Sunday, April 15, 2007

BELENGGU

BELENGGU
Oleh Nasuki*

Ketika tulisan ini dibuat, saya sedang menikmati bagian isi sebuah buku yang berjudul, Bringing Up Boys, yang ditulis oleh psikolog Dr. James Dobson, dari Colorado, Amerika Serikat. Buku tersebut sungguh sangat menarik minat saya untuk membacanya manakala di bawah judul pada sampulnya tertulis “Practical advice and encouragement for those shaping the next generation of men”. Terlebih lagi ketika membaca isinya. Buku itu mengulas secara terperinci tentang hal-hal yang membedakan secara psikologis antara laki dan perempuan, yaitu akibat adanya perbedaan hormon tertentu pada masing-masing jenis, sehingga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya sifat keduanya dalam saling mendominasi, memimpin, menyukai hal yang beresiko, menyukai kekerasan, dll. Di mana secara umum adanya sifat-sifat itu pada manusia sudah banyak diterangkan di dalam Alqur’an sebagai sifat yang “kodrat” pada masing-masing jenis. Lagi-lagi akal manusia dapat membuktikan bahwa isi Alqur’an itu betul-betul Kalamullah.
 
Bidang ini sebetulnya lebih melengkapi bidang-bidang lainnya untuk membuktikan bahwa Alqur’an merupakan kumpulan wahyu dari Tuhan.

Lalu yang menarik untuk direnungkan adalah; Kalau manusia dengan akalnya sudah mampu menyingkap suatu kebenaran, sehingga dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak, mana yang layak dan mana yang tidak, lalu apa gunanya wahyu itu diturunkan bagi ummat manusia?, atau dengan nada “memberontak”, mengapa Tuhan memberikan wahyu bagi umat manusia?, toh manusia dengan akal, intuisi dan fitrahnya sudah dapat menemukan suatu kebenaran.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah analisa ini difokuskan pada definisi tentang Alqur’an.

Seperti berulangkali disebutkan di dalam Alqur’an, bahwa Alqur’an itu diturunkan sebagai petunjuk bagi ummat manusia, petunjuk pembeda tentang yang benar dan yang salah, karena tugas manusia sebagai penguasa penggati Tuhan di muka bumi ini, suatu petunjuk itu diperlukan sebagai pedoman ketika mereka belum mengetahuinya, tentu saja itu akan terjadi pada masa awal kehidupan manusia. Untuk itulah mengetahui isi wahyu merupakan suatu kewajiban terutama bagi ummat Islam, agar tidak salah dalam memilih arah jalan hidupnya. Akan tetapi yang terlihat janggal adalah; golongan penganut Islam yang sudah mengetahui kebenaran (dari wahyu), akan tetapi banyak dari kebenaran (secara nyata) itu ditemukan atau dibuktikan (baca dipahami) oleh golongan diluar Islam. Jadi, banyak kebenaran itu bagi ummat Islam hanya ada ditingkat pengetahuan, bukan pemahaman bahkan pembuktian. Sehingga sering terjadi apabila ada suatu perkara di dalam Alqur’an ditemukan/dibuktikan oleh pihak yang berseberangan dengan Islam, lalu sebagian dari penganut Islam berkata; itu sudah disebutkan (baca diketahui) di dalam Alqur’an sejak 14 abad yang lalu. Kenapa demikian?, inilah pokok permasalahannya.

Kebebasan

Coba kita bertanya lagi, mengapa saat ini hampir tidak pernah lagi dijumpai lagi orang-orang jenius bermunculan seperti Ibnu Sinna, Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi, Imam Ghozali dan lainnya seperti di masa lampau dari golongan muslim?. Apakah Tuhan telah menghentikan orang-orang jenius seperti mereka terlahir dari golongan muslim?. Bukankah semua manusia mempunyai hak yang sama dihadapan Tuhan?. Ataukah ada alasan lain, sehingga para jenius-jenius dari golongan muslim tidak dapat berkembang dan menyebabkan mereka cenderung bersikap apatis, pasif, dan tidak bergairah terutama dibidang ilmu pengetahuan?.

Saya lebih cenderung pada yang terakhir, ini bukan berarti menuduh para jenius tadi menjadi malas karena ia muslim, tetapi akal mereka tidak dapat bergerak atau berkembang bebas karena jeruji kepentingan sesaat segolongan manusia, kehidupan para jenius ini terlingkupi oleh banyaknya larangan yang menyebabkan akal dan pikiran mereka terbelenggu. Sejak mereka di sekolah tingkat terbawah sampai yang tertinggi sudah dibiasakan dengan mengkonsumsi buku bacaan yang sudah lolos sensor untuk kepentingan yang mengatasnamakan agama, walaupun sebagian dari mereka dapat menikmati suatu kebebasan ketika belajar di negeri yang menghormati kebebasan dan hak pribadi. Akan tetapi begitu kembali ke tempat asal, mereka tidak dapat memakainya secara optimal karena ide-ide yang didasari dengan kebebasan akan betentangan dengan kepentingan golongan di tempat asal, sehingga yang ada hanyalah pekerjaan yang bersifat rutinitas dan cendrung monoton daripada peningkatan.

Saya melihat gejala ini bagi ummat Islam bagaikan suatu ummat yang sedang berjalan di lorong gelap, dan lorong itu akan tersinari ketika kebebasan sudah menjadi bagian hidup mereka, karena kebebasan manusia adalah merupakan hal yang fitrah, dan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Masalah kebebasan berpikir dalam membentuk sejarah perkembangan peradaban manusia sudah dibuktikan oleh banyak bangsa. Di Eropa misalnya, sampai awal abad ke 16, orang atas perintah gereja (baca negara) harus mempercayai bahwa; bumi merupakan titik pusat peredaran planet, walaupun Galileo Galilie, astronomi dari Italia yang memakai teleskop membuktikan bahwa pusat peredaran planet adalah matahari, tetapi karena bertentangan dengan paham yang dianut oleh gereja saat itu, maka ia harus menandatangani pernyataan bahwa ia tidak akan percaya bahwa bumi itu mengelilingi matahari melainkan sebaliknya, itulah yang menyebabkan ia diam tidak berkembang sampai ia meninggal sembilan tahun kemudian. Jadi gereja mengatasnamakan Tuhan mengurusi hak pribadi seseorang, sampai-sampai otoritas untuk mengampuni dosa seseorang adalah gereja, bukan Tuhan. Untuk itulah pada awal aba ke 16 muncul gerakan Protestan yang menentang praktek-praktek gereja yang sudah keterlaluan, maka hanya 25 tahun setelahnya, hampir seluruh negara dibagian benua Eropa Utara menjadi pengikut Protestan, sehingga menjadikan gereja harus mereformasi diri. Untuk itulah waktu dari awal abad ke 16 sampai dengan akhir abad ke 18 disebut sebagai waktu lahirnya “modern science” di benua Eropa dan Amerika.

Kalau kita lihat apa yang terjadi saat ini di sebagian besar negara-negara yang berpenduduk mayoritas penganut Islam, agama masih dipakai oleh sekelompok golongan tertentu untuk mempertahankan kedudukannya, bahkan tidak tanggung-tanggung, agama dipakai sebagai alat penindasan bagi mereka yang mencoba bertanya-tanya masalah legimitasi golongan yang sedang berkuasa. Di negara-negara itu tidak pernah ditemukan akal yang dibiarkan berfikir bebas, baru bergerak sudah terbentur dengan kepentingan golongan penguasa yang ujung-ujungnya harus berurusan dengan penegak hukum (baca pengawal) penguasa dengan tuduhan; apa yang sedang dilakukan tidak sesuai dengan mahzab/aliran yang berlaku dan dianut oleh negara (penguasa). Karena menurut pandangan mereka, dengan adanya kebebasan berarti memberi kesempatan pada manusia untuk memberontak terhadap agama ataupun wahyu dan akhirnya membiarkan manusia masuk ke dalam saluran yang menyesatkan.
Inilah yang terjadi, wahyu berhadapan melawan rendahnya moralitas, karena wahyu itu adalah pesan Tuhan bagi ummat manusia yang pemahamannya tidak terbatas, gelombangnya seirama dengan kecepatan jaman, maka ia berkembang, ber-evolusi sampai di akhir jaman, sehingga siapapun orangnya, mereka mempunyai hak berbicara dengan mengatasnamakan wahyu. Untuk itu hanya dengan akal yang bebas, tulus dan bertanggung jawab saja wahyu Tuhan itu dapat dipahami dan dibuktikan sedalam-dalamnya.

Sinar dari Timur Laut

Munculnya Indonesia dan Malaysia sebagai pelopor kebebasan di dunia Islam. Khusus untuk Indonesia angin kebebasan berhembus sejak jatuhnya kekuasaan Orde Baru berganti dengan Orde Reformasi, walaupun pergantian itu meninggalkan korban dan luka yang penyembuhannya membutuhkan waktu yang cukup lama, tetapi lebih cepat pergantian itu akan semakin baik, toh akhirnya, kalau itu terjadi, minimum akan terluka juga. Akibatnya kini bisa dilihat peran aktip masyarakat, DPR, LSM, media massa dan lainnya bebas dalam mengawasi terutama jalannya roda pemerintah dan non pemerintah yang tidak mungkin dapat ditemukan pada masa Orde Baru, atau adanya suatu komunikasi dua arah antara penguasa dan masyarakat, dampaknya adalah dalam kehidupan beragama dirasakan lebih bergairah, yang pada akhirnya dan mungkin tidak akan lama lagi, Islam akan ditemukan kembali sebagai agama yang didasarkan atas akal yang bebas, di mana adanya perbedaan pendapat diyakini sebagai suatu rahmat Tuhan, itu berarti tidak akan lama lagi munculnya jenius-jenius seperti Ibnu Sinna, Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi, Imam Ghozali dan yang lainnya akan hadir kembali disekitar kita, orang-orang seperti itu bukan saja mengetahui arti wahyu, tetapi yang lebih penting lagi mereka dapat membuktikan kebenaran tentang makna yang terkandung di dalam wahyu, sehingga kedua negara ini kemungkinan akan menjadi model bagi negara-negara berpenduduk mayoritas penganut Islam yang lain, dan itu sesuai dengan apa yang penah disabdakan oleh Rasulullah S.A.W, “Agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tidak mempunyai akal”.

Referensi:
Bringing Up Boys, oleh Dr. James Dobson.
World History, oleh Jerome R. Reich/Mark M. Krug/Edward L. Biller.
*alamat: Nasuki@emirates.net.ae

No comments: