Friday, October 24, 2014

HAMPIR SAJA (1)

UMUM

Apabila dilihat dari judul tulisan ini, bisa bermaksud banyak tujuan. Misalnya; hampir saja aku dapat untung besar, atau  hampir saja aku lulus tes masuk kerja di Perusahaan Asing, atau aku hampir saja diterkam buaya di sungai, atau aku hampir saja yang lainnya. Namun sebenarnya yang akan ditulis dalam tulisan ini hanya permasalahan "hampir saja" aku mati.

Ada orang selama dalam mengarungi hidup mereka mengalami hal-hal yang membahayakan diri mereka sendiri, bahkan terkadang bisa dikatakan melawan maut. Pengalaman itu terkadang bukan hanya sekali, dua kali, bahkan lebih dari itu. Pengalaman itu ada dikarenakan akibat dari unsur kesengajaan, juga ada dari unsur keharusan, dan ada pula dikarenakan dari unsur kecelakaan. Tentu ada yang mellihat atau menyaksikan sendiri bagaimana seseorang yang hampir saja kehilangan hidupnya oleh sebab apa saja.

Pengalaman seseorang yang hampir saja yang akan mengakibatkan kematian karena unsur kesengajaan merupakan suatu petualangan hidup dari kebanyakan orang pemberani. Seorang pemberani biasanya akan melakukan tindakan melawan maut dikarenakan terpaksa dengan catatan; bisa karena tidak ada pilihan lain atau karena ingin menunjukkan keberaniannya disebabkan oleh keuntungan yang sedang dikejar.

Sedangkan pengalaman yang membahayakan karena kecelakaan merupakan kejadian dari orang yang kurang memperhitungkan keadaan sebelum bertindak, atau, diakibatkan karena dari kecerobohan pihak lain. Pengalaman bahaya karena kecelakaan ini, dapat disebabkan kekurang pahaman terhadap akibat dari tindakan yang akan dilakukan, atau akibat dari kecerobohan orang lain. Yang mana apabila hal yang dilakukan akan berakibat bahaya terhadap diri atau orang lain.

Aku memiliki beberapa pengalaman kejadian yang sungguh-sungguh bisa berakibat merengut nyawaku, dan pengalaman itu merupakan pengalaman yang bisa dipakai untuk keperluan sebagai renunganku sepanjang hidupku. Setelah aku mengarungi kehidupan sudah lebih dari setengah abad lamanya ini, kini baru aku sadari bahwa pengalaman-pengalaman berbahaya di masa lalu sepertinya tidak masuk akal, sehingga aku masih bisa bernafas sampai saat ini. Tetapi kenyataannya aku masih tetap hidup. Aku masih sehat. dan aku masih mampu beraktivitas sebagaimana mestinya sebagai seseorang yang berusia lebih dari setengah abad lamanya. Untuk itu, pengalaman seperti itu karena tidak ingin terulang kembali, aku anggap suatu pengalaman penting yang tidak perlu terjadi lagi, dan inilah yang menjadi alasan mengapa aku harus menuliskan pengalaman-pengalaman itu.

Pengalamanku itu aku tulis menjadi dua bagian. Itu karena menurutku cukup banyak dan panjang. Selain itu, agar aku, atau yang lain tidak merasa bosan untuk membacanya. Bagian pertama merupakan pengalaman sejak aku kecil sampai aku lulus SD, dan bagian kedua merupakan kumpulan peristiwa mengerikan sejak aku setelah lulus SD sampai sekarang.

RUMAH SAKIT

Seperti anak kebanyakan, sejak kecil aku selalu dirawat dan hidup bersama kedua orang tuaku. Ketika aku masih berusia di bawah 2 tahun, nenekku dari ibu juga hidup bersama aku dan kedua orang tuaku. Nenek bertugas menjaga aku di rumah ketika ibu dan ayah sedang disibukkan oleh pekerjaan dalam mencari nafkah keluarga. Ayahku bekerja sebagai Pegawai Negri Sipil di Penataran Angkatan Laut (PAL) Ujung, Surabaya, sedangkan ibuku dari pagi buta sampai tengah hari berjualan ikan segar di pasar Pecindilan.

Ketika aku masih kecil dan masih tergantung pada ibuku untuk meminum ASI, aku terkadang mengalami kesulitan untuk melaksanakan buang air kecil. Semakin lama aku semakin merasakan kesulitan itu. Orang tuaku mengetahui tentang keadaanku. Ayah dan ibu membantuku dengan berusaha memberikan pengobatan deritaku sebaik mungkin.

Kedua orang tuaku selalu mencoba membawaku ke "orang pintar" ("orang pintar" adalah seseorang yang tidak memiliki pendidikan medis yang dianggap bisa menyembuhkan penyakit seseorang terutama sakit akibat dari makhluk halus) untuk membantu kesulitanku itu.  Bahkan tidak jarang aku dibawa oleh orang tuaku ke luar kota juga untuk pengobatan melalui "orang pintar" yang dianggap memiliki kemampuan lebih dibandingkan yang selama ini diketahui. Anjuran ataupun berita dari orang yang dikenal untuk pengobatanku, akan dicoba apabila dapat memberikan harapan dalam membantu kesulitan dalam melancarkan usahaku buang air kecil yang sedang aku hadapi. Semua dari "orang pintar" yang telah dikunjungi menyimpulkan bahwa aku sedang menderita kencing batu. Lalu orang tuaku juga mencoba untuk membawaku ke Rumah Sakit di Kotaku, dan kesimpulannya sama saja, aku menderita kencing batu!.

Kencing batu inilah yang telah membuat aku selama ini mengalami kesulitan ketika akan melaksanakan  buang air kecil. Dimana gejalanya sudah diketahui sejak aku berumur kurang dari 1 tahun. Karena keadaan waktu itu yang membuat kedua orang tuaku tidak membawaku secara langsung ke Rumah Sakit. Sebagai penggantinya aku dibawa berobat ke "orang-orang pintar". Berobat ke "orang pintar" merupakan suatu kebiasaan masyarakat pedesaan yang jauh dari pendidikan formal. Kenyataannya hampir semua orang di tempat-tempat  tertentu akan mengalami kesembuhan setelah dibawa berobat ke "orang pintar". Rumah Sakit merupakan tempat yamg asing sekali bagi masyarakat pedesaan waktu itu. Bahkan Rumah Sakit merupakan tempat yang menakutkan. Di Rumah Sakit ada urusan administrasi, ada jarum suntik, ada gunting atau pisau bedah, ada pembalut luka yang semuanya serba menakutkan.

Orang tuaku terutama ibuku, khawatir sekali untuk membawa aku berobat ke Rumah Sakit. Kedua orang tuaku lebih memiliki rasa nyaman apabila pengobatan dilakukan dengan bantuan "orang pintar". Hal demikian terus berlangsung sementara aku semakin lama semakin sulit untuk melaksanakan buang air kecil. Bahkan nenekku pernah bercerita karena sulitnya ketika aku sedang melakukan buang air kecil, terkadang yang keluar adalah kotoran dari dubur terlebih dulu sebelum air kemih.

Aku sungguh sangat menderita sekali. Namun karena aku mash kecil, aku tidak memperdulikannya. Aku tetap bermain dengan teman-temanku. Karena itu, aku sangat kurus sekali. Kulitku kering sekali. Aku  benar-benar menjadi seorang anak yang kurang gizi. Itu semua akibat dari penderitaan kencing batuku. Aku kini setelah mempunyai anak sendiri, membayangkan bagaimana perasaan kedua orang tuaku waktu itu.

Sebagai anak tunggal, maka semua tumpuan harapan orang tuaku pasti hanyalah kepadaku. Semua kebaikan yang mereka cari pastilah tujuan utamanya untuk diriku. Semua usaha yang telah mereka lakukan adalah untuk kebaikanku. Mereka tentunya sudah berusaha sebaik mungkin untuk membantu aku. Sampai suatu malam ibuku bermimpi tentang aku. Dalam mimpinya aku sedang memakai selimut serba putih masuk dan diangkut mobil ambulan untuk dibawa ke Rumah Sakit. Pagi ketika ibuku bangun dari tidurnya menceritakan tentang mimpinya semalam kepada ayahku. Dari mimpinya itu ibu memberikan kesimpulan bahwa, aku harus dibawa ke Rumah Sakit!. Ayahku langsung tidak menyetujuinya. Ayah menentangnya. Tetapi keyakinan ibuku karena pengaruh mimpi yang dia alami malam itu membuat ibu memiliki keyakinan bahwa, aku harus diobati di Rumah Sakit, dan aku harus dibawa ke Rumah Sakit.

Ayah sepertinya sudah tidak bisa mengelak lagi dengan keyakinan kuat ibuku. Apalagi melihat keadaanku, semakin hari semakin tersiksa saja, demikian juga kedua orang tuaku. Akhirnya ayah setuju mengikuti keyakinan ibuku, aku dimasukkan ke Rumah Sakit untuk dioperasi agar batu yang bersarang di dalam kandung kemihku dikeluarkan.

Usiaku sudah mencapai 24 bulan ketika kedua orang tuaku memberanikan diri agar aku masuk rumah sakit, tetapi keadaanku sungguh memprihatinkan. Aku sungguh tidak memberikan gambaran tentang keadaan keuangan kedua orang tuaku yang sama-sama memiliki pekerjaan dengan penghasilan cukup karena hanya memiliki satu anak yang masih hidup. Dibandingkan dengan teman sebayaku aku kurus dan kecil sekali. Inilah salah satunya barangkali yang membuat ibuku menderita akibat gejolak di dalam perasaannya, sehingga dia mendapatkan mimpi agar dia merasa yakin bahwa jalan yang lain yang lebih baik untuk mengobati kencing batuku masih ada. Keadaanku itu yang membuat ayahku pula menyerah dengan ajakan akibat dari  mimpi ibuku.

MENGHADAPI MAUT YANG PERTAMA

Aku sesungguhnya tidak menyadari apa yang akan dilakukan oleh tim dokter Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya waktu itu. Yang aku tau, aku setiap malam tidur sendirian di dalam tempat tidur berjeruji besi khusus anak. Aku tidak bisa keluar dari tempat tidur itu tanpa bantuan perawat yang menemaniku. Yang aku ingat, aku selalu merasa senang ketika ibu, ayah atau tetangga yang aku kenal datang menjengukku. Dan aku selalu menangis ketika mereka sedang meninggalkan aku di hall tempat aku tidur sendirian di dalam tempat tidur berpagar yang tidak mampu aku naiki. Aku merasa seperti di dalam kurungan kasur beralaskan plastik reksin tebal bermotif kembang. Walaupun ibu dan ayahku selalu mengatakan bahwa mereka hanya tinggal dan tidur di luar hall dan tidak pulang ke rumah, aku tetap saja merasa sedih di dalam hall Rumah Sakit. Aku benar-benar dikurung.

Setelah beberapa hari aku dikurung dalam tempat tidur tinggal di hall ditemani para perawat, dan anak-anak lain sebayaku terkurung di tempat tidur mereka masing-masing, aku diminta untuk pindah ruangan. Aku diantar oleh perawat yang menjagaku menuju tempatku yang baru. Tetapi mengapa sejak kemarin malam aku tidak diberi makan dan minum, padahal aku lapar dan haus. Aku lihat ada beberapa orang berbaju serba putih ketika aku memasuki ruangan berbau obat-obatan yang menyengat hidungku. Nampaknya orang-orang bebaju putih itu memang sengaja sedang menungguku di ruangan baru itu. Semua dari mereka baik dan ramah kepadaku.

Aku merasa biasa saja dengan mereka, toh aku tidak bisa meminta pertolongan ayah atau ibuku walaupun aku merasa khawatir terhadap mereka. Mungkin ini karena aku sudah terbiasa dan sudah beradaptasi dengan lingkungan Rumah Sakit dan dengan orang-orang berbaju serba putih.

Aku dibiarkan saja setelah aku dipindah dari tempat tidur dorong yang membawaku dari hall tadi ke tempat tidur di tengah-tengah orang-orang berbaju putih itu. Mereka berbicara sendiri sebelum aku diperiksa oleh lelaki seusia ayahku dengan alat yang ia hubungkan ke telinganya. Lalu aku dimintanya minum air dari gelas yang sudah mereka persiapkan. Aku merasa senang sekali karena aku memang merasa haus sekali karena sejak tadi pagi aku minta makan dan minum tetapi tidak diberi. Makan dan minumku terakhir aku lakkan kemarin petang.

Perawat yang biasa menemani aku tidak ada lagi berada di ruangan baru untukku. Aku sekarang ditemani oleh banyak orang laki-laki berbaju putih semuanya. Aku lalu diajak bicara tetapi aku merasa seperti ingin tidur saja. Walaupun begitu, aku masih teringat ketika aku diminta oleh lelaki di depanku untuk memulai menghitung gelas di atas meja setelah aku disuntik untuk diobati. Hitungan terhadap semua gelas belum aku selesaikan aku sudah tidak kuat dengan rasa kantuk. Dan aku jatuh tudur di atas tempat tidur baruku di dalam ruang yang dijaga orang-orang berpakaian serba putih. Saat itulah aku tidak tau kalau aku dioperasi. Orang-orang berbaju serba putih mengambil batu di dalam kantong kemihku.

Ketika aku terbangun dari tidurku aku merasa lemas sekali. Kedua tanganku diikat dan tangan kiriku dihubungkan dengan selang putih menuju ke kantong plastik berisi air. Aku dijaga oleh seorang wanita berdiri dekat tempat tidurku dan dua orang berbaju serba putih. Aku melihat di sekelilingku, aku lihat ayah, ibu dan tetanggaku menungguku dari balik jendela kaca ruanganku. Semua dari mereka memberiku senyum, tetangga teman ibuku melambaikan tangannya, aku hanya mampu bekedip karena aku belum bisa menggerakkan badanku. Aku ingin mengatakan kepada mereka bahwa aku lapar, bahwa aku haus, aku ingin makan, dan aku ingin minum. Mereka barangkali tidak tau apa yang aku rasakan saat itu. Mereka bisanya hanya tersenyum sambil memandang ke arahku.  Tubuhku masih terasa lemas. Mungkin sebaiknya aku tidur lagi saja.

Ketika aku bangun kembali, ayah dan ibuku sudah berada di sampingku. Aku sudah tidak berada di ruangan tempat baruku tadi. Aku dipindah ke tempat yang baru lagi. Perawat baru yang menemani aku membawa segelas air untukku. Ketika aku melihatnya, gelas berisi air di tangan perawat itu seperti aku ingin tancap saja untuk meraihnya. Aku seperti ingin merebutnya saja. Aku sudah tidak tahan  untuk meneguk semua isinya. Namum aku masih ditahan oleh perawat itu. Badanku ia angkat bersama dengan separuh dari tempat tidurku. Lalu aku seolah-olah merebut gelasnya dan aku meminum air dari gelas sekaligus. Aku baru bisa berhenti meneguknya setelah air dalam gelas benar-benar sudah dalam keadaan kosong. Kini aku merasa lega sekali walaupun aku masih ingin minum air lagi.

Ketika malam tiba, ayah, ibu dan para tetanggaku keluar dari ruang tempat tidurku. Aku harus tidur ditemani perawatku dari kejauhan. Manakala pagi sudah tiba kembali, ayah dan ibuku bersamaku lagi.

Aku senang sekali ketika aku dibawa pulang ke rumah. Entah berapa lama aku meninggalkan rumahku yang terbuat dari kayu sirap itu. Aku semacam merasa pulih kembali siap bermain dengan teman-temanku. Walaupun aku masih belum diijinkan ayah untuk berlari, tetapi saat itu aku merasa sudah terlepas dari bahaya yang mengancam hidupku.

MASUK DAPUR KUPOLA

Sejak operasi pengambilan kencing batu dari dalam kandung kemihku, aku tidak mengalami kesulitan lagi ketika aku membuang air kecil. Aku sudah tidak merasakan lagi kesakitan ketika aku melakukan buang air kecil. Yang aku rasa setiap hari ketika aku melakukan buang air kecil adalah, sedikit nyeri di bagian depan-bawah badanku diantara selangkanganku. Tetapi itu masih jauh lebih baik apabila aku bandingkan dengan ketika aku masih belum dioperasi dulu. Rasa sakit itu semakin hari semakin menghilang saja, sampai akhinya aku merasa tidak ada rasa sakit sedikitpun ketika aku melakukan buang air kecil. Akan tetapi, apabila aku sedikit saja berlari, hentakan akibat langkah cepatku dengan tanah membuat sakit di selangkanganku datang kembali. Itu aku rasakan sampai beberapa bulan lamanhya. Untuk itu aku selalu memilih menghindari berlarian.

Sehari-hari aku tinggal bersama nenek dari ibuku. Kedua orang tuaku sibuk seperti biasanya. Nenek juga memiliki peliharaan sapi yang ia tinggal di Madura demi menjagaku di Surabaya. Dia terkadang merasa khawatir terhadap sapi yang ia tinggal walaupun sapi-sapinya sedang dirawat oleh suami dari adik ibuku. Ketika aku sudah hampir sembuh total, aku dia ajak ke desa di Madura. Di desa aku bebas bermain ke mana saja. Aku suka sekali mandi di sungai. Luka operasi yang belum sepenuhnya sembuh, semakin memburuk saja. Mungkin inveksi telah mengakibatkan lukaku semakin parah. Dua minggu kemudian ayahku datang untuk menjengukku. Ayah kaget ketika melihat lukaku yang sudah menganga. Esok hari itu juga aku dan nenekku langsung dibawa ke Surabaya. Di Surabaya aku langsung dibawa ke Rumah Sakit lagi. Ketika Dokter yang mengobati aku melihat kondisi lukaku yang sudah menganga lagi, marah sekali terhadap ayahku. Sejak saat itu aku di Surabaya sampai aku benar-benar sembuh sekali.

Nenek merasa bersalah sekali dengan keadaanku itu. Nenek kini tidak bisa memberikan alasan untuk membawaku lagi ke Madura demi untuk melihat sapi-sapinya. Nenek pasrah saja tentang sapi-sapinya kepada menantu dan cucu-cucunya yang berada di Madura. Akhinya aku memang dapat sembuh total dari luka bekas operasi kencing batuku.

Setelah aku sudah tidak perlu lagi untuk berkunjung ke Rumah Sakit untuk mengontrol luka bekas operasiku, nenek mulai memikirkan kembali tentang bagaimana keadaan suasana rumahnya di Madura. Ia lalu mengutarakan hasratnya untuk pulang ke Madura membawa aku lagi. Ayah dan ibuku udah tidak memiliki rasa khawair tentang keadaan lukaku paska operasi, lalu orang tuaku memberi ijin nenekku untuk pulang ke Madura dengan membawa aku ke Desa. Akhirnya nenek pulang ke Madura dan aku ia bawa juga.

Aku suka sekali tinggal bersama nenekku. Setiap hari aku dibuatkan nasi putih dan gorengan dadar telor, telor bebek ataupun telor ayam. Tetapi, aku lebih menyukai makan telor bebek dadar, telor yang setiap pagi selalu ada dari bebek-bebek peliharaan suami adik ibuku. Telor bebeknya sengguh gurih sekali, dari kejauhan bau gorengan dari dapur sungguh membuat setiap orang ingin menyantapnya. Apalagi di desa, makan nasi dengan telor termasuk menu makanan cukup wah. Telor dari bebek-bebek yang setiap sore diberi makan bekicot, bebek-bebek yang seharian bebas mencari makan menyusuri kali tidak jauh dari belakang rumah nenek.

Aku suka sekali bermain di kali untuk mencari ikan, dengan pancing atau meraba bagian bawah batu-batu kali mengharapkan ada udang di balik batu. Aku sering ikut suami bibiku mengarit mencari ke Gunung Embilleh. Dan juga, aku bermain bersama anak-anak di Desa nenekku.

Ketika musim hujan datang, manakala aku dan anak Bibiku masih di Gunung Embilleh, aku ikut mencari dan menangkap burung yang sedang mandi di air hujan. Terutama, ketika hujan turun di awal musim hujan atau hujan pertamakali, burung-burung banyak yang senang atau langsung pada menyambut datangnya air dengan mandi, dan aku beserta anak-anak bibiku mengintai untuk menangkap mereka, juga anak-anak lain tetangga nenekku. Ketika hujan semakin lebat burung-burung akan semakin basah dan mengalami kesulitan untuk terbang. Sayap dan badan mereka terbebani air hujan, sehingga mereka benar-benar tidak mampu lagi untuk terbang jauh dan cepat. Itulah saatnya burung-burung dikejar, dan yang kesulitan terbang akan ketahuan, merekalah untuk ditangkapi. Terutama burung muda dengan kekuatan yang lebih lemah daripada burung induknya.

Sasaran utama yang ingin ditangkap adalah burung kutilang dan podang, dua burung yang memiliki suara siulan yang merdu dan cukup bervariasi, sehingga memiliki harga yang cukup baik dibanding butung jenis lainnya.  Atau burung lainnya apabila meraka tidak ditemukan. Bisa menangkap satu ekor saja sudah cukup beruntung, karena medan pengejaran yang memiliki bebatuan cadas dan banyak yang lancip serta banyak pohon kecil berduri terkadang harus pulang dengan tangan kosong tetapi telapak kaki ada yang terluka.

Hasil tangkapan dibawa pulang untuk dipelihara. Umumnya burung-burung liar memerlukan waktu cukup lama untuk menjadi jinak. Rasa trauma hidup di dalam sangkar akan menyiksa burung tangkapan. Terkadang laparpun tidak mau makan karena mengalami stress. Anak bibiku tidak perduli, bahkan agar cepat menjadi jinak burung liar sering pula dipegang dan sering dimandikan dengan tangan. Pakan (makanan) selalu dicarikan pakan yang paling disukai. Pisang jenis kepok atau buah pepaya sajian yang paling disukai burung kutilang atau podang.

Lalu setelah mulai jinak dipanggil dengan suara siul. Lambat laun burung liar mudapun menjadi jinak. Panggilan siulan dijawab juga. Lalu setelahnya menunggu seseorang apabila ada yang berminat untuk membelinya. Dan burung liar yang sudah jinak akan berpindah tangan sesuai kesepakatan harganya.

Ketika musim kemarau mulai datang, musim kawin burung-burung juga dimulai. Seiring pohon-pohon di alas mengeluarkan buah, burung-burung juga sudah mulai menetaskan telor-telor mereka. Sejak burung mulai membuat sarang mereka, anak-anak sudah mulai mengintainya. Mereka berebut untuk mencari sarang. Bagi siapa yang melihat untuk pertama kalinya, dialah pemilik sarang burung sampai telor burung metetas. Ketika anak-anak burung sudah mulai tumbuh bulu, anak-anak burung diambil untuk dipelihara oleh yang memilikinya. Inilah salah satu sebabnya mengapa sekarang hampir tak satupun burung yang pernah aku buru itu tidak pernah kelihatan di gunung Embilleh.

Ketika musim kemarau mulai datang. Beberapa anak muda dan/atau orang tua membuat rencana dengan mmbentuk suatu kelompok. Rencanan membakar batu cadas untuk dijadikan batu gamping. Batu-batu di sekitar Desa nenekku umumnya berwarna keputihan seperti banyak mengandung kaporit. Batu yang sangat baik untuk dijadikan kapur. Batu-batu banyak beserakan di atas gunung Embilleh. Bahkan pada tempat-tempat tertentu bagian gunung terbentuk dari bongkahan batu kapur yang disebut batu "kombhung" menurut orang-orang Desa nenekku, dan batu kombhung itu digali dan dipotong seukuran bata merah untuk dibuat sebagai bahan pengganti bata merah untuk bahan membangun tembok rumah-rumah penduduk.

Pembakaran batu gamping dimulai dengan penggalian untuk membuat dapur pembakaran (tungku) yang mereka sebut "birungan'. Bentuknya seperti sumur sedalam maksimum 2 meter dan di salah satu sisinya bagian agak bawah kira-kira setengah meter dari dasar dapur diberi lubang sebagai tempat jalan masuk kayu bakar. Setelah selesai menggali dapur atau menggunakan dapur pembakaran bekas musim panas yang lalu, kemudian mulai mengumpulkan kayu-kayu untuk digunakan sebagai bahan bakarnya nanti. Kayu ranting dengan daun yang masih segar dijemur di sekitar dapur pembakaran. Kayu dan ranting dikumpulkan sedikit demi sedikit. Setiap pergi ke gunung untuk mencari rumput untuk makanan ternak, anggota kelompok menyambi juga mengambil ranting-ranting kayu dari pohon klobur, nyamplong atau ranting kayu lain yang tidak bisa digunakan sebagai pakan sapi atau kambing. Untuk itu penjemuran kayu bisa sampai satu bulan lamanya, bahkan bisa lebih yang penting kayu bakar harus benar benar kering. Daun daun ranting yang awalnya hijau segar sampai menjadi coklat dan getas.

Setelah kayu dinilai cukup dari jumlah dan kekeringannya lalu dimulailah mencari batu yang akan dibakar. ukuran batu benar-benar dipilih sehingga nanti bisa ditata di atas dapur pembakaran. Batu-batu ditata sedemikian rupa sehingga batu-batu bisa membentuk kubah agar bisa dibakar dari bawahnya. Penataan dilakukan dengan sangat hati-hati memastikan bahwa ketika dibakar nanti akan bisa menerima cukup panas dari api kayu bakar. Jika tidak, maka batu gamping akan menjadi kurang masak karena akan terhalang untuk mendapatkan panas api dari bawahnya. Juga jika tidak tepat dalam menatanya akan beresiko roboh, baik sebelum dibakar ataupun ketika sedang dibakar. Celakanya apabila robohnya terjadi ketika sedang dalam pembakaran, maka pembakaran batu akan menjadi tamat malam itu, karena untuk menata kembali batu yang sedang dibakar harus menunggu batu menjadi dingin. Menunggu api menjadi padam dengan sendirinya. Pembakaran dilakukan pada malam hari, umumnya dilakukan semalam suntuk.

Bagus sekali, kali ini pembakaran batu gamping berjalan sesuai rencana kelompok pembakar batu, ketika aku bangun tidur pagi hari semua dari mereka sudah bubar dan batu-batu gamping yang sudah dibakar tetap mengepulkan asap dari sisa-sisa kayu bakar yang masih hidup sejak semalam, atau karena bara batuyang dibakar masih panas.

Aku dan teman sebayaku menyukai kepulan asap dari dalam tungku melalui celahcelah batu gamping panas. Aku dan teman-temanku menggunakannya sebagai mainan untuk menerbangkan kapas yang diambil dari pohon-pohon kapas yang tumbuh di sekitar pagar pembatas perkaragan rumah nenekku. Ketika kapas naik karena terbawa asap aku dan temanku bersorak kegirangan. Sekali, dua kali dan seterusnya. Aku semakin asyik saja sampai aku lupa diri, dan tiba-tiba aku terjatuh ke galian tenpat jalan untuk menyuguhkan kayu bakar. Di sana ada batu gamping yang diambil dari tatanan pagi tadi sebagai contoh apakah batu sudah matang atau belum dengan keadaan masih panas. Aku menjerit kesakitan ketika bagian paha kanan bawahku menempel ke batu panas itu, dan kulit pahaku menyatu dengan batu gamping panas, ketika aku mengangkat diriku menjauhi batu itu, kulitku merah karena panas sekali, dan aku menangis sekuat kuatnya menahan rasa panas di pahaku.

Serentak orang-orang yang melihatnya membantuku dan aku secepatnya dibawa ke Puskesmas  unuk diobati. Puskesmas letaknya sungguh jauh sekali dari Desa nenekku, Puskesmas berada di Tanah Merah, untuk membawa aku, aku  digendong di belakang suami Bibiku. Tanah Merah berjarak sekitar 15 Kilometer dari rumah nenekku, tidak ada cara lain untuk sampai ke sana kecuali ditempuh dengan jalan kaki, sungguh membosankan, lelah sekali, itu aku, aku tidak tau bagaimana yang dirasa oleh suami Bibiku. Setiap tiga hari sekali aku harus mengunjungi Puskesmas untu terus berobat. Seiring dengan kesembuhan lukaku, rasa sakit sudah semakin menghilang dan aku lambat laun bisa berjalan sendiri secara normal.

Aku bersyukur akhirnya aku bisa sembuh setelah diobati ke Puskesmas Tanah Merah. Sebulan kemudian dari kecelakaan itu aku sudah pulih kembali. Sejak saat itu aku dibawa kembali oleh orang tuaku ke Surabaya, lalu aku tinggal bersama kedua orang tuaku lagi.

Kini hidupku menyendiri di rumah dari pagi hingga siang ketika ayah dan ibuku mencari nafkah. Aku ditipkan ke tetangga sebelah yang sehari-hari tinggal di rumah mereka saja. Mereka senang saja karena saat itu belum banyak anak-anak lecil di sekitar rumahku. Anak kecil akan menjadi sesuatu yang menhibur buat mereka. Aku bebas bermain dengan teman-teman sebayaku sekitar rumah orang tuaku saja. Aku sudah memegang kunci rumah sendiri sejak kecil ketika aku ditinggal oleh orang tuaku. Tetanggaku menjagaku dari jauh saja. Ibu baru pulang ke rumah sekitar jam 1 siang, sedangkan ayah sampai di rumah pulang kerja sekitar pukul 3 siang.

MANDI DI SUNGAI

Ketika Hari Raya akan tiba, ayah dan ibuku selalu pulang ke Madura. Ayah dan ibu ingin bersilaturahmi dengan nenek dan anggota keluarga lainnya. Dan aku bisa bertemu kembali dengan teman-teman mainku dulu. Ketika hari-hari besar Agama Islam tiba, suasana aktivitas orang-orang  memang dipenuhi dengan cara tradisi. Kenduri secara bergiliran dari rumah ke rumah. Di Madura ayah biasanya mengunjungi saudara, dan kenalannya, termasuk pamanku, adik ayah yang aku panggil "Teh", Teh kependekan dari kata "ghutteh" yang berarti paman.

Dekat rumah Teh ada Pondok Pesantren Pakong. Dekat rumah Teh ada sungai yang mengalir tak jauh dari belakang rumahnya. Sungai itu juga mengalir melalui depan Pondok Pesantren.

 Anak lelaki tetangga Teh adalah temanku, dia lebih muda sekitar satu tahunan dari aku.  Aku sendiri masih berumur sekitar 8 tahunan, dan aku senang bermain dengannya, anak desa baik dan polos.

Aku bertiga dengan dia dan anak lelaki Teh berjalan menuruni tabun sampai ke pinggir sungai belakang rumah Teh Rumli. Anak lelaki Teh lebih kecil dari anak lelaki tetangga Teh, ia hanya ngikut saja. Ada tempat untuk mandi di sungai, pada air bening anak lelaki tetangga Teh yang tidak  memakai baju atasan lansung membuka celana pendeknya dan langsung meloncat saja. Di desa waktu itu merupakan hal yang biasa bagi anak-anak kecil bermain tanpa memakai baju kecuali celana pendek saja. Dia lalu ke tepian lagi dengan mudah seperti anak yang berjalan di air. Kini giliranku tanpa pikir aku buka pakaianku, karena tidak tau tentang keadaan air langsung meloncat juga ke sungai menirukan dia. Aku langsung tenggelam ke dalam sungai. Sungai dalam sekali, tinggi kepalaku tidak jajak di sungai itu. Aku tidak bisa berenang, yang aku lakukan hanyalah berusaha bernafas dengan meloncat-loncat sampai kepalaku ke udara. Aku terus melakukan itu tanpa menyerah. Terus aku meloncat-loncat untuk bernafas walaupun aku sudah terasa lemas tidak bertenaga.

Ketika aku meloncat-loncat ke udara yang aku lihat kedua temanku berdiri saja di tepi sungai. Aku terus meloncat-loncat sambil mengambil nafas. Anak lelaki tetangga Teh nampak kebingungan tidak tau apa yang harus ia lakukan melihat keadaanku. Tetapi aku terus meloncat untuk bernafas sampai tiba-tiba anak tetangga Teh melakukan sesuatu untukku. Dia berenang menghampiri aku yang semakin lemas. Lalu dia pungut dengan menjambak dan menarik rambutku dengan tangan kanannya. Aku yang sudah lemas tidak berdaya membalas tarikannya, dan aku seolah tidak memiliki tenaga untuk berpegangan kepada dia. Aku menyerah ketika ada rasa tarikan di rambutku. Aku terus ia tarik sambil dia berenang ke arah pinggir sungai yang lebih dangkal. Ketika kakiku terasa menyentuh tanah dan tubuhku masih dalam keadaan miring  karena diseret oleh dia. Aku langsung beranjak dan berlari sambil sempoyongan karena kehabisan tenaga ke pinggir sungai, tanah gundukan yang tidak berair. Lalu aku tertegun sejenak lemas dan lunglai karena merasa benar-benar kehabisan tenaga.

Dia dan anak lelaki Teh  hanya tercengang melihat keadaanku. Berangsur-angsur aku dapat pulih kembali. Dan ketika aku sudah merasa memiliki tenaga untuk keluar dari pinggir sungai, aku dan anak tetangga Teh segera memakai pakaianku dan bersama-sama anak pamanku segera kembali pulang menuju rumah ghutteh.

Setelah temanku menceritakan apa yang telah terjadi kepada ayah dan Ghutteh, Teh dan ayahku merasa menyesal sekali atas kejadian yang telah menimpaku tadi. Ghutteh mengatakan bahwa aku bisa meninggal dunia apabila tidak ditolong oleh anak lelaki kecil tetangganya yang juga temanku dan teman anak lelakinya itu.

Aku terkadang berfikir, seandainya anak tetangga Ghutteh tidak memiliki inisiatif menyeretku. Seandainya dia berinisiatif meminta pertolongan pulang  memanggil ayah atau Ghutteh, bisa-bisa keadaan sudah terlambat. Tetapi aku masih diberi panjang umur karena dia, anak lelaki kecil dari desa yang sudah bisa berenang. Terimakasih lelaki kecil tetangga Ghutteh, Tuhan telah memilih engkau untuk menolongku ketika aku tenggelam di sungai belakang rumah ghuttehku.

BAJING LONCAT MENCARI MINYAK SISA

Aku masih duduk di bangku kelas 6 SD ketika aku sudah berumur 15 tahun. Tentu, dari umurku aku sudah cukup memiliki akal untuk melakukan apa saja dibanding teman-temanku di kelasku. Aku sudah muballigh (teenager) walaupun ukuran badanku biasa saja. Kebanyakan teman dikampungku tidak menempuh sekolah formal. Karena itu sejak kecil kebanyakan dari mereka sudah berusaha mencari uang jajan sendiri. Dan terkadang uang yang diperoleh dipakai untuk membantu orang tua terutama ibu mereka.

Banyak dari temanku mencari uang dengan cara mencari sisa-sisa minyak kelapa dari dalam drum minyak yang baru saja dituang isinya. Sisa-sisa minyak yang masih tertinggal di dalam drum diambil dengan cara menggunakan sepon yang diikatkan pada sebatang keratan bambu sepanjang 1,2 meteran. Sepon yang kendalikan dengan tangkai keratan bambu dimasukkan ke dalam drum melalui lubang drum yang tanpa penutup. Dengan mengusapkan sepon ke dasar drum sisa-sisa minyak yang tertinggal akan terserap oleh sepon. Lalu sepon  yang sudah membawa sisa minyak diangkat keluar drum diperas di kaleng biskuit yang sudah dipersiapkan dengan tambahan kawat agar bisa dijinjing.

Aku senang menyaksikan orang-orang yang sedang berebut untuk mencari minyak. Terutama karena ada teman-temanku. Terkadang apabila ada drum yang masih penuh sedang diturunkan dengan dijatuhkan dari atas truk ke tanah, akan berakibat kebocoran karena penurunan dari atas truk didorong dengan dirolling jatuh langsung mengenai ban-ban bekas ban truk sebagai bantalan agar tidak secara langsung membentur tanah.

Ketika drum bocor, di dekat lubang drum bocor karena retak akan menetes minyak keluar dari drum. Karena drum dibiarkan untuk beberapa lama sebelum dimasukkan ke dalam gudang untuk dituang isinya, bagi penemu kebocorang pertama kalinya akan menganggap minyak bocor dari drum merupakan milik si penemu, dan si penemu akan mengamankan drum tersebut. Lalu kemana minyak menetes ke atas tanah, tanah tempat menetes akan digali membentuk cekungan seperti mangkok memakai sendok agar minyak yang keluar tertampung di dalam cekungan itu, dan apabila minyak sudah memenuhi cekungan lalu dipindahkan ke kaleng yang sudah dipersiapkan. Demikian seterusnya sampai drumnya diambil untuk dimasukkan ke gudang untuk dituang seluruh isinya.

Demikian juga pada drum-drum kosong setelah isinya dituang akan masih ada sisa karena mengeluarkan isi drum tidak mungkin bisa seratus persen kosong. Sisa-sisa yang masih tertinggal di dalam drum itu kemudian dibersihkan oleh teman-temanku. Terkadang teman-temanku mencari minyak goreng sisa dengan memanjat truk di jalanan.  Apabila ada truk yang memuat drum minyak goreng bekas, teman-temanku akan memanjat ke atas truk untuk selanjutnya mengikuti kemana truk itu pergi. Dan di atas truk mereka sambil mengambil minyak sisa dari dalam drum.

 Aku terkadang mengikuti temanku untuk memanjat truk, lalu turun ketika truk berjalan agak perlahan, biasanya di sekitar perempatan. Naik dan turun dari truk yang sedang berjalan bukanlah pekerjaan yang mudah. Seseorang harus mengetahui caranya, kalau tudak bisa mengakibatkan celaka patah kaki, terguling-guling atau kecelakaan lainnya.

Aku awalnya hanya ikut teman-temanku yang suka mencari minyak sisa di atas truk. Ketika ingin mengunjungi tempat tertentu, biasanya naik truk dari perempatan Pegirian karena truk berjalan perlahan. Ketika turun juga demikian, mencari tempat di mana truk akan berjalan perlahan.


Aku sebenarnya ingin sekali melakukan seperti apa yang dilakukan teman-temanku mencari minyak sisa. Tetapi aku tau bahwa orang tuaku akan marah sekali apabila mereka mengetahuinya. Karena aku dibekali uang saku yang tergolong cukup setiap harinya, dimana ibuku selalu memberiku uang jajan setiap pagi.

Aku terkadang ketika belajar memanjat truk berjalan di jalan raya mengikuti teman-temanku yang sedang mencari minyak sisa dari dalam drum. Bahkan aku sampai ke daerah Kerian pula yang jaraknya sekitar 60 Kilometer dari Surabaya. Aku akhirnya tau teknik naik dan turun dari truk yang sedang berjalan cepat sekalipun.

Yang aku sukai naik truk dengan bak terbuka di belakang. Naiknya mudah dan turunnyapun juga mudah. Ketika akan menaiki truk, pastikan kedua telapak tangan berada di atas geladak bak truk. Lalu sambil berlari mengkuti keepatan truk tangan menekan geldak bak dan kaki sedikit ditekuk sambil berlari berusaha memanjat ke atas sehingga dada di atas perut menyangkut pada geladak truk. Setelahnya usahakan salah satu kaki (biasanya kaki kanan) naik ke atas geladak dengan membengkokkan badan ke arah kaki yang akan dinaikkan. Setelah salah satu kaki naik, lalu naikkan badan dengan menekankan kedua telapak tangan beserta lengan yang masih berada di atas geladak truk sehingga salah satu kaki yang masih belum naik dapat juga naik ke atas geladak truk. Setelah kedua kaki berada di atas geladak truk berarti seseorang sudah sepenuhnya berada di atas truk.

Lalu untuk meloncat turun dari truk yang sedang berjalan juga ada teknik yang harus diperhatikan. Untuk truk dengan bak terbuka; posisikan badan antara tengah sampai kiri truk sebelum meloncat. Posisi paling kiri lebih baik karena salah satu tangan beisa berpegangan pada salah satu dinding bak truk. Jangan sekali-kali menggunakan bagian kanan bak truk karena dikhawatirkan jika jatuh dan mengarah ke arah tengah jalan akan menyebabkan tersambar ditabrak kendaraan dari arah yang berlawanan.

Ketika akan turun, pastikan badan menghadap ke arah belakang truk. Lalu dengan sedikit membunggukkan badan termasuk juga sedikit menekuk lutut bersiap-siap untuk meloncat turun. Keadaan badan dan kaki harus tetap sedikit membungkuk ke arah depan ketika sedang meloncat. Pastikan bahwa posisi badan juga dibuat sedikit miring dengan salah satu kaki (biasanya kaki kanan) berada sedikit di depan kaki satunya. Ketika meloncat usahakan kaki yang paling depan menyentuh permukaan jalan terlebih dahulu dan diikuti oleh kaki satunya lagi. Sebetulnya kedua kaki seakan-akan menyentuh permukaan jalan dalam waktu bersamaan. Ketika kaki-kaki menyentuh permukaan jalan, kondisi tubuh dan kaki harus tetap membenguk ke arah depan untuk melawan gaya tarik ketika jatuh akibat kecepatan truk.

Aku dan teman-temanku melakukan itu tanpa memakai alas kaki, memang dengan tanpa alas kaki seolah-olah kaki langsung melekat di atas permukaan jalan ketika meloncat dari atas truk.

Kini aku bagaikan tenggelam ke dalam lumpur, lambat laun aku semakin tenggelam ke arah dasar lumpur tanpa ada yang menolong untuk mengangkatku ke permukaan, semakin lama aku semakin jauh ke dasar lumpur. Akhirnya akupun sampai ke dasar lumpur dan mencoba untuk mencari minyak sisa sendiri dari dalam drum, seperti yang dilakukan oleh teman dekatku.

Memang sungguh menyenangkan bisa menghasilkan uang sendiri, penghasilan yang aku gunakan untuk tambahan uang jajanku yang sudah cukup. Tetapi aku harus tetap waspada dari pandangan orang tuaku. Teman-temanku juga mengetahui bahwa pekerjaanku ini tidak boleh diketahui oleh orang tuaku.

Karena aku sudah semakin ketagihan dengan hasil uang dari mencari minyak sisa yang aku cari  untuk tambahan uang jajanku, aku semakin nekad saja mencari minyak sisa. Setiap aku selesaikan pekerjaan baruku, sebelum aku pulang ke rumah, aku bersihkan badanku agar kedua orang tuaku tidak menciumnya. Kaleng dan keratan bambu dengan sepon di salah satu ujungnya aku titipkan di tempat dimana teman-temanku menyimpan milik mereka. Semakin lama semakin asyik saja, sehingga setiap pulang dari sekolah dasarku aku langsung tancap gas mencari minyak goreng sisa.

Hari minggu merupakan hari libur dan jalan-jalan di Surabaya Utara menjadi legang. Akan tetapi, ada satu tempat yang masih memiliki kegiatan walaupun di hari minggu, tempat tidak mengenal hari minggu, yaitu Pelabuhan Tanjung Perak. Ke sanalah aku dan teman-temanku mencari sasaran minyak goreng sisa di hari Minggu.

Aku berangkat agak pagi, sehingga dengan memanjat truk dari Jalan Danakarya (sekarang Jalan Iskandar Muda) sekitar pukul 7an aku sudah sampai di daerah Pelabuhan. Seperti biasa aku dan teman-temanku terpencar mencari sasaran sendiri-sendiri. Sekitar pukul 10 hampir separuh dari kaleng yang selalu aku jinjing telah terisi hampir setengahnya. Aku pikir, ini sudah cukup untuk menambah uang di sakuku nantinya. Tanpa ada seorang temanpun aku berniat untuk pulang saja.

Seperti ketika aku berangkat tadi pagi, aku akan pulang dengan cara memanjat truk pula. Aku menunggu di pertigaan jalan sebelum keluar jalan raya mengharapkan ada truk berjalan perlahan yang sejalan dengan arahku untuk aku panjati. Semenit kemudian memang ada truk yang sedang mengambil jalan akan membelok ke arah yang aku inginkan. Aku lalu bersiap-siap dan ketika truk sudah sejajar dengan aku, aku lalu berlari ke arah belakang truk. Kebetulan truknya tanpa penutup bak belakang dan di geladak belakangnya ada lubang karena rusak yang bisa aku pakai sebagai pegangan untuk naik ke atas geladak belakang truk.

Tanpa pikir panjang aku letakkan kaleng berisi minyak goreng sisa setengah penuh hasilku pagi ini. Lalu tanpa pikir pula aku langsung memanjat naik ke atas truk dengan cara memegangkan kedua tanganku pada lubang di geladak truk sekuatnya, lalu aku meloncat ke atas geladak untuk mengaitkan dadaku sambil berpegang erat pada lubang geladak truk untuk kemudian menaikkan salah satu kakiku ke atas geladak agar aku aman dapat naik sepenuhnya ke atas truk. Aku tidak bisa meloncat lebih tinggi lagi karena ukuran badanku walaupun sudah kelas 6 SD masih setinggi geladak truk. Ketika dadaku sudah mengait di atas geladak truk dan kedua kakiku masih dalam keadaan menggelantung diantara jalan raya dan geladag belakang truk  dan aku belum sempat sempat menaikkan kakiku ke atas truk, tiba-tiba truk berguncang keras sekali karena sedang melintasi rel kereta api yang terletak melintang terhadap jalan yang sedang dilaluinya. Celakanya, minyak dari dalam kaleng yang berada tepat di depan wajahku memancar keluar karena kerasnya guncangan. Dan akibatnya sebagian muncratan minyak dari dalam kaleng di depanku mengenai wajah dan mataku.

Aku jadi panik sekali karena aku merasa mataku agak perih, aku memikirkan yang bukan-bukan terhadap mataku sambil menahan perihnya mata akibat tumpahan minyak kotor yang aku ambil dari dalam drum tadi sementara posisiku tetap menggelantung. Aku jadi kehilangan keseimbangan karena kekacauan dalam pikiranku, badanku sudah bergeser semakin ke bawah karena guncangan keras tadi. Sehingga aku  susah sekali untuk menaikkan kakiku ke atas truk untuk mengamankan diriku karena badanku juga sudah bergeser karena guncangan tadi. Posisiku jadi tidak seimbang untuk terus menaikkan kakiku sementara truk berjalan semakin kencang saja. Pikiranku semakin panik, aku dihadap kepada pilihan yang sama-sama bahayanya.  Apabila aku paksakan melepaskan peganganku untuk turun akan sangat bahaya sekali bisa-bisa aku jatu terguling-guling di atas jalan raya karena aku turun dari truk dalam keadaan tidak seimbang sedangkan truk berjalan sangat kencang. Apabila aku tetap bertahan menggelantung aku akhirnya akan kehabisan tenaga dan akan jatuh juga.

Di tengah-tengah kepanikan pikiranku tiba-tiba truk bergerak semakin pelan sambil menuju ke arah jalur hijau dimana Pom Bensin berada, lalu berhenti di Pom Bensin untuk mengisi bahan bakar. Saat itulah kesempatanku untuk meloncat turun dari truk. Dan aku sudah merasa aman kembali. Aku langsung mengusap mukaku dengan bagian sisi dalam bajuku. Lalu aku pungut kembali kaleng minyakku dari atas truk dan kemudian aku duduk sejenak sambil melanjutkan untuk membersihkan mata dan wajahku dari muncratan minyakku tadi.

Aku bersyukur sekali saat itu, apabila truk tidak berhenti di Pom Bensin entah apa yang akan terjadi pada diriku. Lalu kemuadian setelah aku tenang, aku naiki lagi truk yang masih belum selesai mengisi tangkinya dengan bahan bakar untuk melanjutkan perjalananku pulang ke rumah. Benar dugaanku, truk berjalan melalui jalan raya di depan kampungku. Lalu aku turun di tikungan sebelum melintasi depan kampungku. Hasil minyakku aku jual ke langgananku, seorang Ibu dari temanku yang sudah biasa sebagai penadah bagi siapa saja yang ingin menjual hasil perolehan minyak bekas.

Memanjat kendaraan truk yang sedang melaju kencang di jalan raya, dan turun meloncat dari atas geladak tempat muatan truk yang sedang melaju kencang di jalan raya sudah menjadi kebiasaanku setiap hari. Kemanapun  aku ingin pergi, aku biasa memanjat kendaraan truck, pick-up, suv, dlsb.

Untuk mencapai tujuanku. Sampai ke tempat dekatpun terkadang apabila aku malas untuk berjalan kaki, aku lebih memilih dengan cara memanjat kendaraan umum saja, asyik sekali.

BAJING LONCAT MENCURI GARAM

Siang hari minggu itu, aku dan salah satu teman mainku iseng ingin pergi jalan-jalan ke daerah Wonokusumo. Daerah paling macet di Utara Kotaku karena banyak becak-becak yang melalui jalan menuju ke sana, sejak dari Jalan Karang Tembok sampai ke Jalan Wonokusumo. Becak-becak seenaknya saja dalam memakai jalan, pengemudinya susah diatur. Apalagi di ujung Jalan Karang Tembok dekat  pertigaan dengan Jalan Wonokusumo ada rel kereta api yang melintas dan tidak jauh dari rel ada sungai, sehingga bentuk jalan menaiki jembatan dan rel kereta api. Kebanyakan becak-becak hanya berjalan dengan didorong saja.

Hanya kendaraan kecil saja yang akan melalui jalan menuju ke Wonokusumo.  Celakanya lagi, apabila ada truk yang sedang melaluinya dan kebetulan ada kereta api yang sedang melintasi memotong Jalan Karang Tembok, maka jalan akan macet total. Para tukang becak dan sepeda akan berusaha memakai jalan sebagai yang paling dahulu. Kendaraan-kendaraan yang lebih besar harus tetap berhenti mengalah, memberikan kesempatan kepada mereka.

Aku dan temanku memanjat naik mobil box menuju ke Wonokusumo karena adanya hanya mobil itu. Aku dan dia berdiri di belakang boxnya dengan menginjakkan kaki pada tangga kecil sambil memegangkan tangan pada jeruji belakng box. Ketika turun mudah sekali karena mobil berjalan cukup pelan karena macet.

Karena hari sedang mendung, mendung yang semakin hebat, aku dan temanku khawatir akan turun hujan, maka aku  dan temanku sepakat untuk kembali pulang.

Seperti biasa aku dan temanku suka memanjat kendaraan untuk pulang. Kali ini bentuk mobil yang aku naiki sama dengan ketika aku berangkat tadi, mobil box.

Ketika aku naik di atas tangga belakang boxnya, sambil memegangkan tangan ke jeruji box aku dan temanku melihat garam di dalam box mobil. Mobil box yang sedang aku dan temanku tumpangi sedang mengangkut garam kotak yang dikemas di dalam plastik tembus pandang berisi 10 kotak masing-masing plastiknya. Temanku memiliki ide untuk mengambil garam dari dalam box mobil untuk dijual nanti. Tetapi aku tidak menyetujuinya karena hal itu bukan pekerjaan kita. Temanku masih saja memaksakan diri untuk mengambil sampai ia berhasil mengambil 1 box garam yang telah aku tolaknya. Kotak garam dibiarkan saja di dalam box mobil tetapi siap untuk dikeluarkan kapan saja.

Aku dan temanku terus saja dengan mobil box. Ketika sampai di perempatan Pegirian aku mengajaknya turun mumpung mobil berjalan masih pelan. Tetapi temanku tidak mau. Ketika mobil sudah sampai di Jalan Danakarya depan gang rumahku dia turun sambil tertawa dan aku belum siap, sehingga aku menunda untuk turun di bundaran depan saja. Ketika mobil sudah mendekati bundaran lajunya semakin pelan. Pada waktu tidak secepat sebelumnya akupun berusaha turun.

Aku turunkan kaki kananku terlebih dahulu untuk kemudian kaki kiriku mengikutinya kemudian. Aku tidak siap betul rupanya ketika aku turunkan kaki kananku. Sehingga kaki kiriku tidak secara otomatis mengikutinya melainkan masih tetap berada di atas tangga mobil box. Yang terjadi tidak pernah aku duga aku terpelanting terguling, dan bagian atas kanan ujung belakang kepalaku terbentur aspal jalan raya. Aku merasa permukaan jalan raya seperti bergoyang, seperti aku sedang di atas kapal berada di atas gelombang besar.

Karena aku takut disambar mobil lain dari belakang sambil terhuyun-huyun aku mencoba menyeimbangkan badanku yang terasa seperti berjalan di atas gelombang aku berlari ke arah rerumputan di tengah-tengah taman bundaran sebelah kananku. Ketika aku sampai di tepi rerumputan aku langsung menjatuhkan diri dan mencengkramkan kedua tanganku pada rerumputan agar aku tidak merasa bergoyang lagi. Aku terus cengkramkan erat pada rerumputan kedua tanganku sambil aku duduk kaki kiri bersila dan kaki kanan tetap lurus merebahkan badanku di atas rumput hijau taman bundaran depan Yayasan Sekolah Al Irsyad itu.

Aku terus tetap merebah sampai aku tidak merasa seperti bergoyang-goyang lagi. Akhirnya badanku pulih kembali hanya kepalaku yang terbentur ke aspal tadi masih terasa sakit. Kemudian aku langsung berjalan pulang menyusuri tepi Jalan Danakarya menuju ke mulut gang rumahku tempat temanku turun tadi.

Temanku masih menungguku dan aku lihat dia sudah tidak memegang garam lagi di tangannya. Ketika aku ceritakan apa yang telah terjadi kepadaku dia langsung terbahak bahak. Ketika aku tanyakan dimana garamnya dia mengatakan bahwa garamnya sudah ia jual pada pemilik warung di depan mulut gang rumahku.

Aku berpikir, seandainya hari itu bukan hari minggu dan aku terjatuh dari atas kendaraan kemungkinan aku akan disambar kendaraan dari arah belakangku. Apabila kendaraan melaju cukup kencang, kemungkinan benturan kepalaku dengan aspal akan menjadi lebi keras lagi. Sejak saat itu aku mulai tidak menyukai lagi untuk memanjat truk atau kendaraan lainnya. Dan aku mulai kembali sesuai apa yang diharapkan oleh kedua orang tuaku.

Akibat benturan kepalaku dengan permukaan aspal, mengakibatkan benjolan. Benjolan di bagian kanan belakang kepalaku masih membekas dalam waktu cukup lama, bahkan aku pernah khawatir bahwa bekas itu akan menetap lalu menjadi besar. Akan tetapi kenyataannya terjadi lain, setelah aku duduk di SMA benjolan itu akhirnya tidak ada lagi. (Bersambung)




No comments: