Tuesday, March 29, 2016

ALQUR’AN, SUCI DAN INDAH

Tulisan pendek ini dengan pola pikir sederhana mencoba menerangkan arti Alqur’an sebagai kitab suci, berisikan ‘syair’ yang indah nan agung yang tidak akan pernah tertandingi, dan akan tetap terjaga keasliannya sepanjang masa.

Sasaranya adalah, agar kita lebih memperkuat iman kita terhadap isi yang ada di dalam Alqur’an.

Seperti telah diketahui bahwa isi bacaan dari pada Alqur'an masih dijamin keasliannya sejak pertamakali ditulis ke dalam buku menjadikannya sebuah kitab Suci sampai sekarang ini, walaupun cara penulisannya sudah mengalami perubahan dikarenakan perkembangan cara penulisan Huruf Arab itu sendiri, akan tetapi kata demi kata masih tetap dijaga sebagaimana ketika untuk pertama kalinya ditulis untuk dijadikan sebuah Kitab. Namun apabila diperhatikan dari banyaknya tafsir yang beredar, ketika ayat-ayat Alqur'an dialih bahasakan ke dalam Bahasa selain Bahasa Arab, di situ banyak ditemukan kata-kata tambahan (baca tidak sesuai yang tertulis dalam Bahasa Arab aslinya) dan atau perbedaan jika dibandingkan dengan Alqur'an Bahasa Arab. Hal inilah terkadang tidak disadari oleh pembaca tafsir yang kurang paham dengan kata-kata Bahasa Arab, sehingga menganggap bahwa terjemahan atau arti yang sedang dibaca itu adalah sama persis dengan apa yang tertulis dalam Bahasa Arab.

 Suci

Suci berarti tidak terkontaminasi atau berkurang oleh satu hal yang dapat menggagalkan kesucianan itu sendiri, jadi apapun bentuk gangguan, yang menyebabkan berubahnya sesuatu hal, dapat disebut ‘pelanggar’ kesucian dari hal tsb.

Alqur’an merupakan kitab suci yang diciptakan/difirmankan oleh Allah S.W.T, kemudian diturunkan berupa wahyu dengan perantara Malaikat Jibril dan Rasulullah S.A.W, sebagai petunjuk bagi umat manusia, baik petunjuk di Alam Dunia maupun di Alam Akhirat. Suci bagi Alqur’an dapat diartikan bahwa dia merupakan ‘Firman’ yang langsung datang dari Penciptanya, yaitu dengan mengimani bahwa dua jenis makhluk perantara (Malaikat Jibril dan Rasulullah S.A.W) merupakan Pesuruh Sang Pencipta, yang bertugas hanya menyampaikan ‘Firman’-Nya dalam bentuk wahyu dengan jujur dan apa adanya. Sehingga Alqur’an begitu sampai pada sipemakai (manusia) untuk digunakan sebagai petunjuk, sama dengan ketika dia diciptakan oleh Sang Pencipta-nya.

Untuk memudahkan pemikiran kita mengartikan kesucian Alqur’an, penulis memisalkannya dengan sebuah bola suci berbentuk bulat sempurna memiliki keseimbangan luar biasa, dia berada di dalam kotak kaca berisi air yang tidak bergerak. Bola suci itu. diam tepat berada ditengah-tengah kotak tersebut. Dengan kata lain, titik tengah bola suci terletak sama dengan titik tengah kotak kaca berisi air diam itu.. Karena keseimbangan bola suci itu, sehingga apabila ada sebuah partikel asing sekecil apapun menghinggap dan menyatu dengan bola suci itu akan menyebabkan keseimbangan bola suci itu terganggu, kemudian menyebabkan bola suci itu bergerak searah dengan gerakan awal partikel asing sebelum hinggap menyatu dengan bola suci itu. Demikian pula apabila ada yang mengurangi bagian bola suci, berupa partikel terkecil sekalipun, akan menyebabkan keseimbangan bola suci itu terganggu, kemudian menyebabkan bola suci itu bergerak kearah berlawanan dengan letak hilangnya partikel dengan titik tengahnya. Sehingga apabila didapati posisi bola suci berubah, maka dapat dipastikan bahwa ada sesuatu hal telah terjadi yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan bola suci itu.

Ini dapat dimisalkan seperti, ada sekelompok manusia atau bahkan seluruh penduduk bumi ini demi kepentingan mereka bersekongkol merubah isi Alqur’an, baik mengganti suku kata yang mirip artinya, atau mengurangi atau menambah sebuah huruf  didalamnya, ataupun menggantinya dengan huruf yang mirip, misalnya; ‘tak marbutah’ diganti dengan ‘tak maftuhah’ dan lain sebagainaya. Ini sebetulnya sekelompok orang itu telah merubah keseimbangan isi yang ada pada Alqur’an, yaitu dengan hanya merubah teks dari hukum sunnatullah, dengan kata lain, mereka merubah suatu hukum atau suatu petunjuk, tanpa diikuti oleh perubahan berikut kejadiannya itu sendiri. Akibatnya adalah, orang akan mendapati suatu hukum (yang sudah dirubah) akan berbeda atau bahkan bertentangan dengan kejadian sebenarnya. Hal lain mengingat isi Alqur’an antara ayat satu dan lainnya ada yang saling terkait, sehingga berubahnya salah satu suku kata akan mengakibatkan berubahnya satu kata, dimana hal ini berakibat pada berubahnya arti satu ayat. Dengan demikian mau tidak mau harus merubah ayat-ayat yang terkait lainnya. Inilah makna bahwa Alqur'an itu akan tetap terjaga sepanjang masa, karena ayat-ayat yang terdapat di dalam Alqur'an merupakan penjelasan daripada kejadian-kejadian terutama kejadian penting di Dunia ataupun di Akhirat.

Indah


Alqur’an diturunkan pada suatu jaman dan tempat di lingkungan masyarakat yang sangat menyukai keindahan suatu syair, sehingga Rasullullah S.A.W pernah menantang ahli syair yang meragukan tentang Alqur’an merupakan wahyu Tuhan, untuk membuat syair tandingan, dimana paling tidak, syair buatan ahli syair (manusia) itu dapat menyamai keindahan syair yang ada di dalam Alqur’an buatan Tuhan. Ini suatu hal yang tidak mungkin dapat terjadi atau dilakukan oleh manusia. Lalu, mengapa?.

Keindahan syair dalam Alqur’an memang tidak diragukan lagi, namun lebih dari itu sebetulnya setiap ayat yang terdapat di dalam Alqur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia, atau dengan kata lain, ayat-ayat yang tertulis di dalam Alqur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia berupa kaedah-kaedah hukum yang menjawab tentang seluruh kejadian yang ada di Alam Semesta ini, baik kejadian di masa lalu, kejadian masa kini, di masa yang akan datang, dan kejadian menerus dari masa lalu sampai dengan masa yang akan datang, yang kemudian dikenal dengan hukum sunnatullah.

Konsekwensi Logis

Jika manusia dapat membuat syair, keindahanya dapat menyamai keindahan syair yang ada di salah satu ayat dalam Alqur’an, berarti manusia dapat membuat salah satu ‘petunjuk’ tentang suatu kejadian di Alam Semesta ini. Dengan dinobatkan manusia dapat membuat salah satu ‘petunjuk’ tentang kejadian di Alam Semesta ini, ini berarti menobatkan manusia dapat menciptakan bagian dari Alam Semesta ini (kata menciptakan berarti membuat sesuatu dari yang tidak ada samasekali menjadi ada), yang mana kekuasaan untuk menciptakan sesuatu itu adalah hanya milik Tuhan, jika demikian, maka manusia dapat diartikan sama dengan Tuhan.

Kesimpulan


Di sini dapat disimpulkan bahwa, Allah S.W.T. telah membuat suatu sistem pengaman pada Alqur’an, yaitu integrated system antara teks yang ada di dalam Alqur’an dan diikuti oleh kejadian sesungguhnya di Alam Semesta ini atau Alam Akhirat nanti menjadi suatu keseimbangan (baca kesamaan), yang mana, apabila ada yang mencoba merubah isi Alqur’an, maka dengan sendirinya akan membunyikan ‘alarm’ yang menandakan bahwa, Alqur’an sedang terganggu keseimbangannya, karena manusia hanya dapat merubah teks dari ayat Alqur’an, akan tetapi tidak dapat merubah kejadianya. Dengan demikian membuat Alqur’an akan  tetap terjaga dari ‘pelanggar’ yang ingin merubahnya, hal itulah yang membuat Alqur’an  tetap suci dan indah, sehingga akan tetap pada bentuk teks aslianya sepanjang masa.

END.

POLIGAMI DAN ALASANNYA

Tulisan ini mencoba mengungkap hal yang melatarbelakangi secara filosofis tentang praktek poligami, dengan demikian praktek ini dapat terlaksana sesuai konsep yang sudah digariskan oleh Al-Qur’an. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan. 

Poligami Kebanyakan.

Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu: polus berarti banyak, dan gamos berarti perkawinan, sehingga poligami berarti kawin (beristeri/bersuami) banyak. Dalam tulisan ini poligami agar dibaca pria muslim beristeri dua, tiga sampai dengan empat.

Pelaksanaan poligami pada umumnya memiliki tujuan utama menghindari perbuatan perzinahan serta pelanggaran-pelanggaran lain dari  norma agama Islam yang dilatarbelakangi oleh banyak hal, yang mana mereka mengetahui bahwa Islam memperbolehkan praktek poligami berdasarkan atas Al-Qur’an surat Annisak, ayat 3:

Dan kalau kamu takut takkan dapat berlaku lurus terhadap yataamaa, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, dan tiga, dan  empat. Tetapi kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku adil, hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu. Yang demikian itu adalah cara terdekat untuk tidak berbuat aniaya”.

Alasan Yang Tidak Rasional.

Surat Annisak, ayat 3 jika diterjemahkan apa adanya (baca sesuai teksnya) terdiri dari 5(lima) kalimat utama, yaitu:

  1. Dan kalau kamu takut takkan dapat berlaku lurus terhadap yataamaa,
  2. maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, dan tiga, dan  empat.
  3. Tetapi kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku adil,
  4.  hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu .
  5. Yang demikian itu adalah cara terdekat untuk tidak berbuat aniaya.

Tafsir yang beredar mengartikan surat Annisak, ayat 3 antara lain sebagai berikut  (dalam 5 kalimat):

I. Terjemahan & Tafsir Al-Qur’an, Depag RI, Jakarta 1978:

  1.  Dan jika kamu merasa takut tidak akan dapat berlaku adil bila mengawini anak-anak yatim itu,
  2. maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu sukai: Dua, tiga, atau empat.
  3. Tetapi jika kamu khawaatir takkan dapat berlaku adil antara wanita-wanita itu,
  4. maka kawinilah seorang saja atau hamba sahaya yang  kamu miliki.
  5. Yang demikian itu adalah cara terdekat untuk tidak berbuat aniaya.
II.   Interpretation of the Meaning of THE NOBLE QUR’AN in English language, Islamic University, Al-Madinah Al-Munawarah, Saudi Arabia, 1996:

1.      And if you fear that you shall not be able to deal justly with the orphan girls
2.      then marry (other) women of your choice, two or three, or four;
3.      but if you fear that you shall not be able to deal justly (with them),
4.      then only one or (slaves) that your right hands possess.
5.      That is nearer to prevent you from doing injustice.

Adanya tambahan kata “bila mengawini” dalam kalimat pertama, dan kata “lain” dalam kalimat kedua pada terjemahan I, dan tambahan kata “other” dalam kalimat kedua pada terjemahan II, keduanya merubah makna ayat tsb., sehingga dapat merubah pula latarbelakang atau alasan seseorang dalam berpoligami.

Akan tetapi kalau disimak lebih dalam lagi pada terjemahan I ataupun II di atas, maka maknanya dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Apabila  kalimat pertama dan kedua digunakan, maka dapat diartikan sebagai berikut ini; apabila seseorang merasa khawatir tidak dapat berlaku adil apabila berpoligami dengan para yatim, kemudian dianjurkan untuk berpoligami dengan wanita-wanita selain yatim, atau dapat diartikan bahwa kalau khawatir tidak dapat berlaku adil jika berpoligami dengan para yatim, maka boleh berlaku tidak adil asalkan berpoligami dengan bukan dari golongan yatim. Akan tetapi pada kalimat ketiga pelaku poligami masih dituntut untuk berlaku adil terhadap isteri-isterinya, artinya kalau pelaku poligami bisa melaksanakan keadilan dengan ‘wanita lain’ sesuai perintah pada kalimat ketiga, lalu mengapa harus berpoligami dengan wanita bukan golongan yatim?, toh pada dasarnya pelaku poligami itu dapat berlaku adil. Di awalnya dikatakan “jika tidak dapat berlaku adil”, kemudian pada kalimat ketiga masih dituntut untuk berbuat adil, jadi ada kontradiksi atau kekacauan pemaknaan.
  2. Seandainya ada seorang yang dapat berlaku adil jika berpoligami dengan para yatim, berapa batasan jumlah isteri yang dapat dikawini dari golongan yatim?, yang pasti, bukan dua, atau tiga, atau empat, karena bilangan-bilangan tersebut hanya diperuntukkan apabila  kawin dengan ‘wanita lain’, bukan dengan para yatim. Ini masih menyisakan pertanyaan besar juga.
  3. Kalaulah pemaknaan tersebut merupakan keyakinan yang dikemas menjadi sesuatu, katakanlah “kesepakatan”, maka dalam berpoligami akan ada skala prioritas, yaitu mereka harus mencoba/mencari untuk berpoligami dengan para yataamaa sebagai prioritas pertama, kemudian apabila dirasa atau khawatir tidak dapat berlaku adil, kemudian boleh dengan wanita lain yang disukai sebagai prioritas kedua, tetapi hal ini masih menyisakan satu pertanyaan, tentang batasan jumlah isteri dari golongan yatim.

Alasan Yang Rasional


Ayat tersebut di atas kalau diterjemahkan apa adanya dapat bermakna; apabila seseorang merasa khawatir terhadap para yatim (yataamaa) tentang suatu kemungkinan adanya perlakuan yang tidak selayaknya, atau khawatir tentang perjalanan hidup yataamaa tanpa adanya seorang “ayah”, maka dianjurkan untuk mengawini wanita-wanita (ibu sianak yatim atau perempuan-perempuan yatim) yang disukai dua, tiga sampai dengan empat orang.

Secara akal (baca: rasional) ini dapat diartikan agar kita menolong para keluarga yataamaa dengan mengawini perempuan yang disukai, agar mereka dapat hidup layak sebagaimana keluarga lain yang bukan yataamaa, yaitu agar mereka terbimbing dan atau terlindungi dari masa depan yang kurang menguntungkan, baik dari segi akidah maupun dari segi nafkah. Jadi, unsur menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan karena menjadi yataamaa lebih ditonjolkan daripada sekedar kawin dengan alasan lainnya, dengan catatan pilihlah wanita dari yataamaa yang disukai.  Catatan ini dapat diasumsikan bertujuan menjaga keseimbangan tentang perbuatan menolong dengan keinginan si penolong, yaitu mengawini seorang wanita yang disukai, karena apabila tidak disukai yang dikawin, maka beban si penolong akan menjadi lebih besar. 

Akan tetapi kalau kehidupan mereka tidak mengkhawatirkan, misalnya dari segi materi, pendidikan, dan lain sebagainya dinilai cukup atau mereka dinilai akan mampu terhindar dari ketidak adilan, maka perintah poligami dengan mereka menjadi gugur, karena dikhawatirkan bukan menolong para yataamaa, akan tetapi sebaliknya, yaitu hanya untuk mengeksploitasi saja. Jadi, bagi para yataamaa yang tidak mengkhawatirkan dari segi keadilan dalam hidup mereka apabila disukai dan mau dikawin, mereka berstatus sama dengan wanita bukan dari golongan yatama, yaitu bukan dengan jalan praktek poligami.

Disinilah penulis melihat letak keagungan ayat tersebut, yaitu adanya hubungan sebab akibat yang rasional, boleh berpoligami asalkan dengan tujuan menolong kehidupan yataamaa. Di mana menolong dalam kebaikan merupakan perbuatan soleh yang dianjurkan, apalagi yang ditolong adalah yataamaa.

Kalau alasan ini yang melatarbelakangi seseorang berpoligami, maka:

  1. Para wanita-wanita yataamaa lebih tertolong, sehingga masa depan mereka lebih baik.
  2. Adanya seorang ayah bagi suatu keluarga merupakan suatu modal status sosial yang sangat berarti, terutama untuk teman bertukar pikiran dalam menghadapi berbagai masalah kekeluargaan.
  3. Dengan tujuan utama menolong keluarga muslim yataamaa, maka praktek poligami akan lebih banyak mempunyai tempat di masyarakat daripada yang ada sekarang ini, karena poligami diimbangi dengan menolong daripada hanya ketamakan.
  4. Dapat menyelesaikan bagian dari permasalahan sosial, sehingga akan membantu meningkatkan kwalitas sosial masyarakat.
  5. Praktek poligami akan terbatas hanya pada para keluarga yataamaa, sehingga kekhawatiran isteri pertama tentang suami akan mempunyai isteri lebih dari satu (simpanan) yang didasari bukan karena menolong dengan wanita selain yataamaa akan terkurangi.

Tentang Nabi Muhammad S.A.W


Setelah turunnya surat Annisa’ ayat 3 tsb.,  maka jumlah istri dibatasi sampai dengan empat orang, dimana sebelumnya tidak ada. Namun yang menarik adalah alasan yang melatarbelakangi Nabi S.A.W terdorong kawin lebih dari satu.

Kita sepakat bahwa hukum-hukum normal yang rasional untuk orang biasa tidak berlaku bagi para Nabi A.S., dalam arti pelanggaran-pelanggaran hukum rasional itu bukan berarti mengurangi kebesaran para Nabi A.S., melainkan sebaliknya, contohnya: ketika Nabi Ibrahim A.S. dimasukkan ke dalam api, maka api tersebut dengan kekuasan-Nya tidak mampu membakar Nabi Ibrahim A.S.. Kita tahu bagaimana proses kehidupan Nabi Isa A.S. mulai sejak dia di dalam kandungan ibunya, ketika ia masih bayi sampai ia dewasa, dan masih banyak contoh lainnya yang bisa dibaca dalam kisah-kisah para Nabi A.S.  di dalam Al-Qur’an.

Katakanlah dalam pembahasan poligami yang dilakukan oleh Rasulullah S.A.W. dapat diterima oleh rasional, maka hal ini hanya untuk mencari latarbelakang beliau S.A.W beristeri lebih dari satu.

Selama 28 tahun ia S.A.W beristerikan Khadijah saja, Setelah Khadijah wafat kemudian  kawin dengan Saudah bt Zam’a janda Sakran b’Amr b’Abd Syams, Saudah adalah termasuk orang yang pertama-tama memeluk Islam, sampai kemudian ia ikut hijrah ke seberang lautan di Abisinia, jadi kalau sesudah itu Nabi S.A.W mengawininya untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat yang setara dengan Ummul-Mukminiin, maka hal ini patut sekali dipuji dan patut juga mendapat penghargaan yang tinggi.

Adapun dengan Aisyah dan Hafsha adalah puteri-puteri dua pembantu dekatnya, Abu Bakar dan Umar. Segi inilah yang membuat Nabi S.A.W mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan puteri-puteri mereka. Sama juga ia mengikatkan diri dengan Ustman dan Ali dengan jalan mengawinkan kedua puterinya dengan mereka.

Perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima dan dengan Umm Salama mempertegas lagi hal ini, Zainab adalah isteri Ubaid bin Harith bin Muttalib yang telah mati syahid, gugur dalam perang Badr. Sedangkan Umm Salama sudah banyak anaknya sebagai isteri Abu Salama, kemudia dalam perang Uhud Abu Salama menderita luka-luka, kemudian sembuh kembali. Oleh Nabi S.A.W ia diserahi pimpinan untuk menghadapi Banu Asad dan berhasil. Tetapi bekas lukanya dari perang Uhud itu terbuka sampai menyebabkan ia meninggal. Perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima adalah demikian juga.

Di sini kita mencoba untuk memakai rasional, seandainya saat itu perkawinan Nabi S.A.W. hanya didasarkan pada godaan selain untuk menolong dan mengikatkan diri dengan para kerabat dekatnya, pasti masih banyak gadis-gadis kaum Muhajirin dan Ansar yang lain yang bersedia dipersunting oleh Nabi S.A.W., yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih kaya dan bersemarak, dan tidak pula ia S.A.W. dibebani dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya, ia S.A.W. memilih mengawini mereka dengan pertimbangan yang luhur itu.

Perkawinanya dengan Zainab bt. Jahsy janda Zaid anak angkat dan bekas budaknya, puteri Umaima bt. Abd’l-Mutallib bibinya, itu untuk melaksanakan hukum yang pada dasarnya menghapus tradisi dan segala adat-istiadat jahiliah, dan yang sekaligus dengan itu ia S.A.W. menetapkan peraturan baru, yang diturunkan Allah S.W.T. sebagai bimbingan dan rahmat bagi Alam Semesta. Yaitu kehendak Tuhan S.W.T. yang ingin menghapus melekatnya hubungan anak angkat dengan keluarga bersangkutan dan asal-usul keluarga itu, yang selama itu menjadi anutan masyarakat Arab sebelum Islam disempurnakan, juga pemberian hak anak kandung kepada anak angkat, segala pelaksanaan hukum termasuk hukum waris dan nasab, dan supaya anak angkat dan pengikut itu hanya mempunyai hak sebagai pengikut dan sebagai saudara seagama, seperti firman-Nya; “Dan tiada pula Ia menjadikan anak-anak angkat kamu menjadi anak-anak kamu. Itu hanya kata-kata kamu dengan mulut kamu saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar” (Al-Quran, 33:4).

Kalau Nabi S.A.W tidak mengawali menghapus tradisi itu, maka yang lain akan enggan melaksanakannya, karena takut apa yang akan dikatakan orang mengawini isteri bekas anak angkatnya, tetapi takut kepada manusia tidak ada artinya dibandingkan dengan takut kepada Tuhan S.W.T., untuk itu Nabi S.A.W. harus mengawalinya agar menjadi panutan bagi kaumnya, biarlah ia S.A.W. menjadi korban dan tidak perduli apa yang akan dikatakan orang demi melaksanakan perintah Tuhan S.W.T. (lihat juga Al-Qur’an 33:37).

Kesimpulan.

Atas dasar tulisan ini penulis menyimpulkan, bahwa praktek poligami hanya dapat dilakukan apabila ia melihat wanita dari keluarga yataamaa, kemudian khawatir tentang kehidupan masa depan mereka, lalu ada perasaan ingin menolong mereka dari masalah itu,  maka boleh juga menolong agar mereka terlindungi dengan jalan mengawininya sebagai isteri yang lain, asalkan disukai, selain itu bukanlah anjuran Alqur'an surat Annisak, ayat 3.

Referensi:

1.      Terjemah & Tafsir Al-Qur’an, Depag RI, Jakarta 1978.
2.      Interpretation of the Meaning of THE NOBLE QUR’AN in English language, Islamic University, Al-Madinah Al-Munawarah, Saudi Arabia, 1996.
3.      Sejarah Hidup Muhammad, Muhammad Husain Haekal, cetakan keduabelas diterjemahkan oleh Ali Audah, Jakarta, 1990.

END.

Friday, March 25, 2016

APA ARTI DIASPORA? - Kajian

PENDAHULUAN

Tulisan ini hanya ingin mengikuti trendi Diaspora Indonesia di berbagai negara yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. Awalnya bagai si Raksasa yang sedang tidur di siang hari tanpa menghiraukan kesibukan di sekelilingnya sampai adanya letupan yang dihembuskan oleh Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Bapak Dino Patti Djalal  yang menggema ke seluruh telinga orang-orang Indonesia di seluruh dunia di mana orang-orang Indonesia berada dan membanngunkan si raksasa Diaspora Indonesia yang lelap. Diaspora Indonesia pantas saja disambut dengan gegap gempita penuh kegembiraan oleh para perantau Indonesia di Luar Negeri, karena selama ini belum ada suatu organisasipun yang bisa menyatukan mereka dari berbagai golongan profesi yang tanpa pandang bulu. Walaupun misalnya ada, maka organisasi-organisasi itu sifatnya organisasi yang mengakomodir di Negara Lokal di mana organisasi itu dibentuk serta bersifat sektoral atau pengelompokan berdasarkan profesi ataupun kelompok masing-masing, bahkan terkadang suatu organisasi hanya untuk satu kota setempat saja.

Dengan adanya Diaspora Indonesia yang terorganais, diharapkan akan mampu untuk menggali potensi yang ada pada para perantau, sehingga dapat dikumpulkan untuk dijadikan sebagai kekuatan tersendiri didalam menyumbangkan pikiran, tenaga, ataupun harta bagi pembangunan serta untuk kemajuan Negara tercinta, Indonesia.

Tentu ini merupakan wadah yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar para perantau Indonesia di Luar Negeri, mengingat telah ada beberapa organisasi diaspora dari negara-negara lain bahkan sudah jauh dan lama terbentuk. Para Diaspora Indonesia banyak yang memiliki potensi mulai dari yang kecil sampai dengan yang besar, mereka banyak yang bekerja di perusahaan-perusahaan baik yang kecil dan tidak terkenal, usaha sendiri sampai dengan yang bekerja di perusahaan-perusahaan ternama dan besar, ataupun mereka yang berhasil dengan usaha mereka sendiri di seluruh penjuru dunia. Mereka bahkan ada yang sudah menetap menjadi penduduk tetap di mana mereka bekerja atau beraktivitas. Akan tetapi, mereka tidak memiliki wadah khusus, mereka memerlukan tempat atau wadah atau jalan yang efisien bagaimana mereka dapat menyumbangkan pengetahuan, keahlian bahkan harta mereka bagi pembangunan serta kemajuan di Indonesia atau, mereka harus diwadahi, sehingga potensi mereka dapat ditampung dan dimanfaatkan terutama untuk mengembangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia baik untuk pengembangan industri, pendidikan, budaya dan yang lain sebagainya.

Adanya Diaspora Indonesia menjadikan para perantau dapat melepaskan tekanan mereka dari ketidak adanya suatu wadah untuk menyalurkan keinginan dalam membantu untuk kemajuan dan pengembangan Indonesia melalui profesi mereka masing-masing.

ARTI DIASPORA

Secara serampangan diaspora berarti sesuatu yang berhamburan dari tempat semula dikarenakan bukan kehendaknya. Atau sesuatu harus keluar dari tepat kelompoknya dikarenakan desakan dari dalam ataupun dari luar kelompoknya di mana sebenarnya dia masih ingin tetap bertahan untuk tetap bersama kelompoknya. Akan tetapi pada kenyataannya diaspora diartikan sebagai berhamburan seseorang dari lingkungan kelompok awalnya baik dikarenakan desakan dari luar ataupun kemauan dari dirinya sendiri baik dirinya sendiri masih ingin bersama kelompoknya ataupun sudah tidak ingin menetap bersama kelompoknya.

Seperti apa yang telah disebutkan di atas sesuatu yang berhamburan itu memang bisa disebabkan oleh dua sebab, yaitu adanya gaya luar yang memaksanya untuk keluar dari tempatnya yang semula dan atau akibat dari gaya yang berkembang di dalam dirinya sendiri.

Istilah Diaspora berasal dari bahasa Yunani, diaspeiro, berarti "Aku tersebar", "Aku menyebar di sekitar", dan kata diaspora terdiri dari kata "dia", yang berarti "antara, melalui, melintasi"  dan kata kerja "speiro", yang berarti "aku tertabur, aku tersebar". Pada zaman Yunani kuno istilah diaspora  berarti "penyebaran", hal itu antara lain digunakan untuk merujuk kepada warga Negara Kota yang dominan yang melakukan pengusiran ke Negeri yang telah ditaklukan dengan tujuan untuk kolonisasi, untuk mengassimilasi atau menyatukan wilayah ke dalam wilayah Kekaisaran si penakluk. Contoh diaspora dari era klasik adalah pembuangan sepanjang abad orang-orang Messenians di bawah pemerintahan Sparta.

Diaspora juga dapat merujuk kepada pergerakan penduduk dari tanah air asli mereka ke luar. Diaspora telah dipakai untuk merujuk khususnya kepada sejarah penyebaran massa yang bersifat terpaksa, seperti pengusiran orang Yahudi dari Yudea, orang-orang melarikan diri dari Yunani setelah jatuhnya Constantinople, perdagangan budak Afrika Trans-Atlantik, pengiriman orang-orang dari Selatan Cina atau Hindu Asia Selatan selama perdagangan tenaga kerja/kuli, perpindahan dari Palestina di abad ke-20  dan pengasingan dan deportasi orang-orang Circassians.

Akan tetapi pada perkembangannya para ahli baru-baru ini telah membedakan antara berbagai jenis diaspora, berdasarkan penyebabnya seperti penjajahan, migrasi perdagangan atau tenaga kerja, atau semacam perpaduan/hubungan sosial dalam komunitas diaspora dan hubungannya dengan tanah leluhur. Beberapa komunitas diaspora mempertahankan hubungan politik yang kuat dengan tanah air mereka. Kualitas lain yang mungkin secara khusus banyak terjadi pada diaspora adalah pemikiran untuk kembali ke Negara asal mereka, berhubungan dengan komunitas-komunitas lain dalam diaspora, dan kurangnya integrasi secara penuh dengan Negara yang ditempati.

SEJARAH DIASPORA

Seperti telah dipaparkan dalam Arti Diaspora di atas, sebenarnya diaspora dimulai sejak manusia melakukan pergerakan yang disebabkan oleh keterpaksaan apakah itu dikarekan tekanan dari alam ataupun karena pengusiran akibat peperangan dari tempat asal mereka dalam lingkup area yang kecil waktu itu. Yang perlu dicatat di sini adalah pergerakan atau penyebaran mereka dikarenakan "keterpaksaan", atau lazimnya disebut karena "tekanan".

Karena kemajuan budaya Yunani kuno, maka istilah diaspora mulai dicatat dan digunakan oleh mereka waktu itu, kata diaspora dapat ditemukan di dalam Kitab Injil Hebrew yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Setelah terjemahan Kitab Injil ini kemudian kata "Diaspora" mulai banyak dipakai untuk menggambarkan pengusiran-pengusiran oleh penguasa baru seperti kepada Kerajaan Utara diusir dari Israel oleh Asiria antara 740-722 SM,  orang Yahudi, orang Benyamin, dan Lewi diasingkan dari Kerajaan Selatan  oleh orang Babilon pada tahun 587 SM, dan pengusiran dari Roman Yudea oleh Kekaisaran Romawi pada tahun 70 Masehi.  Kemudian seterusnya digunakan untuk menyebut sejarah gerakan penyebaran etnis penduduk Israel, ke arah pengembangan budaya penduduk itu atau penduduk itu sendiri.

Dalam bahasa Inggris ketika dikapitalkan dan tanpa melakukan perubahan (yaitu menjadi sederhana, Diaspora), istilah yang merujuk khususnya kepada diaspora Yahudi; ketika tidak dikapitalisasi kata diaspora dapat digunakan untuk merujuk kepada pengungsiran atau penyebaran penduduk dari tempat asal-usul mereka atau, suku yang hidup jauh dari tanah air yang didirikan atau leluhur mereka.

Pemakaian kata diaspora yang lebih luas kemudian berevolusi, berubah  setelah penaklukan penduduk Assyrian dalam kebijaksanaan deportasi massal dua-arah untuk melawan tuntutan teritorial masa depan mereka.

ARTI DIASPORA SESUNGGUHNYA

Dari uraian di atas, maka arti "Diaspora" sesungguhnya adalah ada dua seperti berikut ini:

Yang pertama menurut istilah aslinya adalah, suatu pernyebaran atau pergerakan individu atau penduduk dengan sebab keterpaksaan dari lingkungan, pergolakan atau tekanan-tekanan lainnya, pergerakan itu merupakan satu-satunya pilihan, sehingga apabila mereka tidak melakukan pergerakan itu akan dapat menyebabkan mereka menjadi bahaya termasuk kebinasaan.

Yang kedua adalah, seperti pengembangan yang dilakukan oleh para ahli dalam pemakaiannya, yaitu penyebaran penduduk dari Negara asal berdasarkan penyebabnya misalnya seperti penjajahan, migrasi perdagangan atau tenaga kerja, atau semacam perpaduan/hubungan sosial dalam komunitas diaspora dan hubungannya dengan tanah leluhur.

KESIMPULAN

Dengan penjelasan di atas, maka yang dimaksud diaspora sebenarnya adalah; seseorang atau sekelompok masyarakat yang berasal dari daerah asal yang sama dan terpaksa harus berpindah ke tempat (negara) yang baru dikarenakan bahaya yang mengancam diri mereka, perpindahan itu adalah satu-satunya pilihan apabila mereka ingin tetap bertahan hidup, akan tetapi kemudian istilahnya berkembang dan diartikan secara umum dengan arti penyebaran individu atau perduduk keluar dari tanah leluhur mereka.

Referensi:
https://en.wikipedia.org/wiki/Diaspora

END
Medio, 25/03/2016

Saturday, March 19, 2016

MENGAPA RUKUN IMAN?, KOK BUKAN RUKUN YAKIN?


Tetapi Allah menjadikan kamu “cinta” kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hujurat: 7-8)

UMUM

Pengertian yang berlaku pada umumnya ketika disebutkan kata "iman", maka itu berarti keyakinan, demikian pula apabila disebutkan kata "yakin", maka itu adalah keimanan juga.

Orang terkadang mengasumsikan bahwa keduanya, "Iman" dan "Yakin" itu bagaikan sesuatu bentuk yang sebangun akan tetapi hanya besarnya saja (baca kadarnya saja) yang berbeda. Ketika penulis mengajukan pertanyaan sesuai yang disebutkan pada judul tulisan ini, maka hal itu menjadikan Penulis terkadang merasa ragu tentang keduanya itu (iman dan yakin) adalah sama atau, dikatakan sebangun yang hanya dibedakan dari kadarnya saja. Lalu Penulis mencoba untuk mencari-cari jawaban tentang arti dan juga makna dari kedua kata itu. Apakah mereka itu memang seperti yang disebutkan demikian itu. Ternyata, Penulis menemukan sesuatu seperti yang telah diduga.

Untuk lebih lengkapnya, mari kita lihat uraian di bawah ini untuk mencoba mengungkap makna sebenarnya walaupun kemungkinan bukanlah yang sebenarnya, akan tetapi paling tidak mencoba mencari jalan agar di kemudian hari kita dapat memakai mereka sesuai pada tempatnya.

Tulisan ini dibuat dengan tujuan ingin memaparkan, menguraikan serta menjelaskan secara hati-hati demi untuk mencari pemaknaan yang sesuai tentang perbedaan antara kata "iman" dan kata "yakin", tentu dalam pandangan Agama Islam, dan Penulis mengharapkan pada para Pembaca yang percaya nantinya setelah membaca tulisan ini diharapkan akan dapat mengetahui perbedaan mereka agar dapat menempatkan kata "iman" atau kata "yakin" pada penggunaan sebagaimana mestinya, agar didalam pemakaian kedua kata itu tidak bercampur aduk tanpa ada ketidak tentuan arahnya.

IMAN

Iman berasal dari bahasa Arab yang berarti percaya, dan secara istilah menurut bukti yang didapat oleh Penulis adalah mempercayai sesuatu yang tidak dapat dilihat akan tetapi bisa dijangkau dengan/secara akal atau masuk akal. Dari definisi yang dijelaskan ini, maka iman bukanlah hal yang mudah, inilah yang menyebabkan beriman di dalam Islam merupakan suatu ibadah bagi yang sudah menjadi Islam, sehingga siapa yang memilikinya akan mendapatkan pahala dari Allah S.W.T.  Jadi, apabila seseorang mengimani sesuatu, ini sebenarnya orang itu mempercayai sesuatu dimana dia tidak akan pernah melihat sesuatu itu secara gamblang di dunia ini atau, bahkan kemungkinan dia tidak akan pernah melihatnya walaupun dia berada di Akhirat nanti.

Ketika seseorang mengimani bahwa Allah S.W.T itu ada, maka jangan mengharapkan dia dapat melihat Allah S.W.T ketika dia masih hidup di dunia ini. Ketika seseorang mengimani takdir, maka jangan harap kelak dia akan dapat menyaksikan tentang takdir yang telah didapatnya karena takdir yang telah terjadi adalah terjadi ketika dia masih hidup di dunia, akan tetapi apa yang telah terjadi itu merupakan takdir atau bukan dia tidak pernah melihatnya.

Ketika seseorang mengimani bahwa Al Qur'an itu adalah Kalamullah, maka jangan harap dia dapat menyaksikan bahwa Allah sedang berfirman ketika Al Qur'an diwahyukan kepada Rasul S.A.W. Ketika seaeorang beriman kepada Muhammad S.A.W sebagai Rasul Allah S.W.T, maka jangan harap dia dapat menyaksikan ketika Allah S.W.T sedang menobatkan Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul-Nya.  Demikian pula ketika seseorang mengimani adanya hari Akhirat, jangan mengharapkan ketika di dunia ini  dapat melihat kehidupan Akhirat. Inilah definisi iman yang sebenarnya, yaitu mempercayai sesuatu yang tidak mungkin dapat ia lihat dan tidak mungkin ia menyaksikan apa yang diimani itu ketika dia masih berada di dunia ini, bahkan dia mungkin tidak akan pernah melihat apa yang dia imani itu baik di dunia ataupun di akhirat nanti.

Banyak ayat-ayat di dalam Al Qur'an yang menyebutkan tentang keimanan. Dimana keimanan itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilalui sebelum menjadi Islam. Hal itu mengapa dikatakan begitu, jikalau hanya beriman saja seseorang belum bisa dikatakan Islam, jika ingin dikatakan muslim, maka seseorang selain beriman juga harus melaksanakan perintah wajib lainnya yang sudah ditetapkan oleh Al Qur'an, misalnya beramal soleh, sholat, puasa, berinfak dan lain sebagainya.  Jadi, iman itu merupakan "kunci pembuka" bagi seseorang untuk menjadi Islam. Yang utama yaitu beriman terhadap adanya Allah sebagai tuhan untuk semesta alam ini.

Mari kita buktikan bahwa arti iman itu secara istilah seperti apa yang didefinisikan di atas melalui Rukun Iman. Seperti telah diketahui bahwa rukun Iman ada 6 perkara antara lain:
1. Beriman kepada Allah S.W.T.,
2. Beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya
3. Beriman kepada Kitab-kitab-Nya
4. Beriman kepada Para Nabi dan Rasul-Nya
5. Beriman kepada Hari Kiamat
6. Beriman kepada Qadha dan Qadhar Allah, yang baik ataupun yang buruk.

Dari perkara isi Rukun Iman di atas jelas sekali bahwa sesuatu yang diperintahkan untuk diimani adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara nyata di Dunia ini, tak satupun akan dapat dilihat secara nyata di dunia ini akan tetapi dapat  diterima secara akal. Rukun Iman di atas merupakan keimanan yang memiliki urutan semacam efek domino. Untuk lebih jelasnya mari kita membahas satu-persatu

Beriman Kepada Allah SWT dan kepada Malaikat-malaikat-Nya.

Sebenarnya tanpa dijelaskan kedua zat tersebut dipastikan tidak akan  dapat dilihat oleh manusia ketika manusia masih hidup di dunia ini, adalah setelah mereka mati dan berada di Alam Kubur saja harus diyakini bahwa manusia akan dapat melihat Malaikat, bahkan untuk melihat Allah S.W.T. hanya dapat terjadi ketika manusia dihadapkan pada Hari Perhitungan di Akhirat Nanti setelah Hari Kiamat. Maksud dari keimanan itu adalah apakah Allah S.W.T. itu ada dan Dia juga sebagai Tuhan dari Alam Semesta ini, serta Malaikat-malaikat itu ada dan merupakan Malaikat-malaikat Allah S.W.T. Tanpa diawali dengan kematian terlebih dahulu, maka membuktikan keimanan ini tidaklah mungkin terjadi.

Beriman kepada Kitab-kitab-Nya

Kitab-kitab Allah S.W.T. memang nyata ada, akan tetapi pertanyaannya adalah; apakah merupakan kitab-kitab yang diturunkan sebagai wahyu dari Allah S.W.T.? Sehinnga semua yang tertulis sesuai apa yang telah diwahyukan melalui Rasul-rasul-Nya adalah benar-benar dari Firman-Nya. Disini jelas sekali ummat dituntut untuk mengimani bahwa apa yang tertulis di dalam Kitab-kitab-Nya adalah Firman-Nya.

Walaupun banyak ayat yang menurut akal tidak mungkin dapat dikatakan oleh manusia biasa saat itu, sesuatu ungkapan untuk mengatakannya secara detail membutuhkan sarana dan prasarana khusus dimana ketika itu sarana dan prasarana itu belum dibuat, lalu ungkapan itu terbukti di kemudian hari setelah sekian ribu tahun ketika setelah sarana dan prasarana yang memadai berhasil dibuat oleh manusia, sehingga disimpulkan bahwa, hanya dari Sang Penciptalah yang dapat mengatakan unkapan itu saat itu. Namun untuk membuktikan bahwa Kitab-kitab itu adalah Kitab-kitab-Nya, adalah nanti setelah bertemu dengan-Nya. Saat ini cukuplah mengimaninya saja.

Beriman kepada Para Nabi dan Rasul-Nya

Sama halnya dengan mengimani Kitab-kitab-Nya, wujudnya ada dan orang-orang pada jaman mereka juga melihat dan hidup bersama mereka, pertanyaannya adalah; apakah Nabi-nabi dan Rasul-rasul itu benar-benar diangkat dan mereka merupakan utusan Tuhan, Allah S.W.T.? Karena Nabi dan Rasul merupakan kepangkatan yang diberikan oleh Allah S.W.T. kepada orang-orang yang dipilih-Nya dimana kepangkatan itu tidak dapat dibuktikan secara nyata, untuk membuktikan itu secara nyata mengharuskan  manusia bertemu dengan Yang Memberi Pangkat dan yang diberi pangkat secara bersamaan ketika kepangkatan itu dianugerahkan, sehingga pembuktiannya dapat dilihat dengan nyata, hal ini hanya memungkinkan ketika para Nabi dan Rasul itu berada di Akhirat berkomunikasi dalam menerima perintah-Nya. Untuk saat ini yang diperlukan hanyalah mengimaninya saja.

Beriman kepada Hari Kiamat

Hari Kiamat merupakan hari dimana semua makhluk dimatikan oleh Allah S.W.T. dan juga diimani bahwa Hari Kiamat merupakan hari dimana  Dunia ini dihancurkan oleh Nya. Setelahnya dilanjutkan dengan hari Akhirat yaitu merupakan hari perhitungan dari/akibat perbuatan yang dilakukan manusia  ketika masih hidup di Dunia. Pertanyaannya adalah, adakah yang disebut Hari Kiamat itu?. Untuk membuktikannya adalah harus menunggu dari akhir Alam Dunia ini. Artinya hal ini tidak dapat dilihat secara nyata ketika manusia masih hidup kecuali kiamat kecil-kecil berupa bencana akan tetapi itu bukanlah apa yang dimaksud dengan Rukun Iman agar manusia beriman kepada Hari Kiamat.

Lalu  bagaimana dengan kalimat terakhir ayat 4 dari surat Albaqarah yang berbunyi, "Dan kepada akhirat mereka yakin"?. Yang dimaksud akhirat di sini adalah, bahwa semua yang ada itu memiliki suatu akhir, artinya semua yang ada ini tidaklah abadi. Semua makhluk akan berakhir dengan kematian, kekayaan akan berakhir ketika menjadi miskin, kemiskinan akan berakhir ketika menjadi kaya, dunia akan berakhir dengan datangnya hari kiamat, dan lain sebagainya. Jadi, berakhirnya sesuatu itu merupakan hal yang nyata dapat dilihat untuk itu ia tidak termasuk dalam renah iman.

Beriman kepada Qadha dan Qadhar Allah S.W.T, yang baik ataupun yang buruk

Hal ini juga sama saja, untuk membuktikan tentang keberuntungan ataupun celaka ketidak baikan atas usaha yang telah dilakukan merupakan keputusan dari Allah S.W.T. Bagaimana cara membuktikan hal ini walaupun secara akal dapat diterima?, Membuktikan peran Allah SWT, sehingga apa yang telah terjadi merupakan apa yang telah ditentukan-Nya.

Apa yang telah dijelaskan di atas tentang Rukun Iman merupakan suatu bukti bahwa Iman itu merupakan suatu keharusan untuk mempercayai yang diperintahkan untuk diimani tanpa harus melihat bukti ketika yang beriman itu masih hidup walaupun yang diimani itu merupakan keperrcayaan yang dapat diterima secara akal atau tidak.

YAKIN

Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu suatu keyakinan. (QS: Alhijr: 99)

Yakin berasal dari bahasa Arab pula yang berarti percaya. Akan tetapi secara istilah menurut bukti yang didapat oleh Penulis bahwa yakin betarti percaya kepada sesuatu yang dapat dijangkau dengan akal dan dapat pula dibuktikan dengan indera ketika dia masih berada di dunia ini atau, sesuatu keimanan menjadi keyakinan setelah apa yang diimani itu menjadi kenyataan ketika dia sudah meninggalkan dunia ini.

Dengan kata lain bahwa yakin itu adalah kepercayaan yang dapat diterima akal dan pasti akan terbukti dan disaksikan indera atau, yakin itu awalnya merupakan suatu keimanan, lalu yang dimani telah terbukti ketika sudah meninggal dunia berada di Alam Akhirat, sehingga ketika melihat bukti keimanannya ketika ia sudah berada di Alam Akhirat, keimanan itu berubah menjadi suatu keyakinan. Untuk itu di Alam Akhirat nantinya tidak ada lagi keimanan kecuali keyakinan.

Jadi, yakin meruapakan kepercayaan yang hanya dipakai apabila sesuatu yang diyakini itu dapat divisualisasikan dan atau dirasakan di dunia ini atau, sesuatu yang diimani telah terbukti setelah meninggal dunia. Wilayah yakin akan lebih dibuktikan oleh panca indra.

Misalnya ketika ada seseorang yang jujur sedang mengabari temannya bahwa rumah si fulan temannya yang lain tetbakar, maka orang yang diberi kabar itu apabila mempercayainya dikatakan dia dikategorikan memiliki kepercayaan dengan katagori yakin dalam tingkat yang paling rendah, dan apabila apa yang telah dikabari itu terbukti dengan melewati rumah si fulan dari api yang berkobar atau apabila sudah padam dapat dilihat dari bekas-bekasnya yang ada, maka yakin itu akan menjadi suatu yakin tingkat tinggi.

Atau ada yang mengatakan bahwa jeruk nipis itu kecut. Apabila seseotang mempercayai apa yang telah dikatakan orang bahwa jeruk nipis itu kecut, maka dia sedang melakukan sesuatu kepercayaan yang berhubungan dengan yakin, karrna ia dapat merasakan sendiri tentang apa yang dia yakini itu kertika ia masih di dunia ini.

Jadi, definisi yakin sangat jelas sekali di sini dan mudah untuk dimengerti, untuk itu marilah mencari bukti bahwa yakin itu adalah sesuatu yang telah terbukti dan umumnya dipakai untuk suatu keyakinan yang dapat dibuktikan atau telah terbukti kebenarannya.

 "dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu suatu keyakinan". (QS: Alhijr: 99)
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin, Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). - See more at: http://kang-ihsanth.blogspot.ae/2012/04/yakin-dalam-al-quran.html#sthash.s5IVZjJP.dpuf

Ayat 99 surat Alhijr di atas terdiri dari dua bagian kepercayaan, kepercayaan yang pertama merupakan wilayah iman dan kepercayaan yang kedua adalah wilayah yakin. Ayat ini sebenarnya memperjelas tentang difinisi tentang apa itu "yakin".

Wilayah iman adalah kalimat "dan sembahlah Tuhanmu". Perintah untuk menyembah Tuhan adalah suatu perintah berdasarkan keimanan karena perintah itu ditujukan kepada siapa saja yang mempercayai bahwa yang disebut "Tuhammu" pada ayat ini adalah Tuhan yang memang wajib disembah.

Sedangkan wilayah lainnnya adalah "sampai datang kepadamu keyakinan". Adanya kata "sampai datang kepadamu keyakinan" sebenarnya merupakan suatu penjelasan dengan sendirinya bahwa keyakinan itu akan datang setelah ada bukti, yaitu bukti bahwa yang disebut dalam ayat ini sebagai "Tuhanmu" adalah benar-benar Tuhan setelah sipenyembah itu bertemu Tuhan setelah dia meninggal dunia. Untuk itu ada beberapa tafsir yang mengartikan "keyakinan" pada ayat ini adalah "kematian" atau "ajal", karena setelah kematianlah adanya Tuhan S.W.T dapat dibuktikan.

"Dan sungguh dia (Al Quran) adalah haqqul yakin". (QS: Al Haqqah: 51).
"Sesungguhnya (yang telah disebutkan itu) adalah suatu haqqul yakin". (QS: Al Waqiah: 95)

Firman Allah S.W.T. dengan pemakaian kata "haqqul yakin", pada kedua ayat di atas merupakan penekanan pada suatu penyebutan kebenaran  kelak ketika di Akhirat. Ayat-ayat pada surat-surat bersangkutan sebelum penyebutan kata "haqqul yakin" adalah menceritakan keadaan di Akhirat sampai dengan pembagian dua golongan, yaitu Golongan Penerima Buku dengan Tangan Kanan atau Golongan Kanan, dan Golongan Penerima Buku denganTangan Kiri atau Golongan Pendusta dan Sesat. Bahwa apa yang telah digambarkan ataupun yang telah diceritakan sebagaimana disebutkan atau dijanjikan di dalam Alqur'an kepada manusia ketika di dunia telah terbukti kebenarannya di Akhirat. Hal inilah yang menyebabkan Allah S.W.T berfirman di Akhirat nanti setelah semua yang telah difirmankan di dalam Alqur'an tentang keadaan bagaimana Alam Akhirat dan ternyata benar-benar telah terbukti, lalu saat itu ketika di Akhirat Allah S.W.T. berfirman dengan menegaskan bahwa Alqur'an itu "Haqqul Yakin" adanya. Artinya secara tersirat selama semuanya belum terbukti cukuplah diimani saja.

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin, Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). - See more at: http://kang-ihsanth.blogspot.ae/2012/04/yakin-dalam-al-quran.html#sthash.s5IVZjJP.dpuf
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan ilmu pengetahuan yang yakin, Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin, Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)". (QS: Attakatsur: 1 s/d 8).

Isi dari surat Attakatsur di atas memberikan gambaran tentang tingkatan dari "Yakin", yaitu ada dua saja, yang pertama adalah "Ilmul Yakin", yang kedua adalah "Ainul Yakin", sedangkan yang ketiga seperti di sebutkan dalam dua ayat sebelumnya dalam surat Al Haqqah dan Al Waqiah, "Haqqul Yakin" bukanlah termasuk tingkatan dari keyakinan, untuk itu mari kita lihat seperti pemaparan berikut ini.

"Ilmul Yakin" merupakan suatu keyakinan berdasarkan ilmu pengetahuan bahwa apa yang dilihat menurut teropong/mata ilmu pengetahuan atau perhitungan yang dimiliki pasti akan dapat terjadi. Suatu contoh adalah ramalan cuaca, perkiraan dampak kehancuran yang akan terjadi akibat serangan dengan menggunakan hulu ledak bom tertentu, jumlah minyak yang terkandung di dalam suatu sumur minyak yang baru dieksplorasi dan prediksi-pediksi lainnya yang berhubungan dengan perhitungan berdasarkan ilmu pengetahuan alam.

Sedangkan "Ainul Yakin"adalah keyakinan yang ditimbulkan akibat penyaksian. Hal ini cukup mudah diterangkan. Seseorang yang tadinya tidak percaya bahwa si Fulan temannya yang pendiam dikhabarkan menyukai Narkoba, dia lalu menjadi yakin setelah melihatnya dengan matanya sendiri. Keyakinan ini disebut "Ainul Yakin". "Ainul Yakin" bukan saja dibuktkan hanya dengan "Mata", akan tetapi dapat juga dengan panca indera lainnya.

Lalu bagaimana dengan "Haqqul Yakin"?. Definisi "Haqqul Yakin" merupakan suatu definisi yang diawali dengan proses yang berhubungan dengan keimanan.  Ketika seseorang mengimani sesuatu yang tersirat di dalam Alqur'an, lalu kelak apa yang diimani itu terbukti, maka apa yang diimani itu berubah menjadi suatu keyakinan, dan keyakinan tentang keimanan yang demikian itu disebut "Haqqul Yakin", yaitu keyakinan yang akhirnya benar atau keyakinan terhadap suatu yang diimani apa yang tersirat di dalam Alqur'an dan benar-benar terbukti.  "Haqqul Yakin" bukanlah suatu istilah keyakinan seperti "Ilmul Yakin" atau "Ainul Yakin", akan tetapi ia merupakan sebutan terhadap apa yang tersirat tentang yang diimani itu lalu terbukti, maka yang tersirat itu disebut "Haqqul Yakin".

"Dan orang-orang yang beriman kepada apa-apa yang diturunkan kepadamu, serta apa-apa yang telah diturunkan sebelummu, dan kepada kebinasaan mereka yakin" (QS Albaqarah, ayat 4).

Surat Albaqarah ini juga menerangkan bahwa penyeruan kepada mereka yang beriman bahwa mereka yakin kepada suatu keadaan kebinasaan. Arti dari kebinasaan bagi individu adalah kematian, sedangkan bagi benda karena tidak ada kematian, maka akhir dari padanya adalah ketiadaannya dikarenakan faktor perubahan alam, misalnya karena adanya bencana, atau karena cuaca, atau karena sengatan sinar matahari, atau karena curah hujan serta kombinasi dari mereka itu. Peristiwa-peristiwa berakhirnya sesuatu itu dapat disaksikan oleh mata kepala seseorang sehingga mereka menjadi binasa atau berakhir.

Ada banyak kalangan menafsirkan "kebinasaan" atau "akhir" itu adalah hari akhir atau kiamat. Penulis mendapati bahwa yang dimaksud "kebinasaan" atau "akhir" di ayat ini adalah kematian atau berakhirnya dari sesuatu yang dapat dilihat oleh manusia ketika masih hidup.

KESIMPULAN

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin, Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). - See more at: http://kang-ihsanth.blogspot.ae/2012/04/yakin-dalam-al-quran.html#sthash.s5IVZjJP.dpuf
Dari uraian di atas akan menjadi jelas mengapa Rukun Iman tidak dinamakan Rukun Yakin, karena perbedaan antara Iman dan Yakin itu jelas sekali. Iman membutuhkan keteguhan untuk mempercayai sesuatu sedangkan Yakin tidak, karena yakin mempercayai sesuatu yang sudah memiliki bukti. Artinya, Iman itu merupakan suatu kepercayaan terhadap sesuatu dengan memaksa kepada seseorang untuk mempercayai dengan anggapan bahwa pembuktiannya hanya dapat dilakukan ketika orang tu meninggal dunia, sehingga keimanan itu memiliki nilai ibadah. Sedangkan Yakin merupakan kepercayaan terhadap sesuatu yang sudah terbukti kebenarannya, artinya tidak lagi membutuhkan pemaksaan atau usaha terhadap yang mempercayainya untuk menjadi percaya, sehingga yakin tidak memiliki nilai ibadah.

END.

Abu Dhabi, Medio 19 Maret, 2016
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin, Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). - See more at: http://kang-ihsanth.blogspot.ae/2012/04/yakin-dalam-al-quran.html#sthash.s5IVZjJP.dpuf
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin, Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). - See more at: http://kang-ihsanth.blogspot.ae/2012/04/yakin-dalam-al-quran.html#sthash.s5IVZjJP.dpuf

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin, Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). - See more at: http://kang-ihsanth.blogspot.ae/2012/04/yakin-dalam-al-quran.html#sthash.s5IVZjJP.dpuf