu perumpamaan besar Ilmu Tuhan dapat dibandingkan dengan besar ilmu manusia.

Manusia bukan bagian Tuhan
Kalau perumpamaan besar Ilmu Tuhan dapat dibandingkan dengan ilmu manusia, maka kemungkinan Sifat Tuhan lainnya, seperti sifat Kuasa, Kuat dan Lainnya yang erat hubungannya dengan sifat Ilmu Tuhan dapat pula dibandingkan dengan yang dimiliki oleh manusia, sehingga dengan logika dan skala yang sama, maka kita boleh mengatakan (mengumpamakan): ‘Andaikan dibandingkan antara kekuasaan manusia dengan Kekuasaan Tuhan, yaitu kekuasaan manusia bagaikan besar kelereng, sedangkan Kekuasaan Tuhan sebesar sesuatu yang dapat diukur, misalnya sebesar bumi’. Padahal Kekuasaan Tuhan mustahil untuk diukur karena besar-Nya tanpa batas, jadi itu tidak logis.
Dalam mengumpamakan Sifat-Sifat Tuhan dengan sesuatu memang diperbolehkan, tetapi bukan besar atau jumlah dari Sifat-Nya yang diumpamakan (kecuali Jumlah Tuhan itu sendiri, yaitu Satu/Wahid dan banyak Zat-Nya, yaitu Tunggal/Ahad), melainkan jalan logika-Nya. Pengumpamaan itu perlu dilakukan, mengingat Tuhan dilingkupi dengan ke-Gaiban, dimana agar Yang Gaib itu dapat diterima oleh akal, maka Ia harus dijadikan empiris dengan jalan perumpamaan tadi. Dalam menentukan atau memilih perumpamaan pada satu Sifat Tuhan saja, kemungkinan dapat diumpamakan dengan lebih dari satu macam perumpamaan, itu tergantung pada sasaran yang ingin dikemukakan . Contoh berikut berkenaan dengan Tuhan dalam menciptakan manusia mungkin dapat mewakili argumentasi diatas:
Surat Shad, ayat 72: “ Ketika Aku menyempurnakan ciptaanya dan Aku tiupkan Ruh-Ku didalamnya…”. Kalau dilihat sepintas makna ayat ini seolah-olah pada setiap manusia ada bagian dari Ruh Tuhan, dengan kata lain bahwa kita bagian dari Tuhan. Karena suatu hal yang mustahil untuk mengetahui Zat Tuhan, maka untuk menyederhanakan ayat ini diperlukan perumpamaan, hal ini hanya agar dapat diterima oleh akal.
Di bumi ini banyak tumbuh-tumbuhan yang hidupnya tergantung pada cahaya matahari, sehingga apabila tumbuhan itu tidak menerima cahaya matahari dalam waktu tertentu, maka mereka akan menjadi layu, kering dan bahkan bisa mati, karena tidak menerima makanan yang dibutuhkan. Dimana cahaya matahari diperlukan oleh mereka untuk keperluan proses fotosintesis, yaitu suatu proses pembuatan makanan tumbuhan, air yang diserap melalui akar diteruskan sampai ke daun-daun, lalu dengan bantuan cahaya matahari air itu dikombinasi dengan carbon dioksida yang diserap oleh daun dari udara sekitarnya membentuk gula sebagai makanan dari tumbuhan itu, dan gas sisa berupa hidrogen dibuang keluar melalui daun itu pula. Dengan demikian kehidupan tumbuhan sangat tergantung pada cahaya, dalam hal ini cahaya matahari.
Kalau matahari itu bisa berkata, maka ia akan mengucapkan ‘Aku pancarkan cahayaku untuk kehidupan tumbuhan di bumi’. Begitulah perumpamaan surat Shad, ayat 72 diatas. Disini akan timbul pertanyaan; dapatkah tumbuh-tumbuhan itu dikatakan sebagai bagian dari matahari?, jawabannya tentu tidak, karena tidak ada bagian zat matahari yang diambil oleh tumbuhan, tetapi kejadian sesungguhnya adalah pancaran cahaya itu tidak mengurangi zat matahari yang menyebabkan tumbuhan tetap hidup, karena apabila bagian matahari berpidah pada tumbuhan, maka mereka bisa mati karena panasnya matahari. Begitulah sanggahan kami terhadap pendapat Bapak, bahwa manusia dan bahkan alam semesta ini merupakan bagian dari Tuhan.

Kesimpulan
Dari ayat-ayat Al-qur’an diatas, kami yakin bahwa besar Ilmu Tuhan tidak dapat diukur walaupun hanya sebagai perumpamaan saja, karena segala Sifat-Sifat-Nya tidak terbatas, karena besar Sifat Tuhan yang tanpa batas itulah, maka Tuhan dinobatkan sebagai Tuhan. Kecuali jumlah-Nya, yaitu Satu (Wahid), dan Zat-Nya, yaitu Tunggal (Ahad).
Alam semesta ini bukan bagian dari Tuhan walaupun eksistensinya tergantung kepada-Nya.
Kami yakin, besar ilmu yang kami miliki dalam hal ini dibandingkan dengan besar ilmu Bapak mungkin tidak seberapa, untuk itu kami masih penasaran dengan cuplikan kisah yang Bapak sebutkan pada dialog antara Nabi Hidir A.S dan Nabi Musa A.S seperti tersebut diatas merupakan Firman Tuhan. Kami bukan tidak ingin mengakui kebenaran pendapat itu, tetapi karena ini dapat merubah suatu keyakinan (baca iman) kami terhadap Sifat-Sifat Tuhan, maka untuk mempercayainya menurut hemat kami diperlukan suatu penyelidikan, lalu ada argumentasi bahkan kalau bisa dengan bukti.

Demikian surat ini kami buat, kami mohon maaf apabila ada yang tidak berkenan pada Bapak, dan terimakasih atas perhatiannya.


Abu Dhabi, Juli 2005
Wassalam;

Nasuki
(Alamat email: Nasuki@emirates.net.ae)

Sunday, April 15, 2007

PLTN RI dan PLTN IRI, bagai dua sisi mata uang.

PLTN RI DAN PLTN IRI
BAGAI DUA SISI MATA UANG

Oleh: Nasuki*

Tulisan ini dibuat bukan untuk menentang atau menyetujui kebijaksanaan pemerintah RI yang akan diambil berkenaan dengan konflik masalah nuklir antara Republik Islam Iran dan negara-negara lain yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Penulis bukan ahli bidang politik, apalagi politik Timur Tengah, hanya penulis merasa terdorong untuk menulis tulisan ini didasari atas rasa “Cinta Indonesia” yang besar, sehingga penulis memandang agar penentu kebijaksanaan dalam hal ini untuk melakukan kajian yang sangat “ekstra” hati-hati didalam mengambil kebijaksanaan tentang persiteruan ini, terutama yang ujung-ujungnya akan mempertaruhkan NKRI tercinta di mata dunia.

Kalau dilihat lebih dalam lagi tentang konflik masalah nuklir Iran dan negara-negara penentangnya adalah konflik terbesar terletak pada konflik budaya dan politik. Itu terlihat ketika Amerika dan sekutunya menyetujui atas usulan Rusia bahwa Iran dipersilahkan mengembangkan tekhnologi nuklir untuk tujuan damai akan tetapi proses pembuatan (memperkaya) bahan bakarnya dilakukan di Rusia. Pesan yang dapat ditangkap dari kemauan lawan Iran terutama Amerika Serikat tsb. adalah; bahwa Iran masih dinilai tidak bisa dipercaya untuk memproses (memperkaya) bahan bakar nuklir sendiri. Kalau dinilai tidak dipercaya, maka sebenarnya dinilai belum mampu secara budaya. Alasan yang paling utama adalah dikhawatirkan nantinya akan ada orang yang tidak bertanggung jawab karena rendahnya budaya orang itu, sehingga bahan bakar yang sudah diperkaya itu (siap sebagai bahan hulu ledak nuklir) akan dibuat bom atau dipindahkan kepada pihak ketiga yang menginginkan untuk membuat bom nuklir.

Contoh yang paling terkenal yaitu yang terjadi pada kasus Abdul Kadir Khan, Bapak Bom Nuklir Pakistan. Bagaimana seandainya ia dan sindikatnya tidak terbongkar dengan pengakuan Libya. Dengan banyak ragam motifasi dibelakangnya dia dan sindikatnya melayani rancangan pembuatan, mengedarkan dan menyalurkan teknologi, peralatan dan cara pembuatan bom nuklir dipasaran gelap untuk negara-negara lain di dunia yang seharusnya semua itu hanya untuk dipakai untuk negara Pakistan saja.

Demikian juga dengan Iran, dunia barat khawatir bahan bakar nuklir yang sudah diperkaya di Iran sulit dikendalikan, dan yang paling mengkhawatirkan, bahwa bahan nuklir siap pakai itu jatuh pada tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab dengan motifasi beragam, maka akan terciptalah “Dirty Bom”, sehingga akan mengancam keamanan dunia. Jadi permasalahannya bukanlah hak suatu negara untuk memiliki teknologi dan memperkaya bahan bakar nuklir di negaranya, akan tetapi kesanggupan yang dapat dipertanggung jawabkan secara budaya dalam mengemban kemampuan yang dimiliki dalam memiliki fasilitas proses memperkaya bahan bakar nuklir di negara yang bersangkutan.

Dalam suatu kasus penulis menilai bahwa, apabila barang berbahaya bagi kehidupan manusia dengan sengaja diedarkan dengan harapan suatu imbalan keuntungan pribadi atau kelompoknya, maka orang atau kelompok pengedar tersebut adalah kelompok yang tidak/belum beradab atau tidak berbudaya.

Lalu bagaimana sikap Indonesia dalam masalah konflik ini?

Untuk menyikapi permasalahan di atas, paling tidak harus ditinjau dari beberapa aspek yang ada pada Indonesia, antara lain; Aspek Undang-Undang/Konstitusi, aspek kepentingan ekonomi, sosial dan politik, aspek sejarah, dan aspek masa depan PLTN NKRI itu sendiri.

Aspek Undang-Undang/ Konstitusi.

Orang sudah mafhum bahwa mayoritas penduduk Iran adalah pemeluk agama Shi’ah, dan orang sudah mafhum bahwa mayoritas penduduk Amerika Serikat adalah pemeluk agama Kristen (Protestan dan Katolik), serta orang sudah mafhum pula bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam.
Kemudian kita lihat pada Undang-Undang dan Konstitusi Indonesia, agama apa saja yang diakui sesuai konstitusi itu, kalau ada salah satu agama yang tidak diakui dalam Konstitusi itu, sebenarnya itu akan lebih mempermudah penentu kebijaksanaan untuk menentukan arah sikap Indonesia mengenai hal ini. Akan tetapi kalu kedua kelompok agama tsb. sama-sama diakui maka aspek-aspek lain harus dikaji dan dipertimbangkan, sehingga hasil kebijaksanaan yang diambil tidak bertentangan dengan tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang NKRI.

Aspek Ekonomi, Sosial dan Politik.

Sebagai ilustrasi, siapa sih penguasa di Blok M pada tahun 1986?, pedagang yang magang di sana saat itu akan menjawab, “Preman” yang Adi Daya di sana saat itu, bukan Lurah atau Camat Blok M, karena pedagang-pedagang itu dijamin keamanannya oleh “Preman Adi Daya” di sana. Demikian juga didunia ini, penguasanya bukanlah PBB, akan tetapi kelompok negara Adi Daya anggota PBB itu, dan bahkan mereka itu juga yang menguasai PBB. Jadi, agar Indonesia hidup aman, ikutilah kemauan negara-negara Adi Daya itu, yang penting bangsa Indonesia aman, karena kalau aman atas jaminan negara pengaman, maka aspek lainnya akan menjadi ikut lebih bergairah.

Ada satu strategi bagaimana untuk memenangkan suatu permainan, baik itu permainan game biasa, politik ataupun perang, yaitu cobalah memerankan diri sebagai pihak musuh.

Kalau ilustrasi berikut ini sebagai misal saja, yaitu seorang pedagang di Blok M yang tidak mau membayar uang “keamanan” kepada “Preman Adi Daya” di sana, memerankan dirinya sendiri sebagai "Preman Adi Daya" di sana, maka ia yang berperan sesungguhnya sebagai pedagang akan berkata pada dirinya sendiri sebagai Preman, “Hai si fulan, ayo bayar uang keamanan untuk bulan ini sekarang!”, ketika dirinya sendiri sebagai pedagang menjawab, ”Tidak”, lalu ia berkata lagi “Kamu jangan mencari gara-gara, yaa!, hidup kamu sudah sulit”, maka si pedagang tadi mungkin akan sadar dan membayar uang keamanan pada si “Preman” tadi. Apalagi berdagang dengan aman di situ sebenarnya ia dan keluarganya sudah mulai keluar dari kesulitan ekonomi yang ada, mengapa masih mau mencari kesulitan lagi melawan si “Preman Adi Daya” itu?.

Aspek Sejarah.

Pernahkah kita berfikir, seandainya saat Perang Dunia Kedua Amerika Serikat hanya mengusir tentara Jepang dari wilayah Amerika yang sedang diduduki Jepang, lalu mereka mengadakan perjanjian untuk tidak saling menyerang pada kepentingan mereka masing-masing, maka tidak mustahil bahwa Indonesia akan menjadi salah satu propensi Negara Asia Timur Raya, dengan ibukota Negaranya yaitu Tokyo.

