Thursday, November 30, 2017

KE MUSIUM LOUVRE ABU DHABI

UMUM

Ketika masih dalam tahap pembangunan, khususnya bagi mereka yang tinggal di Abu Dhabi, banyak yang bertanya-tanya tentang gedung yang sedang dibangun persis terletak di bibir laut menghadap ke Abu Dhabi di Pulau Sakdiyat itu, "apa yang sedang dibangun itu?". Itu terjadi kira-kira dalam kurun waktu sekitar dua tahun lalu. Derek-derek tinggi yang mengelilingi area pembangunan seolah bekerja sama dalam menyelesaikan bangunan itu. Terpaan udara panas di musim panas yang akan menyengat setiap  kulit yang terbuka dengan suhu sampai 50 derajat Celsius itu  tidak dapat menghentikan laju pembangunan gedung-gedung itu, apalagi cuaca musim dingin, bekerja di luar dengan suhu sampai 15 derajat Celsius masih lebih baik daripada sengatan suhu di musim panas.

Ketika bagian-bagian atap-atapnya yang hanya semacam kerangka dipenuhi oleh lubang-lubang itu mulai dinaikkan, hal itu membuat aku semakin penasaran saja. Ada yang pernah menyebutkan bahwa bangunan itu akan menjadi pusat seni dan budaya setempat, ada pula yang mengatakan bahwa gedung yang sedang dibangun itu nantinya akan menjadi gedung mall besar di Abu Dhabi, dan bagi mereka yang mengikuti tentang berita setempat telah mengetahui bahwa gedung yang sedang dibangun itu merupakan musium besar yang akan hadir di tanah Abu Dhabi, tepatnya di Distrik Khusus Kebudayaan, Pulau Sakdiyat.

Ada sebuah iklan di stasiun TV internasional (khusus Geografi) terkadang memberikan sekilas tentang bagaimana dan untuk apa gedung itu dibangun. Insinyur-insinyur muda dan tua baik lokal ataupun dari manca negara, laki-laki ataupun perempuan ditampilkan dalam kapasitas mereka untuk menjelaskan tentang keunikan jalannya pembangunan ataupun keunikan gedung itu apabila telah jadi nantinya.

Tentu banyak orang yang sedang menunggu wujud dan waktu dibukanya calon musium besar dan yang terlihat seperti topi baja setengah bundar dari kejauhan itu. Aku terkadang melirik ingin mengetahui tentang kemajuan dari jalan pembangunannya ketika aku sedang menuju ke kantor pusat tempat aku bekerja yang terletak tepat di sisi seberang kanal antara Pulau Sakdiyat dan Pulau Utama Abu Dhabi.  Atau, terkadang ketika aku sedang melintasi melalui jembatan penghubung antara Pulau Utama Abu Dhabi dan Pulau Sakdiyat baik waktu aku mau ke luar dari Abu Dhabi atau sebaliknya.

Aku sudah jarang bahkan dapat dikatakan sudah lama tidak melintasi jembatan penghubung antara Pulau Abu Dhabi dan Sakdiyat itu, juga hampir dikatakan tidak pernah mengunjungi kantor pusat tempat aku bekerja selama enam bulan terkhir ini kecuali sekali di akhir Oktober lalu manakala aku lihat tidak ada lagi derek-derek yang mengelilingi gedung yang sedang dibangun, sampai ada berita dari mulut ke mulut bahwa musium yang ada di Pulau Sakdiyat itu telah dibuka untuk umum sejak tanggal 11 Nopember, 2017 lalu, dan nama dari musium itu adalah Louvre Abu Dhabi.

Yaa, Musium Louvre Abu Dhabi, suatu musium yang memiliki atap berbentuk kubah dengan biaya pembangunan menurut wekipedia.org ditaksir sekitar 600 juta Euro. Dan menurut  https://en.wikipedia.org/wiki/Louvre_Abu_Dhab merupkan suatu musium dengan pemakaian nama Louvre harus disyahkan oleh Parlemen Perancis, suatu musium yang ijin pemakaian namanya saja berharga 525 juta Dollar, suatu musium dengan luas tanah menurut sekitar 24000 meter persegi dan luas ruang pameran sekitar 8000 meter persegi yang terletak di daerah distrik khusus untuk kebudayaan. Dan suatu musium yang telah dideklarasikan menjadi musium terbesar di Dunia Arab.

KE MUSIUM LOUVRE

"Tanggal 24 Nopember ini kita akan ke musium baru itu, lho..!, itu yang di Sakdiyat Island...!, namanya seperti musium yang ada di Paris...., Louvre".  Itu yang dikatakan istriku ketika aku baru saja pulang kerja sekitar pertengahan Nopember lalu. Di benakku yang ada adalah, bayangan musium Louvre Paris di mana aku sekeluarga pernah mengunjunginya sekitar tujuh tahun yang lalu dengan bayangan yang masih terasa melekat di dalam ingatanku adalah; mummi sisa kerajaan Mesir Kuno, tiang-tiang bangunan sisa kerajaan Romawi dan Yunani kuno, lukisan-lukisan besar yang mengabadikan kehidupan awal masyarakat kristen berkulit putih, serta fosil-fosil dari kehidupan prasejarah. Kunjungan ke musium kembarannya yang ada di kota aku tinggal ini sekitar semingguan lagi, itu karena akan menemani putriku yang sedang akan menemani temannya yang akan datang ke Dubai dari Amerika Serikat sehari sebelumnya. Tanpa sepengetahuan istriku aku kernyitkan sedikit kedua alisku ketika dia telah sedang mengatakan bahwa karcis masuk ke dalam musium per orangnya adalah 60 Dirham, yang saat ini setara dengan duaratus enambelas ribu Rupiah. Istriku dan aku sepakat bahwa biaya masuk musium untuk aku dan dia tidak akan dibebankan kepada putriku karena ia sudah memiliki keluarga sendiri, serta tentunya sudah mengeluarkan biaya untuk melayani temannya ketika melakukan jalan-jalan di Dubai. Bahkan, setelah selesai keluar dari musium  lebih baik langsung pulang saja agar tidak ikut makan bersama mereka apabila mereka ingin makan.

Hari ini adalah tanggal 24 Nopember, aku ingatkankan istriku bahwa nanti siang akan ke musium, dia mengabarkan bahwa hari ini tidak jadi ke musium karena kemungkinan teman putriku masih lelah untuk ke Abu Dhabi, besok rencananya. Sejak beberapa malam sebelumnya istriku sudah mempersiapkan menu masakan yang akan disuguhkan kepada putriku dan suaminya serta temannya apabila mereka mampir ke rumah sebelum berkunjung ke musium nanti. Tidak salah, satu malam sebelumnya istriku sudah mulai sibuk mempersiapkan masakan yang akan dimasak untuk disuguhkan esok harinya.

Masakan sudah siap sejak sebelum pukul 9 pagi di hari Sabtu yang ceraah ini,  karena sebentar lagi menurut rencana putriku, dia sebentar lagi akan datang ke rumah sebelum pergi ke musium nanti. Di atas meja makan sudah berjejer masakan yang dipersiapkan istriku sejak tadi malam dan dilanjutkan memasak setelah bangun tidur pagi tadi. Ada kuah semcam soto daging, ada mie segar yang sudah direbus, ada irisan daun selada, ada tumpukan kecambah segar, ada irisan tahu goreng, ada irisan tumbukan ketela pohong, ada setoples plastik  kecil bawang merah goreng, ada sambal dan ada di mangkok kecil petis hitam serta ada se taperware kerupuk udang kevil-kecil yang apabila dirangkum semuanya biasa disebut sebagai menu 'tahu campur".

Pukul 9 aku baru saja selesai main tennis sejak pagi buta tadi dan sampai rumah sudah hampir pukul 10. Aku terpaksa langsung mandi pagi di hari libur yang mana biasanya tidak aku lakukan kecuali sebelum  sholat Duhur. Sehabis mandi aku langsung makan saja dulu, karena habis main tennis tenaga banyak terkuras, apalagi kedatang tamu yang ditunngu masih belum pasti kapannya walaupun putriku bilangnya, pagi. Sampai datang waktu mendekati sholat Duhurpun mereka yang ditunggu-tunggu belum juga muncul ketika istriku mengeluhkannya aku mengatakan, itulah anak-anak, lalu dia menghubunginya lewat telefon.

Tamu yang ditunggu-tunggu akhitnya muncul juga walaupun waktu sudah menunjukkan hampir pukul 2 siang. Kuah berwarna kekuningan sekarang waktunya untuk dipasi kembali sebelum dituangkan ke dalam mangkok terbesar yang ada di rumahku. Dalam keadaan kuah yang masih berkebul asap karena masih panas aku tawari para tamu di rumahku untuk segera memulai mengambil makanan yag sudah seratus persen siap.  Teman putriku yang didaulat untuk memuainya, akan tetapi dia kebingungan dan bertanya yang mana harus dicmpur dengan apa. Untuk lebih cepatnya aku menawarkan diriku sebagai pembuka agar yang belum mengetahui dapat mengikutinya.

Sungguh tahu campur buatan istriku enak rasanya, aku bagaikan makan tahu campur langgananku yang selalu lewat di depan rumahku manakala aku masih bekerja di Surabaya dulu. Bahkan putriku dan temannya juga merasakan hal yang sama, enak rasa tahu campurnya, demikian yang mereka katakan setelah memulai untuk memakannya. Aku terpaksa menambah lagi ketika tahu campur di dalam piring di depanku sudah mulai kosong, dan demikian pula teman putriku setelah aku minta dia untuk tambah lagi. Acara makan selesai tepat sebelum iqamah panngilan sholat Ashar dikumandangkan dan aku, menantuku dan teman putiku langsung menuju ke masjid sebelah rumah untuk melakukan sholat Ashar.

Setelah sholat Ashar berlima dalam satu mobil milik putriku berangkat menuju musium Louvre - Abu Dhabi yang terletak di pinggir laut Pulau Sakdiyat (Sakdiyat Island). Putriku yang mengemudikan sedan Accord miliknya, di sebelahnya duduk ibunya, sedangkan aku, menantuku dan temannya duduk di jok kursi belakang, aku di sebelah kanan, lalu menantuku di tengah dan yang paling kiri adalah teman putriku.

Aku sendiri belum pernah mengunjungi musium itu, walaupun, dari kejauhan terlihat jelas bangunannya. Memang musium itu baru saja dibuka untuk umum,  namun aku tidak banyak mengetahui tentangnya karena aku memang tidak begitu tertarik dengan masalah musium, entahlah, padahal bagiku ketika mengunjungi suatu musium aku terkadang tertegun dibuatnya manakala melihat barang-barang peninggalan dari masa yang lalu, manusia dengan keterbatasannya dapat menciptakan sesuatu yang menakjubkan. Akan tetapi untuk mengunjunginya lagi, aku merasa  sudah kehilangan semangat. Aku tidak tau persis tentang jalan masuk mana yang harus diambil setelah dari jalan raya bebas hambatan Syeikh Khalifa. Hanya saja letaknya di sebelah kanan jalan raya apabila datang dari rumahku, Al Reef. Aku kebanyakan memikirkan bagaimana membosankannya nanti manakala aku berada di dalam musium, akan tetapi karena harus menghormati tamu, maka aku rela untuk mengunjunginya walaupun harus membayar biaya untuk karcis masuknya. Menantuku mulai membuka telepfon genggamnya untuk memakai GPS agar menemukan jalan masuk ke arah musium Louvre yang dituju.

Jalan masuk menuju gedung musium sungguh bagus dan berisih. Rumah-rumah mewah dan berukuran besar yang didominasi dengan warna padang pasir berjejer di kanan jalan, dan kiri jalan langsung dapat melihat sisi laut melalui taman-taman asri sebelum pantai. Walaupun ada tanah luas yang kosong belum ada bangunannya, tetapi tanah-tanah itu dipagari semacam dinding yang terbuat dari pelat tipis (seng) lurus dan dilapisi dengan gambar-gambar dan tulisan tentang gedung yang bakal dibangun di dalamnya nanti. Sungguh di luar dugaanku ketika aku melihat begitu banyaknya mobil yang memenuhi tempat parkir arena yang terletak di depan gedung musium. Tidak salah ketika di luar area parkir ada banyak mobil yang diparkir karena tempat parkir yang disediakan seakan terisi penuh. Putriku memilih terus saja masuk ke area parkir walaupun nampak tidak mungkin dapat mnemukan slot kosong untuk parkir mobilnya. Ada beberapa mobil keluar lagi menuju ke arah tempat parkir tanah kosong di luar area parkir. Ketika belokan lajur-lajur parkir telah dilalui, maka lajur terakhir menuju ke pintu keluar diikuti. Setelah belok kanan sebelum menuju pintu utama keluar mobil dibelikkan masuk ke dalam area parkir yang kesemuanya memiliki atap pelindung panas. Keberuntungan ada pada mobil yang aku tumpangi karena begitu memasuki jalur area parkir aku lihat ada mobil di sebelah kanan depan yang sedang lampu mundurnya menyala menandakan akan keluar parkirnya, sebelum aku memberitau putriku dia sudah menginjakkan kakinya ke pedal remnya menghentikan mobilnya menandakan bahwa dia menunggu mobil yang sedang menyalakan lapu mundurnya untuk keluar. Akan tetapi mobil itu belum juga keluar sampai istriku melihat ada slot kosong di sebelah kiri tidak jauh dari tempat berhenti  mobil putriku, dan tempat itu akhirnya yang diambil.

Angin sepoi-sepoi menerpa kulit wajah dan tanganku ketika aku keluar dari mobil seolah menambah nikmatnya hawa yang sudah mulai dingin di sore tanggal 25 Nopember ini, tepatnya di depan gedung mesium Louvre pinggir laut Pulau Sakdiyat.  Taman yang terlihat baru saja selesai pengerjaannya masih memperlihatkan tanah berwarna kemerahan yang masih belum sepenuhnya tertutup  oleh lebatnya tanaman di atasnya. Tempat-tempat sampah berwarna kehitaman terasa bagus dan mewah karena terbuat dari bahan semacam fiberglass. Lampu-lampu taman yang masih belum menyalakan diri terlihat tertata apik. Tempat menunggu taksi dapat memaksa para calon penumpang untuk antri apabila ingin naik taksi. Kursi-kursi dipasang di dekat tempat menunggu taksi.  Orang-orang banyak melakukan foto-foto mengambil latar belakang gedung musium. Di pinggir laut sebelah gedung musium terlihat banyak seperti tiang pancang-tiang pancang berwarna putih yang sengaja dibuat begitu mengingatkan aku pada suatu tempat di pantai daerah Kaamal, Madura pada tiang-tiang yang dipakai sebagai tempat tambat peraahu-perahu kecil nelayang setempat. Dari dekat musium tidak bayak berbeda penampakannya dibandingkan dengan dari kejauhan, hanya saja perasaan menjadi berbeda ketika berdiri dekat dengan gedung musium. Suasana taman dan desiran angin pinggir laut serta lalu-lalang pengunjung sungguh memberikan rasa nikmat tersendiri apabila dinikmati. Atap gedung musium yang memiliki ciri tersendiri sebagai aikon tidak aku pernah mengerti apa maksudnya. Dari luar gedung menampakkan seolah cahaya matahari pasti dengan mudah dapat masuk ke dalam gedung musium dengan rancangan atap seperti berlubang-lubang. Semua dinding gedung didominasi oleh warna putih, namun atapnya berwarna coklat tua mendekati gelap.

Setelah istriku selesai mengambil foto-foto di depan gedung musium, lalu menuju ke arah pintu masuk gedung. Jalan masuk gedung dibagi dua jalur dengan pembagi darurat yang terbuat dari tali berwarna putih. Tiang setinggi dengkul pengikat tali yang berada di paling ujung depan pintu dipasangi satu papan darurat yang memberikan petunjuk dua arah, bagi mereka yang masih belum membeli karcis diarahkan ke jalur kiri sedangkan bagi mereka yang sudah membeli karcis melaui online diarahkan pada jalur sebelah kanan. Aku dan rombonganku memilih jalur sebelah kiri karena tidak satupun dari anggota rombonganku yang telah membeli karcis melalui online. Setelah melalui jalur kiri aku langsung menuju konter penjualan karcis. Aku lihat para pengunjung yang sedang antri untuk membeli karcis sudah mengular di dalam jalur berliuk-liuk yang mengarah ke konter penjual karcis. Aku lambatkan langkahku untuk memberikan kesempatan kepada putri dan menantuku yang akan membelikan karcis bagi anggota rombongan. Konter dibagi menjadi dua bagian, yang sebelah kanan khusus untuk pembeli karcis dengan memakai uang tunai dan yang kiri khusus bagi pembeli yang ingin memakai kartu kredit atau semacamnya.

Aku harus sabar menanti sampai pada giliran rombonganku. Tadi ketika aku dan rombongan masuk jalur antrian karcis ini jam tanganku menunjukkan tepat pukul 4:30 sore, sekarang setelah menunggu sekitar sepuluh menitan aku dan rombongan baru dapat berhadapan langsung dengan petugas konter. Istriku sudah menyiapkan uang untuk aku dan dia, putriku dan suaminya yang sedang menghadapi petugas penjual karcis akan memesan karcis masuk sekaligus untuk berlima. Putriku menolak uang pengganti ketika istriku memberikan uang tunai untuk biaya karcis untuk aku dan istriku. Aku ambil dua panflet di atas  meja konter, panflet-panflet yang memberikan informasi ssekilas tentang musium Louvre Abu Dhabi ini. Sambil berjalan keluar area konter aku membaca panflet-panflet yang ada di tanganku. Lalu aku berlima mulai memasuki ke dalam musium. tempat barang-barang bersejarah dipajang.

Ada dua penjaga pintu masuk yang berpakaian jas dengan bawahan serba hitam, mereka juga berdasi hitam nampak kontras karena dipadu dengan baju berwarna putih, yang satu adalah seorang wanita paruh baya berkulit lebih putih dari kulitku dan yang lainnya lagi adalah seorang pria dengan postur lebih tinggi dan lebih gelap warna kulitnya dibandingkan dengan aku. Keduanya memegang detektor untuk skan karcis masuk para pengunjung. Aku memilih seorang wanita saja karena dia yang lebih dekat dengan jalan yang aku lalui.

Sebelum memasuki lorong menuju ruangan-ruangan tempat barang-barang dipajang, tiba-tiba langkahku terhenti karena melihat seperti buku-buku yang sedang dipajang. Dalam hatiku bertanya apakah buku-buku  itu gratis ataukah harus membeli apabila ingin memilikinya, perasaanku mengatakan bahwa mereka gratis karena di negara ini banyak panflet, majalah ataupun koran yang bratis. Aku tetap tak beranjak di tempat seperti hall di mana di sebelah kanannya adalah tempat buku-buku atau pamflet-panflet tebal dipajang. Aku hampir saja menghampirinya sebelum aku menyadari bahwa buku dan panflet itu nampaknya dipajang di jalur jalan keluar setelah selesai masuk ke dalam ruangan tempat pemajangan barang-barang. Aku lalu memilih jalur ke arah kiri seagaimana anggota rombonganku telah melangkah mendahului aku dan bergerak memasuki ruangan-ruangan tempat barang-barang di pajang.

Begitu aku memasuki ruangan pertama tempat pemajangan barang, mataku seakaan terhipnotis dengan pajangan tiga tempat kuno untuk air atau mungkin juga teh di ruangan pertama ini. Aku coba mendakati  mereka. Satu diantaranya yang pertama aku perhatikan adalah yang terbuat dari bahan semacam kulit kerang nampak berwarna-warni akibat terangnya sorotan lampu ruangan, dia adalah tempat teh yang berasal dari Turki, dia adalah tempat teh peninggalan dari Kerajaan Dinasti Ottoman. Dan yang satunya lagi yang berada di sisi kirinya adalah tempat air teh atau air yang terbuat dari tembaga, dia berasal dari India. Sedangkan satunya yang paling kanan adalah tempat teh yang terbuat dari guci yang merupakan peninggalan dari suatu Dinasti di China kuno. Aku pikir pasti barang-barang itu harganya pasti mahal, untuk itu aku cukup lama memperhatikannya. Setelah melihat barang-barang itu aku jadi teringat pada sebuah lagu yang dipopulerkan oleh kelompok band tahun tujuhpuluhan, Queen,  judulnya, "Killer Queen". Di dalam benakku aku mencoba untuk menyikannya terutama untuk bait-bait yang pertaama.

Aku berniat bahwa aku ingin betul-betul memperhatikan seteliti mungkin semua barang-barang yang dipajang di dalam musium ini, sehingga aku mengatakan kepada istriku bahwa aku mungkin akan berjalan lambat dan apabila ia ingin lebih cepat, maka aku persilahkan, dan dia memenuhinya, maka aku berjalan sendirian karena rombonganku berjalan lebih cepat dari aku.

Aku lihat satu per satu hampir semua barang-barang yang dipajang, bahkan aku membaca judul-judul dari barang-barang yang dipajang yang tertulis pada kertas di bawah barang-barang itu. Walalupun aku membaca hanya judul, asal dan tahun beredarnya, itupun dapat memakan waktu dan dapat  membuat yang menunggu aku kehilangan kesabaran. Aku terus saja memperhatikan satu per satu, aku baca semua judul keterangan barang-barang yang aku lihat, aku sampai lupa bahwa aku datang bersama rombongan. Aku sekali melihat ada seorang guide lelaki berbaju orang lokal sedang menerangkan kepada pengunjung. Aku jadi tidak enak sendiri khawatir kalau guide itu merupakan orang bayaran yang harus dipesan terlebih dahulu, lalu aku meninggalkan si guide itu seketika aku merasa tidak enak. Aku juga melihat guide seorang wanita berpustur dari Asia Selatan, tapi aku mengacuhkan juga karena aku merasa bahwa dia merupakan guide bayaran.

Yang aku tertariki juga pajangan tentang Agama yang pernah ada di bumi ini. Utamanya Agama-agama yang masih eksis saat ini, mulai dari agama Bhuda, Hindu, Kristen dan Islam. Aku mencoba mengartikan sendiri tentang patung-patung yang dipajang dari hasil peninggalan agama-agama yang aku sebutkan di atas kecuali Islam yang aku tidak melihat adanya patung yang dipajang kecuali lukisan dan tulisan terutama dari kitab suci Alqur'an. Ada patung yang menggambarkan seorang lelaki tak berpakaian kecuali bagian auratnya dengan perut gendut sedang memegang semacam pentungan. Ada patung seorang wanita dengan empat tangan yang nampak sedang menari. Ada beberapa patung lelaki yang memang benar-benar telanjang kecuali memakai  kain yang diselendangkan di atas pundak dan tangannya, akan tetapi pada kemaluannya yang seharusnya ada sebagai pengganti dihilangkan bahkan ada setelah dipotong diganti dengan tanda bintang yang terbuat dari seng, tidak seperti yang aku lihat di Paris, alat kelaminnya dibiarkan utuh kecuali memang telah rusak. Terakhir di bagian ini aku mampir di tempat di mana Alqur'an dipajang, Alqur'an sejak dari jaman awal Islam di mana huruf-hurufnya terasa susah untuk aku baca walaupun tulisannya terasa masih jelas.

Aku jadi teringat dengan kisah Ibnu Batutta yang dipajang di Ibnu Batutta Mall, Dubai ketika aku melewati tempat khusus yang memajang tentang geografis kuno, alat-alat yang dipajang penampakannya mirip dengan apa yang dipajang di sini, ada gambar beberapa peta yang telah dipakai oleh mereka sebagai petunjuk dalam perjalanan berlayar di lautan, ada juga replika bola dunia yang dilengkapi dengan alat ukur pembaca posisi, dan lain sebaagainya yang berhubungan dengan ilmu bumi. Sungguh sekali lagi aku terasa takjub dibuatnya,  bagaimana mereka dapat membuat peta-peta itu dengan teliti dan detail sementara peralatan seperti satelit belumlah juga ada.

Kini aku memasuki daerah kerajaan-kerajaan yang pernah muncul di dunia ini, walaupun yang dipajang adalah tidak selengkap kejadian yang sebenarnya, akan tetapi di dalam musium ini aku rasa cukup banyak koleksinya. Berbicara kerajaan, maka tidak lepas juga harus berbicara siapa penguasanya. Ada tempat-tempat mummi yang sepertinya terbuat dari kayu dari kerajaan Mesir kuno. Ada patung-patung yang diambil juga dari kerajaan Mesir kuno. Serta tulisan-tulisan yang sepertinya ditulis kembali pada sehelai kain panjang menurut tulisan di bawahnya yang pernah dipakai sebagai kain pembalut mummi pada jaman kerajaan Mesir kuno. Ada pula patung-patung kecil yang konon ditemukan bekas dari kerajaan Bangsa Maya di Mesiko dan sekitarnya. Ada pakaian perang khas bekas kaisar Jepang di mana dipakai ketika sedang melakukan upacara khusus. Ada juga baju perang yang terbuat dari besi pelat tipis lengkap dengan pelindung kepala di mana baju itu merupakan baju canggih untuk berperang pada saat itu. Aku kini sedang melihat-lihat alat-alat tukar menukar atau uang di jaman yang lalu akan tettapi sebelum aku menyelesaikan acara melihat semua yang ada di dalam bagian ini, aku mendapatkan panggilan tetefon dari istriku untuk yang ketiga kalinya, maka aku cepatkan langkahku bahkan terkadang aku lewati saja barang pajangan yang aku anggap tidak terlalu aku senangi.

Aku coba untuk melambatkan lagi langkah kakiku ketika aku melewati bagian seni. Walaupun seni pasti ada hubungannya dengan masa suatu kerajaan atau dinasti, akan tetapi benda seni memiliki suatu harga yang bernilai. Pahatan-pahatan patung dan senjata yang mereka pakai dapat terlihat jelas digambarkan oeh pemahat-pemahat jaman dulu. Pahatan-pahatan gambar bercorak anggota tanaman yang terpahat pada lembaran daun pintu pada suatu jaman kira-kira sekitar seribu limaratus tahu yang lalu masih dapat dilihat. Tidak ketinggalan juga ada patung yang dipajang berasal dari Papua, patung dari seorang penduduk Papua yang sedang duduk dengan lutut yang dilipat dan dengan pahatan hidung yang lumayan besar dan terbuat dari kayu berwarna coklat tua kehitaman. Aku teliti dengan seksama, aku jadi teringat patung-patung pahatan dari suku Samat Papua. Semua mata tertuju pada lukisan seseorang yang sedang naik kuda yang ditempelkan tepat di dinding tembok yang berada di tengah di mana di sisi kanan dan kirinya merupakan jalan menuju ke ruang di belakangnya. Bahkan aku lihat banyak orang yang sedang melakukan memotret dirinya sendiri dengan latar belakang lukisan sebesar kira-kira ukuran orang dan kuda aslinya. Agar penasaranku menemui jawaban, lalu aku mendekatinya, aku rupanya sudah sering membaca nama si pengunggang kuda berbaju formal tahun pertengahan dengan kuda yang sedang mengikik yang berdidi di atas kedua kaki belakangnya dan kedua kaki depannya diangkat sambil ditekuk ke atas pada lukisan itu, dialah Napoleon Bonaparte. Setelah melalui lukisan itu aku sudah mencium bahwa pintu keluar sudah semakin dekat.

Aku lanjutkan saja terus menuju jalan yang ujungnya entah di mana sampai aku menemukan lift dan di sebelahnya adalah tangga turun dengan tanda panah mengatakan bahwa di bawah sana ada arena khusus untuk musium anak-anak. Aku menuruti saja tanda panah menurun dan tidak memilih masuk lift dengan harapan aku dapat singgah di tempat yang ditunjukkan oleh papan petunjuk agar mengetahui barang-barang yang sedang dipajang untuk anak-anak. Dugaanku tenyata tidak benar, ruangan yang mungkin untuk anak itu masih tidak ada barang yang dipajang, sambil aku clingak-clinguk telefon genggamku berbunyi, dan yang aku lihat di layar lelefonku adalah istriku. Aku jawab bahwa aku sudah dekat dan sedang menuju ke pintu keluar, dan aku tutup telefonku ketika aku lihat putriku sedang menjawab telefonku sedang duduk berjejer dengan keempat anggota rombongan membelakangi aku. Dan aku kini sudah keluar arena tempat barang-barang musium Louvre dipajang.

PENUTUP

Ketika aku keluar gedung dan akan memasuki areal parkir, aku masih saja terpengaruh suasana barang-barang yang sedang dipajang di dalam musium tadi. Pikiranku ingin memberikan suatu penilaian, lalu aku mencoba mengeluarkan penilaianku itu dengan mengucapkannya kepada menantuku, aku katakan bahwa kalau aku harus menilai tentang keadaan barang-barang yang dipajang tadi adalah "bagus" atau "good", bukan luar biasa atau "excellence", dimana penilaianku itu diiyyakan oleg dia. Penilaian itu didasari kepada ingatanku pada musium Louvre yang ada di Paris. Akan tetapi, agar lebih jelas dalam membuktikan pendapatku itu penulis sarankan agar pembaca mengunjunginya sendiri, karena penilaian yang aku sebutkan di atas  merupakan penilaian pribadi. Ibarat menilai rasa asam dan manisnya buah jeruk, aku yakin antara orang satu dan lainnya akan berbeda, untuk itu rasakanlah sendiri sebelum mempercayainya.

Aku jadi membayangkan keadaan musium di Indonesia, untuk membawa pengunjung untuk berkunjung saja aku pikir sangat sulit,. Pengunjung biasanya ada atau datang karena ada program untuk murid-murid sekolah yang sedang melakukan kunjungan.  Bahkan ada suatu berita di tanah air bahwa suatu musium dibiarkan tidak terawat karena tidak memiliki dana untuk melakukan perawatan. Dan yang lebih tragis lagi adalah, isi barang-barang berharga milik suatu musium ditukar dengan yang palsu, diembat, dicuri oleh oknum demi keuntungan pribadi tanpa menghiraukan nilai yang terkandung pada barang yang sedang dijahili. Aku tidak ingin membicarakan keadaan musium di tanah air lebih panjang lagi, selain aku hanya mengetahui dari berita, aku tidak ingin menjadi lebih sedih lagi dibuatnya.

The END.

Medeo: Abu Dhabi, 30/11/2017.