Monday, April 16, 2007

Surat Untuk Bpk. Muhammad Subari.

SURAT UNTUK BAPAK M. SUBARI
BEDA TUHANKU DAN TUHANMU
Oleh: Nasuki

Yth. Bpk. M. Subari;

Assalamualaikum Wr. Wb.;
Kami mengharap Bapak masih ingat tentang kami, adalah salah satu pendengar Bapak ketika dibacakan puisi karya Bapak belum lama ini di KBRI Abu Dhabi, PEA.
Kami mengharap pula Bapak mempunyai kesempatan membaca surat ini, mengingat kesibukan Bapak di Tanah Air, terutama sebagai Kepala Lembaga Berita Nasional Antara.
Ketika itu Bapak menyebutkan bahwa jika diumpamakan, perbandingan besar ilmu manusia dengan Ilmu Tuhan, sebagaimana kisah dialog antara Nabi Hidir A.S dan Nabi Musa A.S, yaitu Nabi Hidir A.S meminta agar Nabi Musa A.S mencelupkan kakinya kedalam air laut, kemudian ia dimintanya mengangkat kakinya keluar dari air laut, air laut yang melekat pada kakinya merupakan besar ilmu milik manusia, sedangkan sisa air laut seluruhnya merupakan Ilmu Tuhan.
Kemudian pada kesempata tanya-jawab kami menanyakan dengan nada sanggahan kira-kira seperti berikut; “Kalau besar Ilmu Tuhan bisa dibandingkan dengan besar ilmu manusia, maka Ilmu Tuhan dapat diukur, sesuatu yang dapat diukur, itu berarti sesuatu itu terbatas, yaitu sebanyak yang tertera dalam skala ukuran tersebut, dalam hal ini diumpamakan sebanyak air laut di lautan minus air laut yang melekat pada kaki Nabi Musa A.S. Sepanjang yang kami ketahui bahwa Ilmu Tuhan itu tidak terbatas, lalu bagaimana Bapak mengumpamakan besar Ilmu Tuhan sebanyak itu atau mengukur dengan skala besar lautan?”.
Kami tidak ingat betul argumentasi Bapak, akan tetapi ujung-ujungnya Bapak mengatakan kepada kami kira-kira begini; “Itu Firman Tuhan, kamu mau melawan Tuhan?”. Kami tidak siap dengan argumentasi Bapak yang berupa pertanyaan itu, tanpa kami menjawabnya dapat dipastikan bahwa Bapak mengetahui apa jawaban kami. Ketika itu kami percaya dengan apa yang telah Bapak katakan karena kapasitas Bapak semata, walaupun sebenarnya didalam pikiran kami bahwa itu tidak logis, untuk itu kami diam saja. Lalu kata Bapak lagi “Itu kan perumpamaan”.

Dimana ayat itu?
Adanya konflik didalam pikiran kami, membuat kami semakin penasaran, kami mencoba untuk mencari ayat dimaksud didalam Al-Qur’an, dan juga kami meminta bantuan beberapa teman kami dalam hal ini, kesimpulan yang kami dapati adalah; bahwa ayat semacam itu didalam Al-Qur’an belum dapat kami temukan, tetapi paling tidak ada dua ayat yang mengatakan tentang hubungan Kalam Tuhan dan air laut, yaitu (semua terjemahan diambil dari Tafsir Al-Qur’an oleh Departemen Agama R.I, Jakarta tahun 1996);
Surat Kahfi, ayat 109: “Katakanlah, sekiranya air laut itu dijadikan tinta untuk menuliskan Kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya dia akan kering terlebih dahulu sebelum habis Kalimat-Kalimat Tuhanku dituliskan, sekalipun Kami datangkan lagi tambahan air laut sebanyak itu”.
Surat Luqman, ayat 27: “Seandainya semua pohon-pohon di bumi dijadikan pena dan lautan menjadi tintanya, sesudah kering ditambah lagi dengan tujuh lautan, semuanya akan kering, namun tak akan habis-habisnya Kalam Allah dituliskan. Sesungguhnya Tuhan Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.
Dari dua ayat diatas tidak mengindikasikan bahwa Kalimat-Kalimat Allah akan habis ditulis, malah sebaliknya, dimana pada surat Luqman, ayat 27 lebih dipertegas lagi, yaitu walaupun titanya ditambah lagi sebanyak tujuh lautan. Kalau sesuatu itu tidak akan habis-habisnya, itu berarti sesuatu itu tidak ada akhirnya, itu dapat dikatakan sesuatu itu tidak ada batasnya atau tidak terbatas.