Lalu konswensinya apa sekarang?.

Pasti sebagian diantara kita yang bekerja sebagai TKI termasuk Tenaga Kerja Wanita, Tenaga Profesional dan lainnya akan menjadi pegawai negeri yang disebut Romusa. Dan nama-nama sebagian jalan-jalan raya di kota-kota besar Indonesia bukan lagi Jl. Sampit, Jl. Jen. Sudirman dll., melainkan kemungkinan yang didapati adalah Jl. Fujiyama, Jl. Hiro Hito dll. Demikian juga yang boleh berkuasa atau menjabat di Pemerintah Daerah Indonesia kemungkinan bukan penduduk pribumi, melainkan minimum hanya orang keturunan campuran Indo-Nipon saja, dengan nama Bagio Susuki, Dede Kawasaki, R.A Dasoke, dll.

Akan tetapi sejarah berbicara lain, Amerika Serikat berhasil menghancurkan impian Jepang dalam mewujudkan Negara Asia Timur Raya. Ditandai dengan dijatuhkannya dua buah Bom Atom di kota Hiroshima dan Nagasaki yang membuat pemerintah Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu, dengan demikian maka berakhirlah Perang Dunia Kedua tsb. dan membuat Jepang hengkang dari semua negara yang telah didudukinya sebelumnya termasuk Indonesia.

Seandainya leluhur kita yang hidup pada saat berakhirnya Perang Dunia Kedua bersama-sama masyarakat beragama dari negara-negara lain yang merasa terbebas dari kekejaman perang dan penjajahan, lalu mempunyai kesempatan besar untuk merdeka mendirikan negara impiannya sendiri kemudian berkata “Thanks God, the war has ended, bless Our Nation and bless America!”. Kemudian penulis menilai pula adalah tidak berlebihan kalau sekiranya kita kini, Bangsa Indonesia yang masih ada bersama dengan NKRI tetap menyambung kata leluhur tadi dengan berkata “Terima kasih hai Bangsa Amerika atas kemenanganmu pada Perang Dunia Kedua lalu”.

Aspek Masa Depan PLTN Indonesia.

Membahas pembangunan PLTN di Indonesia, paling tidak harus membicarakan tiga faktor utama, yaitu; Pertama faktor Perundang-undangan, kedua faktor bagaimana proyek PLTN itu sendiri dibangun (biaya, tempat dan dampak terhadap lingkungan sekitarnya), dan yang ketiga faktor pengelolaan bahan bakar nuklirnya, dilakukan di Dalam Negeri atau di Luar.

Dalam masalah Iran ini seandainya Pemerintah Indonesia mengambil kebijaksaan menentang kemauan negara-negara Adi Kuasa, dengan alasan sebagai modal kalau Iran lolos/diperbolehkan memperkaya uranium di negaranya sendiri, maka nantinya akan lebih memudahkan bagi Indonesia untuk membangun reaktor nuklir serta ijin pengelolaan/pembuatan bahan bakan nuklirnya dilakukan di dalam negeri Indonesia.

Sesungguhnya penulis melihat yang sebaliknya, kalau diistilahkan pemikiran demikian itu merupakan pemikiran yang terlalu jauh kedepan dan bersifat terburu-buru. Seperti pepatah orang Madura mengatakan, “Meracik bumbu untuk burung masih terbang bebas”, begitu bumbunya sudah siap dan dicicipi rasanya nyaman, maka burungnya sudah lari terbang entah kemana.

Artinya apa?, Indonesia masih harus menempuh perjalanan yang jauh untuk mewujudkan impiannya dalam membangun PLTN di tanahnya, belum-belum sudah berangan-angan supaya dapat mengelola bahan bakar nuklirnya di Dalam Negeri. Akibat dari kebijaksanaan itu sesungguhnya nama Indonesia akan dimasukkan ke dalam daftar dan akan dicatat sebagai Negara Penentang oleh Negara Adi Daya itu. Konsekwensinya kelak, begitu Indonesia akan mewujudkan impiannya untuk memiliki PLTN sendiri, karena imbas lain dari kebijaksanaan tadi sudah dapat dipastikan yaitu; impian itu akan dipersulit oleh Badan Tenaga Atom Internasional, yang anggotanya ya, Preman itu-itu juga, bukan sebaliknya akan mendapatkan kemudahan-kemudahan, apalagi ingin memiliki fasilitas pengelolaan bahan bakar nuklir sendiri, sungguh itu suatu impian yang tidak rasional.

Penutup.

Melalui tulisan ini, khusus dalam menentukan kebijaksanaan Luar Negeri, mari kita bersama-sama merenungkan pesan Bung Karno, Proklamator RI, beliau berkata “Ku titipkan Bangsaku pada mu”, lalu jangan mencoba mengartikan “Kutitipkan bangsa kawan-ku ataupun lawan-ku pada mu”.


*Alamat Penulis: Nasuki@emirates.net.ae

OPPORTUNITY LOSS DAN ALAM

OPPORTUNITY LOSS DAN ALAM
Oleh: Nasuki

Tulisan ini hanya sebagai materi tambahan dari ceramah pada pengajian KMMI yang lalu yang disampaikan oleh Bapak Ustad Bambang Satosa, tujuannya untuk melihat opportunity loss secara seksama, agar didalam menentukan tindakan-tindakan yang akan dilakukan disesuaikan dengan prioritasnya.

Alam tidak mengenal Opportunity Loss

Sudah merupakan suatu hal yang dipahami oleh umum bahwa apa yang ada di alam ini adalah bersifat kekal, artinya berkurangnya air karena panas, itu bukan berarti air itu hilang, akan tetapi ia berubah atau pecah terurai menjadi senyawa lain, yaitu gas hidrogen dan oksigen, demikian juga benda/materi lainnya.

Energi pada suatu benda/materi itu sifatnya kekal, artinya kalaupun ada perubahan energi pada suatu benda/materi, maka yang berubah itu adalah bentuk energinya saja, akan tetapi total (resultan) energinya adalah tetap sama dan tidak berubah besarnya, akhirnya dikenalah suatu hukum yang disebut dengan Hukum Kekekalan Energi, yaitu jumlah energi potensial dan energi kinetik pada suatu benda/materi akan selalu tetap, kapan saja.

Manusiapun bersifat kekal alias tidak akan pernah binasa, sesungguhnya manusia itu hanya mati dan setelahnya ia akan kekal, hal ini juga ditunjang oleh firman Allah yang mengatakan bahwa "manusia kelak akan kekal didalam-nya". Nya disini bermakna Surga atau Neraka.

Contoh yang paling sederhana kalau diterapkan pada kehidupan nyata adalah seperti berikut;
Ketika bulan Ramadan tiba, kebanyakan orang-orang muslim meningkatkan ibadah mereka dengan selalu sholat berjamaah, membaca Alqur'an sebanyak mungkin dan beramal baik. Hal ini tentu termasuk juga sholat taraweh di Masjid dengan khusuk dan berjamaah, kemudian dilanjutkan dengan mendengarkan ceramah agama bahkan melakukan tadarusan, karena bulan Ramadan merupakan bulan yang lebih baik dari seribu bulan, inilah kesempatan mereka untuk meraih pahala berlipat-lipat.

Lain halnya dengan orang muslim yang hanya mempunyai mata pencaharian dengan membuka usaha rumah makan atau restoran di daerah berpenduduk mayoritas muslim, maka waktu antara sesaat sebelum maqrib sampai dengan sesaat sebelum imsyak merupakan waktu sibuk melayani pembeli yang datang untuk menikmati masakan mereka, karena mereka tidak mempunyai pilihan lain untuk mendapatkan penghasilan uang untuk menyambung hidup, maka mereka harus tetap tinggal di restoran-restoran mereka sibuk melayani pembeli, sampai-sampai melakukan sholatpun di restoran dengan tergesa-gesa pula. Kalau mereka menutup restoran mereka demi melakukan sholat maqrib, isyak dan taraweh berjamaah di Masjid, maka mereka akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan uang yang lebih banyak demi meraih kesempatan memperoleh pahala lebih banyak; Demikian sebaliknya, kalau mereka tetap membuka restoran dan tidak melakukan sholat berjamaah di Masjid, maka mereka akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pahala yang lebih banyak, tetapi mereka mendapatkan kesempatan memperoleh uang lebih banyak.

Kalau contoh di atas ditanyakan kepada alam, maka ia akan menjawab; "Kalau anda ingin mendapatkan sesuatu, maka anda harus kehilangan sesuatu juga", sehingga yang namanya opportunity loss di alam ini sesungguhnya tidak ada.

Jadi, munculnya sesuatu yang baru itu sebenarnya merupakan jelmaan dari sesuatu yang lain, karena semua di alam ini bersifat kekal.

Lalu mengapa dikenal istilah Opportunity Loss?

Opportunity loss secara harfiah berarti kehilangan kesempatan, penulis melihat, apapun makna ataupun artinya, maka siapapun yang mendapatkan opportunity loss akan mengalami atau mendapatkan suatu kerugian. Kalau ada kerugian, maka harus ada takaran atau ukuran, sehingga ketika tidak mendapatkan opportunity loss dapat dikatakan mendapatkan keuntungan, untuk itulah harus ada pembandingnya.

Untuk menyederhanakan pembahasan ini, penulis memilih dua ukuran; Yaitu opportunity loss diukur dari ukuran Tuhan dan yang lain diukur dari ukuran manusia.

Seluruh mahluk Tuhan diciptakan untuk melakukan ibadah kepada-Nya, maka barang siapa yang tidak melakukan ibadah kepada-Nya, maka ia berada dalam kerugian, itu sesuai dengan Firman-Nya pada surat Al-Ashr, ayat 2 dan 3; "Sesungguhnya manusia itu betul-betul berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, berbuat baik dan saling menasehati dengan kebenaran dan kesabaran", dan banyak ayat-ayat lain tentang ibadah kepada Tuhan yang dapat dibaca dalam Al-Qur'an, itulah ukuran Tuhan.

Sedangkan ukuran manusia kebanyakan diukur dari jumlah materi yang didapatkan, walaupun jalannya banyak yang sejalan dengan ukuran Tuhan, akan tetapi sebagian ada yang bertentangan dengan ukuran Tuhan.

Disinilah permasalahannya dan perlu digaris bawahi, ketika kita berada dipersimpangan lalu ukuran opportunity loss, agar kita menjadi orang-orang dari golongan yang beruntung dan merasa damai, maka berpeganglah pada ukuran Tuhan, bukan ukuran yang lainnya.


Alamat penulis : Nasuki@emirates.net.ae

MASYARAKAT MADANI

MASYARAKAT MADANI
Oleh Nasuki *)

Tulisan ini mencoba menggambarkan model sederhana masyarakat madani sesuai ketentuan Islam, yang mana masyarakat dituntut berinteraksi dengan lingkungan dan sosialnya. Tujuannya mengajak kita untuk mempelajari rambu-rambu ketentuan hidup dalam Islam, agar dalam bermasyarakat tetap sesuai dengan tuntunan Islam.

MADANI

Madani menurut DR. K.H. Didin Hafidhuddin, M.Sc. dalam bukunya Islam Aplikatif (2003), berarti sipil, sehinggga masyarakat madani dapat diartikan sebagai masyarakat sipil atau civil society, adalah tatanan sosial yang didasarkan pada prinsip moral yang menjamin kesinambungan antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban sosial. Madani berarti kota, sehingga masyarakat madani dapat diartikan sebagai masyarakat kota yang menunjukkan banyaknya aktifitas, dinamika, dan penuh dengan kreatifitas. Madani berarti beradab, sehingga masyarakat madani merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban manusia. Sedadangkan masyarakat madani sebagaimana dikemukakan oleh Robert N. Bellah dalam bukunya Beyond Belief (1976), adalah masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah SAW.. Sebuah masyarakat yang sarat dengan nilai dan moral, maju, beradab, serta sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

SOSIAL

Konstitusi tertulis yang mengatur hubungan sosial masyarakat heterogen pertama di dunia adalah konstitusi yang ditulis oleh Rasulullah SAW. Konstitusi tsb. memuat tentang hubungan sosial atas komponen masyarakat negara Madinah saat itu yang disebut dengan Perjanjian/Piagam Madinah, berisikan: pertama; bahwa sesama muslim adalah satu umat, walaupun mereka berbeda suku, kedua; hubungan antara komunitas muslim dan non-muslim didasarkan pada prinsip bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, serta saling mencintai dan menghormati kebebasan beragama. Pada intinya Piagam Madinah mengandung dua nilai dasar:
Kesejahteraan dan keadilan ummat, dan Keterbukaan dalam arti konsistensi, keseimbangan, toleran, dan moderat yang didasarkan atas dimensi akidah, ibadah, dan akhlak, sehingga bentuk atau adanya sosial yang heterogen, baik dalam agama, ras, suku maupun golongan mendapatkan kedudukan yang sama.

Lalu bagaimana konsep sederhana dari masyarakat madani yang islami?.

Masyarakat islami adalah masyarakat yang didalam melaksanakan aktifitasnya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, masyarakat yang tidak pernah lepas ber-dzikrullah (mengingat Allah) dan ber-fikir (merenung dan menjunjung akal).

Dzikrullah

Mengingat berarti membayangkan adanya sesuatu sedang berada dalam pikiran, sehingga bisa diartikan merasa ditemani, atau diawasi. Di negara maju (Amerika, Eropah dan Jepang), masyarakatnya memiliki kesadaran yang tinggi akan patuh hukum atau merasa selalu diawasi oleh hukum, kemudian menjelma menjadi suatu kebiasaan/budaya patuh hukum yang mana merupakan salah satu karakter dari suatu masyarakat negara maju, yaitu tingginya kesadaran masing-masing individu dalam menjaga kepentingan sendiri maupun kepentingan umum sesuai ketentuan hukum yang berlaku, sehingga setiap individu mempunyai self control berdasarkan aturan yang ada.

Kemudian Jepang mengembangkannya sedemikian rupa, dimana budaya control diterapkan di institusi-institusi, perusahaan-perusahaan maupun industri-industri yang kemudian dikenal dengan nama total quality control, dimana setiap anggota dari suatu institusi merupakan pemilik dari institusi tsb., sehingga setiap anggota merupakan pengawas, baik pada diri sendiri maupun unit kerjanya untuk mendapatkan out put dari suatu proses secara optimal dari segi mutu dan jumlah, itu berarti the next step merupakan costumer dari the previous step setiap proses kegiatan.

Indonesia dimasa Orde Baru pernah menerapkan sistem serupa terutama bagi para pegawai pemerintah, BUMN, dan lainnya yang dikenal dengan nama sistem pengawasan melekat atau Waskat.

Bagaimana dengan masyarakat muslim?.

Waskat atau apapun bentuknya sudah dikenal didalam Islam jauh sebelum sistem-sistem pengawasan yang ada sekarang dipakai manusia, yaitu sistem Dzikrullah, yang berarti mengingat Allah, itu berarti sama dengan menugasi Allah sebagai pengawas terhadap segala tindakan yang sedang dilakukan. Dengan kata lain, seseorang akan merasa bahwa Allah selalu berada dekat dengan dia kapasitas-Nya sebagai pengawas bagi segala aktivitas yang sedang dilakukannya, sehingga apapun bentuk aktivitas yang dilakukan seseorang tidak akan keluar dari nilai-nilai akidah, ibadah, dan akhlakul karimah, dengan kata lain selalu berpedoman pada ketentuan Islam. Ini merupakan kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk yang dinobatkan Tuhan sebagai khalifah dimuka bumi ini, dalam arti manusia dapat melakukan apa saja dimuka bumi ini sesuai kemauannya, disamping itu harus tunduk pada kemauan/kendali pengawas itu sendiri, yaitu Allah.

Bagaimana hal tersebut agar berjalan dengan baik?

Untuk menjawab pertanyaan tsb., ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian: Terkadang kita secara tidak sadar menganggap bahwa tempat beribadah (baca tempat bertemu Tuhan) hanya didalam Masjid, Mushalla atau diatas Sajadah saja, maka di tempat-tempat itu sajalah merupakan tempat menfokuskan diri untuk mengeruk keuntungan akhirat, sehingga tempat-tempat lain hanya sebagai tempat untuk mengeruk keuntungan dunia semata tanpa adanya unsur ibadah.

Hawa nafsu lebih mengendalikan seseorang daripada hati nuraninya. Miskin akan pengetahuan/ilmu, terutama tentang Islam, sehingga mengakibatkan lemahnya pondasi seseorang dalam memakai pikiran daripada inderawi, maka seseorang sulit menerima hukum sebab-akibat.

Adzab/balasan Tuhan hanya mempengaruhi kehidupan akhirat saja, maka hidup di dunia lebih diutamakan, sehingga dalam menjaga keseimbangan diantaranya bukan merupakan the first priority.

Fikir

Fikir berarti merenung, merenung bukan berarti melamun, merenung terhadap segala sesuatu, jadi apapun yang sedang difikirkan dapat dipastikan seseorang ingin lebih mengetahui atau mendalami sesuatu yang sedang direnungkan dengan tujuan menjawab pertanyaan what, how bahkan why sekalipun, sehingga hasil renungannya dapat dipakai untuk kepentingan yang menguntungkan ataupun merugikan, baik bagi diri sendiri ataupun bagi yang lain.
Sejarah menunjukkan, bahwa fikir merupakan alat yang paling dahsyat untuk mengalahkan apapun didunia ini. Dengan mengembangkan budaya fikir, berarti mengembangkan budaya berinovasi dan berkreasi, tidak terbatas itu sebagai individu maupun sebagai suatu lembaga, baik fikir terhadap wahyu yang tertulis didalam Al-Qur’an maupun wahyu yang tersirat pada Alam. Dengan fikir berarti seseorang sedang mempelajari sesuatu, sehingga akan menuntut seseorang untuk “membaca”, agar hasil fikirnya merupakan suatu pengetahuan yang paling baik atau lebih baik dari sebelumnya sebagai dasar keyakinannya untuk menentukan langkah selanjutnya.

EKONOMI

Disamping faKtor-faktor perting diatas, didalam menuju masyarakat madani dibutuhkan pula peran ekonomi, yang merupakan kegiatan penting lainnya untuk mencapai tujuan sebagai masyarakat madani.

Pertanyaannya adalah: ekonomi bagaimanakah yang dibutuhkan agar dapat disebut sebagai masyarakat madani?.

Dunia telah mengenal beberapa sistem ekonomi, antara lain sitem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi sosialis dan gabungan antara keduanya. Sistem ekonomi kapitalis lebih banyak dipakai saat ini dibanding dengan sitem ekonomi lainnya, sistem tsb. berdasarkan investasi/kapital dan persaingan bebas dengan segala gerakannya yang dibebani oleh pajak. Sistem ini terbukti lebih banyak menguntungkan si pemilik modal/investor/si kaya pemberi hutang daripada si miskin/penghutang. Pada kenyataanya banyak negara berkembang/miskin terjerat dengan hutang pada negara maju/kaya, dimana mereka tidak mampu melaksanakan kewajiban dalam membayar hutang mereka disebabkan oleh beban bunga yang melilit semakin lama semakin membesar saja.

Sedangkan sistem ekonomi sosialis merupakan sistem ekonomi dengan perencanaan terpusat, sehingga semua penguasaan alat-alat produksi secara terpusat pula, dimana hak-hak individu diabaikan.

Dapatkan sistem ekonomi secara islami dikembangkan?,

Pada akhir tahun 1970, Organisasi Negara-negara Islam (OKI) memberikan maklumat tentang perlunya mendirikan bank-bank Islam alternatip dengan sistem bagi hasil melawan bank-bank konvensional dengan sistem bunga yang dipandang sebagai riba. Apapun hasil yang dicapai umat Islam saat ini didalam menindak lanjuti maklumat OKI tsb. adalah tidak terlalu penting, yang lebih penting adalah OKI sudah memulai mengembangkan patokan tentang pundi-pundi ekonomi secara islami, karena kira-kira lebih dari 1000 tahun sejak hilangnya Khulafaurrasyidin boleh dibilang tidak ada usaha pengembangan ekonomi secara islami kecuali kekuasaan. Ekonomi secara islami paling tidak harus dilandasi pada prinsip sebagai berikut:

  • Tidak ada unsur judi
  • Jauh dari riba
  • Jual beli dengan prinsip suka sama suka
  • Uang didapat tidak dengan cara batil
  • Membayar zakat, infak dan sedakah merupakan tuntutan.


Melalui tulisan ini penulis mengajak masing-masing dari kita untuk menentukan dimana kita sedang berada, apakah kita sudah menjadi masyarakat madani, atau kita sedang menuju kearahnya, atau mungkin sebaliknya, baik itu secara individu, keluarga ataupun masyarakat islam secara keseluruhan.

*) Email: Nasuki@Emirates.net.ae

BELENGGU

BELENGGU
Oleh Nasuki*

Ketika tulisan ini dibuat, saya sedang menikmati bagian isi sebuah buku yang berjudul, Bringing Up Boys, yang ditulis oleh psikolog Dr. James Dobson, dari Colorado, Amerika Serikat. Buku tersebut sungguh sangat menarik minat saya untuk membacanya manakala di bawah judul pada sampulnya tertulis “Practical advice and encouragement for those shaping the next generation of men”. Terlebih lagi ketika membaca isinya. Buku itu mengulas secara terperinci tentang hal-hal yang membedakan secara psikologis antara laki dan perempuan, yaitu akibat adanya perbedaan hormon tertentu pada masing-masing jenis, sehingga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya sifat keduanya dalam saling mendominasi, memimpin, menyukai hal yang beresiko, menyukai kekerasan, dll. Di mana secara umum adanya sifat-sifat itu pada manusia sudah banyak diterangkan di dalam Alqur’an sebagai sifat yang “kodrat” pada masing-masing jenis. Lagi-lagi akal manusia dapat membuktikan bahwa isi Alqur’an itu betul-betul Kalamullah.
 
Bidang ini sebetulnya lebih melengkapi bidang-bidang lainnya untuk membuktikan bahwa Alqur’an merupakan kumpulan wahyu dari Tuhan.

Lalu yang menarik untuk direnungkan adalah; Kalau manusia dengan akalnya sudah mampu menyingkap suatu kebenaran, sehingga dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak, mana yang layak dan mana yang tidak, lalu apa gunanya wahyu itu diturunkan bagi ummat manusia?, atau dengan nada “memberontak”, mengapa Tuhan memberikan wahyu bagi umat manusia?, toh manusia dengan akal, intuisi dan fitrahnya sudah dapat menemukan suatu kebenaran.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah analisa ini difokuskan pada definisi tentang Alqur’an.

Seperti berulangkali disebutkan di dalam Alqur’an, bahwa Alqur’an itu diturunkan sebagai petunjuk bagi ummat manusia, petunjuk pembeda tentang yang benar dan yang salah, karena tugas manusia sebagai penguasa penggati Tuhan di muka bumi ini, suatu petunjuk itu diperlukan sebagai pedoman ketika mereka belum mengetahuinya, tentu saja itu akan terjadi pada masa awal kehidupan manusia. Untuk itulah mengetahui isi wahyu merupakan suatu kewajiban terutama bagi ummat Islam, agar tidak salah dalam memilih arah jalan hidupnya. Akan tetapi yang terlihat janggal adalah; golongan penganut Islam yang sudah mengetahui kebenaran (dari wahyu), akan tetapi banyak dari kebenaran (secara nyata) itu ditemukan atau dibuktikan (baca dipahami) oleh golongan diluar Islam. Jadi, banyak kebenaran itu bagi ummat Islam hanya ada ditingkat pengetahuan, bukan pemahaman bahkan pembuktian. Sehingga sering terjadi apabila ada suatu perkara di dalam Alqur’an ditemukan/dibuktikan oleh pihak yang berseberangan dengan Islam, lalu sebagian dari penganut Islam berkata; itu sudah disebutkan (baca diketahui) di dalam Alqur’an sejak 14 abad yang lalu. Kenapa demikian?, inilah pokok permasalahannya.

Kebebasan

Coba kita bertanya lagi, mengapa saat ini hampir tidak pernah lagi dijumpai lagi orang-orang jenius bermunculan seperti Ibnu Sinna, Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi, Imam Ghozali dan lainnya seperti di masa lampau dari golongan muslim?. Apakah Tuhan telah menghentikan orang-orang jenius seperti mereka terlahir dari golongan muslim?. Bukankah semua manusia mempunyai hak yang sama dihadapan Tuhan?. Ataukah ada alasan lain, sehingga para jenius-jenius dari golongan muslim tidak dapat berkembang dan menyebabkan mereka cenderung bersikap apatis, pasif, dan tidak bergairah terutama dibidang ilmu pengetahuan?.

Saya lebih cenderung pada yang terakhir, ini bukan berarti menuduh para jenius tadi menjadi malas karena ia muslim, tetapi akal mereka tidak dapat bergerak atau berkembang bebas karena jeruji kepentingan sesaat segolongan manusia, kehidupan para jenius ini terlingkupi oleh banyaknya larangan yang menyebabkan akal dan pikiran mereka terbelenggu. Sejak mereka di sekolah tingkat terbawah sampai yang tertinggi sudah dibiasakan dengan mengkonsumsi buku bacaan yang sudah lolos sensor untuk kepentingan yang mengatasnamakan agama, walaupun sebagian dari mereka dapat menikmati suatu kebebasan ketika belajar di negeri yang menghormati kebebasan dan hak pribadi. Akan tetapi begitu kembali ke tempat asal, mereka tidak dapat memakainya secara optimal karena ide-ide yang didasari dengan kebebasan akan betentangan dengan kepentingan golongan di tempat asal, sehingga yang ada hanyalah pekerjaan yang bersifat rutinitas dan cendrung monoton daripada peningkatan.

Saya melihat gejala ini bagi ummat Islam bagaikan suatu ummat yang sedang berjalan di lorong gelap, dan lorong itu akan tersinari ketika kebebasan sudah menjadi bagian hidup mereka, karena kebebasan manusia adalah merupakan hal yang fitrah, dan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Masalah kebebasan berpikir dalam membentuk sejarah perkembangan peradaban manusia sudah dibuktikan oleh banyak bangsa. Di Eropa misalnya, sampai awal abad ke 16, orang atas perintah gereja (baca negara) harus mempercayai bahwa; bumi merupakan titik pusat peredaran planet, walaupun Galileo Galilie, astronomi dari Italia yang memakai teleskop membuktikan bahwa pusat peredaran planet adalah matahari, tetapi karena bertentangan dengan paham yang dianut oleh gereja saat itu, maka ia harus menandatangani pernyataan bahwa ia tidak akan percaya bahwa bumi itu mengelilingi matahari melainkan sebaliknya, itulah yang menyebabkan ia diam tidak berkembang sampai ia meninggal sembilan tahun kemudian. Jadi gereja mengatasnamakan Tuhan mengurusi hak pribadi seseorang, sampai-sampai otoritas untuk mengampuni dosa seseorang adalah gereja, bukan Tuhan. Untuk itulah pada awal aba ke 16 muncul gerakan Protestan yang menentang praktek-praktek gereja yang sudah keterlaluan, maka hanya 25 tahun setelahnya, hampir seluruh negara dibagian benua Eropa Utara menjadi pengikut Protestan, sehingga menjadikan gereja harus mereformasi diri. Untuk itulah waktu dari awal abad ke 16 sampai dengan akhir abad ke 18 disebut sebagai waktu lahirnya “modern science” di benua Eropa dan Amerika.

Kalau kita lihat apa yang terjadi saat ini di sebagian besar negara-negara yang berpenduduk mayoritas penganut Islam, agama masih dipakai oleh sekelompok golongan tertentu untuk mempertahankan kedudukannya, bahkan tidak tanggung-tanggung, agama dipakai sebagai alat penindasan bagi mereka yang mencoba bertanya-tanya masalah legimitasi golongan yang sedang berkuasa. Di negara-negara itu tidak pernah ditemukan akal yang dibiarkan berfikir bebas, baru bergerak sudah terbentur dengan kepentingan golongan penguasa yang ujung-ujungnya harus berurusan dengan penegak hukum (baca pengawal) penguasa dengan tuduhan; apa yang sedang dilakukan tidak sesuai dengan mahzab/aliran yang berlaku dan dianut oleh negara (penguasa). Karena menurut pandangan mereka, dengan adanya kebebasan berarti memberi kesempatan pada manusia untuk memberontak terhadap agama ataupun wahyu dan akhirnya membiarkan manusia masuk ke dalam saluran yang menyesatkan.
Inilah yang terjadi, wahyu berhadapan melawan rendahnya moralitas, karena wahyu itu adalah pesan Tuhan bagi ummat manusia yang pemahamannya tidak terbatas, gelombangnya seirama dengan kecepatan jaman, maka ia berkembang, ber-evolusi sampai di akhir jaman, sehingga siapapun orangnya, mereka mempunyai hak berbicara dengan mengatasnamakan wahyu. Untuk itu hanya dengan akal yang bebas, tulus dan bertanggung jawab saja wahyu Tuhan itu dapat dipahami dan dibuktikan sedalam-dalamnya.

Sinar dari Timur Laut

Munculnya Indonesia dan Malaysia sebagai pelopor kebebasan di dunia Islam. Khusus untuk Indonesia angin kebebasan berhembus sejak jatuhnya kekuasaan Orde Baru berganti dengan Orde Reformasi, walaupun pergantian itu meninggalkan korban dan luka yang penyembuhannya membutuhkan waktu yang cukup lama, tetapi lebih cepat pergantian itu akan semakin baik, toh akhirnya, kalau itu terjadi, minimum akan terluka juga. Akibatnya kini bisa dilihat peran aktip masyarakat, DPR, LSM, media massa dan lainnya bebas dalam mengawasi terutama jalannya roda pemerintah dan non pemerintah yang tidak mungkin dapat ditemukan pada masa Orde Baru, atau adanya suatu komunikasi dua arah antara penguasa dan masyarakat, dampaknya adalah dalam kehidupan beragama dirasakan lebih bergairah, yang pada akhirnya dan mungkin tidak akan lama lagi, Islam akan ditemukan kembali sebagai agama yang didasarkan atas akal yang bebas, di mana adanya perbedaan pendapat diyakini sebagai suatu rahmat Tuhan, itu berarti tidak akan lama lagi munculnya jenius-jenius seperti Ibnu Sinna, Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi, Imam Ghozali dan yang lainnya akan hadir kembali disekitar kita, orang-orang seperti itu bukan saja mengetahui arti wahyu, tetapi yang lebih penting lagi mereka dapat membuktikan kebenaran tentang makna yang terkandung di dalam wahyu, sehingga kedua negara ini kemungkinan akan menjadi model bagi negara-negara berpenduduk mayoritas penganut Islam yang lain, dan itu sesuai dengan apa yang penah disabdakan oleh Rasulullah S.A.W, “Agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tidak mempunyai akal”.

Referensi:
Bringing Up Boys, oleh Dr. James Dobson.
World History, oleh Jerome R. Reich/Mark M. Krug/Edward L. Biller.
*alamat: Nasuki@emirates.net.ae

BENCANA DAN PERAN TUHAN

BENCANA DAN PERAN TUHAN
Oleh Nasuki

Setelah bencana datang, lalu sebagian bertanya kepada yang lain tentang suatu bencana yang telah terjadi itu, jawabannya adalah mungkin Tuhan sedang murka, atau mungkin Ia sedang menguji kita, atau mungkin Dia sedang memberi peringatan dan sebagainya, bahkan nada jawaban yang ada cenderung dan seolah-olah mengkambing hitamkan Tuhan. Lalu benarkah demikian?.

Di bawah ini penulis mencoba memberikan pemahaman tentang duduk persoalan dan cara berpikir mengenai bencana, sehingga dapat melihat suatu bencana sebagaimana mestinya. Adapun kebenaran hanya Tuhanlah yang Maha Tau.

Mengenal Tugas Tuhan

Tuhan memerintah kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya untuk beribadah kepada-Nya. Perintah itu tidak sama dengan perintah seorang majikan kepada pembantunya, dimana dalam melaksanakan perintah majikan, si pembantu selalu mempertimbangkan tujuan dan kepentingan majikan, sehingga kalau majikan tidak mendapatkan imbalan keuntungan dari pekerjaan itu atau berkepentingan dengannya, maka ia tidak akan memerintah pembantunya.

Perintah Tuhan kepada hamba-Nya ibarat perintah seorang dokter kepada pasiennya. Apabila rasa nyeri pada gigi si pasien itu bertambah, maka si dokter akan memerintahkannya untuk minum obat penghilang rasa nyeri. Kalau ia menuruti perintah dokter, sesungguhnya hal itu tidak memberi keuntungan pada dokter, akan tetapi bahaya dan manfaatnya akan kembali kepada si pasien itu sendiri, dokter hanyalah sebagai pemberi nasehat dan petunjuk saja.

Bagi dokter, sama saja tidak ada pengaruhnya mengenai kesembuhan ataupun semakin parahnya si pasien karena mengikuti ataupun tidak mengikuti/melanggar perintah dokter. Demikian pulalah Allah dalam menciptakan kebahagiaan itu diperlukan sarana penunjang yaitu taat kepada Nya. Bagi Allah kufur ataupun iman hamba-Nya adalah sama saja kalau dilihat dari sisi keagungan dan ketidak butuhan-Nya kepada yang lain. Akan tetapi, Allah tidak rela kalau hamba-Nya menjadi orang yang kufur. Kufur itu tidak pantas bagi hamba Allah, sebab kekufuran dapat mencelakakan mereka, seperti seorang dokter tidak rela dengan semakin parahnya pasien, akhirnya ia berusaha mengobatinya. Demikianlah pemahaman akan penugasan Allah kepada hamba-Nya, karena sesunnguhnya ketaatan merupakan obat, sedangkan kemaksiatan merupakan racun yang dapat berpengaruh pada hati nurani.

Demikianlah kira-kira arti Firman Allah pada surat Al-Isra' ayat 15;

"Barang siapa berbuat sesuai dengan hidayah (petunjuk Allah), maka sesungguhnya ia berbuat itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barang siapa sesat , maka sesungguhnya ia tersesat itu adalah kerugian bagi dirinya sendiri",

Dan surat Fusilat ayat 46;

"barang siapa mengerjakan amal soleh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri; dan barang siapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menuju pada dirinya sendiri".

Tentang Siksa Tuhan

Adapun hukuman siksa karena meninggalkan perintah ataupun menerjang larangan-Nya, maka pada hakekatnya siksa itu bukan semata-mata karena kemarahan dan kemurkaan Tuhan.

Contoh yang sama dengan itu adalah orang yang tidak mau melakukan hubungan kelamin dengan isterinya, maka Allah akan memberikan balasan kepadanya dengan tidak dimilikinya keturunan. Ibu yang tidak mau menyusui bayinya, maka Allah akan memberikan balasan dengan matinya si bayi. Barang siapa yang tidak mau makan dan minum, maka Allah akan memberikan hukuman dengan rasa lapar dan haus. Sehingga makna dari siksaan Allah terhadap hambanya bukanlah bermaksud mencerca, melainkan segala sebab ada musababnya, yaitu sebagian akan memberikan dampak negatip dan sebagian yang lain akan memberikan dampak positip.

Bagi Allah mudah saja membuat wanita hamil tanpa harus berhubungan kelamin, memberikan hidup seorang bayi tanpa disusui ibunya, membuat kenyang seseorang tanpa harus makan, akan tetapi sebab itu akan berakibat pada musabab, danTuhan tidak akan pernah melanggar janji-Nya, yaitu adanya akibat pasti dikarenakan sebab.

Bencana

Bencana dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu bencana karena kondisi siklus alam dan bencana karena factor lain terutama akibat perbuatan manusia.
Ketika bencana menimpa pada suatu tempat atau kaum, maka sebagian orang di tempat lain yang tidak terkena bencana menyimpulkan, bahwa penduduk di tempat terjadinya bencana itu banyak yang telah melakukan dosa, sehingga Tuhan memberikan peringatan atau hukuman, agar mereka sadar untuk membenahi diri. Akan tetapi bagi orang-orang yang mempunyai pengetahuan, mereka akan meneliti atau melihat tentang bencana itu secara seksama sebelum memberikan suatu kesimpulan, apakah bencana itu disebabkan oleh kondisi alam itu sendiri ataukah memang disebabkan oleh dorongan factor luar, misalnya perusakan lingkungan oleh sebagian penduduk setempat.

Peran Tuhan pada suatu bencana

Disinilah letak permasalahannya, untuk menerangkan hal diatas, maka diperlukan penyederhanaan pokok permasalahan yang rumit. Ibarat sebuah ban mobil yang menjadi pecah ketika si pemilik ban mengisi udara melebihi kapasitasnya, sehingga mengakibatkan pemilik ban mengajukan tuntutan pada agen penjual ban, setelah laporan dibuat kemudian oleh agen tuntutan itu diteruskan kepada pabrik pembuat ban, maka datanglah jawaban, bahwa berdasarkan isian laporan yang ditulis, dimana pabrik ban tidak usah melihat langsung bagaimana peristiwanya itu terjadi, maka pabrik menyimpulkan bahwa pabrik tidak bertanggungjawab atas pecahnya ban itu dikarenakan pemakai ban telah memompakan udara melebihi kapasitas kekuatan ban. Seolah-olah pabrik itu menyatakan bahwa ban itu pasti pecah apabila udara yang dipompakan melebihi kapasitasnya.

Kita dapat mengatakan bahwa meletusnya ban milik orang tadi sudah diketahui oleh pabrik pembuat ban sebelum ban itu dipompa, maka itu merupakan perumpamaan pada terjadinya bencana, yaitu bencana itu sesungguhnya sudah diketahui oleh Tuhan sebagai pencipta sekalian alam ini melalui hukum aturan main untuk sekalian alam ini, yaitu semua peristiwa yang ada adalah atas pengetahuan-Nya seperti yang telah Ia rencanakan dan tertuang dalam hukum sunnatullah.

Jadi, yang terpenting adalah harus memilah tentang bencana itu, apakah itu disebabkan oleh siklus alam ataukah karena adanya factor pendorong luar lainnya. Apabila itu disebabkan oleh siklus alam, maka manusia perlu melawannya agar korban dapat dikurangi bahkan dihindari, misalnya dengan membuat bangunan tahan gempa atau tahan angin atau pemasangan sitem peringatan dini dll. Akan tetapi kalau bencana itu dikarenakan dorongan dari luar, misalnya banjir disebabkan air hujan tidak dapat secara cepat mengalir keluar karena menumpuknya sampah di sungai-sungai, atau tanah longsor yang disebabkan oleh penggundulan hutan, maka factor penyebab itu perlu dibenahi, agar bencana serupa tidak terulang kembali dikemudian hari.

Tetapi kedua bencana itu pada hakekatnya adalah sama saja, yaitu merupakan kejadian alam yang tunduk pada hukum sunnatullah, karena sesungguhnya Tuhan tidak pernah menghukum, akan tetapi sebab itu akan berakibat pada musabab, dengan kata lain setiap bencana itu sudah pasti dikehendaki dan diketahui oleh Tuhan, karena Tuhanlah yang menciptakan alam semesta ini berikut hukum aturan mainnya sebagai hukum sebab-akibat.

Alamat penulis: Nasuki@emirates.net.ae