UMUM
Apabila dilihat dari judul tulisan ini, bisa bermaksud banyak tujuan. Misalnya; hampir saja aku dapat untung besar, atau hampir saja aku lulus tes masuk kerja di Perusahaan Asing, atau aku hampir saja diterkam buaya di sungai, atau aku hampir saja yang lainnya. Namun sebenarnya yang akan ditulis dalam tulisan ini hanya permasalahan "hampir saja" aku mati.
Ada orang selama dalam mengarungi hidup mereka mengalami hal-hal yang membahayakan
diri mereka sendiri, bahkan terkadang bisa dikatakan melawan maut. Pengalaman itu terkadang bukan hanya sekali, dua kali, bahkan lebih dari itu. Pengalaman itu ada dikarenakan akibat dari unsur
kesengajaan, juga ada dari unsur keharusan, dan ada pula dikarenakan dari unsur kecelakaan. Tentu ada yang mellihat atau menyaksikan sendiri bagaimana seseorang yang hampir saja kehilangan hidupnya oleh sebab apa saja.
Pengalaman seseorang yang hampir saja yang akan mengakibatkan kematian karena unsur kesengajaan
merupakan suatu petualangan hidup dari kebanyakan orang pemberani. Seorang pemberani biasanya akan melakukan tindakan melawan maut
dikarenakan terpaksa dengan catatan; bisa karena tidak ada pilihan lain
atau karena ingin menunjukkan keberaniannya disebabkan oleh keuntungan yang
sedang dikejar.
Sedangkan
pengalaman yang membahayakan karena kecelakaan merupakan kejadian dari orang yang kurang memperhitungkan
keadaan sebelum bertindak, atau, diakibatkan karena dari kecerobohan pihak lain. Pengalaman bahaya karena kecelakaan ini, dapat disebabkan kekurang pahaman terhadap akibat dari tindakan yang akan dilakukan, atau akibat dari kecerobohan orang lain. Yang mana apabila hal yang dilakukan akan berakibat bahaya terhadap diri atau orang lain.
Aku memiliki beberapa pengalaman kejadian yang sungguh-sungguh
bisa berakibat merengut nyawaku, dan pengalaman itu merupakan
pengalaman yang bisa dipakai untuk keperluan sebagai renunganku sepanjang hidupku.
Setelah aku mengarungi kehidupan sudah lebih dari setengah abad lamanya ini, kini baru aku sadari bahwa pengalaman-pengalaman berbahaya di masa lalu sepertinya tidak masuk akal, sehingga aku masih bisa bernafas sampai saat ini. Tetapi kenyataannya aku masih tetap hidup. Aku masih sehat. dan aku masih mampu beraktivitas sebagaimana mestinya sebagai seseorang yang berusia lebih dari setengah abad lamanya. Untuk itu, pengalaman seperti itu karena tidak ingin terulang kembali, aku anggap suatu pengalaman penting yang tidak perlu terjadi lagi, dan inilah yang menjadi alasan mengapa aku harus menuliskan pengalaman-pengalaman itu.
Pengalamanku itu aku tulis menjadi dua bagian. Itu karena menurutku cukup banyak dan panjang. Selain itu, agar aku, atau yang lain tidak merasa bosan untuk membacanya. Bagian pertama merupakan pengalaman sejak aku kecil sampai aku lulus SD, dan bagian kedua merupakan kumpulan peristiwa mengerikan sejak aku setelah lulus SD sampai sekarang.
RUMAH SAKIT
Seperti anak kebanyakan, sejak kecil aku selalu dirawat dan hidup bersama kedua orang
tuaku. Ketika aku masih berusia di bawah 2 tahun, nenekku dari ibu juga hidup bersama aku dan kedua orang tuaku. Nenek bertugas menjaga aku di rumah ketika ibu dan ayah sedang disibukkan oleh pekerjaan dalam mencari nafkah keluarga. Ayahku bekerja sebagai Pegawai Negri Sipil di Penataran
Angkatan Laut (PAL) Ujung, Surabaya, sedangkan ibuku dari pagi buta sampai tengah hari berjualan ikan
segar di pasar Pecindilan.
Ketika aku masih kecil dan masih tergantung pada ibuku untuk meminum ASI, aku terkadang
mengalami kesulitan untuk melaksanakan buang air kecil. Semakin lama aku semakin merasakan kesulitan itu. Orang tuaku mengetahui tentang keadaanku. Ayah dan ibu membantuku dengan berusaha memberikan pengobatan deritaku sebaik mungkin.
Kedua orang tuaku selalu
mencoba membawaku ke "orang pintar" ("orang pintar" adalah seseorang yang tidak memiliki pendidikan medis yang dianggap bisa menyembuhkan penyakit seseorang terutama sakit akibat dari makhluk halus) untuk membantu kesulitanku itu. Bahkan tidak jarang aku dibawa oleh orang tuaku ke luar kota juga untuk
pengobatan melalui "orang pintar" yang dianggap memiliki kemampuan lebih dibandingkan yang selama ini diketahui. Anjuran ataupun berita dari orang yang dikenal untuk pengobatanku, akan dicoba apabila dapat memberikan harapan dalam membantu kesulitan dalam melancarkan usahaku buang air kecil yang sedang aku hadapi. Semua dari "orang pintar" yang telah dikunjungi menyimpulkan bahwa aku sedang menderita kencing batu. Lalu orang tuaku juga mencoba untuk membawaku ke Rumah Sakit di Kotaku, dan kesimpulannya sama saja, aku menderita kencing batu!.
Kencing batu inilah yang telah membuat aku selama ini mengalami kesulitan ketika akan melaksanakan
buang air kecil. Dimana gejalanya sudah diketahui sejak aku berumur kurang dari 1
tahun. Karena keadaan waktu itu yang membuat kedua orang tuaku tidak membawaku secara langsung ke Rumah Sakit. Sebagai penggantinya aku dibawa berobat ke "orang-orang pintar". Berobat ke "orang pintar" merupakan suatu kebiasaan masyarakat pedesaan yang jauh dari pendidikan formal. Kenyataannya hampir semua orang di tempat-tempat tertentu akan mengalami kesembuhan setelah dibawa berobat ke "orang pintar". Rumah Sakit merupakan tempat yamg asing sekali bagi masyarakat pedesaan waktu itu. Bahkan Rumah Sakit merupakan tempat yang menakutkan. Di Rumah Sakit ada urusan administrasi, ada jarum suntik, ada gunting atau pisau bedah, ada pembalut luka yang semuanya serba menakutkan.
Orang tuaku terutama ibuku, khawatir sekali untuk membawa aku berobat ke Rumah Sakit. Kedua orang tuaku lebih memiliki rasa nyaman apabila pengobatan dilakukan
dengan bantuan "orang
pintar". Hal demikian terus berlangsung sementara aku semakin lama
semakin sulit untuk melaksanakan buang air kecil. Bahkan nenekku pernah bercerita
karena sulitnya ketika aku sedang melakukan buang air kecil, terkadang yang keluar adalah
kotoran dari dubur terlebih dulu sebelum air kemih.
Aku sungguh sangat menderita sekali. Namun karena aku mash kecil, aku tidak memperdulikannya. Aku tetap bermain dengan teman-temanku. Karena itu, aku sangat kurus sekali.
Kulitku kering sekali. Aku benar-benar menjadi seorang anak yang
kurang gizi. Itu semua akibat dari penderitaan kencing batuku. Aku
kini setelah mempunyai anak sendiri, membayangkan bagaimana perasaan kedua orang tuaku waktu itu.
Sebagai
anak tunggal, maka semua tumpuan harapan orang tuaku pasti hanyalah
kepadaku. Semua kebaikan yang mereka cari pastilah tujuan utamanya
untuk diriku. Semua usaha yang telah mereka lakukan adalah untuk kebaikanku. Mereka
tentunya sudah berusaha sebaik mungkin untuk membantu aku. Sampai suatu malam ibuku
bermimpi tentang aku. Dalam mimpinya aku sedang memakai selimut serba putih masuk dan
diangkut mobil ambulan untuk dibawa ke Rumah Sakit. Pagi ketika ibuku
bangun dari tidurnya menceritakan tentang
mimpinya semalam kepada ayahku. Dari mimpinya itu ibu memberikan kesimpulan bahwa,
aku harus dibawa ke Rumah Sakit!. Ayahku langsung tidak menyetujuinya. Ayah menentangnya. Tetapi
keyakinan ibuku karena pengaruh mimpi yang dia alami malam itu membuat
ibu memiliki keyakinan bahwa, aku harus diobati di Rumah Sakit, dan aku
harus dibawa ke Rumah Sakit.
Ayah sepertinya sudah tidak bisa mengelak
lagi dengan keyakinan kuat ibuku. Apalagi melihat keadaanku, semakin hari semakin tersiksa saja, demikian juga kedua orang tuaku. Akhirnya ayah setuju mengikuti keyakinan ibuku, aku dimasukkan ke Rumah Sakit untuk dioperasi agar
batu yang bersarang di dalam kandung kemihku dikeluarkan.
Usiaku sudah
mencapai 24 bulan ketika kedua orang tuaku memberanikan diri agar aku
masuk rumah sakit, tetapi keadaanku sungguh memprihatinkan. Aku sungguh
tidak memberikan gambaran tentang keadaan keuangan kedua orang tuaku
yang sama-sama memiliki pekerjaan dengan penghasilan cukup karena hanya memiliki satu anak yang masih hidup. Dibandingkan
dengan teman sebayaku aku kurus dan kecil sekali. Inilah salah satunya
barangkali yang membuat ibuku menderita akibat gejolak di dalam
perasaannya,
sehingga dia mendapatkan mimpi agar dia merasa yakin bahwa jalan yang
lain yang lebih baik untuk mengobati kencing batuku masih ada.
Keadaanku itu yang membuat ayahku pula menyerah dengan ajakan akibat dari
mimpi ibuku.
MENGHADAPI MAUT YANG PERTAMA
Aku sesungguhnya tidak menyadari apa yang akan dilakukan oleh tim dokter Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya waktu itu. Yang aku tau, aku setiap
malam tidur sendirian di dalam tempat tidur berjeruji besi khusus anak. Aku tidak bisa
keluar dari tempat tidur itu tanpa bantuan perawat yang menemaniku. Yang aku ingat,
aku selalu merasa senang ketika ibu, ayah atau tetangga yang aku kenal datang
menjengukku. Dan aku selalu menangis ketika mereka sedang meninggalkan
aku di hall tempat aku tidur sendirian di dalam tempat tidur berpagar
yang tidak mampu aku naiki. Aku merasa seperti di dalam kurungan kasur beralaskan plastik reksin tebal bermotif kembang.
Walaupun ibu dan ayahku selalu mengatakan bahwa mereka hanya tinggal
dan tidur di luar hall dan tidak pulang ke rumah, aku tetap saja merasa
sedih di dalam hall Rumah Sakit. Aku benar-benar dikurung.
Setelah beberapa hari aku
dikurung dalam tempat tidur tinggal di hall ditemani para perawat, dan anak-anak lain sebayaku terkurung di tempat tidur mereka masing-masing, aku diminta
untuk pindah ruangan. Aku diantar oleh perawat yang menjagaku menuju
tempatku yang baru. Tetapi mengapa sejak kemarin malam aku tidak diberi makan dan minum, padahal aku lapar dan haus. Aku lihat ada beberapa orang berbaju serba putih ketika aku memasuki ruangan berbau obat-obatan yang menyengat hidungku. Nampaknya orang-orang bebaju putih itu memang sengaja sedang menungguku di
ruangan baru itu. Semua dari mereka baik dan ramah kepadaku.
Aku merasa biasa saja dengan mereka, toh aku tidak bisa meminta pertolongan ayah atau ibuku walaupun aku merasa khawatir terhadap mereka. Mungkin ini karena aku sudah terbiasa dan sudah beradaptasi dengan lingkungan Rumah Sakit dan dengan orang-orang berbaju serba putih.
Aku dibiarkan saja setelah aku dipindah dari tempat tidur dorong yang membawaku dari hall tadi ke tempat tidur di tengah-tengah orang-orang berbaju putih itu. Mereka berbicara sendiri sebelum aku diperiksa oleh lelaki seusia ayahku dengan alat yang ia hubungkan ke telinganya. Lalu aku dimintanya minum air dari gelas yang sudah mereka persiapkan. Aku merasa senang sekali karena aku memang merasa haus sekali karena sejak tadi pagi aku minta makan dan minum tetapi tidak diberi. Makan dan minumku terakhir aku lakkan kemarin petang.
Perawat yang biasa menemani aku tidak ada lagi berada di ruangan baru untukku. Aku sekarang ditemani oleh banyak orang laki-laki berbaju putih semuanya. Aku lalu diajak bicara tetapi aku merasa seperti ingin tidur saja. Walaupun begitu, aku masih
teringat ketika aku diminta oleh lelaki di depanku untuk memulai menghitung gelas di atas meja
setelah aku disuntik untuk diobati. Hitungan terhadap semua gelas belum
aku selesaikan aku sudah tidak kuat dengan rasa kantuk. Dan aku jatuh
tudur di atas tempat tidur baruku di dalam ruang yang dijaga orang-orang berpakaian serba putih. Saat itulah aku tidak tau kalau aku
dioperasi. Orang-orang berbaju serba putih mengambil batu di dalam kantong kemihku.
Ketika aku terbangun
dari tidurku aku merasa lemas sekali. Kedua tanganku diikat dan tangan kiriku dihubungkan dengan selang putih menuju ke kantong plastik berisi air. Aku dijaga oleh seorang wanita berdiri dekat tempat tidurku dan dua orang berbaju serba
putih. Aku melihat di sekelilingku, aku lihat ayah, ibu dan tetanggaku
menungguku dari balik jendela kaca ruanganku. Semua dari mereka
memberiku senyum, tetangga teman ibuku melambaikan tangannya, aku hanya mampu bekedip karena aku belum bisa menggerakkan badanku. Aku ingin mengatakan kepada mereka bahwa aku lapar, bahwa aku haus, aku ingin makan, dan aku ingin minum. Mereka barangkali tidak tau apa yang aku rasakan saat itu. Mereka bisanya hanya tersenyum sambil memandang ke arahku. Tubuhku masih terasa lemas. Mungkin sebaiknya aku tidur lagi saja.
Ketika aku bangun kembali, ayah dan ibuku sudah berada di sampingku. Aku sudah tidak berada di ruangan tempat baruku tadi. Aku dipindah ke tempat yang baru lagi. Perawat baru yang menemani aku membawa segelas air untukku. Ketika aku melihatnya, gelas berisi air di tangan perawat itu seperti aku ingin tancap saja untuk meraihnya. Aku seperti ingin merebutnya saja. Aku sudah tidak tahan untuk meneguk semua isinya. Namum aku masih ditahan oleh perawat itu. Badanku ia angkat bersama dengan separuh dari tempat tidurku. Lalu aku seolah-olah merebut gelasnya dan aku meminum air dari gelas sekaligus. Aku baru bisa berhenti meneguknya setelah air dalam gelas benar-benar sudah dalam keadaan kosong. Kini aku merasa lega sekali walaupun aku masih ingin minum air lagi.
Ketika malam tiba, ayah, ibu dan para tetanggaku keluar dari ruang tempat tidurku. Aku harus tidur ditemani perawatku dari kejauhan. Manakala pagi sudah tiba kembali, ayah dan ibuku bersamaku lagi.
Aku senang sekali ketika aku dibawa pulang ke rumah. Entah berapa lama aku meninggalkan rumahku yang terbuat dari kayu sirap itu. Aku semacam merasa pulih kembali siap bermain dengan teman-temanku. Walaupun aku masih belum diijinkan ayah untuk berlari, tetapi saat
itu aku merasa sudah terlepas dari bahaya yang mengancam hidupku.
MASUK DAPUR KUPOLA
Sejak operasi pengambilan kencing batu dari dalam kandung kemihku, aku
tidak mengalami kesulitan lagi ketika aku membuang air kecil. Aku sudah tidak merasakan lagi kesakitan ketika aku melakukan buang air kecil. Yang aku
rasa setiap hari ketika aku melakukan buang air kecil adalah, sedikit nyeri di
bagian depan-bawah badanku diantara selangkanganku. Tetapi itu masih jauh lebih
baik apabila aku bandingkan dengan ketika aku masih belum dioperasi
dulu. Rasa sakit itu semakin hari semakin menghilang saja, sampai akhinya aku
merasa tidak ada rasa sakit sedikitpun ketika aku melakukan buang air
kecil. Akan tetapi, apabila aku sedikit saja berlari, hentakan akibat langkah cepatku dengan tanah membuat sakit di selangkanganku datang kembali. Itu aku rasakan sampai beberapa bulan lamanhya. Untuk itu aku selalu memilih menghindari berlarian.
Sehari-hari aku tinggal bersama nenek dari ibuku. Kedua orang
tuaku sibuk seperti biasanya. Nenek juga memiliki peliharaan sapi yang ia
tinggal di Madura demi menjagaku di Surabaya. Dia terkadang merasa khawatir terhadap sapi yang ia tinggal walaupun sapi-sapinya sedang
dirawat oleh suami dari adik ibuku. Ketika aku sudah hampir sembuh total, aku dia ajak ke desa di Madura. Di desa aku bebas bermain ke mana saja. Aku suka sekali mandi di sungai. Luka operasi yang belum sepenuhnya sembuh, semakin memburuk saja. Mungkin inveksi telah mengakibatkan lukaku semakin parah. Dua minggu kemudian ayahku datang untuk menjengukku. Ayah kaget ketika melihat lukaku yang sudah menganga. Esok hari itu juga aku dan nenekku langsung dibawa ke Surabaya. Di Surabaya aku langsung dibawa ke Rumah Sakit lagi. Ketika Dokter yang mengobati aku melihat kondisi lukaku yang sudah menganga lagi, marah sekali terhadap ayahku. Sejak saat itu aku di Surabaya sampai aku benar-benar sembuh sekali.
Nenek merasa bersalah sekali dengan keadaanku itu. Nenek kini tidak bisa memberikan alasan untuk membawaku lagi ke Madura demi untuk melihat sapi-sapinya. Nenek pasrah saja tentang sapi-sapinya kepada menantu dan cucu-cucunya yang berada di Madura. Akhinya aku memang dapat sembuh total dari luka bekas operasi kencing batuku.
Setelah aku sudah tidak perlu lagi untuk berkunjung ke Rumah Sakit untuk mengontrol luka bekas operasiku, nenek mulai memikirkan kembali tentang bagaimana keadaan suasana rumahnya di Madura. Ia lalu mengutarakan hasratnya untuk pulang ke Madura membawa aku lagi. Ayah dan ibuku udah tidak memiliki rasa khawair tentang keadaan lukaku paska operasi, lalu orang tuaku memberi ijin nenekku untuk pulang ke Madura dengan membawa aku ke Desa. Akhirnya nenek pulang ke Madura
dan aku ia bawa juga.
Aku suka sekali tinggal bersama nenekku. Setiap
hari aku dibuatkan nasi putih dan gorengan dadar telor, telor bebek
ataupun telor ayam. Tetapi, aku lebih menyukai makan telor bebek dadar, telor yang setiap pagi selalu ada dari bebek-bebek peliharaan suami adik ibuku. Telor bebeknya sengguh gurih sekali, dari kejauhan bau gorengan dari dapur sungguh membuat setiap orang ingin menyantapnya. Apalagi di desa, makan nasi dengan telor termasuk menu makanan cukup wah. Telor dari bebek-bebek yang setiap sore diberi makan bekicot, bebek-bebek yang seharian bebas mencari makan menyusuri kali tidak jauh dari belakang rumah nenek.
Aku suka sekali bermain
di kali untuk
mencari ikan, dengan pancing atau meraba bagian bawah batu-batu kali mengharapkan ada udang di balik batu. Aku sering ikut suami bibiku mengarit mencari ke Gunung Embilleh. Dan juga, aku bermain bersama anak-anak di Desa nenekku.
Ketika musim
hujan datang, manakala aku dan anak Bibiku masih di Gunung Embilleh, aku ikut mencari dan menangkap burung yang sedang mandi di air hujan. Terutama, ketika hujan turun di awal musim hujan atau hujan pertamakali, burung-burung banyak yang senang atau langsung pada menyambut datangnya air dengan mandi, dan aku beserta anak-anak bibiku mengintai untuk menangkap mereka, juga anak-anak lain tetangga nenekku. Ketika hujan
semakin lebat burung-burung akan semakin basah dan mengalami kesulitan untuk
terbang. Sayap dan badan mereka terbebani air hujan, sehingga mereka benar-benar
tidak mampu lagi untuk terbang jauh dan cepat. Itulah saatnya burung-burung dikejar, dan yang kesulitan terbang akan ketahuan, merekalah untuk ditangkapi.
Terutama burung muda dengan kekuatan yang lebih lemah daripada burung induknya.
Sasaran utama yang ingin ditangkap adalah burung kutilang dan podang, dua burung yang memiliki suara siulan yang merdu dan cukup bervariasi, sehingga memiliki harga yang cukup baik dibanding butung jenis lainnya. Atau burung
lainnya apabila meraka tidak ditemukan. Bisa menangkap satu ekor saja sudah cukup beruntung, karena medan pengejaran yang memiliki bebatuan cadas dan banyak yang lancip serta banyak pohon kecil berduri terkadang harus pulang dengan tangan kosong tetapi telapak kaki ada yang terluka.
Hasil tangkapan dibawa pulang
untuk dipelihara. Umumnya burung-burung liar memerlukan waktu cukup lama
untuk menjadi jinak. Rasa trauma hidup di dalam sangkar akan menyiksa burung tangkapan. Terkadang laparpun tidak mau makan karena
mengalami stress. Anak bibiku tidak perduli, bahkan agar cepat menjadi jinak burung liar sering
pula
dipegang dan sering dimandikan dengan tangan. Pakan (makanan) selalu dicarikan pakan yang paling disukai. Pisang jenis kepok atau buah pepaya sajian yang paling disukai burung kutilang atau podang.
Lalu setelah mulai jinak dipanggil dengan suara siul. Lambat laun
burung liar mudapun menjadi jinak. Panggilan siulan dijawab juga. Lalu
setelahnya menunggu seseorang apabila ada yang berminat untuk
membelinya. Dan burung liar yang sudah jinak akan berpindah tangan
sesuai kesepakatan harganya.
Ketika musim kemarau mulai datang, musim kawin burung-burung juga dimulai. Seiring pohon-pohon di alas mengeluarkan buah, burung-burung juga sudah mulai menetaskan telor-telor mereka. Sejak burung mulai membuat sarang mereka, anak-anak sudah mulai mengintainya. Mereka berebut untuk mencari sarang. Bagi siapa yang melihat untuk pertama kalinya, dialah pemilik sarang burung sampai telor burung metetas. Ketika anak-anak burung sudah mulai tumbuh bulu, anak-anak burung diambil untuk dipelihara oleh yang memilikinya. Inilah salah satu sebabnya mengapa sekarang hampir tak satupun burung yang pernah aku buru itu tidak pernah kelihatan di gunung Embilleh.
Ketika musim kemarau mulai datang. Beberapa anak muda dan/atau orang tua
membuat rencana dengan mmbentuk suatu kelompok. Rencanan membakar batu cadas untuk dijadikan batu gamping.
Batu-batu di sekitar Desa nenekku umumnya berwarna keputihan seperti banyak mengandung kaporit. Batu yang
sangat baik untuk dijadikan kapur. Batu-batu banyak beserakan di atas
gunung Embilleh. Bahkan pada tempat-tempat tertentu bagian gunung terbentuk dari bongkahan batu kapur yang disebut batu "kombhung" menurut orang-orang Desa nenekku, dan batu kombhung itu digali dan dipotong seukuran bata merah untuk dibuat sebagai bahan pengganti bata merah untuk bahan membangun tembok rumah-rumah penduduk.
Pembakaran batu gamping dimulai dengan penggalian untuk
membuat dapur pembakaran (tungku) yang mereka sebut "birungan'. Bentuknya seperti sumur sedalam maksimum 2 meter dan di salah satu sisinya bagian agak bawah kira-kira setengah meter dari dasar dapur diberi lubang sebagai tempat jalan masuk kayu bakar. Setelah selesai
menggali dapur atau menggunakan dapur pembakaran bekas musim panas yang lalu, kemudian mulai
mengumpulkan kayu-kayu untuk digunakan sebagai bahan bakarnya nanti. Kayu ranting dengan
daun yang masih segar dijemur di sekitar dapur pembakaran. Kayu dan
ranting dikumpulkan sedikit demi sedikit. Setiap pergi ke gunung untuk
mencari rumput untuk makanan ternak, anggota kelompok menyambi juga mengambil ranting-ranting kayu dari pohon klobur, nyamplong atau ranting kayu lain yang tidak bisa
digunakan sebagai pakan sapi atau kambing. Untuk itu penjemuran kayu
bisa sampai satu bulan lamanya, bahkan bisa lebih yang penting kayu
bakar harus benar
benar kering. Daun daun ranting yang awalnya hijau segar sampai menjadi
coklat dan getas.
Setelah kayu dinilai cukup dari jumlah dan
kekeringannya lalu dimulailah mencari batu yang akan dibakar. ukuran batu benar-benar dipilih sehingga nanti bisa ditata di atas dapur pembakaran. Batu-batu ditata sedemikian rupa sehingga batu-batu bisa membentuk kubah agar bisa dibakar dari bawahnya. Penataan
dilakukan dengan sangat hati-hati memastikan bahwa ketika dibakar nanti akan bisa menerima cukup panas dari api kayu bakar. Jika tidak, maka batu gamping akan
menjadi kurang masak karena akan terhalang untuk mendapatkan panas api
dari bawahnya. Juga jika tidak tepat dalam menatanya akan beresiko
roboh, baik sebelum dibakar ataupun ketika sedang dibakar. Celakanya
apabila robohnya terjadi ketika sedang dalam pembakaran, maka pembakaran
batu akan menjadi tamat malam itu, karena untuk menata kembali batu yang
sedang dibakar harus menunggu batu menjadi dingin. Menunggu api menjadi
padam dengan sendirinya. Pembakaran dilakukan pada malam hari, umumnya
dilakukan semalam suntuk.
Bagus sekali, kali ini pembakaran batu gamping berjalan
sesuai rencana kelompok pembakar batu, ketika aku bangun tidur pagi hari semua
dari mereka sudah bubar dan batu-batu gamping yang sudah dibakar tetap
mengepulkan asap dari sisa-sisa kayu bakar yang masih hidup sejak
semalam, atau karena bara batuyang dibakar masih panas.
Aku dan teman sebayaku menyukai kepulan asap dari dalam tungku
melalui celahcelah batu gamping panas. Aku dan teman-temanku menggunakannya
sebagai mainan untuk menerbangkan kapas yang diambil dari pohon-pohon
kapas yang tumbuh di sekitar pagar pembatas perkaragan rumah nenekku. Ketika kapas naik karena
terbawa asap aku dan temanku bersorak kegirangan. Sekali, dua kali dan
seterusnya. Aku semakin asyik saja sampai aku lupa diri, dan tiba-tiba
aku terjatuh ke galian tenpat jalan untuk menyuguhkan kayu bakar. Di
sana ada batu gamping yang diambil dari tatanan pagi tadi sebagai contoh apakah batu sudah
matang atau belum dengan keadaan masih panas. Aku menjerit kesakitan
ketika bagian paha kanan bawahku menempel ke batu panas itu, dan kulit
pahaku menyatu
dengan batu gamping panas, ketika aku mengangkat diriku menjauhi batu
itu, kulitku merah karena panas sekali, dan aku menangis sekuat kuatnya
menahan rasa panas di pahaku.
Serentak orang-orang yang melihatnya
membantuku dan aku secepatnya dibawa ke Puskesmas unuk diobati. Puskesmas letaknya sungguh jauh sekali dari Desa nenekku, Puskesmas berada di Tanah Merah, untuk membawa aku, aku
digendong di belakang suami Bibiku. Tanah Merah berjarak sekitar 15
Kilometer dari rumah nenekku, tidak ada cara lain untuk sampai ke sana kecuali ditempuh dengan jalan kaki, sungguh membosankan, lelah sekali, itu aku, aku
tidak tau bagaimana yang dirasa oleh suami Bibiku. Setiap tiga hari sekali aku harus mengunjungi Puskesmas untu terus berobat. Seiring dengan kesembuhan lukaku, rasa sakit sudah semakin menghilang dan aku lambat laun bisa berjalan sendiri secara normal.
Aku bersyukur akhirnya
aku bisa sembuh setelah diobati ke Puskesmas Tanah Merah. Sebulan
kemudian dari kecelakaan itu aku sudah pulih kembali. Sejak saat itu aku dibawa kembali oleh
orang tuaku ke Surabaya, lalu aku tinggal bersama kedua orang tuaku lagi.
Kini
hidupku menyendiri di rumah dari pagi hingga siang ketika ayah dan ibuku mencari nafkah. Aku
ditipkan ke tetangga sebelah yang sehari-hari tinggal di rumah mereka saja. Mereka senang saja
karena saat itu belum banyak anak-anak lecil di sekitar rumahku. Anak kecil akan menjadi
sesuatu yang menhibur buat mereka. Aku bebas bermain dengan teman-teman sebayaku sekitar rumah orang tuaku saja. Aku sudah memegang kunci rumah sendiri
sejak kecil ketika aku
ditinggal oleh orang tuaku. Tetanggaku menjagaku dari jauh saja. Ibu baru pulang ke rumah sekitar jam 1 siang, sedangkan ayah sampai di rumah pulang kerja sekitar pukul 3 siang.
MANDI DI SUNGAI
Ketika
Hari Raya akan tiba, ayah dan ibuku selalu pulang ke Madura. Ayah dan ibu ingin bersilaturahmi dengan nenek dan anggota keluarga lainnya. Dan aku bisa
bertemu kembali dengan teman-teman mainku dulu. Ketika hari-hari besar Agama Islam tiba, suasana aktivitas orang-orang memang dipenuhi dengan cara tradisi. Kenduri secara bergiliran dari rumah ke rumah. Di Madura ayah biasanya
mengunjungi saudara, dan kenalannya, termasuk pamanku, adik ayah yang aku panggil
"Teh", Teh kependekan dari kata "ghutteh" yang berarti paman.
Dekat rumah Teh ada Pondok Pesantren Pakong. Dekat rumah
Teh ada sungai yang mengalir tak jauh dari belakang rumahnya. Sungai itu juga
mengalir melalui depan Pondok Pesantren.
Anak lelaki tetangga Teh adalah temanku, dia lebih muda sekitar satu tahunan dari aku. Aku sendiri masih berumur sekitar 8 tahunan, dan aku senang bermain dengannya, anak desa baik dan
polos.
Aku bertiga dengan dia dan anak lelaki Teh berjalan menuruni tabun sampai ke pinggir sungai belakang rumah Teh
Rumli. Anak lelaki Teh lebih kecil dari anak lelaki tetangga Teh, ia hanya ngikut saja. Ada tempat untuk mandi di sungai, pada air bening anak lelaki tetangga Teh yang tidak memakai baju atasan lansung membuka celana pendeknya dan langsung meloncat saja. Di desa waktu itu merupakan hal yang biasa bagi anak-anak kecil bermain tanpa memakai baju kecuali celana pendek saja. Dia lalu ke
tepian lagi dengan mudah seperti anak yang berjalan di air. Kini giliranku tanpa pikir aku buka pakaianku, karena tidak tau tentang keadaan air langsung meloncat juga ke sungai menirukan dia. Aku
langsung tenggelam ke dalam sungai. Sungai dalam sekali, tinggi kepalaku
tidak jajak di sungai itu. Aku tidak bisa berenang, yang aku lakukan
hanyalah berusaha bernafas dengan meloncat-loncat sampai kepalaku ke
udara.
Aku terus melakukan itu tanpa menyerah. Terus aku meloncat-loncat untuk bernafas walaupun aku
sudah terasa lemas tidak bertenaga.
Ketika aku meloncat-loncat ke udara yang aku lihat kedua temanku berdiri saja di tepi sungai. Aku terus meloncat-loncat sambil mengambil nafas. Anak lelaki tetangga Teh nampak kebingungan tidak tau apa yang harus ia lakukan melihat keadaanku. Tetapi aku terus meloncat untuk bernafas sampai tiba-tiba anak tetangga Teh melakukan sesuatu untukku. Dia berenang menghampiri aku yang semakin lemas. Lalu dia
pungut dengan menjambak dan menarik rambutku dengan tangan kanannya. Aku yang sudah lemas tidak berdaya membalas tarikannya, dan aku seolah tidak memiliki tenaga untuk
berpegangan kepada dia. Aku menyerah ketika ada rasa tarikan di rambutku. Aku terus ia tarik sambil dia berenang ke arah
pinggir sungai yang lebih dangkal. Ketika kakiku terasa menyentuh tanah dan tubuhku masih dalam
keadaan miring karena diseret oleh dia. Aku langsung beranjak dan
berlari sambil sempoyongan karena kehabisan tenaga ke pinggir sungai, tanah gundukan
yang tidak berair. Lalu aku tertegun sejenak lemas dan lunglai karena merasa benar-benar
kehabisan tenaga.
Dia dan anak lelaki Teh hanya tercengang melihat
keadaanku. Berangsur-angsur aku dapat pulih kembali. Dan ketika aku
sudah merasa memiliki tenaga untuk keluar dari pinggir sungai, aku dan anak tetangga Teh segera memakai pakaianku dan bersama-sama anak pamanku segera kembali pulang menuju rumah ghutteh.
Setelah temanku
menceritakan apa yang telah terjadi kepada ayah dan Ghutteh, Teh dan ayahku merasa menyesal sekali
atas kejadian yang telah menimpaku tadi. Ghutteh mengatakan bahwa aku bisa
meninggal dunia
apabila tidak ditolong oleh anak lelaki kecil tetangganya yang juga temanku dan teman anak lelakinya itu.
Aku terkadang berfikir, seandainya anak tetangga Ghutteh tidak memiliki inisiatif menyeretku. Seandainya dia berinisiatif meminta pertolongan pulang memanggil ayah atau Ghutteh, bisa-bisa keadaan sudah terlambat. Tetapi aku masih diberi panjang umur karena dia, anak lelaki kecil dari desa yang sudah bisa berenang. Terimakasih lelaki kecil tetangga Ghutteh, Tuhan telah memilih engkau untuk menolongku ketika aku tenggelam di sungai belakang rumah ghuttehku.
BAJING LONCAT MENCARI MINYAK SISA
Aku masih duduk di
bangku kelas 6 SD ketika aku
sudah berumur 15 tahun. Tentu, dari umurku aku sudah cukup memiliki akal
untuk
melakukan apa saja dibanding teman-temanku di kelasku. Aku sudah muballigh
(teenager) walaupun ukuran badanku biasa saja. Kebanyakan teman
dikampungku tidak menempuh sekolah
formal. Karena itu sejak kecil kebanyakan dari mereka sudah berusaha
mencari uang jajan sendiri. Dan
terkadang uang yang diperoleh dipakai untuk membantu orang tua terutama ibu
mereka.
Banyak dari
temanku mencari uang dengan cara mencari sisa-sisa minyak kelapa dari
dalam
drum minyak yang baru saja dituang isinya. Sisa-sisa minyak yang masih
tertinggal di dalam drum diambil dengan cara menggunakan sepon yang
diikatkan pada sebatang keratan bambu sepanjang 1,2 meteran. Sepon yang
kendalikan dengan tangkai keratan bambu dimasukkan ke dalam drum melalui
lubang drum yang tanpa penutup. Dengan mengusapkan sepon ke dasar drum
sisa-sisa minyak yang tertinggal akan terserap oleh sepon. Lalu sepon
yang sudah membawa sisa minyak diangkat keluar drum diperas di kaleng
biskuit yang sudah
dipersiapkan dengan tambahan kawat agar bisa dijinjing.
Aku senang
menyaksikan orang-orang yang sedang berebut untuk mencari minyak.
Terutama karena ada teman-temanku. Terkadang apabila ada drum yang masih
penuh sedang diturunkan dengan dijatuhkan dari atas truk ke tanah, akan berakibat kebocoran karena penurunan dari
atas truk didorong dengan
dirolling jatuh langsung mengenai ban-ban bekas ban truk sebagai
bantalan agar tidak secara langsung membentur tanah.
Ketika
drum bocor, di dekat lubang drum bocor karena retak akan menetes minyak
keluar dari drum. Karena drum dibiarkan untuk beberapa lama sebelum
dimasukkan ke dalam gudang untuk dituang isinya, bagi penemu kebocorang
pertama kalinya akan menganggap minyak bocor dari drum merupakan milik
si penemu, dan si penemu akan mengamankan drum tersebut. Lalu kemana
minyak menetes ke atas tanah, tanah tempat menetes akan digali membentuk
cekungan seperti mangkok memakai sendok agar
minyak yang keluar tertampung di dalam cekungan itu, dan apabila
minyak sudah memenuhi cekungan lalu dipindahkan ke kaleng yang sudah
dipersiapkan. Demikian seterusnya sampai drumnya diambil untuk
dimasukkan ke gudang untuk dituang seluruh isinya.
Demikian
juga pada drum-drum kosong setelah isinya dituang akan masih ada sisa
karena mengeluarkan isi drum tidak mungkin bisa seratus persen kosong.
Sisa-sisa yang masih tertinggal di dalam drum itu kemudian dibersihkan
oleh teman-temanku. Terkadang teman-temanku mencari minyak goreng sisa
dengan memanjat truk di jalanan. Apabila ada truk yang memuat drum
minyak goreng bekas, teman-temanku akan memanjat ke atas truk untuk
selanjutnya mengikuti kemana truk itu pergi. Dan di atas truk mereka
sambil mengambil minyak sisa dari dalam drum.
Aku terkadang mengikuti temanku untuk memanjat truk, lalu turun ketika truk berjalan agak perlahan, biasanya di sekitar perempatan. Naik dan turun dari truk yang sedang berjalan bukanlah pekerjaan yang mudah. Seseorang harus mengetahui caranya, kalau tudak bisa mengakibatkan celaka patah kaki, terguling-guling atau kecelakaan lainnya.
Aku awalnya hanya ikut teman-temanku yang suka mencari minyak sisa di atas truk. Ketika ingin mengunjungi tempat tertentu, biasanya naik truk dari perempatan Pegirian karena truk berjalan perlahan. Ketika turun juga demikian, mencari tempat di mana truk akan berjalan perlahan.
Aku
sebenarnya ingin sekali melakukan seperti apa yang dilakukan teman-temanku mencari minyak sisa.
Tetapi aku tau bahwa orang tuaku akan marah sekali
apabila mereka mengetahuinya. Karena aku dibekali uang saku yang tergolong
cukup setiap harinya, dimana ibuku selalu memberiku uang jajan setiap pagi.
Aku
terkadang
ketika belajar memanjat truk berjalan di jalan raya mengikuti teman-temanku
yang sedang mencari minyak
sisa dari dalam drum. Bahkan aku sampai ke daerah Kerian pula yang
jaraknya
sekitar 60 Kilometer dari Surabaya. Aku akhirnya tau teknik naik dan turun dari truk yang sedang berjalan cepat sekalipun.
Yang aku sukai naik truk dengan bak terbuka di belakang.
Naiknya mudah dan turunnyapun juga mudah. Ketika akan menaiki truk, pastikan
kedua telapak tangan berada di atas geladak bak truk. Lalu sambil
berlari mengkuti keepatan truk tangan menekan geldak bak dan kaki
sedikit ditekuk sambil berlari berusaha memanjat ke atas sehingga dada
di atas perut menyangkut pada geladak truk. Setelahnya usahakan salah
satu kaki (biasanya kaki kanan) naik ke atas geladak dengan
membengkokkan badan ke arah kaki yang akan dinaikkan. Setelah salah satu
kaki naik, lalu naikkan badan dengan menekankan kedua telapak tangan
beserta lengan yang masih berada di atas geladak truk sehingga salah
satu kaki yang masih belum naik dapat juga naik ke atas geladak truk.
Setelah kedua kaki berada di atas geladak truk berarti seseorang sudah
sepenuhnya berada di atas truk.
Lalu untuk meloncat
turun dari truk yang sedang berjalan juga ada teknik yang harus
diperhatikan. Untuk truk dengan bak terbuka; posisikan badan antara
tengah sampai kiri truk sebelum meloncat. Posisi paling kiri lebih baik
karena salah satu tangan beisa berpegangan pada salah satu dinding bak
truk. Jangan sekali-kali menggunakan bagian kanan bak truk karena
dikhawatirkan jika jatuh dan mengarah ke arah tengah jalan akan
menyebabkan tersambar ditabrak kendaraan dari arah yang berlawanan.
Ketika
akan turun, pastikan badan menghadap ke arah belakang truk. Lalu dengan
sedikit membunggukkan badan termasuk juga sedikit menekuk lutut
bersiap-siap untuk meloncat turun. Keadaan badan dan kaki harus tetap
sedikit membungkuk ke arah depan ketika sedang meloncat. Pastikan bahwa
posisi badan juga dibuat sedikit miring dengan salah satu kaki (biasanya
kaki kanan) berada sedikit di depan kaki satunya. Ketika meloncat
usahakan kaki yang paling depan menyentuh permukaan jalan terlebih
dahulu dan diikuti oleh kaki satunya lagi. Sebetulnya kedua kaki
seakan-akan menyentuh permukaan jalan dalam waktu bersamaan. Ketika
kaki-kaki menyentuh permukaan jalan, kondisi tubuh dan kaki harus tetap
membenguk ke arah depan untuk melawan gaya tarik ketika jatuh akibat
kecepatan truk.
Aku dan teman-temanku melakukan itu
tanpa memakai alas kaki, memang dengan tanpa alas kaki seolah-olah kaki
langsung melekat di atas permukaan jalan ketika meloncat dari atas truk.
Kini aku bagaikan tenggelam ke dalam
lumpur,
lambat laun aku semakin tenggelam ke arah dasar lumpur tanpa ada yang menolong untuk
mengangkatku ke permukaan, semakin lama aku semakin jauh ke dasar
lumpur.
Akhirnya akupun sampai ke dasar lumpur dan mencoba untuk mencari minyak
sisa sendiri dari dalam drum, seperti yang dilakukan oleh teman dekatku.
Memang
sungguh menyenangkan bisa menghasilkan uang sendiri, penghasilan yang
aku gunakan untuk tambahan uang jajanku yang sudah cukup. Tetapi aku
harus tetap waspada dari pandangan orang tuaku. Teman-temanku juga
mengetahui bahwa pekerjaanku ini tidak boleh diketahui oleh orang tuaku.
Karena
aku sudah semakin ketagihan dengan hasil
uang dari mencari minyak sisa yang aku cari untuk tambahan uang
jajanku, aku semakin nekad saja mencari minyak sisa. Setiap aku
selesaikan pekerjaan baruku, sebelum aku pulang ke rumah, aku bersihkan
badanku agar
kedua orang tuaku tidak menciumnya. Kaleng dan keratan bambu dengan
sepon di salah satu ujungnya aku
titipkan di tempat dimana teman-temanku menyimpan milik mereka. Semakin
lama semakin asyik saja, sehingga setiap pulang dari sekolah dasarku aku
langsung
tancap gas mencari minyak goreng sisa.
Hari minggu merupakan hari libur
dan jalan-jalan di Surabaya Utara menjadi legang. Akan tetapi, ada satu tempat yang masih memiliki kegiatan walaupun di hari
minggu, tempat tidak mengenal hari minggu, yaitu Pelabuhan Tanjung Perak. Ke sanalah aku dan teman-temanku
mencari sasaran minyak goreng sisa di hari Minggu.
Aku berangkat agak pagi, sehingga dengan memanjat truk dari Jalan Danakarya (sekarang Jalan Iskandar Muda) sekitar
pukul 7an aku sudah sampai di daerah Pelabuhan. Seperti biasa aku dan
teman-temanku terpencar mencari sasaran sendiri-sendiri. Sekitar pukul
10 hampir separuh dari kaleng yang selalu aku jinjing telah terisi
hampir setengahnya. Aku pikir, ini sudah cukup untuk menambah uang di
sakuku nantinya. Tanpa ada seorang temanpun aku berniat untuk pulang saja.
Seperti ketika aku
berangkat tadi pagi, aku akan pulang dengan cara memanjat truk pula. Aku
menunggu di pertigaan jalan sebelum keluar jalan raya mengharapkan ada truk berjalan perlahan yang sejalan dengan arahku
untuk aku panjati. Semenit kemudian memang ada truk yang sedang mengambil
jalan akan membelok ke arah yang aku inginkan. Aku lalu bersiap-siap
dan ketika truk sudah sejajar dengan aku, aku lalu berlari ke arah
belakang truk. Kebetulan truknya tanpa penutup bak belakang dan di
geladak belakangnya ada lubang karena rusak yang bisa aku pakai sebagai
pegangan untuk naik ke atas geladak belakang truk.
Tanpa
pikir
panjang aku letakkan kaleng berisi minyak goreng sisa setengah penuh
hasilku pagi ini. Lalu tanpa pikir pula aku langsung memanjat naik ke
atas truk dengan cara memegangkan kedua tanganku pada lubang di geladak
truk sekuatnya, lalu aku meloncat ke atas geladak untuk mengaitkan
dadaku sambil berpegang erat pada
lubang geladak truk untuk kemudian menaikkan salah satu kakiku ke atas
geladak agar aku aman dapat naik sepenuhnya ke atas truk. Aku tidak bisa
meloncat lebih tinggi lagi karena ukuran badanku walaupun sudah kelas 6
SD masih setinggi geladak truk. Ketika dadaku sudah mengait di atas
geladak truk dan kedua kakiku masih dalam keadaan menggelantung diantara
jalan raya dan geladag belakang
truk dan aku belum sempat sempat menaikkan kakiku ke atas truk,
tiba-tiba truk
berguncang keras sekali karena sedang melintasi rel kereta api yang
terletak melintang terhadap jalan yang sedang dilaluinya. Celakanya,
minyak
dari dalam kaleng yang berada tepat di depan wajahku memancar keluar
karena kerasnya guncangan. Dan
akibatnya sebagian muncratan minyak dari dalam kaleng di depanku
mengenai wajah dan mataku.
Aku jadi panik sekali karena
aku merasa mataku agak perih, aku memikirkan yang bukan-bukan terhadap
mataku sambil menahan perihnya mata akibat tumpahan minyak kotor yang
aku ambil dari dalam drum tadi sementara
posisiku tetap menggelantung. Aku jadi kehilangan keseimbangan karena
kekacauan dalam pikiranku, badanku sudah bergeser semakin ke bawah
karena guncangan keras tadi. Sehingga aku susah sekali untuk menaikkan
kakiku ke atas truk untuk mengamankan diriku karena badanku juga sudah
bergeser karena guncangan tadi. Posisiku jadi tidak seimbang untuk terus
menaikkan
kakiku sementara truk berjalan semakin kencang saja. Pikiranku semakin
panik, aku dihadap kepada pilihan yang sama-sama bahayanya. Apabila aku
paksakan melepaskan peganganku untuk turun akan sangat bahaya sekali
bisa-bisa aku jatu
terguling-guling di atas jalan raya karena aku turun dari truk dalam
keadaan tidak seimbang sedangkan truk berjalan sangat kencang. Apabila
aku tetap bertahan menggelantung aku akhirnya akan kehabisan tenaga dan
akan jatuh juga.
Di tengah-tengah kepanikan pikiranku
tiba-tiba truk bergerak semakin pelan sambil menuju ke arah jalur hijau
dimana Pom Bensin berada, lalu berhenti di Pom Bensin untuk
mengisi bahan bakar. Saat itulah kesempatanku untuk meloncat turun dari
truk. Dan aku sudah merasa aman kembali. Aku langsung mengusap mukaku
dengan bagian sisi dalam bajuku. Lalu aku pungut kembali kaleng
minyakku dari atas truk dan kemudian aku duduk sejenak sambil
melanjutkan untuk membersihkan mata
dan wajahku dari muncratan minyakku tadi.
Aku bersyukur
sekali saat itu,
apabila truk tidak berhenti di Pom Bensin entah apa yang akan terjadi
pada diriku. Lalu kemuadian setelah aku tenang, aku naiki lagi truk yang
masih belum selesai mengisi tangkinya dengan bahan bakar untuk
melanjutkan perjalananku pulang ke rumah. Benar dugaanku, truk berjalan
melalui jalan raya di depan kampungku. Lalu aku turun di tikungan
sebelum melintasi depan kampungku. Hasil
minyakku aku jual ke langgananku, seorang Ibu dari temanku yang sudah
biasa sebagai
penadah bagi siapa saja yang ingin menjual hasil perolehan minyak bekas.
Memanjat
kendaraan truk yang sedang melaju kencang di jalan raya, dan turun
meloncat dari atas geladak tempat muatan truk yang sedang melaju
kencang di jalan raya sudah menjadi kebiasaanku setiap hari. Kemanapun
aku ingin
pergi, aku biasa memanjat kendaraan truck, pick-up, suv, dlsb.
Untuk
mencapai tujuanku. Sampai ke tempat dekatpun terkadang apabila aku malas
untuk berjalan kaki, aku lebih memilih dengan cara memanjat kendaraan
umum saja, asyik sekali.
BAJING LONCAT MENCURI GARAM
Siang hari minggu itu, aku dan
salah satu teman mainku iseng ingin pergi jalan-jalan
ke daerah Wonokusumo. Daerah paling macet di Utara Kotaku karena banyak
becak-becak
yang melalui jalan menuju ke sana, sejak dari Jalan Karang Tembok sampai
ke Jalan Wonokusumo. Becak-becak seenaknya saja dalam memakai jalan,
pengemudinya susah diatur. Apalagi di ujung Jalan Karang Tembok dekat
pertigaan dengan Jalan Wonokusumo ada rel kereta api yang melintas dan
tidak jauh dari rel ada sungai, sehingga bentuk jalan menaiki jembatan
dan rel kereta api. Kebanyakan becak-becak hanya berjalan dengan
didorong saja.
Hanya kendaraan kecil saja yang akan
melalui jalan menuju ke Wonokusumo. Celakanya lagi, apabila ada truk
yang sedang melaluinya dan kebetulan ada kereta api yang sedang melintasi
memotong Jalan Karang Tembok, maka jalan akan macet total. Para tukang
becak dan sepeda akan berusaha memakai jalan sebagai yang paling dahulu. Kendaraan-kendaraan yang lebih besar harus tetap berhenti mengalah, memberikan kesempatan kepada mereka.
Aku dan temanku memanjat naik mobil box menuju ke Wonokusumo karena
adanya hanya mobil itu. Aku dan dia berdiri di belakang boxnya dengan menginjakkan kaki pada tangga kecil sambil memegangkan tangan pada jeruji belakng box. Ketika turun mudah sekali karena mobil berjalan cukup pelan karena macet.
Karena hari sedang mendung, mendung yang semakin hebat, aku dan temanku khawatir akan turun hujan, maka aku dan temanku sepakat untuk
kembali pulang.
Seperti biasa aku dan temanku suka memanjat kendaraan untuk
pulang. Kali ini bentuk mobil yang aku naiki sama dengan ketika aku
berangkat tadi, mobil box.
Ketika aku naik di atas tangga belakang
boxnya, sambil memegangkan tangan ke jeruji box aku dan temanku melihat garam di dalam box mobil. Mobil box yang
sedang aku dan
temanku tumpangi sedang mengangkut garam kotak yang dikemas di dalam
plastik tembus pandang berisi 10 kotak masing-masing plastiknya. Temanku
memiliki ide untuk mengambil garam dari dalam box mobil untuk dijual
nanti. Tetapi aku tidak menyetujuinya karena hal itu bukan pekerjaan
kita. Temanku masih saja memaksakan diri untuk mengambil sampai ia
berhasil mengambil 1 box garam yang telah aku tolaknya. Kotak garam dibiarkan saja di dalam box mobil tetapi siap untuk dikeluarkan kapan saja.
Aku dan temanku terus saja dengan mobil box. Ketika sampai di
perempatan Pegirian aku mengajaknya turun mumpung mobil berjalan masih pelan. Tetapi temanku tidak mau. Ketika mobil sudah sampai di Jalan Danakarya depan gang rumahku dia turun sambil tertawa dan aku belum siap, sehingga
aku menunda untuk turun di bundaran depan saja. Ketika mobil sudah
mendekati bundaran lajunya semakin pelan. Pada waktu tidak secepat
sebelumnya akupun berusaha turun.
Aku turunkan kaki kananku terlebih dahulu
untuk kemudian kaki kiriku mengikutinya kemudian. Aku tidak siap betul
rupanya ketika aku turunkan kaki kananku. Sehingga kaki kiriku tidak
secara otomatis mengikutinya melainkan masih tetap berada di atas tangga
mobil box. Yang terjadi tidak pernah aku duga aku terpelanting terguling, dan
bagian atas kanan
ujung belakang kepalaku terbentur aspal jalan raya. Aku merasa
permukaan jalan raya seperti bergoyang, seperti aku sedang di atas kapal berada di atas gelombang besar.
Karena aku takut disambar mobil
lain dari belakang sambil terhuyun-huyun aku mencoba menyeimbangkan badanku
yang terasa seperti berjalan di atas gelombang aku berlari ke arah
rerumputan di tengah-tengah taman bundaran sebelah kananku. Ketika aku
sampai di tepi rerumputan aku langsung menjatuhkan diri dan
mencengkramkan kedua tanganku pada rerumputan agar aku tidak merasa
bergoyang lagi. Aku terus cengkramkan erat pada rerumputan kedua
tanganku sambil aku duduk kaki kiri bersila dan kaki kanan tetap lurus merebahkan badanku di atas rumput
hijau taman bundaran depan Yayasan Sekolah Al Irsyad itu.
Aku terus tetap merebah sampai aku
tidak merasa seperti bergoyang-goyang lagi. Akhirnya badanku pulih
kembali hanya kepalaku yang terbentur ke aspal tadi masih terasa sakit. Kemudian aku langsung berjalan pulang menyusuri tepi Jalan Danakarya menuju ke
mulut gang rumahku tempat temanku turun tadi.
Temanku masih menungguku
dan aku lihat dia sudah tidak
memegang garam lagi di tangannya. Ketika aku ceritakan apa yang telah
terjadi kepadaku dia langsung terbahak bahak. Ketika aku tanyakan dimana
garamnya dia mengatakan bahwa garamnya sudah ia jual pada pemilik
warung di depan mulut gang rumahku.
Aku berpikir, seandainya hari itu
bukan hari minggu dan aku terjatuh dari atas kendaraan kemungkinan aku
akan disambar kendaraan dari arah belakangku. Apabila kendaraan melaju
cukup kencang, kemungkinan benturan kepalaku dengan aspal akan menjadi
lebi keras lagi. Sejak saat itu aku mulai tidak menyukai lagi untuk memanjat
truk atau kendaraan lainnya. Dan aku mulai kembali sesuai apa yang
diharapkan oleh kedua orang tuaku.
Akibat benturan kepalaku dengan permukaan aspal, mengakibatkan benjolan. Benjolan di bagian kanan belakang kepalaku masih membekas dalam waktu cukup lama, bahkan aku pernah khawatir bahwa bekas itu akan menetap lalu menjadi besar. Akan tetapi kenyataannya terjadi lain, setelah aku duduk di SMA benjolan itu akhirnya tidak ada lagi. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment