Saturday, May 19, 2012

Untuk Apa Menulis Tentang Diri Sendiri

Aku terkadang tidak habis pikir pada seseorang yang menulis thema tentang dirinya sendiri. Pertanyaan yang ada bukanlah tentang bagaimana menulis tentang diri sendiri, tetapi menulis tentang diri sendiri berarti sama dengan berperang melawan dirinya sendiri, karena menulis diri sendiri harus mengungkap semua yang ada dengan jujur, baik sedang naik atau turun, baik sedang minus ataupun plus. Karena dengan menulis tentang dirinya sendiri berarti harus membedah hal yang sudah lama dan sengaja dipendam dalam agar tidak ditahui orang. Dan yang pasti karena manusia itu selalu mempunyai dua hal tentang sifat; baik dan buruk, tidak terkecuali sekarang seseorang sedang menjadi apa, sedang mewakili siapa atau sedang berada dimana, maka pengungkapan dirinya sendiri secara jujur dalam suatu tulisan merupakan pergulatan yang paling sulit kalau tidak bisa dibilang tidak mungkin. Itulah sebabnya mengapa aku tidak ingin menulis autobiografiku, karena aku yakin aku tidak akan dapat berlaku jujur didalam menuangkan kalimat-kalimat tentang diriku sendiri. Aku takut tulisanku merupakan buah tulisan yang tendensius disebabkan aku sekarang tidak hidup sendirian lagi, aku kini memiliki keluarga, aku memiliki lingkungan yang lebih baik yang harus aku jaga agar mereka tidak terkena getah dari tulisan autobiografi yang dapat merugikan mereka, dan yang pasti aku sekarang masih hidup.

Sudah lama  aku mempunyai  suatu keinginan hanya agar dapat menulis, menulis tentang apa saja. Sampai suatu waktu aku mempunyai seorang kenalan yang bisa menulis, tulisannya sering dimuat di Harian Kompas. Ia menyukai topik tentang kondisi politik di Timur Tengah. Aku penasaran tentang bagamana caranya ia dapat menulis dengan baik. Aku dekati dia, aku coba mencari tahu bagaimana ia dapat menulis tentang hal yang ia sukai itu. Aku masih merasa heran, di sela kesibukannya yang padat ia masih dapat menulis tentang situasi politik Timur Tengah yang sedang panas saat itu. Aku menyimpulkan penyebabnya adalah karena ia mempunyai banyak ide tentang apa yang sedang ia tulis. Aku melihat dia sering membaca buku-buku dalam mengisi waktu luangnya. Aku melihat pula dia sering membeli buku jika dia pergi ke lain negara. Tidak jarang ia sering bercerita tentang ringkasan buku yang sedang ia baca, walaupun aku tidak menyukai topiknya dan aku mendengarkan ringkasannya jadi cukup menarik buatku. Aku lihat ia dapat bercerita dengan rinci dan lebih baik karena dia dapat memberikan pula kombinasi dan komparasi ringkasan dari buku-buku yang lainnya. Akhirnya aku menyimpulkan bahwa ide-ide cemerlang yang ia punyai merupakan akibat dari banyaknya dia membaca buku, alhasil mengumpulkan informasi merupakan modal utama untuk dapat menulis. Tulisan-tulisannya merupakan hasil kombinasi dari membaca buku dan informasi lainnya dan ditambah dengan mengamati kondisi yang terjadi sesunggunya. Inilah awal yang memaksa aku untuk menyukai membaca hanya agar aku dapat memenuhi keinginanku untuk menulis, itu saja. Aku mulai memborong buku-buku yang bertemakan tentang Agama Islam,  itu terjadi ketika aku pulang cuti tahun 2004 yang lalu, bagiku membaca buku-buku tentang Agama Islam paling tidak akan membawa dua keuntungan, yang pertama tentu agar menambah lebih banyak pengetahuan tentang Agama yang aku yakini dan yang kedua adalah untuk memenuhi keinginanku agar dapat menulis. Sungguh memang menakjubkan pekerjaan rahasia membaca ini, selang hanya satusetengah tahun aku sudah dapat menjadi juara ke-2 lomba menulis yang diadakan oleh Keluarga Masyarakan Muslim Indonesia Abu Dhabi. Aku tidak mengetahui berapa peserta lomba menulis saat itu, yang pasti juaranya ada enam orang. Tidak berlebihan kalau aku harus berterimakasih kepada kenalanku membiarkan aku menirunya walaupun tidak sehebat dia.

Kawanku banyak yang terkejut melihat aku sebagai salah satu juara menulis tentang Agama Islam karena aku dikenal sebagai sosok yang humoris, sedangkan menulis tentang topik Agama merupakan hal yang serius. Aku mencoba mengambil hikmah dari hasil lomba menulis KMMI ini buatku, ternyata membaca dapat menyatukan antara humoris dan serius dua hal yang aku nilai bertentangan. Aku masih percaya pada pepatah bahwa tertawa itu sehat, walaupun terlalu banyak tertawa tidak baik karena sesuatu yang terlalu itu bisa dipastikan tidak baik pula. Inilah yang membuat diriku menyukai bergurau, bercanda dan humoris. Aku menemui banyak orang yang menyukai bergurau namun ada beberapa yang tidak juga. Aku terbiasa mengalihkan topik apapun yang sedang dibicarakan untuk aku belokkan ke arah canda dan kebanyakan dari mereka menyambutnya bukan hanya dengan senyum tetapi juga dengan tawa, bahkan terkadang ada yang menjawab dengan menengadahkan tangannya seolah meminta untuk disalami atau ditepuk telapak tangannya tandanya setuju dengan candaku, lalu aku sambut dengan menyalami atau menepuk tangannya tanda terimakasihku kepadanya karena ia telah menyambut candaku. Lingkungan miskin tempat aku tinggal mungkin yang menjadikan aku tidak terlalu membuat semuanya serius. Aku belum bisa lepas dari lingkungan miskin dan kumuh sampai akhirnya aku keluar merantau ke Emirates sampai sekarang ini. Bagaimanapun, kesukaanku pada canda tidak lebih besar atas kesukaanku pada hal-hal yang bersifat logis. Inilah menurutku yang masih mengendalikan pikiranku untuk tidak lepas kendali ketika bercanda. Sebuah canda, gurau dan lelucon yang aku lakukan pasti aku akan mengarahkannya pada sesuatu yang logis-logis, terkadang seseorang tidak langsung tertawa begitu mendengar leluconku kecuali beberapa detik kemudian ketika logikanya 'menyambung' dengan leluconku. Bagaimanapun lelucon yang dilakukan, bagaimanapun canda yang dilakukan, dan bagaimanapun gurau yang dilakukan kebenaran sesuatu harus tetap dijunjung tinggi. Alat yang dapat memutuskan bahwa sesuatu itu benar atau tidak adalah logika.

Dengan modal banyak membaca maka semua ide atau impian dapat direalisasikan minimal dalam bentuk tulisan. Inilah yang membuat aku menjadi 'nekad' memulai menulis autobiografiku walaupun aku masih ragu akan dapat membuatnya secara jujur seratus persen, tetapi modal membaca dan keyakinan barangkali merupakan dua kombinasi untuk aku dapat memulainya. Autobiografiku bukan bertujuan agar dibaca orang sehingga mereka dapat menjadi seperti diriku. Autobiografiku murni hanya sebagai catatan pribadi dalam bentuk tulisan, selain untuk menunjukkan kepada diriku tentang kemampuanku menulis juga sebagai bahan renungan ku di dalam  meniti jalan kehidupanku selanjutnya.

Kisahku ini diawali oleh kehidupan seorang pemuda bernama Marsali sekitar tahun 1950an. Akibat desakan keadaan kemiskinan keluarga dan lingkungan desanya saat itu Marsali muda memberanikan diri merantau ke Surabaya. Ia harus melakukan itu karena ia melihat dari keadaan teman-temannya yang pulang dari kota mempunyai penampilan lebih bersinar dibanding dengan kawan-kawannya yang masih tinggal di desa, bahwa hidup di desa lebih tidak mempunyai harapan, itulah keyakinannya. Merantau ke kota lebih baik ia lakukan sekarang ketika ia masih belum berkeluarga, masih perjaka tanpa pasangan. Itulah yang membuat Marsali muda memberanikan diri meninggalkan kampung halamannya untuk mencari kehidupan baru menuju ke tempat yang belum pernah ia kenal, walaupun tanpa pekerjaan ia pikir di kota pasti banyak pekerjaan sehingga masih mempunyai harapan hidup lebih baik daripada tetap hidup di desa, dan tersangkutlah ia di Surabaya Utara, Kampung Sawah Pulo SR tempat kawan-kawan dari desanya tinggal, tempat penitipan barang-barangnya agar tidak hilang. Ternyata hidup di Kota tidak lebih baik seperti yang ia dapati di desanya, di kota sangat susah untuk mendapatkan pekerjaan apalagi bagi orang desa sepertinya tanpa keahlian kecuali kekuatan otot-otot muda usia 23 tahunan itu. Di kota tanpa uang tidak ada makanan. Di kota tanpa uang tidak punya tempat tinggal. Tetapi keberuntungan masih berpihak kepada Marsali muda, ada beberapa pemuda teman sedesa yang merantau terlebih dahulu yang mengijinkan memakai kamarnya, kamar yang diijinkan dipakai sebagai tempat meitipkan pakaian dan barang berharga miliknya saja, tidur di malam hari bisa dilakukan di luar kamar berteduh atap 'emperan' kamarnya. Ketika belum mempunyai pekerjaan kawan-kawannya membantu memberi makan seadanya. Di kamar itu ia awali perubahan hidupnya dari desa ke kota. Di kamar itulah ia dan kawan kawannya menumpahkan keluh kesah hidup di Surabaya yang harus serba uang. Ia mulai mendapatkan pekerjaan, walaupun gajinya cukup lumayan tetapi pekerjaannya bersifat kasar, tidak tetap dan sembarangan serta mengandalkan kekuatan otot-ototnya. Setiap hari selalu dihantui dengan tidak punya dan akan kehilangan pekerjaan. Setiap hari harus hidup dengan banyak tekanan. Begitu susah ia merasakan hidup di Surabaya sebagai pekerja harian lepas membuat ia mencari pekerjaan tetap, sebagai pekerja harian lepas dengan gaji banyak tetapi pekerjaan setiap harinya masih belum tentu ada lebih baik mempunyai pekerjaan tetap bergaji lebih sedikit tetapi pekerjaan setiap harinya pasti ada. Ia tidak ingin seperti keadaan sekarang bekerja seadanya terus menemani kehidupannya, ia harus merubahnya agar masa depannya lebih baik. Marsali memberanikan diri mencari kerja pada kantor yang masih dimiliki (kuasai) oleh bekas penjajah Belanda. Tanpa rasa takut ia menghadap secara langsung pada orang Belanda, penjaga Pangkalan Marina yang terletak berseberangan dengan Pelabuhan Tanjung Perak bernama Ujung Baru. Ketika ditanya oleh penjaga pangkalan yang bersenjatakan bedil laras panjang tentang maksud kedatangannya Marsali menjawab bahwa ia sedang mencari pekerjaan. Tanpa diduga ternyata ia mendapatkan jawaban seperti yang belum pernah ia duga karena orang Belanda di Surabaya saat itu ditakuti banyak orang, penjaga itu menyuruhnya ke suatu kantor dalam bengkel yang terletak di pinggir dermaga untuk menemui seseorang di sana. Setelah ditanya kalau ia memang benar-benar ingin mencari pekerjaan dan mau bekerja, tanpa ditanya keahlian apa yang ia miliki, Marsali langsung menjawab 'Ya'. Sejak saat itu ia mulai bekerja di Marina tempat perawatan kapal kapal Angkatan Laut milik Belanda.

Sementara jauh di suatu tempat, sebuah desa di tepi barat pegunungan embilleh tempat Marsali dan keluarga berasal Desa Pakong, Klebun (kelurahan) Paka'an Kecamatan Modung Kabupaten Bangkalan, Madura kehidupan semakin bertambah susah. Ketela pohon merupakan makanan pokok saat itu , jagung sangat susah didapat apalagi beras. Begitu susahnya, banyak orang mengumpulkan biji mangga untuk dijadikan makanan pengganti ketela pohon. Minah, gadis mungil berparas sedang sesekali membantu ibunya mencari makan untuk keluarganya. Kulitnya yang seharusnya kuning tampak lebih legam karena sengatan sinar matahari setiap hari. Ia dan empat saudanya lain sudah tidak mempunyai ayah sejak kecil. Ibunya sibuk berjualan hasil pertanian orang-orang desanya seminggu dua kali  ke Pasar Kamis atau Pasar Sabtu. Minah lebih sering mencari ubi-ubian di talun milik orang tuanya, ia terkadang mencari isi mangga untuk bahan makan jika itu diperlukan, dan tidak jarang demi satu isi mangga ia harus menunggu orang yang sedang makan mangga selesai dan memungut bijinya ketika dibuang.
Itulah gambaran kemiskinan pada tahun 1950an di desa dimana Marsali dan Minah berasal. Mereka
bertetangga bersebelahan rumah. Mereka berdua sama-sama tidak memiliki ayah sejak kecil, walaupun keluarga mereka tidak semiskin keluarga lain kebanyakan di desa miskin itu, mereka berdua sama sama-sama hidup dibawah kemiskinan baik keluarganya dan lingkungannya dan mereka berdua ditakdirkan menjadi jodoh seumur hidup.

No comments: