Saturday, August 11, 2018

POLEMIK S-U DAN M-A

UMUM

Jauh hari sebelum Pilpres 2019 dimulai dengan mulai masuknya para kandidat yang akan bertarung  ke renah Komisi Pemilihan Umum, KPU secara formal, genderangnya sudah nyaring berbunyi, genderang yang ditabuh oleh pihak-pihak yang sudah jauh-jauh yakin bahwa merekalah yang akan menjadi calon di  Pilpres ini. Sejalan dengan waktu semakin mendekat dimulainya rangkaian kegiatan Pilpres 2019, mereka seakan menjadi dua maskot atau maestro yang tidak pernah jeda dari pemberitaan, bahkan pebicaraan di Medsos, baik itu di Twitter, Facebook dan WatsApp ataupun berita online lainnya. Ini yang membuat massa sudah tidak  lagi mencari dan melihat tokoh alternatip lain untuk diajukan sebagai kandidat Calon Presiden (Capres) untuk Pilpres 2019 mendatang, walaupun ada beberapa nama bermunculan, akan tetapi kemunculan pemberitaan tentang nama mereka tidak lebih lama dari usia jagung di talun.

Kondisi di atas membuat massa lebih tetarik untuk mencari dan mengetahui siapa Calon Wakil  Presiden (Cawapres) dari dua maskot yang sudah dinobatkan sebagai Capres itu. Ada banyak daftar yang digadang oleh publik baik individu ataupun organisasi, baik itu berdasarkan hasil analisa masing-masing ataupun dari hasil simulasi  oleh lembaga survei. Mulai dari bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK sampai dengan Ketua Front Pembebasan Islam, FPI. Dari mantan pejabat sampai dengan pejabat aktip. Dari orang biasa sampai dengan ulama. Dari bekas penegak hukum sampai dengan bekas koruptor. Dari masyarakat sipil sampai dengan bekas TNI. Pokoknya hampir semua latar belakang terwakili. Namun nama-nama itu tidak pernah dipilih sampai sehari sebelum pendaftaran Capres-Cawapres ditutup oleh KPU.

MEMBANGUN KOALISI

Pilpres tentu tidak lepas dari tarik ulur partai-partai untuk  membangun koalisi,  tidak lepas dari pengalangan dan pelobian untuk koalisi para Partai. Ini sangat diperlukan selain untuk menjaring pemilih yang lebih banyak namun juga untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk mengusung calon, pengusung harus memiliki minimum suara 20% dari hasil Pemilu yang lalu. Dari data yang ada, hanya PDIP yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 20%, sedangkan yang lain semuanya dibawah 20%.  Hal inilah yang menyebabkan berkoalisi itu merupakan suatu keharusan. Kalau tidak, hanya PDIP yang dapat memenuhi syarat untuk mendaftarkan calon untuk Pilpres 2019 ini.

Sejak dini sudah dapat diprediksi kalau bukan dapat dikatakan diketahui bahwa,  Partai apa akan berkoalisi dengan Capres yang mana, walaupun ada beberapa Partai yang masih belum menentukan sikap tentang koalisi arah dukungan mereka, akan tetapi, dari statemen pengurusPartai-partai itu mudah untuk menebak tentang arah dukungan mereka. Dari sini sejak awal sebenarnya massa telah secara tidak sadar dibagi menjadi dua kubu, kubu kanan dan kubu kiri, atau depan dan belakang, atau kubu atas dan bawah, atau apalah terserah pembaca. Dua kubu itu saling berhadap-hadapan, pendukung mereka saling memuji jago-jago mereka dan saling merendahkan jago lawan. Para pendukung masing-masing sama-sama fanatiknya. Jangankan masih kelihatan hidup bebas, di dalam penjarapun misalnya, masih akan tetap di puji kalu dia adalah orang yang didukung.  Atau jangankan di dalam kurungan penjara,  hidup bebas di luar penjarapun akan tetap dibenci kalau sudah menjadi lawan. Kuatnya, baca kefanatikan dukungan terhadap Capres mereka bisa dikatakan sama kalau tidak melebihi kefanatikan terhadap agama yang mereka anut, hanya bentuknya saja lain.

Dikarenakan kefanatikan yang sudah semacam mendarah-daging sampai-sampai lupa bahwa seorang pemimpin suatu Negara itu seharusnya dihormati, bukan malah dilecehkan dengan meme-meme yang tidak menunjukkan rasa hormat, apalagi bagi yang bukan jadi pemimpin tertinggi Negara, tentu ujaran kebencian terhadapnya tidak kalah serunya. Banyak orang yang sudah lupa bahwa, politik itu adalah dapat menyeret pelakunya untuk berlaku kotor baik secara individu ataupun secara bersamaan. Orang politikus menyebut perilaku mengadumassa itu adalah sesuatu perbuatan yang wajar karena politik itu dinamis. Bahkan sampai ada hastag #2019GantiPresiden yang menggambarkan bahwa Presiden yang akan berkompetisi pada Pilpres 2019 sudah diminta untuk diganti padahal kampanye formal belum dimulai.

Bagi orang awam akan berpendapat, bahwa kalau keributan di media sosial isinya kebanyakaan hal-hal yang saling menghujat dan sejenisnya, berarti mayoritas penduduk itu memiliki karakter yang sama. Demikian pula sebaliknya. Atau, Calon yang mereka dukung tidak memiliki program yang dapat ditawarkan kecuali mencari kejelekan atau menjelekkan lawan politiknya.

Kembali ke topik koalisi, maka semua calon kandidat mulai merintis untuk membangun koalisi. Dari pihak petahana, perjuangan untuk menggalang koalisi lebih tenang bahkan mudah dibandingkan dengan yang akan melawannya di Pilpres nanti. Ini karena di dalam Pemerintahan petahana anggota mentri-mentrinya ada dari anggota partai.  Jelas dari sejak awal sudah dapat diprediksi siapa yang akan mendukung siapa. PDI-P, Nasdem, PPP, PKB, Hanura, Perindo, PSI, dan PKPI menjadi satu koalisi di pihak petahana, sedangkan Partai-parta sisanya (Gerindera, PKS, PAN, PD dan PBB) masih terus menjalin komunikasi tentang anggota koalisinya, walaupun Partai Gerindera dan PKS sudah saling mengikat untuk berkoalisi dalam Pilpres ini.

Sekarang dengan sisa waktu untuk mendaftarkan Capres dan Cawapres masih satu bulan, masih tersisa beberapa Partai yang belum menentukan arah koalisi mereka, mereka itu adalah PBB, PAN dan PD.  Partai-partai sisa ini dengan mudah publik menduga arah dukungan mereka,  terutama PBB, partai ini lebih kentara karena dari ucapan Ketumnya yang selalu memberikan kritik terhadap  kebijakan Pemerintah berkuasa, dan otomatis PBB berseberangan dengan Pemerintah yang sedang berkuasa sekarang. Artinya PBB seolah sudah memastikan akan masuk koalisi  sebagai lawan dari koalisi petahana. Hal itu terus berlangsung sampai dua minggu sebelum pendaftaran Capres dibuka oleh KPU, sedangkan PAN dan PD masih melakukan komunikasi dan lobi-lobi kepada kedua koalisi  yang ada. PD sudah seperti menjalin komunikasi lancar dengan pihak koalisi petahana sebelum secara tiba-tiba menarik diri untuk  tidak bergabung dan berniat untuk mendirikan koalisi sendiri. Hengkangnya PD ini membuat para pengamat sedikit mengernyitkan alis  mereka, karena PKB yang ngotot untuk menjadikan Ketumnya sebagai Cawapres akan menarik diri apabila tidak ditunjuk sebaagai Cawapres. Dengan keluarnya PD, maka akan membuka peluan berkoalisi menjadi koalisi  ketiga memasangkan kandidat masing-masing sebagai Calon, walaupun suara dari kedua Partai ini masih belum memenuhi syarat untuk mengusung kandidat sendiri.

Penjajakan koalisi dari dua sisa partai PAN dan PD terus berlangsung. Banyak yang menyatakan bahwa politik itu dinamais, bukan kejam. Penulis berpendapat kejam, kejam berarti sekarang lawan besok kawan yang penting kepentingan yang diingingkan dapat terpenuhi. Kalau dinamis berarti setiap saat akan berubah, tiada yang berjalan di tempat.

TENTANG WAPRES

Komitmen kedua maestro kandidat terkuat untuk mengumumkan wakil mereka masih sama kuatnya, mereka akan mengumumkannya di hari paling akhir sebelum pendaftaran diri mereka ke KPU sebagai kandidat Capres dan Cawapres ditutup. Hal ini yang membuat banyak kalangan berspekulasi, menunggu kemunculan para Cawapresnya. Ada yang memprediksi si A, ada yang memprediksi si B sampai dengan si  Z. Pada pokoknya semua digadang-gadang. Semua yang digadang adalah tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang. Ada TNI, ada Polri, ada Ulama, ada Ekonom ada Ahli Hukum, ada juga yang berlatarbelakang kombinasi dari mereka.

Di samping itu, suasana politik masih jauh dari penurunan suhunya kalau buka justru kebalikannya. Partai apa akan ikut yang mana dipastikan akan mendapatkan komentar nada miring, sinis dari pihak yang berlawanan walaupun mendapatkan karpet merah dari sang pendukung. Salah satu partai calon koalisi di pihak luar Pemerintahan, PKS  mengusulkan 9 nama Cawapresnya untuk dipilih salah satu dari mereka sebagai Cawapres dalam koalisinya, kesemuanya merupakan anggota dari Partainya. Bahkan menurut pengusul, kader-kadernya itu merupakan harga mati. Ancaman PKS berbunyi, apabila tidak ada yang dipilih nanti akan bubar koalisinya. Juga tidak kalah runyamnya sebuah Partai lainnya, PAN yang belum menentukan arah koalisinya mengusulkan Ketua Pembinanya untuk dijadikan Calon Presiden, seseorang yang sudah malang-melintang di perpolitikan Tanah Air merupakan tokoh sentral kejadian Reformasi tahun 1998,  padahal Ketua Umum Partainya saja menginginkan untuk dirinya sendiri menjadi Cawapres.

Sementara di pihak petahana nama-nama Cawapresnya masih dirahasiakan kecuali jumlah nama yang telah dijaring. Itu ada sekitar 10 nama dari berbagai latar belakang. Tentu nama-nama itu kemungkinan besar merupakan nama-nama yang sedang ramai dibahas di Medsos, nama-nama yang diandai-andaikan oleh para pendukung dunia virtual. Ada dari ahli hukum, ada ahli agama Islam, pejabat gubernur, bupati, ketua umum partai koalisi, purnawirawan TNI bahkan dari  Polri. Sampai diadakannya pertemuan pertama yang dihadiri oleh Presiden petahana dan para Ketua Umum Partai, koalisinya partai ini masih menyisakan tanda tanya tentang siapa yang akan dipilih.  Akhir dari pertemuan itu menyimpulkan bahwa ada untuk sementara ada 5 Cawapres yang masih tersisa untuk dilakukan evaluasi lebih lanjut.

Di lain pihak, koalisi di luar petahana semakin jelas, PAN yang tadinya masih belum memutuskan walaupun dari gelagatnya akan bersama dengan koalisi di luar koalisi petahana sedang semakin mesra dengan koalisi oposisi. Sampai dilakukan suatu pertemuan antara para ulama yang berpihak kepada koalisi mereka dan mereka mengeluarkan "ijma" merekomendasikan bahwa Ketua Partai Gerindra direkomendasikan jadi Capres, hal ini seperti yang telah diduga banyak kalangan, dan Petinggi PKS dan seorang Penceramah Kondang sebagai Cawapresnya. Tarik-ulur terus berlangsung tentang siapa yang akan menjadi Cawapres dari koalisinya. PAN menginginkan si Penceramah Kondang, sedangkan PKS menginginkan dari kadernya sendiri yang telah masuk jaring "ijma" para ulama mereka.

Di tengah hangatnya penentuan Cawapres ini secara tiba-tiba PD yang sudah menutup harapan untuk berkoalisi dengan koalisi petahana, datang mellakukan komunikasi antara Ketumnya dengan Ketum Gerindra yang sekaligus sebagai Capres koalisi ini. Terakhir disepakati bahwa PD masuk koalisi ini. Di lain pihak PKS merasa curiga dengan kedatangan PD ini yang sebelumnya telah menjalin komunikasi dengan pihak koalisi petahana akan tetapi keluar lagi. Kecurigaan PKS ini bukan tanpa alasan karena Ketum PD sedang mempromosikan anaknya yang kebetulan sebagai Ketua Komandan satuan Tugas Bersama, Kogasma di PD untuk dijadikan Cawapres, seorang bekas anggota TNI yang mengundurkan diri karena mencalonkan diri menjadi Cagub DKI di Pilgub 2016 lalu namun gagal tidak masuk putaran kedua. PKS karena curiganya bahkan mengeluarkan ancaman bahwa apabila "ijma" ulama mereka tidak dilaksanakan, maka PKS sebaiknya akan berada di luar koalisi saja. Beberapa hari kemudian PKS mengancam lagi, kalau Cawapres yang dipilih berasal dari luar"ijtima" ulama, maka koalisi ini akan bubar.

Ketika gencar-gencarnya penentuan, diantara dua Cawapres oposisi antara seorang kader PKS  dan Pencermah Kondang hasil "ijma" tiba-tiba muncul  nama baru, dia seorang Wakil Ketua Pembina Partai Gerindra yang tadinya tidak pernah masuk dalam radar Cawapres mereka, ataupun diusulkan untuk menjadi Cawapres mereka. Tentu hal ini menjadikan amarah PD yang mengharapkan Putra dari Ketum mereka untuk dipilih. Kemelutpun memanas dan akhirnya PD mengambil langkah drastis memutuskan keluar dari koalisi oposisi. Mereka berujar mungkin akan membentuk koalisi baru. Suatu ujaran yang menyisakan peluang sangat kecil karena semua Partai sudah pada koalisinya masing-masing.

Keluarnya PD dengan amarah menjadikan bola panas berada di luar kedua koalisi tidak terkontrol. Ini yang menyebabkan lontaran pedas dari salah satu pengurus teras PD, Waka Sekjen PD kepada koalisi yang ditinggalkan dengan menyebut, Ketum Partai Gerindra sebagai "Jendral Kardus". Bukan itu saja, ia melontarkan ucapan bahwa PKS dan PAN menerima mahar 500 Milyar Rupiah agar menyetujui Cawapres yang baru diusulkan itu. Belakangan yang dimaksud "kardus" adalah, mudah ditekuk, lemah sebagai pemimpin walaupun dia bekas seorang berpangkat Jendral Angkatan Darat, tidak tegas dan semacamnya.

Suasana Sosmed berita electronik semakin memanas. Pihak koalisi oposisipun mengumumkan Cawapresnya, dialah Wakil Ketua Penasehat Partai Gerindra tanpa diikuti oleh PD yang sudah dianggap keluar dengan membawa emosi para pengurus teras dan mungkin para pendukungnya. PD akhirnya akan memutuskan esok harinya karena harus melakukan rapat dengan para anggota Petinggi Pengurus Pusat mereka sebelum memutuskan arah koalisinya. Seorang yang berlatarbelakang pengusaha mencampakkan ijma ulama yang merekomendasikan dua kandidat yang berlatarbelakang ulama. Dengan terpilihnya sosok yang sedang menjadi Wagub DKI ini membuat hancur leburnya semua prediksi para analisis perpolitikan Tanah air. Kini di pihak oposisi telah ada pasangan berlatar belakang Tentara dan Pengusaha.

Pihak koalisi petahana tidak kalah gentingnya, Presiden petahana akhirnya menyebutkan bahwa Cawapresnya nanti berinisial M. Tentu semua pandangan tertuju kepada seorang bekas Ketua Mahkamah Konstitusi yang ahli hukum, dan menurut kebanyakan khalayak adalah jujur serta memiiliki track record yang baik. Menurut pengakuan bekas Ketua MK itu setelah pengumuman Cawapres, bahwa ia telah dihubungi untuk mempersiapkan administrasi (CV dan bersih diri dari pidana) sehari sebelum pengumuman, dan pakaian seharusnya, lalu sore hari ketika akan dilakukan deklarasi pengumuman Cawapres agar mendekat ke suatu restoran bernama Restoran Plataran, Meneng. Seperti yang telah diminta, dia pun telah mendekat sambil menunggu panggilan dengan para pendukungnya, tepatnya di restoran Tesate, Menteng.

Di luar dari berita menyebutkan bahwa bekas Ketua MK itu akan dipilih oleh koalisi petahana, dan hal ini mendapatkan serangan dengan klaim bahwa dia bukanlah orang dari pengurus NU. Sampai Ketua PBNU pun menkonfirmasikan bahwa dia bukanlah atau belum pernah menjadi anggota NU. Ada ancaman bahwa apabila Cawapres yang dipilih bukan dari NU, maka PBNU akan menarik dukungannya terhadap Presiden petahana. Suasana panas itu bukanlah isapan jempol belaka. Lobi-lobi itu telah merubah haluan koalisi petahana dengan membatalkan pilihan awal terhadap bekas Ketua MK kepada Ketua MUI aktip yang juga sebagai Rais Aam NU. Bekas Ketua MK itu setelah diberitahu melalui telepon mengenai pembatalan untuk memilih dia sebagai Cawapres, langsung menuju mobilnya dan meninggalkan restoran Tesate menuju kantornya di MMD Institute Matraman, Jakarta untuk alasan bekerja sampai larut malam.

Pasangan dari petahana merupakan sosok dari ulama, sejak dari pendidikan rendah sampai pendidikan tinggipun sang Cawapres ini menempuh jalur pendidikan agama. Islam. Menjadikan beliau sebagai seorang kiai adalah jalur yang seharusnya, apalagi masuk dalam kepengurusan MUI.

Sementara di lain koalisi, PD masih akan memutuskan arah koalisinya yang akan diputuskan esok pagi hari setelah mengadakan rapat anggota pengurus Partai. Salah satu anggota koalisi petahana, Ketum Perindo mengeluarkan statemen bahwa lowongan bagi PD untuk bergabung ke koalisi petahana sudah tertutup. Tamparan ini tidak mendapatkan reaksi apapun dari  pihak PD. Ini merupakan tamparan keras dari koalisi petahana yang tidak mungkin untuk dibalas oleh PD yang sedang tidak punya arah. Dan PD-pun harus kembali  ke koalisi yang telah ditinggalkan sehari  sebelumnya, yaitu koalisi oposisi petahana.

Kini, Cawapres dan koalisi sudah tergambar. Masyarakat Indonesia akan sudah dapat memandang tentang siapa-siapa yang kemungkinan akan memimpin negara mereka sampai dengan tahun 2024 nanti, untuk itu bersiap-siaplah. Sebagai konsekwensi saat ini, Cawapres yang kebetulan sedang menjabat Wagub DKI akan mengundurkan diri dari jabatannya.

SPEKULASI PENULIS

Pemilihan Wakil Ketua Penasehat Partai Gerindra menjadi Cawapres koalisi oposisi memunculkan pertanyan banyak pihak. Secara sederhana adalah, apabila nanti pihak oposisi dapat memenangkan Pilpres 2019 ini, maka itu merupakan tujuan utama mereka. Akan tetapi apabila mereka kalah, lalu apa yang akan terjadi..?. Petanyaan itu sungguh sangat menarik untuk dicari jawabannya.

Sebagai Wagub DKI merupaakan jabatan yang cukup mentereng yang sangat susah untuk didapat. Melepaskan jabatan itu untuk menjadi Cawapres merupakan tantangan yang sangat tinggi. Akan tetapi ada kemungkinan apabila nanti dalam Pilpres ini mereka akan kalah, maka Ketum Gerindra yang sudah 5 kali ingin masuk jajaran kepresidenan baik sebagai presiden ataupun wakil presiden akan diprediksi turun tahta dari perpolitikan Indonesia. Kandidat yang dipandang mumpuni dari banyak hal adalah orang yang ditunjuk sebagai Cawapres saat ini. Inilah spekulasi penulis pikir yang mungkin akan terjadi nanti.

Di lain pihak, pemilihan Ketua MUI yang saat ini sudah berusia 73 tahun, merupakan sosok gaek yang mungkin terlalu tua untuk berkompetisi  lagi untuk periode kedua apabila dalam Pilpres kali ini dapat memenangkan pertarungannya. Untuk ukuran orang Indonesia pada umumnya, umur 73 tahun ditambah 5 tahun setelah melalui satu periode sebagai Wapres (apabila menang), merupakan usia yang sudah dikatakan tidak produktip lagi, ini apabila ditinjau dari segi fisiknya.

Dari pemilihan para Cawapres yang berakhir pada tikungan akhir itu nampaknya pemilihan Cawapres yang sudah tua merupakan strategi partai pengusung. Maksudnya, apabila dapat memenangkan pertarungan ini, maka jabatan yang dapat dilakukan paling lama adalah satu periode saja, dengan demikian, nanti akan harus dipilih kandidat baru mengingat petahana sudah menyelesaikan dua periodenya dan tidak dapat mencalonkan diri sebagai Capres lagi. Walaupun spekulasi ini terlalu dangkal, mengingat semua partai akan memandang bahwa, Pilpres nanti ya urusan nanti, sekarang yang penting menang dulu, untuk itu dipilih Ketua MUI dengan harapan dapat mendulang suara yang tadinya anti terhadap petahana yang dipandang telah mengkerdilkan umat Islam. Dengan dipilihnya Ketua MUI akan menjawab dengan bukti bahwa koalisi petahana bukanlah koalisi yang menomer duakan umat Islam, akan tetapi sebaliknya.

PASKA PENDAFTARAN KE KPU

Banyak orang dan analisis tidak menduga bahwa pilihan Cawapres dari kedua koalisi demikian asing. Mereka memilih seseorang masing-masing yang tidak populer. Akan tetapi politik seperti membuat orang dikejutkan dengan sengatan aliran arus listrik.  Tdak jarang ada banyak cercaan dan juga banyak pujian. Di pihak petahana, Ketua MUI itu adalah biang kerok keluarnya fatwa MUI yang  menyebut bahwa mantan Gubernur DKI yang masuk penjara adalah penista agama. Oleh karena Fatwa MUI itu sang Gubernur dikalahkan karena isu-isu menistakan Agama Islam. Dan karena Fatwa MUI itu si mantan Gubernur DKI itu masuk penjara selama dua tahun. Ironisnya, para pendukung bekas Gubernur DKI itu merupakan pendukung petahana sekarang,  akan tetapi mereka sekarang dihadapkan pada kenyataan, orang yang didukung malah memilih bekas orang yang dianggap menjadi biang kekalahan dan masuk penjara mantan Gubernur pujaannya.

Lain halnya dengan penunjukan Cawapres koalisi oposisi. Mereka dihadapkan pada pelanggaran 'ijtima' ulama mereka. Ini menyebabkan para ulama mereka terdiam melihat kenyataan bahwa "ijtima" mereka tidak dipakai. Sampai selesainya tulisan ini hanya ada statemen dari Ketua FPI bahwa, diperlukan "ijtima" ulama jilid-2 untuk menentukan sikap mereka terhadap dukungan mereka kepada koalisi oposisi. Akan tetapi ini bukan berarti membuka jalan untuk mendukung koalisi petahana, sang Ketua mengatakan bahwa, hukumnya haram untuk mendukung koalisi petahana.

Baiklah.., sebaiknya kita lihat nanti, mari ditunggu, mengingat masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat pemaaf, atau mungkin pelupa, sedangkan Pilpres masih kira-kira delapan bulan lagi dari sekarang.

END.

Medio Abu Dhabi 11 Agustus, 2018