Referensi lain
Informasi dari salah satu sahabat kami di Abu Dhabi mengatakan, bahwa hal itu ada hadisnya, akan tetapi bukan kaki yang dicelupkan kedalam air laut, melainkan tangan, sayangnya sahabat kami waktu itu tidak ingat darimana hadis itu, dan kami juga tidak tertarik untuk menanyakan lebih lanjut tentang itu kepada dia, karena itu bukan dari Al-Qur’an.
Kami teringat pada bait sebuah lagu yang pernah dinyanyikan oleh si Raja Dangdut, Rhoma Irama, akan tetapi judulnya kami lupa, bait itu kira-kira berbunyi; “…Ilmumu bagai setetes air di lautan, kalau dibandingkan dengan Ilmu Tuhan…”
Dari kedua referensi terahir diatas, kami melihat ada sedikit perbedaan dengan apa yang pernah dikatan Bapak, yang pertama ilmu manusia bagai air laut yang menempel pada tangan setelah dicelupkan, yang kedua bagai setetes air di lautan, tetapi kami kira pada prinsipnya sama, apakah kaki atau tangan yang dicelupkan ataupun setetes air di lautan, yaitu perumpamaan besar Ilmu Tuhan dapat dibandingkan dengan besar ilmu manusia.

Manusia bukan bagian Tuhan
Kalau perumpamaan besar Ilmu Tuhan dapat dibandingkan dengan ilmu manusia, maka kemungkinan Sifat Tuhan lainnya, seperti sifat Kuasa, Kuat dan Lainnya yang erat hubungannya dengan sifat Ilmu Tuhan dapat pula dibandingkan dengan yang dimiliki oleh manusia, sehingga dengan logika dan skala yang sama, maka kita boleh mengatakan (mengumpamakan): ‘Andaikan dibandingkan antara kekuasaan manusia dengan Kekuasaan Tuhan, yaitu kekuasaan manusia bagaikan besar kelereng, sedangkan Kekuasaan Tuhan sebesar sesuatu yang dapat diukur, misalnya sebesar bumi’. Padahal Kekuasaan Tuhan mustahil untuk diukur karena besar-Nya tanpa batas, jadi itu tidak logis.
Dalam mengumpamakan Sifat-Sifat Tuhan dengan sesuatu memang diperbolehkan, tetapi bukan besar atau jumlah dari Sifat-Nya yang diumpamakan (kecuali Jumlah Tuhan itu sendiri, yaitu Satu/Wahid dan banyak Zat-Nya, yaitu Tunggal/Ahad), melainkan jalan logika-Nya. Pengumpamaan itu perlu dilakukan, mengingat Tuhan dilingkupi dengan ke-Gaiban, dimana agar Yang Gaib itu dapat diterima oleh akal, maka Ia harus dijadikan empiris dengan jalan perumpamaan tadi. Dalam menentukan atau memilih perumpamaan pada satu Sifat Tuhan saja, kemungkinan dapat diumpamakan dengan lebih dari satu macam perumpamaan, itu tergantung pada sasaran yang ingin dikemukakan . Contoh berikut berkenaan dengan Tuhan dalam menciptakan manusia mungkin dapat mewakili argumentasi diatas:
Surat Shad, ayat 72: “ Ketika Aku menyempurnakan ciptaanya dan Aku tiupkan Ruh-Ku didalamnya…”. Kalau dilihat sepintas makna ayat ini seolah-olah pada setiap manusia ada bagian dari Ruh Tuhan, dengan kata lain bahwa kita bagian dari Tuhan. Karena suatu hal yang mustahil untuk mengetahui Zat Tuhan, maka untuk menyederhanakan ayat ini diperlukan perumpamaan, hal ini hanya agar dapat diterima oleh akal.
Di bumi ini banyak tumbuh-tumbuhan yang hidupnya tergantung pada cahaya matahari, sehingga apabila tumbuhan itu tidak menerima cahaya matahari dalam waktu tertentu, maka mereka akan menjadi layu, kering dan bahkan bisa mati, karena tidak menerima makanan yang dibutuhkan. Dimana cahaya matahari diperlukan oleh mereka untuk keperluan proses fotosintesis, yaitu suatu proses pembuatan makanan tumbuhan, air yang diserap melalui akar diteruskan sampai ke daun-daun, lalu dengan bantuan cahaya matahari air itu dikombinasi dengan carbon dioksida yang diserap oleh daun dari udara sekitarnya membentuk gula sebagai makanan dari tumbuhan itu, dan gas sisa berupa hidrogen dibuang keluar melalui daun itu pula. Dengan demikian kehidupan tumbuhan sangat tergantung pada cahaya, dalam hal ini cahaya matahari.
Kalau matahari itu bisa berkata, maka ia akan mengucapkan ‘Aku pancarkan cahayaku untuk kehidupan tumbuhan di bumi’. Begitulah perumpamaan surat Shad, ayat 72 diatas. Disini akan timbul pertanyaan; dapatkah tumbuh-tumbuhan itu dikatakan sebagai bagian dari matahari?, jawabannya tentu tidak, karena tidak ada bagian zat matahari yang diambil oleh tumbuhan, tetapi kejadian sesungguhnya adalah pancaran cahaya itu tidak mengurangi zat matahari yang menyebabkan tumbuhan tetap hidup, karena apabila bagian matahari berpidah pada tumbuhan, maka mereka bisa mati karena panasnya matahari. Begitulah sanggahan kami terhadap pendapat Bapak, bahwa manusia dan bahkan alam semesta ini merupakan bagian dari Tuhan.

Kesimpulan
Dari ayat-ayat Al-qur’an diatas, kami yakin bahwa besar Ilmu Tuhan tidak dapat diukur walaupun hanya sebagai perumpamaan saja, karena segala Sifat-Sifat-Nya tidak terbatas, karena besar Sifat Tuhan yang tanpa batas itulah, maka Tuhan dinobatkan sebagai Tuhan. Kecuali jumlah-Nya, yaitu Satu (Wahid), dan Zat-Nya, yaitu Tunggal (Ahad).
Alam semesta ini bukan bagian dari Tuhan walaupun eksistensinya tergantung kepada-Nya.
Kami yakin, besar ilmu yang kami miliki dalam hal ini dibandingkan dengan besar ilmu Bapak mungkin tidak seberapa, untuk itu kami masih penasaran dengan cuplikan kisah yang Bapak sebutkan pada dialog antara Nabi Hidir A.S dan Nabi Musa A.S seperti tersebut diatas merupakan Firman Tuhan. Kami bukan tidak ingin mengakui kebenaran pendapat itu, tetapi karena ini dapat merubah suatu keyakinan (baca iman) kami terhadap Sifat-Sifat Tuhan, maka untuk mempercayainya menurut hemat kami diperlukan suatu penyelidikan, lalu ada argumentasi bahkan kalau bisa dengan bukti.

Demikian surat ini kami buat, kami mohon maaf apabila ada yang tidak berkenan pada Bapak, dan terimakasih atas perhatiannya.


Abu Dhabi, Juli 2005
Wassalam;

Nasuki
(Alamat email: Nasuki@emirates.net.ae)

No comments: