Friday, October 24, 2014

HAMPIR SAJA (2)

Seperti yang aku tulis di bagian pertama, kisah ini merupakan kelanjutan dari kisahku ketika aku sudah remaja dan seterusnya. Di dalam kisah ini yang aku harapkan hanyalah, aku bisa merenungkan agar cerita seperti ini tidak terjadi kepadaku atau orang-orang dekatku bahkan kepada siapa saja yang bisa aku temui.

STADION 10 NOPEMBER

Ketika aku duduk di bangku SMA, hampir setiap remaja SMA di Surabaya Utara sangat menggandrungi sepak bola. Permainan yang paling populer sehari-hari juga  main sepak bola. Juga waktu itu, hampir setiap orang Surabaya akan mencintai klub sepak bola yang bernama Niac Mitra. Niac Mitra akan selalu menempati posisi atas pada klasemen sepak bola antar klub di Indonesia. Untuk itulah, setiap warga Surabaya akan merasa bangga dengan Niac Mitra, termasuk juga aku.

Saingan-saingan berat Niac Mitra adalah; Pelita Jaya Jakarta dan Indonesia Muda Jakarta juga. Apabila Niac Mitra bertemu melawan tim-titm saingan beratnya, hampir dipastikan apabila pertandingannya diselenggarakan di Stadion 10 Nopember, Tambak Sari, dipastikan akan dipenuhi oleh penonton dari Surabaya.

Hari Minggu sore itu Niac Mitra akan bertanding melawan Indonesia Muda. Dua kekuatan utama sepak bola dari Timur dan Barat. Lokasi bertandingnya akan diselenggarakan di Gelora 10 Nopember Tambak Sari, Surabaya. Aku dan teman kelasku jauh hari sebelum pertandingan terselenggara sudah merencanakan untuk menyaksikan pertandingan dua kekuatan itu secara langsung di stadion. Aku dan semua orang yang suka bola pasti akan menganggap bahwa kedua tim kuat ini akan bertading dengan sengit. Maka aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Apalagi pertandingannya akan berlangsung pada hari minggu, dimana hari sekolahku sedang libur. Aku harus menunjukkan bahwa aku memang betul-betul penggemar berat Niac Mitra.

Pertandingan akan dimulai pada pukul 4 sore. Sejak pukul 2 siang aku sudah berangkat dari rumah dengan teman kelasku itu. Dan sebelum sampai stadion aku dan temanku langsung memarkir sepeda motorku di rumah teman kakak temanku tidak jauh dari stadion. Ke stadion aku berjalan kaki saja walaupun membutuhkan waktu sekitar 5 menitan, hal ini lebih menguntungkan daripada memarkir sepeda motor dekat stadion dengan biaya sama dengan biaya masuk stadion. Di sepanjang jalan yang aku lalui, calon penonton yang lain juga banyak yang berjalan kaki. Ini membuat aku dan temanku semakin mempercepat jalanku, khawatir tidak mendapatkan karcis masuk.

Sesampai di stadion, calon penonton sudah memadati sampai ke areal parkir, bahkan sudah banyak yang masuk stadion. Aku dan temanku belum memiliki karcis masuk. Niatku akan membeli di loket ketika aku sampai di stadion. Namun apa boleh buat, karcis masuk sudah ludes, adanya hanya sudah di tangan para calo yang harganya tidak sebanyak jumkah uang yang ada di semua saku pakaianku. Aku tetap tidak pesimis, aku coba mengelilingi stadion mencari celah bagaimana aku bisa masuk stadion.

Aku terus berjalan mengelilingi stadion. Pluit pertandingan aku dengar sudah ditiup pertanda pertandingan sudah dimulai. Dan diiringi tepukan para penonton aku dan temanku berhenti sejenak sambil berkata, "cuk, sudah dimulai!". Tepat di ujung kanan stadion (sebelah utara stadion dekat jalan raya) banyak orang berhenti. Rupanya mereka antri untuk masuk stadion dengan cara menaiki merambat melalui tiang kolom stadion. Tiang kolom persegi yang hampir tegak lurus sebesar pelukanku. Aku lihat lucu saja, bahkan terkadang ngeri juga.

Orang-orang naik satu per satu seperti kera menaiki pohon nyiur. Lucunya ketika yang sudah ada di atas kehabisan tenaga atau putus asa dan melorot ke bawah, maka akan mengakibatkan semua yang ada di bawahnya melorot juga karena beban orang yang melorot di atasnya. Ngerinya, pasti orang yang berada pada  titik paling bawah akan mendapatkan beban paling berat. Bahkan terkadang orang dari atas seolah jatuh bebas menimpahi orang-orang yang sedang berada di bawahnya.

Aku diajak oleh temanku untuk menaiki tiang kolom itu, tetapi aku tidak mau. Karena sayangnya melewatkan pertandingan penting ini, temanku akhirnya meninggalkan aku naik tiang kolom beton berwarna coklat muda masuk ke dalam stadion, sambil menenteng sandalnya, dia berhasil.

Aku lebih memilih tetap di bawah sampai ada ide orang-orang untuk menjebol pintu gerbang tepat berada di belakang dekat dengan dimana temanku naik tiang masuk stadion tadi. Ide itu datang tepat ketika aku sedang mengintip ke dalam stadion melalui celah daun pintu utara yang keduanya terkunci dengan rantai dan gembok selebar telapak tanganku. Sehingga aku saat ide itu dikumandangkan aku berada di tempat yang paling depan tepat di bagian luar pintu yang ingin dijebol. Suara riuh sorak-sorai penonton di dalam stadon membuat aku tidak ingin beranjak dari celah mengintip orang-orang dari belakang mereka. Yang aku lihat dari celah itu hanyalah, orang-orang berloncat-loncat sambil bersorak karena merekapun terhalang pemandangannya oleh penonton di depan mereka.

Aba-aba sudah mulai dikumandangkan dan akupun juga mengikutinya sebagai salah seorang yang berada di tempat yang paling depan. Sambil menyebut hitungan satu, dua dan tiga tenaga orang-orang menggoyang pintu gerbang termasuk aku setelah hitungan "tiga" disebut. Setiap hitungan ketiga disebut bersama-sama pintu semakin besar goyangannya karena tenaga orang-orang yang mendorong semakin besar pula. Demikian tenagaku yang berada di tempat paling depan. Pintu gerbang yang memiliki dua daun pintu dengan diikat keduanya oleh rantai besi yang digembok kuat sekali terlihat semakin melemah ikatan engsel-engselnya yang terikat ke sisi dalam kusen beton stadion.

 Sejenak kemudian salah satu daun pintu yang berada di depanku jatuh karena terlepas dua engsel atas dan bawah, tetapi daun pintu sebelah kiriku tidak roboh, sehingga kedudukan daun pintu di depanku ujung yang ada engselnya lepas dan jatuh merebah ke atas tanah, sedangkan ujung satunya lagi tetap terikat kuat  dengan rantai pada daun pintu satunya. Hal ini membuat daun pintu yang jatuh berkedudukan miring karena menggantung pada daun pintu yang masih tegar berdiri. Orang dari belakangku terus saja mendesak dan aku tidak memiliki kesempatas untuk naik ke atas daun pintu yang jatuh. Kaki-kakiku terjepit oleh dorongan dari belakangku dan daun pintu yang menggantung. Teriakanku yang meminta mereka untuk tidak terus mendorong aku, tidak berarti apa-apa.

Aku terus terdesak dan orang-orang dari belakangku terus saja meloncat dan naik ke daun pintu dan juga menaiki badanku yang merebah karena kuatnya dorongan dari arah belakangku. Aku teperangkap di atas daun pintu yang terjatuh. Aku tidak kuasa untuk bangun karena semua orang berlari menginjak-injak seluruh bagian tubuhku. Yang bisa aku lakukan hanyalah berusaha melindungi leherku dengan tangan kananku dan aku pikir aku berhasil.

Wajahku, perutku, kaki dan tanganku terus menjadi pijakan orang-orang yang berlari memasuki stadion tanpa bayar. Aku terus bertahan dari injakan dan injakan orang-orang yang berlari di atasku. Aku terkadang susah bernafas. Aku terkadang tidak dapat menahan keluarnya kotoran melalui duburku karena tekanan orang yang menginjak-injakku.

Yang aku ingat hanyalah ibuku. Ingatan itulah yang membuat aku terus bertahan agar aku jangan sampai meninggal. Peristiwa berbahaya bagiku terus terjadi sekitar beberapa menit. Dan sampai ada anak lelaki kecil tersangkut di atas perutku.

Aku terus mencoba bertahan meskipun perutku sudah aman tertutupi oleh anak kecil yang menyangkut di atasku. Wajah, leher, tangan kanan dan kaki-kakiku terus diinjak-injak oleh mereka yang berrhamburan masuk stadion. Lalu aku lihat dari arah dalam stadion dua orang dari pihak keamanan berseragam coklat tua datang beraksi sambil menyabetkan tongkat rotan. Gerakan orang berlari untuk memasuki stadion segera berkurang dan terhenti.

Bagi yang sudah terlanjur berlari di pintu masuk harus berhadapan dengan tongkat pecut rotan pihak keamanan. Walaupun orang sudah tidak lagi menginjak-injak badanku aku tidak bisa langsung membangunkan badanku. Anak yang tersangkut di atas perutku penyebabnya, dia tidak bangun-bangun walaupun peristiwa mengerikan sudah terhenti, sampai salah seorang anggota keamanan memungutnya, lalu ia dibawa dengan digendong untuk mendapatkan pertolongan.

Segera setelah anak itu tidak lagi di atas perutku aku baru sadar bahwa di dalam celana dalamku pasti sudah banyak kotoran yang keluar secara paksa tadi akibat aku diinjak-injak orang-orang yang masuk secara ilegal tadi, termasuk juga aku saat ini. Sambil aku pegangi celanaku aku menuruti saja perintah anggota keamanan ke mana aku harus pergi. Aku dimintanya untuk ke ruangan tempat pertolongan berada. Tempatnya ada di bawah teribun barat stadion. Sambil terhuyun-huyun badanku ketika aku berjalan, perasaanku kini terasa hidup kembali.

Ketika aku sampai di ruangan tempat pihak keamanan menyuruhku, aku langsung mencari toilet atau kamar mandi. Ketika aku temukan aku langsung masuk dan membuka pakaian bawahku. Aku campakkan langsung celana dalamku. Lalu aku bersihkan celana panjangku dari bercak-bercak air akibat tembusan kotoranku dari celana dalam. Setelah bersih aku buang celana dalamku yang terkontaminasi kotoranku ke dalam tong sampah yang ada di sebelah luar kamar mandi. Lalu aku ke tempat dimana pertolongan pertama diberikan.

Aku lihat ada beberapa orang yang sedang berbaring. Dalam benakku mengatakan, "pasti orang-orang itu telah mengalami nasib seperti aku, telah dinjak-injak orang lain, akan tetapi, nasibnya lebih parah daripada aku".

Aku lihat wajahku lagi di dalam kaca dekat washtafel. Aku coba membersihkan secara perlahan-lahan dengan air dari kran washtafel. Goresan-goresan bekas injakan orang-orang tampak memenuhi wajahku. Yodium atau obat merah yang aku dapati dari penjaga pertolongan pertama aku oleskan ke bagian wajahku yang terluka, termasuk sedikit di bagian leher dan dadaku.

Setelah aku sudah merasa lebih baik, aku keluar dari tempat pertolongan menuju tribun barat stadion untuk melanjutkan menyaksikan pertandingan antara Niac Mitra melawan Indonesia Muda. Gemuruh penonton mengiringi kedatanganku ke atas tribun walaupun perasaanku tidak bersemangat sebesar ketika aku belum diinjak-injak orang.

Seorang pemuda menyapaku sambil menantangku. Dia pikir warna merah karena olesan obat merah adalah hiasan untuk pihak tim tertentu, yang pasti untuk Niac Mitra warna favoritnya adalah warna hijau. Untung kondisi supporter sepakbola tidak seganas saat ini, jika iya, mungkin aku sudah dikeroyok sampai tak berkutik barangkali.

Ketika aku pulang aku langsung menuju tempat parkir sepeda motorku yang aku titipkan di rumah teman kakak dari temanku, itu karena rumahnya terletak di kampung dekat dengan stadion Tambak Sari. Di sana temanku sudah menungguku karena sudah sampai terlebih dahulu. Ia kaget melihat wajahku dengan banyak olesan warna merah. Ia bertanya mengapa pakaianku jadi kusam. Setelah aku ceritakan apa yang telah terjadi. Maka ia lalu tertawa terbahak-bahak sambil menasehati aku bahwa aku hampir saja mati. Sambil bergurau di atas sepedamotorku, aku dan temanku pulang.

MINUM TOWAK 

Awal tahun kuliah aku merasa bangga sekali terhadap keadaan di sekelilingku. Aku tersanjung karena aku adalah salah satu dari hitungan jari satu tangan dari semua mahasiswa yang ada di kampungku. Walaupun begitu, aku tidak merasa tinggi hati terhadap siapa saja. Aku tetap bergaul dengan teman-teman di kampungku walaupun dari mereka ada beberapa bahkan tidak tamat Sekolah Dasar.

Aku senang bergurau dengan mereka manakala ada waktu senggangku. Terkadang aku juga larut mengikuti irama mereka. Aku ingin banyak variasi dalam hidupku, adalah keinginan umum para remaja. Yang terpenting bagiku adalah, aku tidak ikut berjudi apabila mereka melakukannya. Aku tidak akan ikut mengunjungi tempat PSK untuk melakukan transaksi dengan para PSK. Dan aku tidak akan ikut main perempuan apabila mereka melakukannya. Aku tidak ikut mencuri atau merampok seandainya mereka melakukannya. Kalaupun aku ingin minum minuman keras, maka paling tinggi aku minum bir satu botol setengah literan. Itupun aku lakukan dengan teman dari luar Jawa yang kos di kampungku. Itupun aku lakukan ketika aku hampir lulus dari kuliah program D3 ku.

Aku selama itu merupakan seseorang yang belum terinveksi oleh dunia maksiat di depan mata mereka. Aku sendiri tidak perduli dengan pandangan mereka bahwa aku tetap menjadi seorang remaja yang manis di kampungku. Teman-temanku tidak berani mengajakku apabila mereka akan melakukan hal-hal yang dilarang oleh hukum. Mungkin aku memang anak yang baik di mata teman di kampungku.

Aku terkadang melihat temanku minum yang mereka sebut anggur. Sebetulnya minuman itu biasa dipakai sebagai "jamu" bagi mereka yang sedang kecapekan atau kelelahan. Biasanya dipakai sebagai campuran jamu di warung-warung penjual jamu tradisional. Oleh teman-temanku dipakai sebagai minuman untuk mabuk-mabukan. Aku melihatnya ngeri sekali. Minum segelas anggur kecil saja aku beraninya hanya mencicipi, apalagi diminta untuk meminum satu gelas, sungguh bisa muntah aku.

Suatu hari di suatu malam aku diajak temanku yang biasa minum towak ke warung langganannya sejauh sekitar 5 Kilometer dari rumahku melalui jalan raya. Towak adalah terbuat dari air buah aren yang disimpan lama diawetkan untuk menjadi minuman keras. Pengawetan dilakukan dengan cara disimpan di dalam tempat tertutup selama beberapa hari sampai menjadi berkadar asam tinggi. Biasanya aku minum jenis minuman ini yang dikenal dengan nama es leghen (leghen dari bahasa Jawa yang berarti manisan). Minuman segar dari air buah aren sebelum diturunkan menjadi minuman towak.

Aku hanya ikut saja teman-teman sebayaku dari tetangga rumah. Aku berenam dengan mengendarai tiga sepeda ayun saling berboncengan. Sesampainya di suatu warung di daerah sebrang jalan gedung SMA Negri 7 Ngaglik, ada tiga warung yang menjual minuman towak. Temanku memilih warung yang paling barat karena menurut mereka merupakan warung yang menjual towak paling enak rasanya. Aku hanya melihat lihat saja. Semua temanku mulai memesan satu botol berukuran 2 literan. Satu persatu diminta untuk meminum seteguk gelas dari penyedia minuman.

Temanku sejak awal mengatakan bahwa towak memiliki rasa sama dengan minuman leghen. Ini yang membuat aku ingin mencobanya. Lalu aku mencobanya. Benar, towak memiliki rasa seperti leghen, tetapi baunya sedikit banger (banger adalah sebutan bau bagi sesuatu/air yang mengeluarkan bau busuk). Itu mungkin karena towak disimpan lama sehingga membentuk jamur dan mengakibatkan bau agak banger. Entahlah, tetapi karena rasanya yang aku kenal, aku jadi ingin mencobanya lagi, lagi dan lagi.

Aku lihat teman dari bekas teman kelas SMP ku minum banyak sekali. Dia mengatakan sebelum dia berangkat dari rumahnya tadi, dia minum minyak kelapa terlebih dahulu. Aku tidak mengerti apa maksudnya, mengapa ia minum minyak goreng kelapa sebelum berangkat untuk minum towak. Aku tanyakan kepadanya. Dia menjawab bahwa, agar towak yang akan dia minum nantinya akan cepat keluar menjadi kemih. "Heem", gumamku. Jadi dia memang sudah mempersiapkan diri untuk minum banyak towak malam ini.

Memang di kampungku, bagi peminum yang bisa minum minuman keras lebih banyak artinya seseorang akan lebih tahan terhadap pengaruh minuman keras, karena tahan berarti tidak cepat menjadi mabuk, dengan demikian dia akan lebih unggul dari yang lainnya, sehingga dia dibilang juara anti mabuk.

Aku lihat temanku yang telah minum minyak kelapa sejak dari rumahnya sering keluar warung untuk buang air kecil. Aku mendengar suara pancuran air yang dia keluarkan karena dia buang air kecil di selokan yang mengalir di bawah warung minum dari arah samping dekat aku duduk di kursi kayu panjang warung.

Aku akhirnya disuguhi lagi, lagi dan lagi. Sampai akhirnya dua botol tambahan semuanya dihabiskan isinya. Lalu aku dan temanku merasa cukup, setelah dibayar biaya minum towak lalu bersiap-siap untuk pulang.

Ketika aku berdiri, aku merasa ada sesuatu pada diriku, terutama semacam ada beban lain tersembunyi di kepalaku. Aku masih sadar seperti sedia kala, tetapi aku sedikit merasa bergoyang, sedikit sekali. Aku lihat akulah yang paling sadar menurutku waktu itu. Mungkin karena aku minum tidak sebanyak yang telah mereka minum. Tetapi mataku seperti susah untuk aku kedipkan. Ketika aku berkedip maka seluruh kulit wajahku harus aku gerakkan, rasanya berat sampai di kepala.

Seperti ketika berangkat tadi, aku yang mengendalikan setir sepedaku ketika berjalan pulang. Hari sudah malam bahkan sudah masuk dini hari. Sepanjang jalan yang aku lalui dengan teman-temanku sepi sekali kecuali truk-truk gandengan yang biasa jalan malam sampai pagi.

Dalam perjalanan pulangku terkadang aku merasa terhuyun-huyun ketika aku mengayuh sepedaku. Aku jadi teringat teman sekolahku bercerita tentang ketika membuat seekor anjing menjadi mabuk dengan memberi makan dan minuman yang memabukkan. Ketika si anjing mabuk dan berjalan dalam keadaan mabuk, si anjing berjalan terhuyun-huyun. Dia senang sekali melihatnya. Barangkali keadaanku adalah sama dengan anjing cerita temanku itu apabila aku berjalan dalam keadaan mabuk.

Aku sekarang merasa setengah mabuk. Sesekali sepedaku menyelonong ke arah tengah jalan raya tanpa aku sadari karena aku harus mencari keseimbangan diri ketika menyetir. Beruntungnya, truk-truk besar melewatiku setelah aku kendalikan sepedaku ke jalur kiri yang seharusnya. Teman-temanku juga sama saja. Aku dan mereka terus bersepeda menuju pulang sambil terus bercanda.

Tidak terasa aku sudah sampai di depan kampung rumahku. Kini aku terbebas dari resiko celaka di jalan raya petang hari. Sesampai di rumah aku parkir sepeda ayahku di tempatnya, lalu aku langsung tidur di tempat tidurku. Tidur setengah mabuk sungguh pulas sekali. Tak ada mimpi yang datang, aku terasa seperti tidak ingat apa-apa lagi. Ingatan sepertinya sudah kalah dengan rasa mabuk minuman leghen banger yang disebut towak.

Ketika aku bangun dari tidur mabuk matahari sudah agak meninggi. Kepala yang tadinya terasa berat sudah tidak aku rasakan lagi. Setelah aku kedipkan mataku memastikan bahwa aku sudah pulih kembali lalu aku angkat kepala dan badanku untuk bangun dari tempat tidurku.

Aku kaget sekali ketika aku mau beranjak dari tempat tidurku ada gundukan tanah di sebelah tempat tidurku. Gundukan yang sedang dihampiri oleh para lalat. Ibuku yang sedang duduk di ruang tamu tidak jauh dari tempat tidurku aku lihat jelas ketika memberitauku bahwa dibawah gundukan tanah itu ada muntahan dari mulutku semalam. Muntahan ketika aku sedang tidur. Aku bertanya seolah tidak percaya, dan ibuku meyakinkanku lagi sambil menarik hidungnya karena mengernyitkan kedua alisnya ketika menyebut bahwa muntahanku baunya busuk sekali.

Aku heran sekali, mengapa semalam aku tidak terasa ketika aku mengeluarkan muntah. Mengapa aku tidak bangun ketika aku mengeluarkan muntah. Aku selamanya belum pernah mengalami mabuk. Apakah itu mabuk perjalanan ataupun mabuk karena minuman keras. Aku sungguh tidak percaya ketika sedang mengeluarkan muntahab aku tidak merasakannya sama sekali, tidak sedikitpun. Lalu ibuku menanyaiku dengan siapa aku semalam minum. Aku jawab dengan teman-temanku dan siapa saja aku semalam minum. Tetapi aku memintanya agar tidak menanyai atau menegor teman-temanku karena minum semalam adalah atas kemauanku, dan lagi, aku sudah cukup dewasa dalam mengendalikan diri.

Aku mengakui bahwa jika kesalahan ini sepenuhnya merupakan kesalahanku. Akulah orang yang hanya perlu untuk dinasehati dalam hal ini. Sejak saat itu, aku tidak ingin lagi minum minuman towak. Rasa bau banger masih melekat, terasa ketika aku bangun tidur, walaupun aku sudah tidak mabuk lagi.

 SUKA MAIN BILYARD

Sejak aku kelas 1 SMA, aku sudah memiliki sepeda motor sendiri. Orang tuaku membelikannya agar aku pakai terutama untuk keperluan sekolah. Aku memiliki teman kelas yang sudah lebih paham dariku dalam menjalankan sepeda motor. Karena aku kurang memahami menjalankan sendiri sepeda motor, maka aku ajak dia untuk menyetirkan sepeda motorku ketika berangkat dan pulang sekolah. Kecuali itu aku sambil belajar menimba ilmu menyetir sepeda motor darinya. Teman sekolah yang selalu naik sepeda motorku itu memiliki banyak teman di kampung sekitarnya. Bahkan dia kenal dengan anak-anak bandel kampung sebelahnya.

Suatu kali aku diajaknya main bilyard milik orang Banjar di kampung Benteng, kampung sebelah rumahku. Anak lelakinya dibawah usiaku suka sekali main bilyard. Aku bisa dikatakan tidak pernah main bilyard sebelumnya, lalu aku mulai belajar main bilyard kembali dari meja milik orang Banjar itu. Walaupun sebelumnya aku pernah main, tetapi hanya asal-asalan saja.

Temanku sepertinya sudah lama sekali mainnya. Dia jauh lebih piawai dari pada aku. Semakin hari aku semakin menyukainya. Apabila terhadapku ada kekurang tepatan dalam memainkan bilyard, temanku akan selalu memberitauku bagaimana seharusnya aku memainkannya. Aku semakin lama semakin piawai juga. Namun terkadang meja bilyardnya dipakai untuk taruhan antar para pemain di situ.

Meja bilyardnya dipakai sebagai tempat berjufi oleh pemain lainnya. Sebenarnya biaya sekali main murah sekali. Seharga dua potong tempe goreng saja. Modus judinya sederhana. Biasanya peserta sekali main sampai lebih dari 4 orang. Setiap orang diminta untuk membayar uang sebesar biaya sewa bilyard sekali main. Siapa yang memenangkan permainan maka dialah yang berhak mengambil semua uangnya dipotong biaya sewa meja bilyard sekali main. Biaya itu sudah termasuk biaya sewa meja bilyard.

Untuk bermain memakai bantuan kartu remi. Kartu dikocok, lalu didistribusikan, sehingga masing-masing para pemain atau peserta memiliki 4 kartu. Angka yang berada pada kartu di setiap pemain merupakan nomer bola bilyard yang harus dimasukkan sampai habis. Setiap pemain mendapat giliran masing-masing untuk memukul bola. Biasanya yang mengawali untuk memukul adalah peserta yang mengocok dan mendistribusikan kartu. Untuk pukulan pertama dilakukan sekeras-kerasnya. Seandainya ada yang masuk, maka nomor kartu seperti bola yang masuk diturunkan, agar sisa yang dipegang mudah dilihat sebagai antisipasi. Untuk selankutnya giliran orang berikutnya. Setelah orang pertama selesai membuka dengan pikulan pertama untuk memecahkan bola yang terkumpul agar terpencar, sehingga nantinya akan lebih mudah untuk dibidik, maka aturannya seperti berikut.

Bola yang hanya bisa dibidik adalah bola yang ada pada nomor kartu di tangan. Apabila bola yang dibidik tidak masuk, lalu giliran pemain berikutnya untuk melakukan bidikan. Apabila secara tidak sengaja menyentuh bola yang bukan haknya tidak mengapa asalkan bola itu tidak masuk ke lubang. Apabila bola yang bukan haknya dimasukkan baik sengaja atau tidak, maka perserta dianggap gugur dan tidak diperkenankan untuk melanjutkan permainannya lagi sampai permainan tsb. selesai.

Pemenangnya adalah siapa yang bola sesuai dengan nomer kartu di tangannya sudah habis atau masuk semuanya terlebih dahulu, baik bola-bola itu dimasukkan oleh dirinya sendiri ataupun oleh peserta lainnya.

Aku selalu merasa bosan menunggu permainan mereka untuk menunggu giliranku main. Terkadang aku pulang saja atau kalau aku mau aku harus datang lebih awal. Walaupun demikian apabila para peserta ingin main pakai kartu, maka aku harus mengalah. Karena pemilik meja lebih menyukai permainan pakai kartu daripada latihan biasa dikarenakan pada permainan kartu selesai per game nya lebih pendek daripada latihan biasa, sehingga pemilik akan mendapatkan uang sewa lebih cepat. Aku akhirnya tidak tahan juga karena aku ingin bermain maka aku akhirnya ikut bergabung juga negikuti pernainan bilyard dengan kartu.

Semakin hari aku semakin terbiasa dengan permainan bilyad. Walaupun itu merupakan judi juga, aku anggap judi kelas ringan dan judi yang memerlukan keterampilan. Setelah lama aku larut dalam permainan bilyard aku menjadi ketagihan. Maka yang ada sekarang padaku untuk permainan ini tujuannya untuk memenangkan setiap permainan. Selain menjadikan aku tidak harus membayar sewa meja, aku juga akan mendapatkan tambahan uang.

Lalu aku coba mengajak temanku yang lain dari kampungku. Dia ternyata menyukai permainan bilyard dengan sistem judi. Aku jadi semakin sering mengajaknya pula. Ada informasi dari teman mainku di bilyard oarang Banjar bahwa di daerah Dupak Jaya, tempat mangkalnya para PSK yang dikenal dengan nama Kremil, menyewakan meja bilyard dengan permainan ini. Sebenarnya aku lihat hampir di setiap tempat permainan bilyard yang aku kunjungi banyak pengunjungnya yang melakukan permainan judi ini.

Setelah aku pahami alamat letaknya, dengan berepeda motor aku dan teman dari kampungku berangkat sekitar pukul 7 sore ke Kremil. Setelah sepeda motorku aku parkir, teman yang mengabari aku tentang tempat di Kremil sedang bermain dengan peserta lainnya yang semuanya belum aku kenal. Aku dan temanku dipersilahkan oleh temanku yang sudah datang terlebih dulu. Lalu aku menawarkan diri untuk ikut bermain dengan mereka.

Aku diijinkan langsung main, dan temanku yang juga baru datang bersamaku bisa main setelah ada dua peserta lainnya mengundurkan diri. Lalu aku bermain.

Aku terus main dan aku masih termasuk yang menang karena uangku bertambah banyak. Sejenak kemudian ada seorang yang berjalan agak sempoyongan datang. Lalu dia berbicara dengan salah seorang yang sedang bermain bilyard denganku. Ia terus berbicara dan temannya menjawab seenaknya saja sambil bermalas-malasan. Aku biarkan saja karena ia nampaknya sedang setengah mabuk datang sambil mengajak berbicara temannya yang sedang bermain dengan aku.

Setelah beberapa game selesai dan waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam lebih, orang mabuk itu tetap saja berbicara, bahkan mendesak temannya untuk pulang. Aku coba memberitau bahwa temannya masih ingin main dan dia masih dalam posisi kalah. Sontak saja orang yang setengah mabuk itu mendengar komentarku marah besar, bahkan kemudian menantang aku untuk berkelahi.

Dia menunjukkan pisau yang sedang ia selipkan di balik bajunya. Aku tidak merasa khwatir bahkan aku mendekatinya. Prinsipku apabila dia menggerakkan tangannya memulai untuk memukul ataupun mebgambil pisau yang ia bawa, aku akan langsung memukulkan bagian pegangan stik bilyard yang sedang aku pegang.

Aku tidak perduli. Aku hampiri dia semakin dekat saja. Antara wajahku dan wajahnya sangat dekat, walaupun wajahku dan wajahnya sangat dekat sekali aku tetap mengawasi tangannya yang tidak dia gerakkan. Sampai ada orang yang melerainya.

Setelah aku dan dia berpisah lalu dia keluar sambil berkata kalau dia akan pulang dan memanggil saudaranya yang bekerja di TNI AD. aku dimintanya untuk menunggu. Lalu dia pergi.

Ketika dia pergi aku berkata kepada temanku yang berangkat bersama ke tempat ini tadi. Ideku aku utarakan bahwa sebaiknya kita meninggalkan tempat ini. Setelah temanku setuju, lalu aku mengucapkan permisi pada para pemain yang sedah menyelesaikan game setelah aku ribut sama orang setengah mabuk yang mengatakan akan memanggil saudara dari Angkatan Darat tadi. Dan merekapun memaklumi situasi saat itu merekapun tidak keberatan. Lalu aku ambil sepeda motorku yang aku parkir di depan arena rumah bilyard, lalu aku membonceng temanku keluar dari Komplek Kremil.

Aku dan temanku di jalan terkadang bersenda guarau ketika sedang mengingat peristiwa ribut-ribut dengan orang setengah mabuk tadi. Aku pikir, untung antara aku dan dia tidak sampai terjadi perkelahian. Tidak lama kemudian aku sudah sampai di depan kampungku dan aku langsung nongkrong di Gang 2 kampungku, tempat biasa aku dan teman-temanku yag lain cangkrukan. Lalu aku dan merek ngobrol ke sana ke mari untuk membunuh waktu malam mingguku.

Di sekolah aku menceritakan kejadian yang telah terjadi padaku di malam minggu kemarin. Aku lalu dinasehati oleh teman sekolahku bahwa di tempat pelacuran seperti itu harus hati-hati, terutama kalau sedang ribu-ribut dengan orang dari kampung itu. Sebaiknya dihindari karena orang-orang di kampung itu biasanya untuk mengalahkan lawannya dia berteriak "maling" pada lawan yang sedang diributi, lalu tetangga dan orang-orang di sekitar situ akan menangkapnya dan dia akan dihakimi oleh massa. Bahkan ada cerita yang bisa sampai mati segala karena dihakimi massa di situ.

Sejenak aku berpikir, lalu aku bergumam di depan temanku bahwa, semalam aku cepat-cepat keluar ketika lawan ributku pulang untuk memanggil saudaranya adalah langkah yangbenar. Dan aku berterimakasih pada Tuhan dimana aku telah diberi petunjuk untuk pulang. Lalu aku terdiam.

Seminggu setelahnya aku bertemu dengan temanku main bilyard di Kremil yang lain dimana waktu kejadian malam ribut itu dia datang terlebih dulu, dan dia masih tetap tinggal di ruang bilyard ketika aku dan temanku pulang meninggalkannya. Dia terkadang lewat depan rumahku ketika pulang kerja. Ketika berpapasan aku langsung dia panggil dan diajak ngobrol. Aku dibilangnya beruntung malam itu aku cepat-cepat pergi dari tempat bilyard. Seorang yang ribut dengan aku itu tidak lama kemudian setelah aku pulang datang lagi bersama teman-temannya dan mencari aku. Apabila aku masih tetap di situ entah apa yang akan terjadi kepadaku.

Dia dan aku hanya bisa bersyukur bahwa kejadian malam itu tidak sampai berlanjut. Dan aku berjanji untuk tidak akan datang lagi ke tempat itu.

NAIK SEPEDA MOTOR LAGI

Ini merupakan tahun ke 15 aku sekeluarga hidup di Abu Dhabi, dan cuti liburan tahun ini aku sekeluarga pulang ke Indonesia. Setiap pulang cuti, aku dan keluargaku selalu bolak-balik Surabaya-Nganjuk. Di Surabaya aku dan orang tuaku tinggal dan di Nganjuk istri dan orang tuanya tinggal. Jarak dan waktu bukanlah suatu masalah, tetapi untuk mencapai ke dan dari keduanya merupakan permasalahan yang tersendiri, karena aku tidak memiliki mobil sendiri. Pikiranku mengatakan untuk apa aku memiliki mobil, sedangkan aku sekeluarga tinggal dan bekerja di Abu Dhabi, memakai mobil sewa apabila diperlukan akan lebih efisien dari banyak hal.

Suatu hari ketika aku sedang berada di Nganjuk, secara mendadak aku harus ke Surabaya. Untuk mencari kendaraan sewa tidak ada kesempatan lagi, sehingga aku rencanakan naik kereta api dari Kertosono ke Surabaya. Apalagi aku akan ke Surabaya sendirian, sehingga besok dari rumah aku naik sepeda motor sampai ke Kertosono. Sepeda motor di parkir di sana, lalu naik kereta api ke Surabaya, dan  kembali lagi ke Nganjuk pada hari yang sama.

Aku berangkat sekitar pukul 6.30 pagi dari rumah. Jaket dan helem sudah aku persiapkan sejak malam sebelumnya. Setelah semua persiapan aku anggap cukup, aku berpamitan pada istriku sebelum menaiki motor ke arah timur menuju ke Kertosono.

Dalam perjalanan menuju Kertosono aku merasakan bahwa naik sepeda motor ini cukup enak juga. Desiran sejuknya udara pagi menembus ke kulit dadaku. Sepeda motor berumur enam tahunan masih cukup mulus untuk aku naiki. Di sepanjang jalan aku banyak menemui petani menggayuhkan sepeda mereka. Para pelajar sedang menuju ke sekolah dengan sepeda motor mereka. Hal mengingatkan aku ketika aku masih kuliah dulu.

Di jalanan aku terus melamun sambil menikmati asyiknya naik sepeda motor, tidak terasa jalan tikungan terakhir sudah di depan mata ketika aku keluar niatan bahwa jika nanti tidak ada kereta atau harus menunggu kereta terlalu lama aku bisa juga mengendarai sepeda motor ke Surabaya dan kembali ke Nganjuk lagi.

Ketika aku akan melintasi Kertosono, apa yang aku khawatirkan takut menunggu kereta tidak terjadi, aku justru tetap berjalan lurus tidak berhenti di Stasiun kereta Kertosono.  Aku tidak ingin naik kereta melainkan aku meneruskan sepeda motorku terus berjalan langsung menuju ke Surabaya. Istriku tidak aku beritau. Aku yakin bahwa jalan ke Surabaya dengan sepeda motor akan sangat mengasyikkan dan tidak akan memiliki permasalahan kemacetan dibanding dengan membawa mobil sendiri. Aku sungguh enjoy dan akan tetap enjaoy dengan mengendarai sepeda motor jarak jauh ini.

Suatu pengalaman yang pernah aku lakukan sekitar 18 tahun yang lalu, ketika aku masih baru kawin mengantarkan sepeda motorku untuk istriku di Nganjuk. Akan tetapi kali ini aku tidak mampir di satu warungpun untuk makan, waktu itu aku mampir sampai 2 warung makan, pertama di Jombang, dan kedua di Kertosono.

Kertosono, kota kecamatan paling timur dari Kabupaten Nganjuk, wilayah yang diakhiri dengan sungai Brantas. Di sebelah timur Kertosono adalah sungai Brantas yang membatasinya dengan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Jombang.

Jembatan baru Sungai Brantas hanya panjangnya saja menakjubkan, besarnya terkadang tidak mencukupi untuk menghadapi jumlah kendaraan yang melintas. Jalan-jalan banyak dilalui oleh sepeda motor. Bis antar kota tidak lagi sebanyak ketika aku masih baru kenal istriku dulu. Akan tetapi truk-truk besar dan kecil semakin merajalela saja.

Pematang sawah di tepi jalan-jalan sebelum masuk kota Jombang sudah banyak dipenuhi bangunan baru. Rumah makan dari pecel lele sampai tempe penyet, dari bebek goreng sampai ikan bakar, bengkel mobil dan gudang, perumahan dan ruko, daerah yang berkembang pesat sekali. Demikian juga ketika menuju luar kota sampai di Mojokerto. Walaupun ukuran jalan relatif tidak berubah, namun menjamurnya bangunan baru sepanjang jalan sungguh menakjubkan. Satu hal yang menjadi catatanku, jumlah sepeda motor di jalan raya, bagaikan taawon keluar dari sarangnya, hampir tak ada celah karena banyaknya sepeda motor, mulai dari yang muda sampai yang tua, lelaki dan perempuan.

Jarak ke Surabaya semakin dekat saja. Aku kini sudah menuju ke Kerian, daerah Industri di luar Surabaya. Seperti dugaanku, jalan keluar dari Kerian sudah mulai tersendat, terutama ketika akan memasuki perbatasan kota Surabaya. Aku mengikuti saja orang-orang lain yang membawa sepeda motor, mengambil jalan agak mendekat ke jejeran mobil dan bis untuk bisa saling mendahului. Namun aku sadar bahwa apa yang sedang aku lakukan ini berbahaya bagi diriku sendiri, lalu aku sebisa mungkin berjalan mencari keamanan, biar terlambat asal selamat, begitu pikiranku.

Untuk pertamakalinya setelah hampir limabelas tahun tidak melintasi tengah kota Surabaya dengan sepeda motor. Aku merasa lebih aman bermotor di tengah kota ini daripada perjalananku dari Nganjuk tadi, padahal jalannya lebih sesak di sini. Ini mungkin karena semua orang berusaha untuk tertib berlalulintas, ini karena banyaknya juga Polisi yang memasang mata kepada setiap setelah pengendara di jalan.

Kota kelahiranku ini memang sudah berkembang pesat sekali. Gedung-gedung tinggi banyak bermunculan, walaupun tidak sepesat Abu Dhabi, tetapi Surabaya sudah merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia setelah Jakarta. Kontaku ini nampak bersih dan terawat. Sejak sebelum aku meninggalkan kota ini, penghargaan Adipura, kota terbersih di Indonesia sudah sering diraihnya. Barangkali sejak saat itu masyarakat Surabaya memulai cara hidup bersih lingkungan.

Sekitar dua jam kemudian setelah aku meninggalkan rumah Nganjuk aku sampai di rumah Surabaya. Rumak peniggalan dari kedua orang tuaku yang sekarang ditempati oleh dua saudara dan ibu tiriku. Ada anak dari keponakanku juga yang tinggal di rumah ini, dia sementara waktu tinggal karena sedang kuliah di sini.

Sesampai di rumah Surabaya wajahku terasa tebal sekali seperti terbedaki debu jalanan. Aku langsung membersihkan wajahku dengan air ledeng rumahku sampai dua kali. Pembersihan yang pertama aku bilas dengan air, karena kurang mempan lalu yang kedua aku pakai sabun juga. Dan aku hanya sebentar di Surabaya karena aku bisa menyelesaikan urusanku dengan cepat. Setelah sholat Duhur kemudian makan siang, lalu aku kembali lagi meneruskan perjalanan ke Nganjuk.

Aku keluar rumah Surabaya sekitar pukul 1 siang, setelah aku yakin bahwa semua urusan yang telah direncanakan selesai. Aku jalankan sepeda motorku dengan kecepatan santai saja sambil menikmati perjalanan jalan dalam kota Surabaya. Aku masih ingin melepaskan rindu menyusuri Kota kelahiranku. Terkadang di perjalanan aku teringat ketika aku masih kuliah dulu, menyusuri jalan-jalan kota Surabaya bagaikan pekerjaan setiap hariku.

Waktu seperti berlalu begitu cepat dan tidak terasa aku sudah melewati daerah Wonokromo, daerah selatan kota yang paling sibuk menurutku, karena di sanalah tempat betemunya angkutan dari berbagai penjuru Surabaya, baik dengan mikrolet, kereta api dan bis kota.

Aku mulai mempercepat kendaraanku setelah melewati bundara Waru., Sidoarjo. Kebiasaan cara berlalulintas di UAE terkadang tidak bisa aku rubah, untuk itu aku harus betul-betul fokus dan berhati-hati. Yang mengkhawatirkan aku adalah, aku menjalankan kendaraanku di kanan jalan padahal di Indonesia harus di kiri jalan, ini yang aku takuti, kalau sampai lupa aku bisa celaka duabelas jadinya. Setelah melewati Mojolerto aku naikkan lagi laju kendaraanku, walaupun kecepatannya tidak akan aku lebihkan dari 60 kilometer per jam.

Angin menerpa dadaku dengan kuatnya karena sepeda motorku melawan arah gerakannya. Debu debu jalanan beterbangan terutama apabila bis antarkota atau truk besar sedang berjalan cepat. Aku terkadang harus ekstra hati-hati dengan kendaraan seperti itu. Aku lihat tiba-tiba ada mobil kijang kotak coklat bergerak dari bahu jalan sebelah kiri. Nampaknya Kijang itu ingin masuk ke jalan raya. Di depanku tidak ada kendaraan besar atau sepeda motor. Seperti di UAE, sebelum memasuki jalan raya dari bahu jalan, sopir akan melihat kendaraan dari arah belakang atau depan, dan apabila ada kendaraan dengan jarak yang mebahayakan, sopir akan memberi kesempatan agar kendaraan dari arah belakang atau depan agar berlalu.

Aku terus jalan saja tanpa mengurangi kecepatan sepeda motorku, aku yakin sopir kijang telah melihatku sedang melintasi jalannya dan memberiku kesempatan untuk terus berjalan. Aku terus berjalan saja, kijang itu juga terus berjalan, malah lebih gila lagi menutku, dia seolah memotong jalanku karena harus naik dari bahu jalan tanah menuju ke jalan aspal. Aku seolah tidak memiliki kesempatan lagi untuk menghindar karena dekatnya jarak antara sepeda motorku dan kijang coklat itu. Aku juga tidak memiliki banyak kesempatan untuk menghindar dari gerakan kijang yang aku harap akan memperlambat atau menghentikan diri itu. Yang bisa aku lakukan hanyalah untuk terus dengan laju sepeda motorku.

Dari depan aku lihat truk besar berkepala agak putih dan memiliki bak hijau. Kalau aku menginjak rem sepeda motorku aku akan terus meluncur dan konsekwensinya sepeda motorku akan menabrak kijang. Aku tancap saja sepeda motorku lebih kencang lagi. Ketika ujung moncong kanan kijang sudah sejajar dengan ujung depan sepeda motorku. Aku percepat tarikan sepeda motorku lagi karena kijang tidak juga berhenti, sambil menggoyangkan bagian atas sepeda motorku ke arah kanan ketika badanku melintasi moncomg ujung mobil kijang, akhirnya aku berhasil melintasinya dengan selamat.

"Wow", aku bilang dalam hati,
"hanya dalam ukuran seper sekian detik saja aku akan mengalami kecelakaan", unkapanku dalam hati lagi.

Aku hanya bisa bersyukur tanpa harus memarahi siapa-siapa. Aku baru menyadari kembali bahwa, memang di Negaraku cara untuk menjalankan kendaraan tidak memiliki aturan yang jelas di jalan raya. Jadi aku harus seperti yang lain, harus waspada, siapa yang cepat dia yang dapat.

Hanya aku setelahnya membayangkan, jika sampai aku menabrak sedikt saja moncong kanan mobil kijang tadi. Aku akan kehilangan keseimbangan. Dari arah depanku mobil truk atau jalan yang sibuk. Entahlah. Aku betul betul bersyukur sekali tidak terjadi yang tidak-tidak. Trauma itu terus aku bawa sampai aku sampai di Abu Dhabi.

END

No comments: