Friday, June 09, 2017

SIAPAKAH KITA?

UMUM

Tulisan ini mulai dibuat pada minggu terakhir acara kampanye Pilgub DKI atau yang biasa disebut Pilkada DKI, 2017. Dimana Pilkadanya sendiri hanya tersisa hampir satu minggu lagi. Hiruk-pikuk perjalanan Pilkada DKI kali ini memang secara politik luar biasa panasnya. Barangkali, adalah suatu kelumrahan apabila Pilkada Ibu Kota suatu negara menjadi perhatian hampir semua masyarakat yang berada di negara tersebut, bahkan mungkin perhatian dari masyarakat yang berada di negara luar. Demikian pula dengan Pilkada yang sedang terjadi di Ibukota Indonesia, Jakarta. Namun gaung benturan antara kubu yang akan bertarung sungguh berada di luar koridor peraturan Pilkada itu sendiri. Apabila disimpulkan secara serampangan, maka antara kubu yang satu dan kubu yang lainnya seolah-olah mereka sedang bersaing bukan antara sesama Warga Negara Indonesia, seolah-olah antara mereka tidak saling menginjakkan kaki mereka pada bumi Indonesia, seolah-olah mereka tidak menggunakan Bahasa Nasional yang sama yaitu Bahasa Indonesia, bahkan seolah-olah mereka tidak menggunakan UUD dan Dasar Negara yang sama pula.

Penulis sebagai warga negara walaupun sedang menetap di Luar Negeri lebih dari 23 tahun, masih senang juga terus mengikuti perkembangan Pilkada DKI melalui beberapa media sebagaimana masyarakat Indonesia yang lain baik mereka yang menetap di Tanah Air ataupun di Luar Negeri. Apalagi saat ini suasananya sungguh penulis anggap sangat luar biasa panasnya. Hal ini bukan hanya panas di bidang politik saja, akan tetapi panas juga di bidang-bidang lainnya terutama seperti bidang sosial.

Tentu sebagai warga negara, penulis tetap akan berharap bahwa bagaimanapun panas-dingin suhu akibat politik Pilkada ini dapat berakhir dengan damai, sehingga hal ini akan menambah kedewasaan masyarakat Indonesia didalam berdemokrasi.

Tulisan ini sengaja diberi judul sesederhana mungkin karena yang tampak dan dapat diamati bahwa dari suhu politik yang ada dan dengan reaksi individu masing-masing didalam memberikan reaksi terhadap suhu itu sebenarnya dapat memberikan suatu indikasi terhadap individu itu sendiri, yaitu sebenarnya siapakah si individu itu sendiri. Ini bukan akan membahas tentang kecendrungan individu condong ke pihak (baca Cagub) yang mana atau mendukung Partai yang mana, ini hanya ingin melihat sifat dari diri kita ketika melakukan reaksi terhadap apa yang terjadi selama proses Pilkada, hal ini untuk menentukan siapa sebenarnya diri kita ini.

TITIK AWAL

Seperti yang telah diketahui sejak sebelum rentetan pelaksanaa Pilkada DKI 2017 dimulai, KPU(D) telah memberikan pengumuman bahwa semua calon yang ingin bertarung pada Pilkada ini harus memenuhi suatu persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Pilkada yang berlaku. Yang pasti, calon-calon yang akan dipilih dapat diusulkan dan dikatagorikan menjadi dua katagori. Yang pertama melalui non-partai atau biasa dikenal dari calon independen, dan yang kedua melalui Partai Politik. Kedua katagori ini memiliki aturan dan persyaratan masing-masing. Yang manapun yang akan ditempuh memerlukan persyaratan yang tidak mudah.

Untuk katagori yang pertama, yaitu seorang calon mencalonkan diri dari jalur non-partai yang lebih dikenal dengan istilah jalur independen, adalah mencalonkan diri sesuai dengan kehendaknya sendiri dengan persyaratan utama harus didukung oleh warga setempat (dimana Pilkada itu diselenggarakan) minimal sebanyak 6,5 sampai dengan 10 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada sebelumnya dengan bukti salinan identitas yang berlaku (Kartu Tanda Penduduk, KTP). Persentase itu tergantung dari jumlah DPT dimaksud.

Untuk DPT sampai dua juta orang dipersyaratkan mengumpulkan KTP 10% dari DPT-nya, dan untuk DPT lebih dari dua juta orang sampai dengan enam juta orang KTP yang dikumpulkan minimum harus 8,5% dari DPT-nya. Sedangkan untuk DPT antara enam juta sampai dengan duabelas juta orang harus mengumpulkan KTP minimum 7,5% dari jumlah DPT-nya. Dan bagi jumlah DPT lebih dari duabelas juta orang, maka minimum jumlah KTP yang dikumpulkan harus 6,5% dari DPT-nya.

Karena pada Pilkada DKI tahun 2012 yang lalu adalah antara enam juta sampai sepuluh juta, maka bagi calon independen yang ingin mencalonkan diri menjadi Calon Gubernur harus mampu mengumpulkan dukungan KTP sekitar 7,5% dari DPT tahun 2012.

Perlu dicatat bahwa, dalam mengajukan diri sebagai calon Gubernur, KPU mempersyaratkan bahwa ketika mencalonkan diri harus mencantumkan juga nama Wakil Gubernurnya. Ini artinya KTP yang dikumpulkan harus pula mencantumkan dukungan bagi keduanya, calon Gubernur dan Wakilnya.

Seperti telah diketahui, bahwa Gubernur DKI non-aktip saat ini yang dikenal dengan nama Ahok, telah akan mencalonkan diri sebagai calon Gubernur untuk pemilihan Gubernur (Pilgub) yang akan datang. Akan tetapi akan maju sebagai calon bukan dari usulan Partai Politik melainkan maju secara independen. Usaha untuk memenuhi perolehan dukungan formal telah dilakukan dan hasilnya sudah memenuhi syarat untuk mengajukan diri sebagai calon dari bukan Partai. Namun ada desas-desus bahwa DPR akan membuat undang-undang baru yang sifatnya akan memperberat persyaratan calon independen. Ada berbagai pendapat mengapa desas desus ini keluar. Akan tetapi isu yang kuat alasannya adalah; persyaratan calon independen dianggap terlalu mudah, sehingga dapat mendeskreditkan usaha Partai Politik dalam mencari calon Kepala Daerah. Orang akan lebih memilih melalui cara independen daripada melalui Partai Politik.

Sepert gayun bersambut, akhirnya Pak Ahok maju sebagai Calon Gubernur melalui jalur Partai Politik. Dukungan simpatisannya yang selama ini telah memperjuangkannya agar dapat maju sebagai Cagub dari jalur independen harus merelakan dan melepasnya untuk maju dari jalur Partai Politik.

Seperti yang telah diketahui, bahwa gaya kepemimpinan Pak Ahok selama ini sangat unik. Pembenahan DKI sana-sini baik secara administrasi dan lapangan, serta gaya ngomong yang ceplas-ceplos terkadang dengan intonasi tinggi dan marah, membuat banyak orang tidak menyukainya walaupun tidak sedikit pula pula yang menyukainya. Sampai-sampai hubungan Pemda DKI dan DPRDnya tidak terlalu harmonis.

Hasil kerja kepemimpinan Pak Ahok nyata terhadap perubahan DKI ke arah yang lebih baik daripada sebelumnya. Pelayanan para Pamong di kantor-kantor Pemerintahan DKI menurut banyak orang menjadi lebih baik. Pujian bagi Pak Ahok seolah mengalir terus akibat setiap tindakan yang dilakukan, walaupun banyak juga yang mencemoohkannya.

Tentu Pak Ahok dibenci juga oleh banyak orang terutama para anggota DPRD dari Partai Oposisi Pemerintah sekarang.  Pak Ahok seolah tidak memperdulikan kepada yang membencinya. Kerja yang dianggap untuk masyarakat DKI lebih didahulukan daripada bergeming pada mereka yang membenci dan memusuhinya.

Tak ada gading yang tak retak, Pak Ahok pasti memiliki kelemahan. Beliau sendiri beragama lain dari kebanyakan masyarakat yang dipimpinnya, lazimnya dari golongan Agama minoritas. Dan bukan itu saja, Pak Ahok dari keturunan minoritas yang berasal dari luar Indonesia. Inilah yang menjadi sasaran empuk para pendukung lawan-lawannya. Ha ini menjadikan suatu titik lemah yang dipandang oleh lawan-lawannya, sehingga apapun program yang telah dijalankan atau yang sedang direncanakan akan dibelokkan dengan tuduhan demi memunculkan dominasi minoritas.

Lain halnya bagi Cagub yang akan mencalonkan diri melalui jalur Partai Politik. Partai Politik (dapat sendiri atau koalisi dengan partai lain) harus meraih minimum jumlah suara sebanyak 25% dari total jumlah suara pada Pemilu yang baru dilalui, atau minimal mendapatkan 20% dari jumlah kursi yang diperebutan dalam Pemilu Legislatip. Hal ini sebenarnya lebih mudah dalam prakteknya karena si Cagup tidak perlu lagi bersusah payah untuk mengumpulkan Kartu Identitas pendukungnya, semuanya akan dilakukan oleh Partai baik melalui jalan koalisi ataupun sendiri.

ARAH SELANJUTNYA

Panasnya pre-kampanye Pilkada (pemakaian kata pre karena walaupun kampanye resmi belum dimulai akan tetapi para Cagub yang akan berkompetisi sudah memulai melakukan promosi diri) ini akhirnya terbentur pada issu yang sangat sensitip. Acara resmi dalam memberikan sambutan di Kepulauan Seribu pada suatu acara resmi di depan suatu komunitas mayoritas Islam Pak Ahok mengingatkan masyarakat bahwa banyak orang memakai surat Almaidah untuk tidak memilih dirinya. Pak Ahok mungkin lupa bahwa dirinya akan selalu diintai oleh para musuh-musuhnya di Pilkada ini nanti. Bagai gayung disambut, ucapannya itu dijadikan pemicu atas dirinya bahwa dia telah menodai Kitab Suci umat Islam dengan mengatakan bahwa ayat Alqur'an tidak benar.

Inilah awal dari malapetaka Pak Ahok yang tadinya semacam orang yang tidak akan tertandingi dalam Pilkada yang akan datang ini telah membuat pernyataan yang sangat sensitip terlepas apa tujuannya. Orang Islam yang tadinya masih ada keraguan walaupun telah menetapkan pilihan kepadanya, akan berubah pikiran untuk mengalihkan suaranya. Banyak yang memperkirakan bahwa apabila Pak Ahok tidak pernah terpeleset membuat pernyataan di Kepulauan Seribu itu, kemungkinan memenangkan Pilgub dalam satu putaran sangat memungkinkan. Akan tetapi jalannnya Pilgub berbicara lain, sehingga walaupun pada Pilgub di putaran pertama menjadi yang paling unggul, namun Pilgub harus dilanjutkan dengan Pemilu seri kedua.

Suasana tidak semakin memihak kepada Pak Ahok, ini terutama setelah ucapannya yang dianggap kontroversial oleh lawan-lawannya itu berujung pada dilaporkannya kepada pihak yang berwajib. Terlebih lagi setelah keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengkatagorikan bahwa, apa yang telah diucapkan Pak Ahok di Kepulauan Seribu merupakan suatu bentuk Penistaan terhadap Agama Islam.

BAGAI PERANG BARATAYUDA

Peristiwa di atas menjadikan suasana politik di tanah air khususnya di DKI dan sekitarnya menjadi panas sekali. Demonstrasi yang tadinya tidak memiliki landasan kuat menjadi memiliki dukungan dari fatwa MUI sebagai pengesahan  legalitas atas tuntutan pihak-pihak yang menentang Pak Ahok. Isu-isu Agama dan Ras semakin memuncak.  Tidak jarang seorang tokoh dengan sengaja merendahkan asal-usul ras dari Pak Ahok. Perlawanan dari pendukung Pak Ahok juga tidak kalah sengitnya didalam membela Pak Ahok. Para ahli dan cendikiawan dari kedua kubu saling melontarkan serangan atau pembelaan terhadap Pak Ahok ataupun lawan-lawannya.  Seandainya diibaratkan, maka persiteruan di Media Sosial (Medsos) layak diberi gelar Perang Barata Yuda ala Pilkada DKI di Medsos.

Tak akan terhindarkan lagi adanya godaan bagi banyak pihak. Orang yang tadinya pendiam atau pasif dan susah ditebak turut pula angkat bicara. Apalagi mereka yang sudah biasa aktip di Medsos, mereka seperti tidak akan ada kehidupan apabila belum melihat suasana berita dan atau Medsos setiap harinya. Mereka seolah-olah merasa diinjak-injak oleh pihak seberang apabila tidak memberikan komentar atau serangan balik di Medsos terhadap setiap berita yang berkenaan dengan perkembangan persiteruan antara dua kubu Pilkada DKI ini.

Persiteruan ini tidak dapat menghindari lahirnya idola-idola baru (new idols).  Orang yang tadinya bukan siapa-siapa mendadak menjadi terkenal karena status di Medsosnya menjadi terkenal atau viral. Meraka yang tadinya tidak dikenal mendadak menjadi idola baru karena suaranya telah memberikan semangat atau sedang menohok pihak lawan.

Bully dan olok-olok sudah menjadi suatu kebiasaan yang dianggap normal didalam menjatuhkan pihak lawan. Kawan yang tadinya seperti anak manis mendadak menjadi  sosok  yang harus dibenci bahkan dimusuhi karena perbedaaan dukungan Calon Pimpinan saja. Grup Medsos yang tadinya seperti air tenang tiba-tiba beriak bahkan sampai left atau di-unfriend  dikarenakan perbedaan dukungan. Bahkan pada puncaknya tidak jarang bukan benar atau salah yang dibela melainkan sosok siapa yang harus dibela tidak memperdulikan apapun yang dikatakan oleh yang didukung. Akhirnya pengkultusan terhadap tokoh yang diidolakan secara tersembunyi telah terjadi. Dengan demikian mata hati dan pikiran tidak lagi dipakai sebagaimana seharusnya. Yang penting tokohku tidak layak untuk disalahkan, dan "dia" harus menang apapun caranya dan resikonya.

SIAPAKAH KITA?

Perang di Medsos seolah semakin seru, saling jatuh-menjatuhkan pihak lawan dari berbagai penjuru tidak dapat dihindari lagi. Semua yang terlibat semakin terbuai, sehingga lupa handai tolan yang telah lama bersaamaan. Demikian pula pujian atau sanjungan kepada yang didukung juga silih berganti didalam mempertahankan yang didukung. Semua yang terlibat semakin terbuai dan menjadi lupa diri karena asyiknya didalam pertempuran di Medsos. Dan dengan adanya persiteruan itu terkadang akan membawa diri kita juga ikut terlarut di dalamnya.  Hal ini disebabkan isu Agama, Sosial dan Ras serta Politik tercakup di dalamnya. Perumpamaannya seperti tumbuhan yang tumbuh di atas tanah, ketika banjir datang, maka bagi yang masih tumbuh lemah baik batang ataupun akarnya, mereka akan terhanyut juga. Dan hal ini menyebabkan apa yang tadinya tidak diketahui orang lain tentang pandangan atau kecondongan kita atau seseorang, akan menjadi nampak yang terkadang buram dan terkadang terang benderang. Walaupun penampakan ini bukan berarti tidak akan berubah walaupun adakalanya dan tidak jarang yang permanen.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa reaksi terhadap suatu persoalan terutama yang datang dari bawah sadar sebenarnya dapat membuka, menguak atau menunjukkan identitas diri seseorang, seolah memunculkan "nilai"  asli dari orang tersebut.

Akan tetapi ada bahkan banyak yang melihat persiteruan ini membuat dirinya sendiri tidak dapat menentukan di pihak mana posisinya  harus berpihak. Dia seolah bagai berada di persimpangan jalan. Melihat yang sebelah sisi satunya benar, sebelah sisi lainnya juga benar. Hal ini juga sebagai penunjukan karakter identitas diri dari seseorang diakibatkan oleh kekurang mampuannya didalam melihat dengan jernih persiteruan antara kedua kubu yang sedang berperang, sehingga dia menjadi ragu-ragu. Dia tidak memiliki prinsip untuk berpijak didalam menilai suatu permasalahan yang variannya lebih dari satu (kompleks).

Dari semua itu yang terpenting adalah,  mereka yang sebelumnya tidak teridentifikasi oleh teman di komunitasnya, kini telah diketahui dan bahkan diberi label apakah dia termasuk yang identitasnya serupa dengan teman di Medsosnya atau bahkan bertolak belakang. Teman yang tadinya tidak ada gejolak setelah adanya persiteruan akibat Pilgub DKI menjadi terbelah dua kubu. Bahkan tidak jarang teman yang tadinya suka bersenda gurau di Medsos kini menjadi musush bahkan keluar atau dikeluarkan dari akon kelompok atau akon pribadi di Medsos.

Namun banyak yang lupa mungkin, apakah keadaan setelah persiteruan Pilgub DKI akan masih terus bersiteru tanpa ada kata damai dan tetap bermusuhan? Karena  masing-masing kandidat sebenarnya tujuannya hanya satu, yaitu maju untuk menang dan meraih jabatan yang diperebutkan. Hal ini bukaan karena tanpa alasan, akan tetapi setiap kandidat telah mengeluarkan tenaga, biaya, waktu dan pikiran yang tidak sedikit jumlahnya. Sehingga apabila mengalami kekalahan, maka kerugian-kerugian yang telah dibayar ketika berjuang tidaklah sedikit. Inilah yang mengakibatkan adanya persiteruan yang tidak mengenal batas norma-norma kehidupan bersosial. Bahkan terkadang norma hukumpun diterjang demi untuk memenangkan yang sedang dalam pertarungan. Dan yang dijadikan korban adalah massa yang akan mengikuti Pilgub itu bahkan sampai massa yang berada di luar wilayah DKI ikut juga terpengarus dan bertikai.

Apapun yang telah dan akan terjadi akibat dari Pilgub DKI penulis melihat dari segi positipnya saja, yaitu, semua itu merupakan bagian dari suatu proses didalam mendewasakan Bangsa Indonesia di dalam berdemokrasi. Hal ini dengan catatan, persiteruan di Medsos tidak berlanjut menjadi persiteruan secara nyata yang melibatkan fisik masing-masing untuk menjadi korban. Karena persiteruan fisik akan merugikan siapa saja yang terlibat. Baik kubu yang menang ataupun kubu yang kalah. Semoga apa yang penulis harapkan memang ini yang terjadi, sehingga nantinya menguatkan pondasi komponen bangsa di dalam berdemokrasi. Akan tetapi kini anda sudah dikuak siapa sebenarnya diri anda itu.

End.

Medio Abu Dhabi, 9/6/2017.



Wednesday, June 07, 2017

SEREMONIAL DAN IBADAH

UMUM

Seremonial akan tidak terlalu menarik apabila hanya diartikan secara harfiah saja yang hanya berarti perayaan. Tetapi kalau diartikan secara lugat apalagi jika diartikan lebih mendalam lagi untuk dijadikan suatu istilah, maka kata seremonial akan lebih bermakna. Salah satu maknanya adalah, suatu kejadian yang bersifat simbolis yang dipakai sebagai "tanda" bahwa suatu kejadian yang telah atau yang akan dilakukan, perayaannya sedang dilaksanakan agar diketahui oleh banyak orang. Sederhananya  bermakna, suatu kejadian sebagai tanda yang bersifat simbolis saja bagi suatu peristiwa sesungguhnya yang lebih besar.

Sedangkan ibadah berarti menjalankan perintah Tuhan dengan menjauhi apa yang dilarang oleh Nya. Atau dengan kata lain bahwa ibadah berarti berbuat kebaikan baik untuk dirinya sendiri, orang lain ataupun terhadap lingkungannya serta tidak melakukan perbuatan buruk kepada siapa saja.

Dari kedua istilah yang disebutkan di atas akan tidaklah lengkap apabila tidak mengikuti tren keadaan saat ini, yaitu media sosial atau Medsos. Bahkan pemakaian Medsos saat ini bukan hanya sebagai pelengkap saja akan tetapi sebagai suatu persyaratan sahnya suatu peristiwa yang bersifat serimonial.

MENGAPA MATERI?

Dengan bergesernya tuntutan kebutuhan hidup ke arah materi, maka hampir seluruh kegiatan manusia diarahkan untuk mendapatkan materi. Materi untuk tuntutan kebutuhan sehari-hari. Materi untuk tuntutan lingkungan sosial sebagai hal yang akan dipertunjukkan agar memiliki kedudukan atau nama yang tinggi di tengah-tengah masyarakat sosialnya. Materi yang akan dipakai sebagai warisan untuk anak keturunannya, dan lain sebagainya. Sehingga apapun sulitnya, apapun rintangannya, apapun resikonya dan apapun akibatnya manusia akan melakukannya apabila ada imbalan yang bernama materi yang sesuai.

Apabila menyangkut suatu keinginan untuk mendapatkan materi, orang akan mencari segudang alasan untuk mempertahankan diri membenarkan apa yang telah/sedang atau yang telah dilakukannya, walaupun, terkadang itu sudah nyata-nyata merupakan suatu tindakan yang telah melanggar terhadap hukum yang berlaku. Mulai dari pelanggaran kecil, pelanggaran sedang sampai dengan pelanggaran besar atau berat dan terkadang tidak masuk akal sebagai orang sehat dan orang beradab, yaitu pelanggaran yang disertai dengan kekejaman.

Seorang anak melihat uang yang bukan miliknya, di atas lantai di dalam kelasnya, karena tidak ada orang lain kecuali dirinya ia lalu mengambil dan dipakainya. Anak ini sebenarnya telah melakukan pelanggaran yang dianggap kecil karena mengambil sesuatu yang bukan miliknya walaupun saat itu tidak ada pemiliknya, walaupun itu barang yang beraada di tempat sudah lama tidak ada yang mengambil, akan tetapi apabila bukan miliknya tidak diperbolehkan untuk mengambilnya. Pelanggaran yang dianggap pelanggaran kecil atau sedang adalah mengambil milik orang yang barangnya terjatuh tetapi tidak diketahuinya.

Pelanggaran yang lebih berat lainnya adalah mengambil milik orang lain yang sedang disimpan pada tempat tertentu, dengan alasan membiayai anak sekolah, atau membutuhkan biaya untuk orang tua yang sedang sakit lalu mengambil atau mencuri barang milik orang lain.

Sedangkan pelanggaran yang termasuk berat adalah kebiasaan orang tamak, sudah memiliki penghasilan yang tergolong cukup didalam membiayai kehidupannya sendiri dan/atau dengan keluarganya sehari-hari, tetapi masih juga mengambil yang bukan haknya, seperti melakukan korupsi. Korupsi di kantor tempat ia bekerja dengan menggunakan kekuasaan, posisi, jabatan dan lain sebagainya.

Sedangkan pelanggaran sangat berat misalnya adalah melakukan tindakan kriminal bukan saja hanya dengan mengambil harta benda yang bukan haknya melainkan juga diikuti dengan penganiayaan ataupun pembunuhan pemilik sahnya.

Dorongan ingin memiliki materi secara instan merupakan penyebab paling besar bagi manusia dalam melakukan pelanggaran hukum. Materi merupakan sumber utama dari ulah manusia untuk menjadi tidak toleran lagi. Materi menjadikan manusia untuk tidak merasa takut dalam melakukan sesuatu walaupun itu nyata-nyata melanggar hukum. Demi materi manusia bisa dikatakan akan rela untuk melakukan apa saja. Ketika sedang memikirkan untuk memperoleh materi, manusia seolah-olah akan hidup seribu tahun lagi. Jikalau mampu dunia ini akan ditelan sekaligus. Entah itu dikarenakan takut miskin atau karena memang tamak atau karena keterlaluan.

APA HUBUNGAN ANTARA SEREMONIAL DAN MATERI?

Tekanan pada setiap orang untuk mendapatkan materi sebanyak dan secepat mungkin merupakan faktor utama pengabaian norma-norma hukum yang berlaku. Apalagi, jika praktek untuk mendapatkan materi itu berada di daerah atau tempat yang kurang jelas dari segi hukum yang berlaku, atau dikenal dengan istilah daerah abu-abu, maka memperoleh materi di daerah itu dianggap berwarna putih alias legal.

Dulu banyak hal yang bisa didapat secara gratis, sekarang tanpa imbalan materi akan susah bahkan tidak mungkin untuk didapatkan. Dulu menurunkan atap dan membongkar rumah lama yang akan dibangun kembali akan dibantu oleh para tetangga dekat secara sukarela kecuali si pemilik rumah hanya menyediakan makan dan minum saja ketika waktu makan atau minum tiba, kini untuk melakukan itu harus ada ongkosnya. Dulu untuk menggali kuburan bagi orang yang meninggal dunia di desa-desa tanpa harus mengeluarkan biaya, sekarang penggali kuburan walaupun tetangga dekat yang sedang berkabung harus diberi ongkos. Dulu anak belajar mengaji atau belajar agama di Masjid-masjid tidak dipungut biaya apapun, sekarang..., pelajar diwajibkan untuk menyumbang. Bahkan kini semua yang tadinya dilakukan secara sukarela kini merupakan sebagai pekerjaan utama.

Lalu mengapa semua nilai-nilai itu menjadi berubah menuju ke arah materialistis?. Dimana, apa dan siapa yang telah melakukan kesalahan?. Atau memang semua itu dikarenakan adanya pergeseran nilai, sehingga apapun harus diukur dengan materi?. Penulis tidak tertarik untuk mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan itu karena penulis belum pernah melakukan penelitian untuk mendalami masalah itu. Selain itu, untuk mencari jawaban itu, penulis menganggap sama saja mencari jawaban pertanyaan mana yang lebih dahulu ada, telor atau ayamnya. Akan tetapi penulis lebih tertarik untuk melihat akibat dan dampak terhadap kehidupan sehari-hari.

TIDAK ADA BELAS KASIH

Umumnya setiap keluarga menginginkan anak-anak mereka mempelajari pengetahuan agama sejak usia dini. Seperti yang selalu setiap keluarga ajarkan pada anak-anak mereka bahwa, melakukan kegiatan agama adalah mendapatkan pahala. Bukan itu saja, didalam melakukan setiap kebaikan untuk siapa saja, baik untuk dirinya sendiri, untuk orang lain, untuk lingkungan, untuk hewan sekalipun akan mendapatkan balasan pahala. Itu merupakan kata kunci bagi setiap anak-anak kita.

Ketika anak-anak itu menjadi dewasa dan harus hidup dengan kemampuannya sendiri, maka kenyataan hidup yang dihadapi tidak semudah dan seelok yang dibayangkan. Setiap langkah yang dijalani ternyata memerlukan materi atau tidak cuma-cuma. Sekelilingnya sudah tidak lagi ada orang yang berbuat sesuatu tanpa meminta imbalan materi. Ketika materi tidak lagi tercermin di badan, orang-orang di sekelilingnya terlihat menjauh dari nya. Keadaan ini akan membawa perubahan bagi anak-anak yang tadinya memiliki pendapat bahwa pahala merupakan sesuatu yang bernilai paling tinggi akan berubah secara perlahan ke arah anggapan bahwa materilah yang bernilai paling tinggi dalam kenyataan hidup ini.

Kenyataan di atas akan membawa seseorang mengalihkan prioritas perilaku selanjutnya. Sebelumnya menjadi orang baik merupakan impian kini menjadi orang bermateri lebih menjanjikan. Dengan meninggalkan semua di belakang tanpa kenal lelah yang dikejar hanyalah materi. Kenyataan yang dihadapi adalah dengan materi apapun keinginan akan dapat digapai. Dengan materi semua akan menjadi mudah. Dengan materi semua mata akan memperhatikan. Dengan memiliki materi siapapun akan datang.

Hubungan sesama utamanya didasari atas keuntungan secara materi. Ini sudah menjadi aturan tak tertulis dan berlaku umum. Istilah orang DKI, "Lu.., ya.., lu, que,... ya.., que".

Memang pada kenyataannya sekarang adalah, orang tidak kenal lelah didalam mencari materi. Pagi, siang sore dan malam. Hal ini akan mengakibatkan pada seseorang akan memperlakukan materi sebagai masternya. Bahkan secara tidak sadar seseorang akan dapat menjadi budak daripada yang disebut materi. Budak dalam banyak bentuk. Yang paling ekstrim misalnya diminta untuk menghabisi nyawa orang lainpun akan dilakukan demi imbalan atau mendapatkan suatu materi.

Inilah keadaan sebenarnya kehidupan sampai saat ini, semakin lama lama keadaannya akan semakin lebih parah lagi. Semakin lama ketergantungan manusia akan materi akan semakin tidak dapat dilepas, semakin tidak dapat dipisahkan. akhirnya semua aktivitas hanyalah untuk mendapatkan materi.

IBADAH

Di atas telah ditulis mengenai bagaimana materi itu mempengaruhi kehidupan secara umum manusia sehari-hari. Lalu bagaimana dengan kegiatan ibadah formal manusia kepada Tuhan setelah pengaruh materi melekat?.

Pertanyaan ini yang senantiasa menarik untuk dibahas, dimana, apabila dibahas penulis yakin akan tidak sanggup menjelaskan hanya dalam tulisan blog saja, bahkan pembahasan ini dapat menghasilkan buku, bahkan banyak buku.

Kita barangkali pernah ada yang mengalami hal seperti berikut ini;

Ketika akan menghadiri suatu pertemuan ceramah agama yang biasanya dikenal dengan istilah pengajian agama, atau majelis kajian belajar agama, pasangan anda setelah memakai pakaian untuk menghadiri acara itu masih bertanya kepada anda, apakah pakaian yang sedang ia gunakan itu pantas atau tidak pada acara yang akan di hadiri ini. Serasi atau tidak. Bahkan pertanyaannya lebih jauh lagi apakah tidak memalukan apabila pakaian yang sedang dipakai ini dipakai untuk menghadiri acara seperti itu.

Setelah selesai untuk urusan pakaian, tidak lupa juga harus memilih parfum yang mana yang akan dioleskan ke pakaian atau badan agar baunya dapat serasi dengan acara yang akan dihadiri. Dan seterusnya..

Tanpa disadari sebenarnya pasangan yang sedang menanyakan itu nantinya ingin mendemenstrasikan bahwa dia sedang berpakaian bukan saja bagus akan tetapi agar juga mendapatkan pujian dari yang hadir lainnya. Dengan kata lain, selain mengunjungi ceramah agama dengan pakaian bersih juga menggunakan kesempatan itu sebagai unjuk gigi memperlihatkan pakaian dan atau aksessori yang sedang dipakai.

Contoh di atas mungkin merupakan suatu contoh kecil saja bagaimana ibadah (menghadiri ceramah agama) bagi seseorang yang telah dipengaruhi materialistisnya, sehingga dipakai juga sebagai tempat ajang menunjukkan keakuannya didalam memamerkan pakaian dan parfum yang sedang dipakainya. Inti dari menghadiri pengajian telah dinodai oleh adanya rasa ingin memamerkan pakaian dan atau parfum, sehingga mengharapkan pujian dari siapa yang melihatnya, baik yang diucapkan ataupun yang tidak.

Ada kalanya materi yang disampaikan oleh si Penceramah tidak sepenuhnya didengarkan karena sibuk dengan aktivitasnya sendiri lebih membperdulikan berbicara dengan temannya baik yang duduk di sebelahnya atau teman yang sedang mengobrol melalui media sosialnya. Ini artinya muatan ibadahnya tidak diperhatikan sebagaimana mestinya. Ibadah hanya sebagai judul, akan tetapi isinya adalah ajang pamerkan diri sendiri.

MEDIA SOSIAL (MEDSOS)

Adanya media sosial telah merubah prilaku manusia dalam bersosial. Silaturahmi dapat dilaksanakan dengan ongkos yang lebih murah dengan hanya saling bertemu lewat grup Medsos. Kongko-kongko sambil ngopi dan merokok duduk bersama sudah jarang dilakukan. Gangguan cuaca panas, dingin atau hujan bukan lagi sebagai hambatan untuk terus mengobrol atau berkomunikasi lewat Medsos. Khabar di suatu tempat dapat diketahui secara real time hanya dengan sebutan "share". Ini juga berguna dalam saling berbagi apa saja yang sedang terjadi pada diri sendiri atau di sekitarnya agar secara cepat dapat diketahui bahkan diperhatikan oleh rekan-rekan di Medsos-nya.

Hal ini tidak jarang media ini yang tujuannya memang untuk ajang saling bertemu dijadikan pula sebagai tempat untuk melakukan promosi. Promosi baik untuk kepentingan pribadi akibat dari sambungan lewat ketikan dan foto, juga dipakai untuk ajang promosi jual-beli barang dagangan.  Untuk yang pertama itu adalah sesuai dengan fungsi utama daripada Medsos, maka apabila tidak hati-hati lama kelamaan akan tergelincir dan berakibat sebagai ajang untuk memamerkan diri. Sedangkan untuk yang kedua tentu sejatinya agar menjadikan apa yang akan dijual lebih dikenal oleh kolega di Medsos-nya.

Yang menjadi perhatian di sini adalah pemakaian Medsos sebagai ajang memamerkan diri agar apa yang sedang terjadi dapat diketahui dan dipuja oleh teman-teman Medsos-nya.  Tentu pada awalnya mungkin hanya dipakai sebagai salah satu alat dokumentasi dari kegiatan dirinya. Akan tetapi akibat banyaknya perhatian baik adanya tag "like" ataupun komentar yang bersifat pujian, maka pemasangan update status di Medsos lambat laun akan menggelincirkan orang itu ke arah tempat untuk memamerkan diri. Baik itu berupa kegiatan sehari-hari atau juga dipakai sebagai tempat untuk berkeluh-kesah terhadap permasalahan yang sedang terjadi di selilingnya ataupun yang sedang dihadapi  olehnya guna untuk utamamanya mendapatkan perhatian, simpati selain untuk mendapatkan pertolongan dari teman-teman di Medsos-nya. Walaupun tidak jarang pula dipakai sebagai alat saling pengingat, menasehati dan lain sebagainya.

Dengan  demikian pemakaian Medsos sudah bukan lagi sebagai alat penghubung untuk bertukar pikiran tentang adanya permasalahan yang ada atau topik apapun yang sedang ramai di sekeliling para anggota, melainkan beralih menjadi ajang adu unjuk diri tentang apa yang sedang dilakukannya.  Apakah itu  kegiatan ketika sedang bekerja, bersantai, menyiapkan masakan bagi keluarganya, acara makan di rumah atau acara makan di luar baik bersama keluarga atau handai taulan, bahkan kegiatan ibadah yang sedang dilakukan sekalipun dipamerkan di grup Medsosnya.

Pada peristiwa yang lebih besar bahkan kejadiannya lebih fulgar lagi. Memberikan suatu sumbangan untuk pembangunan suatu rumah ibadah dipajang fotonya di media sosialnya dengan tujuan selain sebagai untuk dokumenntasi juga untuk mendapatkan tag "suka" atau komentar pujian dari teman media sosialnya juga. Akibatnya apa yang telah dilakukan dalam menyumbangkan hartanya untuk pembangunan rumah ibadah telah tercemar oleh rasa keinginan akan pujian dari yang mengetahuinya. Akhirnya, kegiatan pengambilan gambar dirnya ketika melakukan kegiatan lebih penting daripada sumbangan yang diberikan.

Demikian pula bagi yang lain, terutama bagi mereka yang memiliki kedudukan sosial yang baik di masyarakat. Bahkan idak jarang pula seorang pengurus suatu organisasi keagamaan yang hanya mementingkan berfoto-foto (selfi?) untuk dipajang di media sosial ketimbang kehadirannya untuk menikmati kegiatan misalnya mendengarkan materi ceramah dari seorang da'i.

Akhirnya, suatu ibadah itu memang dipandang perlu, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah pengambilan gambarnya yang akan dipakai sebagai dokumen dengan tujuan untuk dipajang di dalam Medsos-nya. Ini artinya, serimonial lebih penting daripada hakiki kegiatan ibadah itu sendiri.

End.

Medio Abu Dhabi,  7/6/'17

FIGUR SEORANG PEMIMPIN

UMUM

Di hampir setiap pertemuan atau diskusi sering muncul topik tentang kondisi tanah air saat ini dikarenakan adanya krisis kepemimpinan di Tanah Air Tescinta Indonesia. Tidak jarang akan berujung pada suatu kesimpulan bahwa, semua keadaan yang ada saat ini dikarenakan figur pemimpin yang tidak disegani rakyat, untuk itu diperlukan seorang pemimpin yang memiliki figur kewibawaan yang tinggi, sehingga ia dapat dipakai sebagai panutan oleh masyarakat Indonesia yang saat ini merasakan ketidakpastian tentang arah tujuan, baik alur roda ataupun pembangunan Negeri ini, bagaimana ia akan berlayar mengarungi untuk mencappai tujuannya.

Permasalahan di atas bukanlah permasalahan saat ini saja, akan tetapi muncul paska tumbangnya Rezim Orde Baru (Orba), suatu rezim yang menerapkan cengkraman di setiap sudut kehidupan bermasyarakat, sehingga rezim Orba dapat mengendalikan kehidupan bernegara sesuai dengan arah yang telah digariskan oleh si Pengusa Rezim.

Banyak orang yang melihat dan membandingkan keadaan masa kini dan masa yang telah berlalu di bawah Orde Lama dan Orde Baru, di mana pada masa lalu pada keduanya memiliki pemimpin-pemimpin yang memiliki figur berwibawa yang menjadi panutan banyak orang. Sehingga suara seorang pemimpin benar-benar didengar dan dilaksanakan. Sedangkan pada masa kini, suara dari seorang pemimpin malah menjadi polemik sebagai pengganti pelaksanaan. Bahkan tidak jarang perintah dari sang pemimpin tertinggi merubah menjadi olok-olok atau cibiran di dalam masyarakat.

Tulisan berikut akan sedikit membahas  tentang perlunya seorang figur untuk menjadi pemimpin suatu bagnsa.  Tentu saja, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis dalam bidang ini, kemungkinan tulisan ini hanyalah suatu hasil dari pengamatan dan pemikiran yang terbatas, akan tetapi penulis merasa perlu untuk mendokumentasiknnya paling tidak apa yang telah didapat oleh penulis tidak hilang dan bahkan dapat dibagi dengan yang lain.

LATAR BELAKANG SEJARAH

Kepemimpinan Jaman Awal sampai Pertengahan

Manusia sudah mengenal kepemimpinan sejak jaman primitip di mana budaya sudah mulai dipakai oleh manusia di dalam bersosial. Itu dikarenakan di dalam bersosial-budaya akan ada kedudukan dari masing-masing anggota sosial tersebut. Untuk itu seorang pemimpin diperlukan.

Kemudian berkembang dengan dikenalnya Agama, di mana orang yang membawanya merupakan atau dipercaya yang mewakili Tuhan dari agama yang sedang ia bawa, bahkan tidak jarang bahwa si pembawa agama itu merupakan Tuhan dari agama yang dia bawa. Dengan demikian apapun aturan yang keluar dari mulut si pembawa agama, maka itu merupakan apa yang diminta oleh Tuhan dari agama itu. Artinya, apa yang diucapkan merupakan suatu kata suci berupa konstitusi yang datang dari Tuhan melalui seorang yang dianggap dewa, nabi dan lain sebagainya. Mereka itu (para Dewa dan Nabi) merupakan representasi Tuhan kepada manusia, sehingga petuahnya merupakan petuah Tuhan. Dengan demikian secara otomatis dia menjadi pemimpin bagi kaumnya. dan secara otomatis pula akan dihormati oleh kaumnya. Inilah yang menjadikan dia sebagai seorang figur panutan bagi kaumnya. Para Dewa, Nabi atau Rasul atau semacamnya akan memiliki konstitusi, biasanya berupa kitab suci yang diwahyukan kepada mereka. Dan kitab suci inilah sebagai konstitusi untuk kaumnya di dalam melaksakan kehidupan bersosial-budaya sehari-hari, itu termasuk ekonomi dan politik.

Tidak jelas kapan munculnya suatu kerajaan yang dikepalai oleh seorang Raja, akan tetapi sejarah mencatat bahwa pada umumnya pada zaman dikenalnya para Dewa, para Nabi dan sejenisnya dikenal juga istilah Raja sebagai  pemimpin,  itu tertulis di dalam setiap kitab suci agama. Bahkan tidak jarang pula seorang pemimpin sekaligus sebagai pemuka agama. Apabila ini yang terjadi, maka si Raja merupakan pemilik daerah yang dikuasai dan juga dia sebagai perwakilan Tuhan bagi kaumnya.

Apabila si Raja hanya sebagai penguasa saja (tidak termasuk pemuka agama), maka konstitusinya adalah apa yang dia perintahkan dan ucapkan. Akan tetapi apabila si Raja juga sebagai pemuka agama, maka konstitusinya adalah kitab sucinya dan ucapannya. Yang manapun dari keduanya, Raja merupakan sosok figur yang harus ditaati,  apabila tidak, maka akan dianggap pembangkang perintah Raja, yang mana tak seorangpun ingin menghadapi kosekwensi dari pembangkangan perintah Seorang Raja.

Kepemimppinan Setelah Abad 19

Setelah berakhirnya perang dunia pertama, maka kekaisaran Jerman, Rusia, Austria-Honggaria dan Usmaniyah runtuh. Negara-negara baru terbentuk baik di Eropah maupun di Asia akibat jajahan yang ditinggalkan oleh tuan mereka karena kekacauan di dalam negeri mereka sendiri, maka harus turun tahta akibat kalah perang. Lalu dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1919 sebagai kelanjutan dari Perserikatan Bangsa Bangsa yang dikenal saat ini. Serta yang terpenting adanya perubahan Pemerintahan akibat peleburan kelas sosial menjadi lebih demokratis. Hal inilah yang memulai bahwa setiap warga negara adalah sama kedudukannya dalam bernegara.

Akibat dari itu setiap negara menjadi sibuk dalam menyusun konstitusi yang bertujuan mengatur kehiduoan bernegara secara demokratis. Bukan hanya negara yang berbentuk non-monarki saja yang berbenah ke arah yang lebih demokratis, akan tetapi negara-negara yang masih mempertahankan monarki merekapun harus berubah ke arah yang demokratis. Raja yang sebelumnya memiliki kekuasaan absolut kini kekuasaan itu harus dialihkan kepada kehendak rakyatnya. Kerajaan lebih dipandang hanyalah sebagai simbol yang perlu dihormati sedangkan kekuasaannya sudah dipindahkan kepada rakyat melalui sistem demokrasi. Kerajaan tidak lagi mengurusi urusan kenegaraan, rakyatlah yang mengurusinya melalui perwakilan mereka yang telah mereka pilih dan dudukkan di parlemen.

Pimpinan dan konstitusi negara yang sebelumnya berada di dalam genggaman seorang Raja atau Ratu saja, sekarang beralih kepada Perdana Menteri atau Presiden yang telah dipilih oleh kebanyakan rakyat secara demokratis. Dan yang terpenting, mereka (perdana mentri dan presiden) semua harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan konstitusi yang telah disepakati, tidak perduli siapa yang akan duduk di atas kursi puncak pimpinan atau bahkan semua yang berada di dalam negara itu termasuk Raja atau Ratu, para Anggota Perwakilan Rakyat yang duduk di dalam gedung parlemen maupun masyarakatnya, semua harus tunduk kepada konstitusi negara.

Singkat kata adalah, siapapun yang akan duduk sebagai puncak pimpinan di suatu negara demokratis, maka dia harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh semua komponen bangsa dan yang telah tertuang di dalam konstitusi negara, tidak ada pilihan lain, tidak ada argumentasi lagi. Dan rakyat yang berada di bawahnya akan mematuhi perintah pimpinan selama perintah itu tidak keluar daripada konstitusi negara.

PARA PEMIMPIN YANG MELAHIRKAN INDONESIA

Hampir semua lapisan masyarakat sebelum Indonesia merdeka akan mengenal sosok Soekarno, Bapak Bangsa Indonesia. Indonesia yang telah dijajah oleh Belanda selama hampir tigaratus limapuluh tahun lamanya sebenarnya masyarakatnya telah melakukan perlawanan di dalam mengusir penjajah Belanda. Di mana hampir di setiap penjuru Nusantara perlawanan-perlawanan itu telah terjadi terhadap pihak penjajah. Akan tetapi mereka bergerak atau melakukan perlawanan secara sendiri-sendiri baik cara dan tujuannya sesuai dengan kelompok atau wilayah kekuasaan raja-raja daerah itu. Perlawanan mereka berdasarkan atas kepentingan wilayah mereka dan dapat dikatakan tanpa ada yang memberikan arahan tentang arah perlawanan dan perjuangan mereka untuk menyatukan seluruh wilayah Indonesia agar terbentuk sebuah Negara Kesatuan Indonesia. Yang terpenting bagi mereka agar wilayah mereka tidak dieksploitasi atau diduduki oleh penjajah.

Kira-kira di awal abad ke sembilan belas baru ada organisasi-organisasi kepemudaan atau nasionalis bermunculan yang kemudian dapat dipakai sebagai kendaraan untuk menuju suatu tujuan yang sama, yaitu untuk mengusir penjajah dan membentuk Negara Kesatuan Indonesia.  Pendek kata, dari sinilah akhirnya muncul nama para tokoh besar,  lalu diikuti dan dilanjutkan oleh penerus berikutnya serta diikuti oleh figur-figur lain yang akhirnya dapat melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Figur Soekarno merupakan suatu figur pemersatu untuk tujuan yang sama itu, utmanya yaitu mengusir penjajah dan membentuk Negara Indonesia yang merdeka. Soekarno seolah merupakan simbol perjuangan ke arah pembentukan suatu Negara Kesatuan Indonesia.  Ucapan-ucapannya melalui pidato dan orasinya menjadi sebuah arahan bahkan perintah yang memberikan alur ke mana semua masyarakat seantero Nusantara harus bergerak. Sehingga tidak jarang Soekarno menjadi sasaran pihak penjajah Belanda, baik itu penangkapan, pemenjaraan, serta pembuangan ke wilayah di luar Pulau Jawa.

Tipikal perjuangan yang dilakukan rakyat Indonesia waktu itu merupakan tipikal yang berlaku umum di dunia. Ambil contoh perjuangan yang dilakukan oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), mereka memerlukan sosok pemersatu mereka yaitu mendiang Ketua PLO, Yaser Arafat. Perjuangan yang dilakukan oleh rakyat China dalam melawan Dinasti Qing. Serta banyak lagi contoh yang membutuhkan peran seorang figur didalam pencapai tujuannya.

Demikian pula dengan Indonesia, perjuangan di bawah pimpinan Soekarno merupakan sesuatu yang diperlukan di dalam mengomandoi arah jalannya perjuangan agar dapat menghasilkan sesuatu yang seragam dan fokus pada satu tujuan. Hal ini dikarenakan tidak adanya rujukan lain sebagai aturan layaknya sebuah negara yang memiliki suatu konstitusi. Artinya, konstitusi ketika Indonesia belum merdeka adalah ucapan Soekarno.

Di sinilah menariknya. Figur itu diperlukan untuk mempersatukan tujuan sebagai pengganti konstitusi. Lalu pertanyaannya adalah;

Apakah pada suatu negara yang sudah memiliki konstitusi masih diperlukan seorang figur sebagai pemimpin?

Jawabannya bisa "iya" bisa juga "tidak", akan tetapi untuk memastikan hal ini marilah kita lihat pemaparan berikut ini.

Seperti telah dijelaskan di atas, ketika suatu masyarakat memperjuangkan kepentingannya untuk memperjuangkan suatu negara yang merdeka, sebenarnya masyarakat itu harus memiliki suatu konstitusi sebagai pegangan yang dapat mengarahkan, mengomandoi dan memberitahu tentang arah dan batasan perjuangan mereka. Karena negara belum terbentuk, maka konstitusi juga belum ada. Hal inilah yang menyebabkan dijadikannya ucapan pemimpin pergerakan sebagai konstitusi itu sendiri. Atinya konstitusi ketika negara belum terbentuk adalah ucapan dari pemimpinnya itu sendiri. Lain halnya apabila perjuangan suatu masyarakat yang sudah memiliki negara, arah perjuangannya adalah konstitusi negara itu sendiri sebagai haluan negaranya.

IBARAT DOKTER DAN PASIEN

Pada suatu negara merdeka dalam menuju kepada cita-cita nasionalnya bukanlah sesuatu hal yang mudah bagaikan membalik telapak tangan, akan tetapi memerlukan perjuangan yang berat juga tentunya. Sebagai contoh adalah Indonesia, sejak merdeka sampai sekarang berbagai peristiwa kecil sampai yang besar dan bahkan sampai memakan banyak korban jiwa telah dialaminya. Adanya pemberontakan Madiun, DITII, Peristiwa Gestapo atau G30-S dan lain sebagainya.

Sampai sekarang apabila ditanyakan kepada setiap penduduk Indonesia, sampai dimanakah cita-cita Bangsa saat ini?.  Tentu tidak ada yang dapat menjawabnya secara tepat. Bahkan mereka akan lebih setuju jika Indonesia saat ini sedang sakit komplikasi, jangan ditanya tentang sampai di mana jalan cita-cita bangsanya, akan tetapi tanyalah bagaimana Indonesia dapat sembuh dari sakit yang sedang dideritanya ini.

Katakanlah Indonesia (baca seluruh komponen bangsa Indonesia) memang betul-betul sakit (komplikasi), maka akan diperlukan seorang pemolong untuk menyembuhkannya, katakanlah dokter. Dokter ini merupakan seorang yang memang sudah dipilih oleh kebanyakan rakyat Indonesia, sehingga dia dinobatkan sebagai dokter pribadi Indonesia selama 5 tahu ke depan.

Setelah dilakukan suatu diaognosa dan diketahui penyakitnya, lalu dokter memberikan cetak biru untuk program penyembuhan, dan dibuatlah program penyembuhannya. Mulai dari program tidur dan istirahat lainnya, makan, minum, olahraga dan hiburan,serta obat yang harus dikonsumsi. Itu semua demi untuk penyembuhan penyakit yang sedang diderita oleh pasien yang disebut Indonesia.

Di sini ternyata ada 3 unsur untuk mencapai tujuan penyembuhan si pasien yang sedang sakit, Indonesia. Pertama adalah si dokter, kedua adalah programnya, dan yang ke tiga adalah si pasien yang sedang sakit yaitu Indonesia.  Dari ketiga unsur itu akan saling tergantung satu dan lainnya, apabila salah satunya tidak ada, maka mengharapkan kesembuhan si pasien akan sulit dilakukan, bahkan dapat dikatakan mustahil untuk disembuhkan. Si dokter harus memantau perkembangan si pasien, si pasien harus disiplin dalam menjalankan program yang telah diberikan oleh si dokter.

Demikian pula bagi Indonesia, si dokter (baca pimpinan negara) harus serius didalam menangani pengobatan untuk kesembuhan pasien (komponen bangsa) yang sedang ditangani. Program-program yang sudah dibuat harus sesuai dengan konstitusi yang sudah disepakati. Komponen bangsa sebagai pasien harus taat didalam penyelenggaraan bernegara sesuai arahan si dokter/pimpinan. Di sini terlihat bahwa, siapapun dokter yang akan menangani kesembuhan si pasien, si pasien harus disiplin dalam mengikuti apa yang telah dinasehatkan oleh si dokter. Artinya, siapapun pemimpin tertinggi yang mengomandoi duduk di atas kursi komando dalam membawa arah untuk mencapai tujuan sesuai haluan negara, maka semua komponen bangsa harus tunduk kepada aturan atau program yang telah dibuat. Tanpa kedisiplinan si pasien, maka jangan harap kesembuhan penyakit yang sedang diderita oleh si pasien akan dapat disembuhkan.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan secara sederhana seperti berikut:
  1. Seorang figur itu diperlukan manakala tidak adanya aturan main atau konstitusi yang baku di dalam menjalankan arah tujuan suatu perjuangan.
  2. Apabila aturan main sudah hadir, maka siapapun yang duduk sebagai pemimpin, dia harus menjalankan tugas dalam mencapai tujuan yang sedang diperjungkan dengan membuat suatu program yang sejalan dengan apa yang termaktub di dalam konstitusinya. 
  3. Semua komponen bangsa yang dianggap sebagai bagian pasien dari seorang pemimpin yang sudah dipilih, harus secara disiplin mengikuti apa yang telah dipperintahkan oleh pemimpin terpilih.
  4. Sesuai dengan apa yang telah disebutkan pada titik 2 dan 3, maka seorang figur itu tidak diperlukan karena sudah adanya konstitusi, yang lebih penting dari itu adalah si pasien (termasuk komponen bangsa yang sedang sakit) harus berlaku disiplin di dalam mengikuti apa yang diarahkan oleh si dokter sebagai pemimpin tertinggi negara.
End.

Medio Abu Dhabi, 7/6/'17