Friday, June 09, 2017

SIAPAKAH KITA?

UMUM

Tulisan ini mulai dibuat pada minggu terakhir acara kampanye Pilgub DKI atau yang biasa disebut Pilkada DKI, 2017. Dimana Pilkadanya sendiri hanya tersisa hampir satu minggu lagi. Hiruk-pikuk perjalanan Pilkada DKI kali ini memang secara politik luar biasa panasnya. Barangkali, adalah suatu kelumrahan apabila Pilkada Ibu Kota suatu negara menjadi perhatian hampir semua masyarakat yang berada di negara tersebut, bahkan mungkin perhatian dari masyarakat yang berada di negara luar. Demikian pula dengan Pilkada yang sedang terjadi di Ibukota Indonesia, Jakarta. Namun gaung benturan antara kubu yang akan bertarung sungguh berada di luar koridor peraturan Pilkada itu sendiri. Apabila disimpulkan secara serampangan, maka antara kubu yang satu dan kubu yang lainnya seolah-olah mereka sedang bersaing bukan antara sesama Warga Negara Indonesia, seolah-olah antara mereka tidak saling menginjakkan kaki mereka pada bumi Indonesia, seolah-olah mereka tidak menggunakan Bahasa Nasional yang sama yaitu Bahasa Indonesia, bahkan seolah-olah mereka tidak menggunakan UUD dan Dasar Negara yang sama pula.

Penulis sebagai warga negara walaupun sedang menetap di Luar Negeri lebih dari 23 tahun, masih senang juga terus mengikuti perkembangan Pilkada DKI melalui beberapa media sebagaimana masyarakat Indonesia yang lain baik mereka yang menetap di Tanah Air ataupun di Luar Negeri. Apalagi saat ini suasananya sungguh penulis anggap sangat luar biasa panasnya. Hal ini bukan hanya panas di bidang politik saja, akan tetapi panas juga di bidang-bidang lainnya terutama seperti bidang sosial.

Tentu sebagai warga negara, penulis tetap akan berharap bahwa bagaimanapun panas-dingin suhu akibat politik Pilkada ini dapat berakhir dengan damai, sehingga hal ini akan menambah kedewasaan masyarakat Indonesia didalam berdemokrasi.

Tulisan ini sengaja diberi judul sesederhana mungkin karena yang tampak dan dapat diamati bahwa dari suhu politik yang ada dan dengan reaksi individu masing-masing didalam memberikan reaksi terhadap suhu itu sebenarnya dapat memberikan suatu indikasi terhadap individu itu sendiri, yaitu sebenarnya siapakah si individu itu sendiri. Ini bukan akan membahas tentang kecendrungan individu condong ke pihak (baca Cagub) yang mana atau mendukung Partai yang mana, ini hanya ingin melihat sifat dari diri kita ketika melakukan reaksi terhadap apa yang terjadi selama proses Pilkada, hal ini untuk menentukan siapa sebenarnya diri kita ini.

TITIK AWAL

Seperti yang telah diketahui sejak sebelum rentetan pelaksanaa Pilkada DKI 2017 dimulai, KPU(D) telah memberikan pengumuman bahwa semua calon yang ingin bertarung pada Pilkada ini harus memenuhi suatu persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Pilkada yang berlaku. Yang pasti, calon-calon yang akan dipilih dapat diusulkan dan dikatagorikan menjadi dua katagori. Yang pertama melalui non-partai atau biasa dikenal dari calon independen, dan yang kedua melalui Partai Politik. Kedua katagori ini memiliki aturan dan persyaratan masing-masing. Yang manapun yang akan ditempuh memerlukan persyaratan yang tidak mudah.

Untuk katagori yang pertama, yaitu seorang calon mencalonkan diri dari jalur non-partai yang lebih dikenal dengan istilah jalur independen, adalah mencalonkan diri sesuai dengan kehendaknya sendiri dengan persyaratan utama harus didukung oleh warga setempat (dimana Pilkada itu diselenggarakan) minimal sebanyak 6,5 sampai dengan 10 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada sebelumnya dengan bukti salinan identitas yang berlaku (Kartu Tanda Penduduk, KTP). Persentase itu tergantung dari jumlah DPT dimaksud.

Untuk DPT sampai dua juta orang dipersyaratkan mengumpulkan KTP 10% dari DPT-nya, dan untuk DPT lebih dari dua juta orang sampai dengan enam juta orang KTP yang dikumpulkan minimum harus 8,5% dari DPT-nya. Sedangkan untuk DPT antara enam juta sampai dengan duabelas juta orang harus mengumpulkan KTP minimum 7,5% dari jumlah DPT-nya. Dan bagi jumlah DPT lebih dari duabelas juta orang, maka minimum jumlah KTP yang dikumpulkan harus 6,5% dari DPT-nya.

Karena pada Pilkada DKI tahun 2012 yang lalu adalah antara enam juta sampai sepuluh juta, maka bagi calon independen yang ingin mencalonkan diri menjadi Calon Gubernur harus mampu mengumpulkan dukungan KTP sekitar 7,5% dari DPT tahun 2012.

Perlu dicatat bahwa, dalam mengajukan diri sebagai calon Gubernur, KPU mempersyaratkan bahwa ketika mencalonkan diri harus mencantumkan juga nama Wakil Gubernurnya. Ini artinya KTP yang dikumpulkan harus pula mencantumkan dukungan bagi keduanya, calon Gubernur dan Wakilnya.

Seperti telah diketahui, bahwa Gubernur DKI non-aktip saat ini yang dikenal dengan nama Ahok, telah akan mencalonkan diri sebagai calon Gubernur untuk pemilihan Gubernur (Pilgub) yang akan datang. Akan tetapi akan maju sebagai calon bukan dari usulan Partai Politik melainkan maju secara independen. Usaha untuk memenuhi perolehan dukungan formal telah dilakukan dan hasilnya sudah memenuhi syarat untuk mengajukan diri sebagai calon dari bukan Partai. Namun ada desas-desus bahwa DPR akan membuat undang-undang baru yang sifatnya akan memperberat persyaratan calon independen. Ada berbagai pendapat mengapa desas desus ini keluar. Akan tetapi isu yang kuat alasannya adalah; persyaratan calon independen dianggap terlalu mudah, sehingga dapat mendeskreditkan usaha Partai Politik dalam mencari calon Kepala Daerah. Orang akan lebih memilih melalui cara independen daripada melalui Partai Politik.

Sepert gayun bersambut, akhirnya Pak Ahok maju sebagai Calon Gubernur melalui jalur Partai Politik. Dukungan simpatisannya yang selama ini telah memperjuangkannya agar dapat maju sebagai Cagub dari jalur independen harus merelakan dan melepasnya untuk maju dari jalur Partai Politik.

Seperti yang telah diketahui, bahwa gaya kepemimpinan Pak Ahok selama ini sangat unik. Pembenahan DKI sana-sini baik secara administrasi dan lapangan, serta gaya ngomong yang ceplas-ceplos terkadang dengan intonasi tinggi dan marah, membuat banyak orang tidak menyukainya walaupun tidak sedikit pula pula yang menyukainya. Sampai-sampai hubungan Pemda DKI dan DPRDnya tidak terlalu harmonis.

Hasil kerja kepemimpinan Pak Ahok nyata terhadap perubahan DKI ke arah yang lebih baik daripada sebelumnya. Pelayanan para Pamong di kantor-kantor Pemerintahan DKI menurut banyak orang menjadi lebih baik. Pujian bagi Pak Ahok seolah mengalir terus akibat setiap tindakan yang dilakukan, walaupun banyak juga yang mencemoohkannya.

Tentu Pak Ahok dibenci juga oleh banyak orang terutama para anggota DPRD dari Partai Oposisi Pemerintah sekarang.  Pak Ahok seolah tidak memperdulikan kepada yang membencinya. Kerja yang dianggap untuk masyarakat DKI lebih didahulukan daripada bergeming pada mereka yang membenci dan memusuhinya.

Tak ada gading yang tak retak, Pak Ahok pasti memiliki kelemahan. Beliau sendiri beragama lain dari kebanyakan masyarakat yang dipimpinnya, lazimnya dari golongan Agama minoritas. Dan bukan itu saja, Pak Ahok dari keturunan minoritas yang berasal dari luar Indonesia. Inilah yang menjadi sasaran empuk para pendukung lawan-lawannya. Ha ini menjadikan suatu titik lemah yang dipandang oleh lawan-lawannya, sehingga apapun program yang telah dijalankan atau yang sedang direncanakan akan dibelokkan dengan tuduhan demi memunculkan dominasi minoritas.

Lain halnya bagi Cagub yang akan mencalonkan diri melalui jalur Partai Politik. Partai Politik (dapat sendiri atau koalisi dengan partai lain) harus meraih minimum jumlah suara sebanyak 25% dari total jumlah suara pada Pemilu yang baru dilalui, atau minimal mendapatkan 20% dari jumlah kursi yang diperebutan dalam Pemilu Legislatip. Hal ini sebenarnya lebih mudah dalam prakteknya karena si Cagup tidak perlu lagi bersusah payah untuk mengumpulkan Kartu Identitas pendukungnya, semuanya akan dilakukan oleh Partai baik melalui jalan koalisi ataupun sendiri.

ARAH SELANJUTNYA

Panasnya pre-kampanye Pilkada (pemakaian kata pre karena walaupun kampanye resmi belum dimulai akan tetapi para Cagub yang akan berkompetisi sudah memulai melakukan promosi diri) ini akhirnya terbentur pada issu yang sangat sensitip. Acara resmi dalam memberikan sambutan di Kepulauan Seribu pada suatu acara resmi di depan suatu komunitas mayoritas Islam Pak Ahok mengingatkan masyarakat bahwa banyak orang memakai surat Almaidah untuk tidak memilih dirinya. Pak Ahok mungkin lupa bahwa dirinya akan selalu diintai oleh para musuh-musuhnya di Pilkada ini nanti. Bagai gayung disambut, ucapannya itu dijadikan pemicu atas dirinya bahwa dia telah menodai Kitab Suci umat Islam dengan mengatakan bahwa ayat Alqur'an tidak benar.

Inilah awal dari malapetaka Pak Ahok yang tadinya semacam orang yang tidak akan tertandingi dalam Pilkada yang akan datang ini telah membuat pernyataan yang sangat sensitip terlepas apa tujuannya. Orang Islam yang tadinya masih ada keraguan walaupun telah menetapkan pilihan kepadanya, akan berubah pikiran untuk mengalihkan suaranya. Banyak yang memperkirakan bahwa apabila Pak Ahok tidak pernah terpeleset membuat pernyataan di Kepulauan Seribu itu, kemungkinan memenangkan Pilgub dalam satu putaran sangat memungkinkan. Akan tetapi jalannnya Pilgub berbicara lain, sehingga walaupun pada Pilgub di putaran pertama menjadi yang paling unggul, namun Pilgub harus dilanjutkan dengan Pemilu seri kedua.

Suasana tidak semakin memihak kepada Pak Ahok, ini terutama setelah ucapannya yang dianggap kontroversial oleh lawan-lawannya itu berujung pada dilaporkannya kepada pihak yang berwajib. Terlebih lagi setelah keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengkatagorikan bahwa, apa yang telah diucapkan Pak Ahok di Kepulauan Seribu merupakan suatu bentuk Penistaan terhadap Agama Islam.

BAGAI PERANG BARATAYUDA

Peristiwa di atas menjadikan suasana politik di tanah air khususnya di DKI dan sekitarnya menjadi panas sekali. Demonstrasi yang tadinya tidak memiliki landasan kuat menjadi memiliki dukungan dari fatwa MUI sebagai pengesahan  legalitas atas tuntutan pihak-pihak yang menentang Pak Ahok. Isu-isu Agama dan Ras semakin memuncak.  Tidak jarang seorang tokoh dengan sengaja merendahkan asal-usul ras dari Pak Ahok. Perlawanan dari pendukung Pak Ahok juga tidak kalah sengitnya didalam membela Pak Ahok. Para ahli dan cendikiawan dari kedua kubu saling melontarkan serangan atau pembelaan terhadap Pak Ahok ataupun lawan-lawannya.  Seandainya diibaratkan, maka persiteruan di Media Sosial (Medsos) layak diberi gelar Perang Barata Yuda ala Pilkada DKI di Medsos.

Tak akan terhindarkan lagi adanya godaan bagi banyak pihak. Orang yang tadinya pendiam atau pasif dan susah ditebak turut pula angkat bicara. Apalagi mereka yang sudah biasa aktip di Medsos, mereka seperti tidak akan ada kehidupan apabila belum melihat suasana berita dan atau Medsos setiap harinya. Mereka seolah-olah merasa diinjak-injak oleh pihak seberang apabila tidak memberikan komentar atau serangan balik di Medsos terhadap setiap berita yang berkenaan dengan perkembangan persiteruan antara dua kubu Pilkada DKI ini.

Persiteruan ini tidak dapat menghindari lahirnya idola-idola baru (new idols).  Orang yang tadinya bukan siapa-siapa mendadak menjadi terkenal karena status di Medsosnya menjadi terkenal atau viral. Meraka yang tadinya tidak dikenal mendadak menjadi idola baru karena suaranya telah memberikan semangat atau sedang menohok pihak lawan.

Bully dan olok-olok sudah menjadi suatu kebiasaan yang dianggap normal didalam menjatuhkan pihak lawan. Kawan yang tadinya seperti anak manis mendadak menjadi  sosok  yang harus dibenci bahkan dimusuhi karena perbedaaan dukungan Calon Pimpinan saja. Grup Medsos yang tadinya seperti air tenang tiba-tiba beriak bahkan sampai left atau di-unfriend  dikarenakan perbedaan dukungan. Bahkan pada puncaknya tidak jarang bukan benar atau salah yang dibela melainkan sosok siapa yang harus dibela tidak memperdulikan apapun yang dikatakan oleh yang didukung. Akhirnya pengkultusan terhadap tokoh yang diidolakan secara tersembunyi telah terjadi. Dengan demikian mata hati dan pikiran tidak lagi dipakai sebagaimana seharusnya. Yang penting tokohku tidak layak untuk disalahkan, dan "dia" harus menang apapun caranya dan resikonya.

SIAPAKAH KITA?

Perang di Medsos seolah semakin seru, saling jatuh-menjatuhkan pihak lawan dari berbagai penjuru tidak dapat dihindari lagi. Semua yang terlibat semakin terbuai, sehingga lupa handai tolan yang telah lama bersaamaan. Demikian pula pujian atau sanjungan kepada yang didukung juga silih berganti didalam mempertahankan yang didukung. Semua yang terlibat semakin terbuai dan menjadi lupa diri karena asyiknya didalam pertempuran di Medsos. Dan dengan adanya persiteruan itu terkadang akan membawa diri kita juga ikut terlarut di dalamnya.  Hal ini disebabkan isu Agama, Sosial dan Ras serta Politik tercakup di dalamnya. Perumpamaannya seperti tumbuhan yang tumbuh di atas tanah, ketika banjir datang, maka bagi yang masih tumbuh lemah baik batang ataupun akarnya, mereka akan terhanyut juga. Dan hal ini menyebabkan apa yang tadinya tidak diketahui orang lain tentang pandangan atau kecondongan kita atau seseorang, akan menjadi nampak yang terkadang buram dan terkadang terang benderang. Walaupun penampakan ini bukan berarti tidak akan berubah walaupun adakalanya dan tidak jarang yang permanen.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa reaksi terhadap suatu persoalan terutama yang datang dari bawah sadar sebenarnya dapat membuka, menguak atau menunjukkan identitas diri seseorang, seolah memunculkan "nilai"  asli dari orang tersebut.

Akan tetapi ada bahkan banyak yang melihat persiteruan ini membuat dirinya sendiri tidak dapat menentukan di pihak mana posisinya  harus berpihak. Dia seolah bagai berada di persimpangan jalan. Melihat yang sebelah sisi satunya benar, sebelah sisi lainnya juga benar. Hal ini juga sebagai penunjukan karakter identitas diri dari seseorang diakibatkan oleh kekurang mampuannya didalam melihat dengan jernih persiteruan antara kedua kubu yang sedang berperang, sehingga dia menjadi ragu-ragu. Dia tidak memiliki prinsip untuk berpijak didalam menilai suatu permasalahan yang variannya lebih dari satu (kompleks).

Dari semua itu yang terpenting adalah,  mereka yang sebelumnya tidak teridentifikasi oleh teman di komunitasnya, kini telah diketahui dan bahkan diberi label apakah dia termasuk yang identitasnya serupa dengan teman di Medsosnya atau bahkan bertolak belakang. Teman yang tadinya tidak ada gejolak setelah adanya persiteruan akibat Pilgub DKI menjadi terbelah dua kubu. Bahkan tidak jarang teman yang tadinya suka bersenda gurau di Medsos kini menjadi musush bahkan keluar atau dikeluarkan dari akon kelompok atau akon pribadi di Medsos.

Namun banyak yang lupa mungkin, apakah keadaan setelah persiteruan Pilgub DKI akan masih terus bersiteru tanpa ada kata damai dan tetap bermusuhan? Karena  masing-masing kandidat sebenarnya tujuannya hanya satu, yaitu maju untuk menang dan meraih jabatan yang diperebutkan. Hal ini bukaan karena tanpa alasan, akan tetapi setiap kandidat telah mengeluarkan tenaga, biaya, waktu dan pikiran yang tidak sedikit jumlahnya. Sehingga apabila mengalami kekalahan, maka kerugian-kerugian yang telah dibayar ketika berjuang tidaklah sedikit. Inilah yang mengakibatkan adanya persiteruan yang tidak mengenal batas norma-norma kehidupan bersosial. Bahkan terkadang norma hukumpun diterjang demi untuk memenangkan yang sedang dalam pertarungan. Dan yang dijadikan korban adalah massa yang akan mengikuti Pilgub itu bahkan sampai massa yang berada di luar wilayah DKI ikut juga terpengarus dan bertikai.

Apapun yang telah dan akan terjadi akibat dari Pilgub DKI penulis melihat dari segi positipnya saja, yaitu, semua itu merupakan bagian dari suatu proses didalam mendewasakan Bangsa Indonesia di dalam berdemokrasi. Hal ini dengan catatan, persiteruan di Medsos tidak berlanjut menjadi persiteruan secara nyata yang melibatkan fisik masing-masing untuk menjadi korban. Karena persiteruan fisik akan merugikan siapa saja yang terlibat. Baik kubu yang menang ataupun kubu yang kalah. Semoga apa yang penulis harapkan memang ini yang terjadi, sehingga nantinya menguatkan pondasi komponen bangsa di dalam berdemokrasi. Akan tetapi kini anda sudah dikuak siapa sebenarnya diri anda itu.

End.

Medio Abu Dhabi, 9/6/2017.



No comments: