Poligami Kebanyakan.
Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu: polus
berarti banyak, dan gamos berarti perkawinan, sehingga poligami berarti
kawin (beristeri/bersuami) banyak. Dalam tulisan ini poligami agar dibaca pria
muslim beristeri dua, tiga sampai dengan empat.
Pelaksanaan poligami pada umumnya memiliki tujuan utama
menghindari perbuatan perzinahan serta pelanggaran-pelanggaran lain dari norma agama Islam yang dilatarbelakangi oleh
banyak hal, yang mana mereka mengetahui bahwa Islam memperbolehkan praktek
poligami berdasarkan atas Al-Qur’an surat Annisak, ayat 3:
“Dan kalau kamu takut takkan dapat berlaku lurus terhadap yataamaa, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, dan tiga, dan empat. Tetapi kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku adil, hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu. Yang demikian itu adalah cara terdekat untuk tidak berbuat aniaya”.
“Dan kalau kamu takut takkan dapat berlaku lurus terhadap yataamaa, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, dan tiga, dan empat. Tetapi kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku adil, hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu. Yang demikian itu adalah cara terdekat untuk tidak berbuat aniaya”.
Alasan Yang Tidak Rasional.
Surat Annisak, ayat 3 jika diterjemahkan apa adanya (baca sesuai teksnya) terdiri
dari 5(lima) kalimat utama, yaitu:
- Dan
kalau kamu takut takkan dapat berlaku lurus terhadap yataamaa,
- maka
kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, dan tiga, dan empat.
- Tetapi
kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku adil,
- hendaklah seorang saja atau yang sudah
ada menjadi milik kamu .
- Yang
demikian itu adalah cara terdekat untuk tidak berbuat aniaya.
Tafsir yang beredar mengartikan surat Annisak, ayat 3 antara
lain sebagai berikut (dalam 5 kalimat):
I. Terjemahan & Tafsir Al-Qur’an, Depag RI, Jakarta 1978:
- Dan jika kamu merasa takut tidak akan
dapat berlaku adil bila mengawini anak-anak yatim itu,
- maka
kawinilah wanita-wanita lain yang kamu sukai: Dua, tiga,
atau empat.
- Tetapi
jika kamu khawaatir takkan dapat berlaku adil antara wanita-wanita
itu,
- maka kawinilah
seorang saja atau hamba sahaya yang kamu miliki.
- Yang
demikian itu adalah cara terdekat untuk tidak berbuat aniaya.
1. And
if you fear that you shall not be able to deal justly with the orphan girls
2. then
marry (other) women of your choice, two or three, or four;
3. but
if you fear that you shall not be able to deal justly (with them),
4. then
only one or (slaves) that your right hands possess.
5. That
is nearer to prevent you from doing injustice.
Adanya tambahan kata “bila mengawini” dalam kalimat pertama,
dan kata “lain” dalam kalimat kedua pada terjemahan I, dan tambahan kata
“other” dalam kalimat kedua pada terjemahan II, keduanya merubah makna ayat
tsb., sehingga dapat merubah pula latarbelakang atau alasan seseorang dalam
berpoligami.
Akan tetapi kalau disimak lebih dalam lagi pada terjemahan I
ataupun II di atas, maka maknanya dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Apabila
kalimat pertama dan kedua digunakan, maka dapat diartikan sebagai berikut ini; apabila seseorang merasa khawatir tidak dapat berlaku adil apabila berpoligami
dengan para yatim, kemudian dianjurkan untuk berpoligami dengan
wanita-wanita selain yatim, atau dapat diartikan bahwa kalau khawatir
tidak dapat berlaku adil jika berpoligami dengan para yatim, maka boleh
berlaku tidak adil asalkan berpoligami dengan bukan dari golongan yatim.
Akan tetapi pada kalimat ketiga pelaku poligami masih dituntut untuk
berlaku adil terhadap isteri-isterinya, artinya kalau pelaku poligami bisa
melaksanakan keadilan dengan ‘wanita lain’ sesuai perintah pada kalimat
ketiga, lalu mengapa harus berpoligami dengan wanita bukan golongan yatim?,
toh pada dasarnya pelaku poligami itu dapat berlaku adil. Di awalnya dikatakan
“jika tidak dapat berlaku adil”, kemudian pada kalimat ketiga masih
dituntut untuk berbuat adil, jadi ada kontradiksi atau kekacauan pemaknaan.
- Seandainya
ada seorang yang dapat berlaku adil jika berpoligami dengan para yatim,
berapa batasan jumlah isteri yang dapat dikawini dari golongan yatim?,
yang pasti, bukan dua, atau tiga, atau empat, karena bilangan-bilangan tersebut
hanya diperuntukkan apabila kawin
dengan ‘wanita lain’, bukan dengan para yatim. Ini masih menyisakan pertanyaan besar juga.
- Kalaulah pemaknaan tersebut merupakan keyakinan yang dikemas menjadi sesuatu, katakanlah “kesepakatan”, maka dalam berpoligami akan ada skala prioritas, yaitu mereka harus mencoba/mencari untuk berpoligami dengan para yataamaa sebagai prioritas pertama, kemudian apabila dirasa atau khawatir tidak dapat berlaku adil, kemudian boleh dengan wanita lain yang disukai sebagai prioritas kedua, tetapi hal ini masih menyisakan satu pertanyaan, tentang batasan jumlah isteri dari golongan yatim.
Alasan Yang Rasional
Ayat tersebut di atas kalau diterjemahkan apa adanya dapat
bermakna; apabila seseorang merasa khawatir terhadap para yatim (yataamaa)
tentang suatu kemungkinan adanya perlakuan yang tidak selayaknya, atau khawatir
tentang perjalanan hidup yataamaa tanpa adanya seorang “ayah”, maka
dianjurkan untuk mengawini wanita-wanita (ibu sianak yatim atau
perempuan-perempuan yatim) yang disukai dua, tiga sampai dengan empat orang.
Secara akal (baca: rasional) ini dapat diartikan agar kita
menolong para keluarga yataamaa dengan mengawini perempuan yang disukai, agar
mereka dapat hidup layak sebagaimana keluarga lain yang bukan yataamaa, yaitu agar
mereka terbimbing dan atau terlindungi dari masa depan yang kurang menguntungkan, baik dari segi
akidah maupun dari segi nafkah. Jadi, unsur menolong orang lain yang sedang
dalam kesulitan karena menjadi yataamaa lebih ditonjolkan daripada sekedar kawin
dengan alasan lainnya, dengan catatan pilihlah wanita dari yataamaa yang disukai. Catatan ini dapat diasumsikan bertujuan menjaga keseimbangan tentang perbuatan
menolong dengan keinginan si penolong, yaitu mengawini seorang wanita yang disukai, karena apabila tidak disukai yang dikawin, maka beban si penolong akan menjadi lebih besar.
Akan tetapi kalau kehidupan mereka tidak
mengkhawatirkan, misalnya dari segi materi, pendidikan, dan lain sebagainya dinilai cukup atau
mereka dinilai akan mampu terhindar dari ketidak adilan, maka perintah poligami
dengan mereka menjadi gugur, karena dikhawatirkan bukan menolong para yataamaa,
akan tetapi sebaliknya, yaitu hanya untuk mengeksploitasi saja. Jadi, bagi para
yataamaa yang tidak mengkhawatirkan dari segi keadilan dalam hidup mereka apabila
disukai dan mau dikawin, mereka berstatus sama dengan wanita bukan dari
golongan yatama, yaitu bukan dengan jalan praktek poligami.
Disinilah penulis melihat letak keagungan ayat tersebut, yaitu
adanya hubungan sebab akibat yang rasional, boleh berpoligami asalkan dengan
tujuan menolong kehidupan yataamaa. Di mana menolong dalam kebaikan
merupakan perbuatan soleh yang dianjurkan, apalagi yang ditolong adalah yataamaa.
Kalau alasan ini yang melatarbelakangi seseorang
berpoligami, maka:
- Para wanita-wanita
yataamaa lebih tertolong, sehingga masa depan mereka lebih baik.
- Adanya
seorang ayah bagi suatu keluarga merupakan suatu modal status sosial yang
sangat berarti, terutama untuk teman bertukar pikiran dalam menghadapi
berbagai masalah kekeluargaan.
- Dengan
tujuan utama menolong keluarga muslim yataamaa, maka praktek poligami akan
lebih banyak mempunyai tempat di masyarakat daripada yang ada sekarang
ini, karena poligami diimbangi dengan menolong daripada hanya ketamakan.
- Dapat
menyelesaikan bagian dari permasalahan sosial, sehingga akan membantu
meningkatkan kwalitas sosial masyarakat.
- Praktek
poligami akan terbatas hanya pada para keluarga yataamaa, sehingga
kekhawatiran isteri pertama tentang suami akan mempunyai isteri lebih dari
satu (simpanan) yang didasari bukan karena menolong dengan wanita selain yataamaa akan terkurangi.
Tentang Nabi Muhammad S.A.W
Setelah turunnya surat Annisa’ ayat 3 tsb., maka jumlah istri dibatasi sampai dengan
empat orang, dimana sebelumnya tidak ada. Namun yang menarik adalah alasan yang
melatarbelakangi Nabi S.A.W terdorong kawin lebih dari satu.
Kita sepakat bahwa hukum-hukum normal yang rasional untuk
orang biasa tidak berlaku bagi para Nabi A.S., dalam arti pelanggaran-pelanggaran
hukum rasional itu bukan berarti mengurangi kebesaran para Nabi A.S., melainkan
sebaliknya, contohnya: ketika Nabi Ibrahim A.S. dimasukkan ke dalam api, maka api
tersebut dengan kekuasan-Nya tidak mampu membakar Nabi Ibrahim A.S.. Kita tahu
bagaimana proses kehidupan Nabi Isa A.S. mulai sejak dia di dalam kandungan ibunya,
ketika ia masih bayi sampai ia dewasa, dan masih banyak contoh lainnya yang
bisa dibaca dalam kisah-kisah para Nabi A.S. di dalam Al-Qur’an.
Katakanlah dalam pembahasan poligami yang dilakukan oleh
Rasulullah S.A.W. dapat diterima oleh rasional, maka hal ini hanya untuk mencari
latarbelakang beliau S.A.W beristeri lebih dari satu.
Selama 28 tahun ia S.A.W beristerikan Khadijah saja, Setelah
Khadijah wafat kemudian kawin dengan
Saudah bt Zam’a janda Sakran b’Amr b’Abd Syams, Saudah adalah termasuk orang yang
pertama-tama memeluk Islam, sampai kemudian ia ikut hijrah ke seberang lautan
di Abisinia, jadi kalau sesudah itu Nabi S.A.W mengawininya untuk memberikan
perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat yang setara dengan
Ummul-Mukminiin, maka hal ini patut sekali dipuji dan patut juga mendapat
penghargaan yang tinggi.
Adapun dengan Aisyah dan Hafsha adalah puteri-puteri dua
pembantu dekatnya, Abu Bakar dan Umar. Segi inilah yang membuat Nabi S.A.W
mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan
puteri-puteri mereka. Sama juga ia mengikatkan diri dengan Ustman dan Ali
dengan jalan mengawinkan kedua puterinya dengan mereka.
Perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima dan dengan Umm
Salama mempertegas lagi hal ini, Zainab adalah isteri Ubaid bin Harith bin
Muttalib yang telah mati syahid, gugur dalam perang Badr. Sedangkan Umm Salama
sudah banyak anaknya sebagai isteri Abu Salama, kemudia dalam perang Uhud Abu
Salama menderita luka-luka, kemudian sembuh kembali. Oleh Nabi S.A.W ia diserahi
pimpinan untuk menghadapi Banu Asad dan berhasil. Tetapi bekas lukanya dari
perang Uhud itu terbuka sampai menyebabkan ia meninggal. Perkawinannya dengan
Zainab bt. Khuzaima adalah demikian juga.
Di sini kita mencoba untuk memakai rasional, seandainya saat
itu perkawinan Nabi S.A.W. hanya didasarkan pada godaan selain untuk menolong
dan mengikatkan diri dengan para kerabat dekatnya, pasti masih banyak
gadis-gadis kaum Muhajirin dan Ansar yang lain yang bersedia dipersunting oleh Nabi
S.A.W., yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih kaya dan bersemarak, dan tidak
pula ia S.A.W. dibebani dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya, ia S.A.W. memilih
mengawini mereka dengan pertimbangan yang luhur itu.
Perkawinanya dengan Zainab bt. Jahsy janda Zaid anak angkat
dan bekas budaknya, puteri Umaima bt. Abd’l-Mutallib bibinya, itu untuk
melaksanakan hukum yang pada dasarnya menghapus tradisi dan segala
adat-istiadat jahiliah, dan yang sekaligus dengan itu ia S.A.W. menetapkan
peraturan baru, yang diturunkan Allah S.W.T. sebagai bimbingan dan rahmat bagi Alam
Semesta. Yaitu kehendak Tuhan S.W.T. yang ingin menghapus melekatnya hubungan anak angkat
dengan keluarga bersangkutan dan asal-usul keluarga itu, yang selama itu
menjadi anutan masyarakat Arab sebelum Islam disempurnakan, juga pemberian hak anak kandung kepada anak
angkat, segala pelaksanaan hukum termasuk hukum waris dan nasab, dan supaya
anak angkat dan pengikut itu hanya mempunyai hak sebagai pengikut dan sebagai
saudara seagama, seperti firman-Nya; “Dan tiada pula Ia menjadikan anak-anak
angkat kamu menjadi anak-anak kamu. Itu hanya kata-kata kamu dengan mulut kamu
saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar”
(Al-Quran, 33:4).
Kalau Nabi S.A.W tidak mengawali menghapus tradisi itu, maka
yang lain akan enggan melaksanakannya, karena takut apa yang akan dikatakan
orang mengawini isteri bekas anak angkatnya, tetapi takut kepada manusia tidak
ada artinya dibandingkan dengan takut kepada Tuhan S.W.T., untuk itu Nabi S.A.W. harus
mengawalinya agar menjadi panutan bagi kaumnya, biarlah ia S.A.W. menjadi korban
dan tidak perduli apa yang akan dikatakan orang demi melaksanakan perintah
Tuhan S.W.T. (lihat juga Al-Qur’an 33:37).
Kesimpulan.
Atas dasar tulisan ini penulis menyimpulkan, bahwa praktek
poligami hanya dapat dilakukan apabila ia melihat wanita dari keluarga yataamaa, kemudian
khawatir tentang kehidupan masa depan mereka, lalu ada perasaan ingin menolong
mereka dari masalah itu, maka boleh juga
menolong agar mereka terlindungi dengan jalan mengawininya sebagai isteri yang lain,
asalkan disukai, selain itu bukanlah anjuran Alqur'an surat Annisak, ayat 3.
Referensi:
1. Terjemah
& Tafsir Al-Qur’an, Depag RI, Jakarta 1978.
2. Interpretation
of the Meaning of THE NOBLE QUR’AN in English language, Islamic University,
Al-Madinah Al-Munawarah, Saudi Arabia, 1996.
3. Sejarah
Hidup Muhammad, Muhammad Husain Haekal, cetakan keduabelas diterjemahkan
oleh Ali Audah, Jakarta, 1990.
END.
No comments:
Post a Comment