Monday, March 14, 2016

SEPAK BOLA DAN IBUKU (semoga ibuku selalu dirahmati oleh Allah S.W.T.)

Tulisan ini hanyalah sebagai catatan hidup yang pernah aku alami di masa yang lalu, suatu peristiwa yang sangat penting artinya bagiku untuk dapat melanjutkan perjalanan hidupku sampai saat ini. Judul dari tulisan ini aku anggap relevan dengan peristiwa yang telah terjadi terhadapku waktu itu sampai aku menaruhnya di bilik khusus dalam memoriku.

Aku tidak mempunyai kesukaan pada suatu olah raga dengan menggunakan bola secara khusus, paling tidak hal itu aku alami ketika aku masih belum duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), olahraga permainan yang aku kenal hanyalah bermain 'kasti' di Desa nenekku, permainan semacam softball memakai bola karet dan "pentungan" kayu seadanya sebagai bet, bola dilempar oleh kawan dari depan dengan kecepatan rendah, lalu disambar dengan pentungan kayu. Bola yang terpental dari pentungan dikejar atau ditangkap oleh pihak lawan dan sebisa mungkin dilemparkan ke arah setiap kawan yang sedang berlari untuk kembali ke Base. 

Lalu ketika aku duduk di bangku kelas dua SD, aku mulai mengenal olahraga sepakbola. Teman-teman tetangga rumah mengajak bermain sepakbola, dengan bola plastik yang dibeli dengan cara patungan dan hanya dipakai dua atau tiga kali saja bola sudah menjadi kempes karena berbenturan dengan dinding atau tanah atau terkadang membentur paku, kemudian membelinya lagi..lagi dan lagi. Olah raga lain yang aku permainkan di sekolah SDku adalah  'bak sodor', permainanyang terdiri dari dua group masing-masing group memiliki lima orang anak, menggunakan garis-garis lapangan bola volley sekolah ketika tidak dipakai, ada group jaga yang berdiri di garis-garis lapangan dan group lainnya berusaha menerobos dari sisi ujung satu ke sisi ujung lainnya. 

Permainan sepak bola di SDku merupakan permainan paling disukai oleh anak laki-laki, setiap waktu istirahat dari mata pelajaran, lapangan dipastikan dipakai untuk permainan ini. Yang menggunakan lapangan hanyalah anak-anak  kelas 5 dan kelas 6 saja, anak-anak kelas di bawah mereka tidak ada yang berani memakai, selain mereka lebih senior juga karena keterbatasan lapangan sekolah yang ada sedangkan kelas 5 dan kelas 6 merupakan anak-anak yang menguasai dan mendominasi pemakaian lapangan sekolah untuk mereka pakai sebagai lapangan sepak bola. 

Ketika aku mulai mmemasuki kelas 5 SD aku mulai ikut-ikutan teman-teman kelasku bermain sepak bola ketika jam istirahat, tiba, bolanya sama saja dengan yang aku gunakan ketika aku bermain dengan teman-teman tetangga rumahku, yaitu bola plastik yang dibeli melalui patungan juga, sedangkan bola 'bleter', sebutan bola sepak terbuat dari kulit tidak umum, selain terasa berat ketika disepak apalagi ketika dalam keadaan basah karena  hujan dan juga harganya mahal menurut ukuran anak-anak saat itu. 

Ketika aku sudah memasuki SD itu aku sering menonton anak-anak bermain di lapangan. Walaupun aku tidak tertarik untuk bermainnya aku tetap saja terkadang menonton apabila aku tidak sibuk bermain dengan permainanku sendiri ketika jam istirahat. Sampai-sampai teman-teman tetangga sebayaku yang bermain aku hanya menonton saja. Terutama pada acara Tujuhbelasan menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Karena kesenangan menonton itu sampai aku berani tidak masuk sekolah ketika teman dari tetanggaku satu RT bertanding melawan tetangga dari RT sebelah. Inilah satu-satunya keberanianku untuk tidak sekolah demi menonton sepakbola. Ketika pertandingan belum berlangsung dan semua yang menonton mengelilingi lapangan siap untuk menyaksikan, tiba-tiba aku melihat ayahku masuk di tengah lapangan siap denganpakaian kerjanya sambil menoleh ke segala arah sepertinya ayah sedang mencari aku. Aku langsung lari ke luar lapangan, rupanya ayah mengetahui kalau aku tidak masuk sekolah dan sebagai penggantinya menonton pertandingan sepakbola antar RT. Aku langsung berlari menuju ke sekolah dan nampaknya ayah melihatku, lalu ayah keluar lapangan juga untuk menuju ke tempat kerjanya.

Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai permainan sepak bola karena olah raga ini menyebabkan full body contact dengan anggota dari tim lawan. Ketika aku mulai menginjak kelas 6, selepas sekolah sore hari aku mulai bermain dengan anak-anak tetanggaku yang ada di STN-2, Sekolah Teknik Negri-2 di belakang rumah. Di situ aku juga mulai bermain yang teman-temanku sebut "ping-pong", yaitu tennis meja, dan juga bola volley. Hampir setiap siang sepulang sekolah sampai sore aku bermain tennis meja milik STN-2, ruangan tempat tennis meja berada selalu tidak terkunci, apalagi lawan mainku merupakan anak-anak yang bertempat tinggal di dalam STN itu, sehingga semakin membuat mudah untuk memakai fasilitas yang ada di dalam STN itu dimana seharusnya dipakai sebagai fasilitas murid yang bersekolah di situ. Aku adalah salah satu dari dua anak yang bermain di dalam STN setiap sore walaupun tidak tinggal di dalam STN itu, selebihnya adalah anak-anak para pegawai Departemen Kebudayaan utamanya yang bekerja di STN, STM Pembangunan, dan SMAN-7.

Jam sekolah STN mulai pagi sampai pukul 12 siang saja, dan selebihnya sekolah hampir sudah tidak ada murid ataupun guru yang beraktivitas kecuali seorang pegawai yang menngunakan bengkel las untuk melakukan pekerjaan perbaikan utamanya peleq truk-truk yang retak, dan juga pintu gerbang utama sekolah di buka dan penjaga pintu gerbang tidak selalu ada, sehingga siapa saja bisa masuk apalagi orang yang sudah kenal dengan orang-orang yang bertempat tinggal,di dalam sekolah, seperti diriku. Tetapi karena ada salah satu penghuni yang tinggal di situ memelihara anjing, maka jarang ada anak-anak kampung sekitar STN-2 yang ingin bermain di dalam STN itu karena si anjing selalu menggonggong jika melihat orang asing. Ketika aku mulai masuk SMP aku masuk siang dan olah raga yang bisa aku mainkan dengan temanku di STN kini pindah kebanyakan bermain bola volley. Namun demikian aku menjadi supporter berat tim sepak bola Niac Mitra asal Surabaya dan Persibaya Surabaya. Kemana tim-tim kesayanganku itu berlaga aku akan memberinya perhatian terutama melalui siaran radio.

Niac Mitra merupakan klub sepak bola yang kuat, sehingga akan selalu disegani oleh lawan-lawannya, saingan utamanya adalah klub Indonesia Muda (IM) Jakarta dan Pelita Jaya Jakarta. Apabila Niac Mitra bertemu dengan IM, itulah serunya suatu pertandingan sepak bola bagiku. 

Aku terus saja ingin bermain di dalam STN-2 walaupun aku sudah duduk di bangku SMA. Aku masuk siang,mulai jam 13 sampai dengan pukul 17. Ini yang menjadi kendala bagi aku, aku terpaksa tidak bisa lagi main bersama anak-anak di dalam STN-2 setiap sore, ketika aku sampai rumah sepupang dari sekolah hari sudah mulai agak buram tanda akan datangnya malam. Ini yang membuat aku mulai melebarkan sayap pertemananku dengan anak-anak di luar kampungku yaitu anak-anak teman sekolah SMAku. Apalagi ayahku sejak aku kelas satu SMA  membelikan aku sepeda motor, maka aku lebih mudah untuk bermain kemana saja aku mau. Akupun mulai asyik dengan teman-teman luar kampungku. 

Kawan kelasku ada yang hoby sepakbola, dia supporter fanatik club Niac Mitra juga, jika hari libur datang dan Niac Mitra bertanding di Surabaya, kami selalu akan menontonnya ke Stadion tempat bertanding, yaitu Sadion Sepuluh Nopember, Tambaksari, surabaya. Sampai suatu hari di hari Minggu Niac Mitra menjamu IM di stadion Gelola Sepuluh Nopember Tambaksari Surabaya. Seperti biasanya karcis teribun sudah ludes sedangkan orang-orang di luar Stadion masih banyak. Ada beberapa orang sedang mencoba masuk dengan memanjat menaiki pilar agak miring setinggi sekitar sepuluh meteran di sebelah utara dekat pintu keluar, mereka antri berjajar menaiki bagaikan semut saja, mereka tsehingga apabila ada yang gagalidak menunggu yang sedang naik berhasil masuk terlebih dahulu lalu mereka menyusul, karena keterbatasan waktu dengan jumlah banyak orang, maka setelah orangdi depannya naik di atas badan, maka orang berikutnya menyusul, demikian seterusnya. Umumnya mereka berhasil memasuki Stadion dengan cara memanjat ini. Akan tetapi ada kalanya yang tidak berhasil, dia mungkin tidak tahan untuk tetap menempellak tubuhnya dengan mengandalkan kekuatan tangan-tangan dan kaki-kakinya dan akibatnya terpeleset, hal ini akan  mengakibatkan menimpa pada orang-orang yang berjajar di bawahnya dan akibatnya bisa diduga semua orang yang berada di bawahnya akan terpeleset semua. 

Ada kelompok lain yang tidak suka memanjat termasuk aku, berinisiatip untuk menjebol pintu keluar yang terkunci dengan rantai. Pintu terdiri dari dua daun pintu, masing masing memiliki dua engsel, antara dua pintu diikat dengan rantai berukuran diameter 10 milimeter dan dikunci dengan gembok (pad lock) dari dalam pintu. Pintu mulai digoyang-goyang oleh banyak orang termasuk diriku yang sedang berada paling depan dengan harapan apabila pintu jebol aku langsung bisa masuk yang terdepan tanpa harus . kibat hebatnya goyangan pintu mulai goyang dari engsel-engselnya, dan akhirnya salah satu daun pintu yang berada di depanku roboh karena kedua engsel pengikatnya jebol tercabut dari pangkal mereka yang tertanam kedalam tembok sedangkan daun pintu satunya lagi tetap berdiri, ini mengakibatkan pintu yang robeh menjadi miring karena salah satu sisinya masih terikat oleh rantai pada daun pintu yang masih berdiri sedangkan bagian sisi yang ada engselnya jebol. Walaupun pintu dalam keadaan miring orang-orang yang berada di belakangku terus saja mendoring, ini menurut merekan merupakan kesempatan untuk secepatnya memasuki Stadion dengan gratis. Karena posisiku berada di tempat yang paling depan dan pada bagian tengah pintu yang roboh, maka kakiku seolah terjepit akibat dorongan orang dari belakangku dan daun pintu yang menggantung tepat di bawah lututku. Aku tidak dapat mengangkat kakiku keatas daun pintu yang roboh karena aku terjepit antara desakan orang-orang dari belakang dan daun pintu yang roboh dan desakan orang-orang yang mulai berlari di atas tubuhku membuat aku tidak bisa lagi menahan beban mreka dan membuatku membungkuk ke depan ke atas daun pintu seolah aku merebah dengan sendirinya, terjatuh ke atas daun pintu yang roboh. Kini posisiku semakin sulit dan aku betul-betul menjadi alas dari orang-orang yang sedang berlari masuk Stadion.

