Sunday, April 15, 2007

PLTN RI dan PLTN IRI, bagai dua sisi mata uang.

PLTN RI DAN PLTN IRI
BAGAI DUA SISI MATA UANG

Oleh: Nasuki*

Tulisan ini dibuat bukan untuk menentang atau menyetujui kebijaksanaan pemerintah RI yang akan diambil berkenaan dengan konflik masalah nuklir antara Republik Islam Iran dan negara-negara lain yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Penulis bukan ahli bidang politik, apalagi politik Timur Tengah, hanya penulis merasa terdorong untuk menulis tulisan ini didasari atas rasa “Cinta Indonesia” yang besar, sehingga penulis memandang agar penentu kebijaksanaan dalam hal ini untuk melakukan kajian yang sangat “ekstra” hati-hati didalam mengambil kebijaksanaan tentang persiteruan ini, terutama yang ujung-ujungnya akan mempertaruhkan NKRI tercinta di mata dunia.

Kalau dilihat lebih dalam lagi tentang konflik masalah nuklir Iran dan negara-negara penentangnya adalah konflik terbesar terletak pada konflik budaya dan politik. Itu terlihat ketika Amerika dan sekutunya menyetujui atas usulan Rusia bahwa Iran dipersilahkan mengembangkan tekhnologi nuklir untuk tujuan damai akan tetapi proses pembuatan (memperkaya) bahan bakarnya dilakukan di Rusia. Pesan yang dapat ditangkap dari kemauan lawan Iran terutama Amerika Serikat tsb. adalah; bahwa Iran masih dinilai tidak bisa dipercaya untuk memproses (memperkaya) bahan bakar nuklir sendiri. Kalau dinilai tidak dipercaya, maka sebenarnya dinilai belum mampu secara budaya. Alasan yang paling utama adalah dikhawatirkan nantinya akan ada orang yang tidak bertanggung jawab karena rendahnya budaya orang itu, sehingga bahan bakar yang sudah diperkaya itu (siap sebagai bahan hulu ledak nuklir) akan dibuat bom atau dipindahkan kepada pihak ketiga yang menginginkan untuk membuat bom nuklir.

Contoh yang paling terkenal yaitu yang terjadi pada kasus Abdul Kadir Khan, Bapak Bom Nuklir Pakistan. Bagaimana seandainya ia dan sindikatnya tidak terbongkar dengan pengakuan Libya. Dengan banyak ragam motifasi dibelakangnya dia dan sindikatnya melayani rancangan pembuatan, mengedarkan dan menyalurkan teknologi, peralatan dan cara pembuatan bom nuklir dipasaran gelap untuk negara-negara lain di dunia yang seharusnya semua itu hanya untuk dipakai untuk negara Pakistan saja.

Demikian juga dengan Iran, dunia barat khawatir bahan bakar nuklir yang sudah diperkaya di Iran sulit dikendalikan, dan yang paling mengkhawatirkan, bahwa bahan nuklir siap pakai itu jatuh pada tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab dengan motifasi beragam, maka akan terciptalah “Dirty Bom”, sehingga akan mengancam keamanan dunia. Jadi permasalahannya bukanlah hak suatu negara untuk memiliki teknologi dan memperkaya bahan bakar nuklir di negaranya, akan tetapi kesanggupan yang dapat dipertanggung jawabkan secara budaya dalam mengemban kemampuan yang dimiliki dalam memiliki fasilitas proses memperkaya bahan bakar nuklir di negara yang bersangkutan.

Dalam suatu kasus penulis menilai bahwa, apabila barang berbahaya bagi kehidupan manusia dengan sengaja diedarkan dengan harapan suatu imbalan keuntungan pribadi atau kelompoknya, maka orang atau kelompok pengedar tersebut adalah kelompok yang tidak/belum beradab atau tidak berbudaya.

Lalu bagaimana sikap Indonesia dalam masalah konflik ini?

Untuk menyikapi permasalahan di atas, paling tidak harus ditinjau dari beberapa aspek yang ada pada Indonesia, antara lain; Aspek Undang-Undang/Konstitusi, aspek kepentingan ekonomi, sosial dan politik, aspek sejarah, dan aspek masa depan PLTN NKRI itu sendiri.

Aspek Undang-Undang/ Konstitusi.

Orang sudah mafhum bahwa mayoritas penduduk Iran adalah pemeluk agama Shi’ah, dan orang sudah mafhum bahwa mayoritas penduduk Amerika Serikat adalah pemeluk agama Kristen (Protestan dan Katolik), serta orang sudah mafhum pula bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam.
Kemudian kita lihat pada Undang-Undang dan Konstitusi Indonesia, agama apa saja yang diakui sesuai konstitusi itu, kalau ada salah satu agama yang tidak diakui dalam Konstitusi itu, sebenarnya itu akan lebih mempermudah penentu kebijaksanaan untuk menentukan arah sikap Indonesia mengenai hal ini. Akan tetapi kalu kedua kelompok agama tsb. sama-sama diakui maka aspek-aspek lain harus dikaji dan dipertimbangkan, sehingga hasil kebijaksanaan yang diambil tidak bertentangan dengan tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang NKRI.

Aspek Ekonomi, Sosial dan Politik.

Sebagai ilustrasi, siapa sih penguasa di Blok M pada tahun 1986?, pedagang yang magang di sana saat itu akan menjawab, “Preman” yang Adi Daya di sana saat itu, bukan Lurah atau Camat Blok M, karena pedagang-pedagang itu dijamin keamanannya oleh “Preman Adi Daya” di sana. Demikian juga didunia ini, penguasanya bukanlah PBB, akan tetapi kelompok negara Adi Daya anggota PBB itu, dan bahkan mereka itu juga yang menguasai PBB. Jadi, agar Indonesia hidup aman, ikutilah kemauan negara-negara Adi Daya itu, yang penting bangsa Indonesia aman, karena kalau aman atas jaminan negara pengaman, maka aspek lainnya akan menjadi ikut lebih bergairah.

Ada satu strategi bagaimana untuk memenangkan suatu permainan, baik itu permainan game biasa, politik ataupun perang, yaitu cobalah memerankan diri sebagai pihak musuh.

Kalau ilustrasi berikut ini sebagai misal saja, yaitu seorang pedagang di Blok M yang tidak mau membayar uang “keamanan” kepada “Preman Adi Daya” di sana, memerankan dirinya sendiri sebagai "Preman Adi Daya" di sana, maka ia yang berperan sesungguhnya sebagai pedagang akan berkata pada dirinya sendiri sebagai Preman, “Hai si fulan, ayo bayar uang keamanan untuk bulan ini sekarang!”, ketika dirinya sendiri sebagai pedagang menjawab, ”Tidak”, lalu ia berkata lagi “Kamu jangan mencari gara-gara, yaa!, hidup kamu sudah sulit”, maka si pedagang tadi mungkin akan sadar dan membayar uang keamanan pada si “Preman” tadi. Apalagi berdagang dengan aman di situ sebenarnya ia dan keluarganya sudah mulai keluar dari kesulitan ekonomi yang ada, mengapa masih mau mencari kesulitan lagi melawan si “Preman Adi Daya” itu?.

Aspek Sejarah.

Pernahkah kita berfikir, seandainya saat Perang Dunia Kedua Amerika Serikat hanya mengusir tentara Jepang dari wilayah Amerika yang sedang diduduki Jepang, lalu mereka mengadakan perjanjian untuk tidak saling menyerang pada kepentingan mereka masing-masing, maka tidak mustahil bahwa Indonesia akan menjadi salah satu propensi Negara Asia Timur Raya, dengan ibukota Negaranya yaitu Tokyo.

Lalu konswensinya apa sekarang?.

Pasti sebagian diantara kita yang bekerja sebagai TKI termasuk Tenaga Kerja Wanita, Tenaga Profesional dan lainnya akan menjadi pegawai negeri yang disebut Romusa. Dan nama-nama sebagian jalan-jalan raya di kota-kota besar Indonesia bukan lagi Jl. Sampit, Jl. Jen. Sudirman dll., melainkan kemungkinan yang didapati adalah Jl. Fujiyama, Jl. Hiro Hito dll. Demikian juga yang boleh berkuasa atau menjabat di Pemerintah Daerah Indonesia kemungkinan bukan penduduk pribumi, melainkan minimum hanya orang keturunan campuran Indo-Nipon saja, dengan nama Bagio Susuki, Dede Kawasaki, R.A Dasoke, dll.

Akan tetapi sejarah berbicara lain, Amerika Serikat berhasil menghancurkan impian Jepang dalam mewujudkan Negara Asia Timur Raya. Ditandai dengan dijatuhkannya dua buah Bom Atom di kota Hiroshima dan Nagasaki yang membuat pemerintah Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu, dengan demikian maka berakhirlah Perang Dunia Kedua tsb. dan membuat Jepang hengkang dari semua negara yang telah didudukinya sebelumnya termasuk Indonesia.

Seandainya leluhur kita yang hidup pada saat berakhirnya Perang Dunia Kedua bersama-sama masyarakat beragama dari negara-negara lain yang merasa terbebas dari kekejaman perang dan penjajahan, lalu mempunyai kesempatan besar untuk merdeka mendirikan negara impiannya sendiri kemudian berkata “Thanks God, the war has ended, bless Our Nation and bless America!”. Kemudian penulis menilai pula adalah tidak berlebihan kalau sekiranya kita kini, Bangsa Indonesia yang masih ada bersama dengan NKRI tetap menyambung kata leluhur tadi dengan berkata “Terima kasih hai Bangsa Amerika atas kemenanganmu pada Perang Dunia Kedua lalu”.

Aspek Masa Depan PLTN Indonesia.

Membahas pembangunan PLTN di Indonesia, paling tidak harus membicarakan tiga faktor utama, yaitu; Pertama faktor Perundang-undangan, kedua faktor bagaimana proyek PLTN itu sendiri dibangun (biaya, tempat dan dampak terhadap lingkungan sekitarnya), dan yang ketiga faktor pengelolaan bahan bakar nuklirnya, dilakukan di Dalam Negeri atau di Luar.

Dalam masalah Iran ini seandainya Pemerintah Indonesia mengambil kebijaksaan menentang kemauan negara-negara Adi Kuasa, dengan alasan sebagai modal kalau Iran lolos/diperbolehkan memperkaya uranium di negaranya sendiri, maka nantinya akan lebih memudahkan bagi Indonesia untuk membangun reaktor nuklir serta ijin pengelolaan/pembuatan bahan bakan nuklirnya dilakukan di dalam negeri Indonesia.

Sesungguhnya penulis melihat yang sebaliknya, kalau diistilahkan pemikiran demikian itu merupakan pemikiran yang terlalu jauh kedepan dan bersifat terburu-buru. Seperti pepatah orang Madura mengatakan, “Meracik bumbu untuk burung masih terbang bebas”, begitu bumbunya sudah siap dan dicicipi rasanya nyaman, maka burungnya sudah lari terbang entah kemana.

Artinya apa?, Indonesia masih harus menempuh perjalanan yang jauh untuk mewujudkan impiannya dalam membangun PLTN di tanahnya, belum-belum sudah berangan-angan supaya dapat mengelola bahan bakar nuklirnya di Dalam Negeri. Akibat dari kebijaksanaan itu sesungguhnya nama Indonesia akan dimasukkan ke dalam daftar dan akan dicatat sebagai Negara Penentang oleh Negara Adi Daya itu. Konsekwensinya kelak, begitu Indonesia akan mewujudkan impiannya untuk memiliki PLTN sendiri, karena imbas lain dari kebijaksanaan tadi sudah dapat dipastikan yaitu; impian itu akan dipersulit oleh Badan Tenaga Atom Internasional, yang anggotanya ya, Preman itu-itu juga, bukan sebaliknya akan mendapatkan kemudahan-kemudahan, apalagi ingin memiliki fasilitas pengelolaan bahan bakar nuklir sendiri, sungguh itu suatu impian yang tidak rasional.

Penutup.

Melalui tulisan ini, khusus dalam menentukan kebijaksanaan Luar Negeri, mari kita bersama-sama merenungkan pesan Bung Karno, Proklamator RI, beliau berkata “Ku titipkan Bangsaku pada mu”, lalu jangan mencoba mengartikan “Kutitipkan bangsa kawan-ku ataupun lawan-ku pada mu”.


*Alamat Penulis: Nasuki@emirates.net.ae

1 comment:

Anonymous said...

good