Orang-orang seperti kesetanan memanfaatkan pintu terbuka dengan berlarian memasuki Stadion tanpa memperdulikan orang lain yang terjatuh dan terinjak-injak seperrti diriku mereka terus saja berlarian sambih menginjak-injak orang-orang yang terbaring di atas daun pintu. Dengan posisiku yangterlentang sambil menahan injakan banyak orang aku masih dapat menggunakan akalku, aku cepat-cepat melindungi leherku dengan tangan kananku dan tangan kiriku tidak mampu ;agi bergerak untuk berusaha melindungi perutku karena injakan orang orang yang bertubi-tubi pada tangan kiriku. Aku terus berjuang membawa tangan kiriku ke atas perutku, sambil menahan beban orang-orang yang menginjak-injakku aku terus berusaha, dan terkadang karena daya tahan tubuhku  kotoran sempat terasa keluar dari lubang duburku. Aku terus saja berusaha, wajahku terkadang terinjak juga dan mataku aku pejamkan serta mulutku aku tutup untuk agar perutku lebih tahan terhadap beban orang-orang yang menginjak-injakku sampai aku merasa ada orang yang tersangkut di atas perutku. Hal ini dengan sendirinya melindungi perutku dari injakan secara langsung terhadap perutku. Nampaknya yang tersangkut di atas perutku adalah seorang anak yang terjatuh tersankut dan menjadi pelindung perutku. 

Sungguh aku hampir saja tidak kuat menahan beban injakan orang-orang yang berlarian, tetapi aku tetap saja menahannya. Di dalam benakku yang terbayang hanyalah ibuku, aku selalu memanggilnya, "Ibuuu, ibuuu, ...". Aku sungguh khawatir aku akan terbunuh akibat hal ini, tetapi aku berusaha terus bertahan. Aku terkadang tidak kuat menahannya dan yang terjadi adalah kotorang lagi-lagi keluar dari lubang duburku karena tekanan yang berat akibat orang-orang yang berlari menginjak anak yang terlentang di atas perutku. Wajahku demikian pula, aku jaga mataku selalu terpejam agar tidak secara langsung terinjak bola mataku. Di wajahku banyak mampir kaki-kaki asing dan membuat luka di pelipis dan dahiku. Sedangkan kakiku sudah aku tidak perhitungkan tentang apa yang terjadi ia aku tinggalkan demi merasakan derita anggota badanku yang lainnya. 

"Ibuuu...., Ibuuu..., Ibuuu....", terus aku panggil ibuku ketika aku menahan beban berat sedang menimpa tubuhku sambil aku membayangkannya, hanya itu yang ada di benakku, dialah Ibuku!. Aku tidak dapat membayangkan siapa saja selain dia. Entahlah..., sampai kini aku masih yakin bahwa kekuatanku waktu itu sepertinya bertambah, bertambah agar aku tetap dapat bertahan hidup, semangatku juga semakin bertambah, semangat agar aku tetap hidup, karena aku merupakan anak satu-satunya dari ayah dan ibuku yang masih hidup, maka aku merasa harus terus berjuang untuk tetap bertahan dengan menyebut dan memanggil Ibuku walaupun aku dalam keadaan terjepit bagaimanapun, yang penting ingatanku masih ada.

Kira-kira sepuluh menitan kemudian petugas keamanan Stadion datang sambil mengibas-ngibaskan tongkat yang mereka bawa, sesasat kemudian orang-orang yang mencoba masuk terhenti. Aku rasanya cepat-cepat ingin segera bangun tetapi anak (kira kira berusia 10 tahunan) itu tidak bengun dari atas perutku sampai seorang petugas mengambilnya. Setelah aku bangun aku diminta untuk menuju ruangan pertolongan. Aku menurut saja menuju ke tempat yang ditunjuk oleh petugas keamanan. Sambil berjalan sedikit sempoyonyan karena seakan kehabisan tenaga karena perjuangan hidupku tadi, aku juga menahan tumpukan kotoranku yang ada tersangkut di dalam celana dalamku. Ketika aku sampai di tempat ruangan yang diarahkan oleh petugas, di sana sudah ada beberapa korban injakan tiba sebelum aku. Ada yang terlentang dirawat oleh petugas, dan ada pula yang duduk sambil kedua tangannya memeluk lipatan kaki-kakinya. Tetapi aku tidak melihat korban yang sudah meninggal dunia.

Pertama-tama yang aku cari adalah kamar kecil untuk membersihkan kotoran yang tersangkut di dalam celana dalamku yang tadi keluar tetapi tidak aku kehendaki dikarenakan aku tidak kuat menahan beban orang-orang yang berlari di atas badanku, kotoran terpaksa terlepas dari dalam tubuhku untuk beberapa kali. Ketika aku buka celanaku aku perhatikan pula rupa kotoranku, aku tidak meliha adanya warna aneh pada kotoranku termasuk darah barangkali. Setelah aku berhasil membersihkan tubuhku lalu aku buang celana dalamku, kemudian aku mencari tenaga medis meminta obat pertolongan pertama untuk mengobati luka-luka yang ada di wajah dan dadaku. Mereka memberiku obat merah (yodium), lalu aku oleskan sendiri pada luka-luka diatas wajah dan dadaku.

Wajahku kini terlihat seperti diwarnai dengan warna merah tidak beraturan mengikuti luka goresan kulit wajah dan dadaku. Ketila aku merasakan bahwa aku sudah dapat kembali berjalan seperti sebelum kejadian ini menimpaku, maka aku keluar ruangan perawatan menuju teribun di atas ruang perawatan yang berada di Bagian Barat Stadion, lalu aku ditegor dan ditantang oleh seorang remaja karena warna merah pada wajahku. Dia mengira aku sok jagoan saja mewarnai wajah dengan warna merah. Aku katakan bahwa, wajahku begini karena luka akibat diinjak-injak orang lalu aku obati dengan obat merah. Untungla ia memaklumi walaupun di wajahnya terlihat kecewa dan dia bersama kawan-kawannya berlalu dari aku. Lalu aku bergumam di dalam hati, "Sialan..!". 

Aku keluar Stadion setelah pertandingan usai, kedudukan akhir adalah 1-1, tepukan riuh dan sorak sorai penonton yang didominasi pendukung Niac Mitra  sudah tidak aku hiraukan, aku seolah tidak tertarik untuk ikut-ikutan mereka, aku sudah menjadi lain dibandingkan aku keluar rumah tadi. Aku berjalan seperti biasa, celana coklat motip kotak-kotak yang bagian pantatnya basah sudah terasa kering. Aku langsung menuju ke tempat di mana sepeda motorku dititipkan. Kawan yang bersama aku tadi sudah sampai terlebih dahulu di tempat penitipan sepedamotorku, di rumah temah SMA kakaknya. Ketika aku ceritakan apa yang te;lah terjadi kepadaku tadi, dia tertawa terbahak-bahak, dan akupun tersenyum. Dia pikir aku dalam keadaan baik-baik saja, aku memakluminya karena dia tidak mengetahui bagaimana aku tadi ketika diinjak-injak orang, yang dia tau aku dalam keadaan baik dan hanya sebagian wajahku terolesi obat merah.
 
Sesampai di rumah aku katakan apa yang telah terjadi pada ibuku, ia sungguh terkejut dan mengharapkan agar tidak menguanginya lagi, karena aku bisa terbunuh karenanya. Dan aku berjanji demikian, mungkin karena aku merasa masih dihidupkan karena kecelakaan itu, atau aku karena trauma saja,. "Entahlah...!". 

Esok harinya ketika aku di Sekolah teman-temanku menanyakan tentang apa yang telah terjadi pada wajahku. Aku ceritakan apa adanya, mereka meresponnya dengan mentertawaiku terutama kawanku yang kemaren pergi bersama-sama menonton sepakbola, tetapi ia memilih menaiki/memanjat tiang Stadion, sedangkan aku telah memilih menjebol pintu stadion. Keduanya mempunyai resiko yang sama bahayanya juga, namun karena aku merasa tidak ingin dan tidak mampu untutk menaiki melalui pilar Stadion setinngi itu maka aku memilih yang lain saja. Inilah akibatnya, aku kini merasa beruntung tidak terbunuh karena itu, seperti orang bijak bilang, "Seluruh keteledoran akan berakhir dengan sesuatu yang sama saja,  penyesalan".

No comments: