Sepintas kata sami'na wa ato'na semacam ajakan agar mendengarkan dan mentaati atau mengikuti. Bagi orang yang lugu, apapun yang diperintahkan oleh orang lain dengan referensi dari hadist merupakan suatu hal yang harus diikuti tanpa memperdulikan siapa yang sedang membacakannya. Memang tidak bisa diperdebatkan karena arti sesungguhnya dari sami'na wa ato'na memang kami dengar dan kami taati.
Secara logat sami' berarti dengar dan ato' berarti taat. Setelah ditelusuri lebih jauh lagi ternyata rangkaian kata-kata sami'na wa ato'na diambil dari salah satu ayat dalam Al'quran yang mempunyai rangkaian kata lain dan jika dibacakan secara keseluruhan merupakan perintah terhadap kita tentang siapa saja yang harus kita dengar dan kerjakan (apabila digabung keduanya akan menjadi berarti mentaati) setelah mendengar perintah yang diminta. Lengkapnya berarti kira-kira seperti berikut;
"Wahai orang-orang yang beriman!, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Penguasa kalian". QS Annisa', 49.
Yang menjadi pokok tujuan pada sami'na wa ato'na itu adalah "kita semua yang beriman" sebagai objek, sedangkan Allah, Rasul dan Penguasa sebagai subjeknya. Jadi, objek dari Allah adalah Rasul dan object dari Rasul adalah Penguasa dan objek Penguasa adalah orang-orang yang beriman (kita). Selain dari Allah, Rasul, Penguasa, dan orang-orang yang beriman, adalah sesuatu yang berada di luar sistem sami'na wa ato'na. Hal itu yang berlawanan dengan orang--orang beriman alias orang-orang kafir.
Tentang Subjek
Tidak bisa disangkal lagi subjek-subjek yang disebutkan seperti sebelumnya merupakan subjek-subjek berjenjang. Artinya seorang penguasa tidak akan dapat secara langsung menerima perintah dari Allah, demikian juga sebaliknya, Penguasa tidak akan memerintah Rasul. Sehingga yang dapat memerintah seorang Rasul hanyalah Allah kemudian
Rasul memerintahkan perintah yang diterima dari Allah kepada Penguasa, lalu Penguasa akan memerintah perintah yang diterima dari Rasul kepada kita. Kita tidak bisa memerintah penguasa apalagi memerintah Rasul. Ini yang dimaksud dengan "Taatilah Allah dan Rasul dan Penguasa kalian". Tentu bagi orang-orang yang beriman hukumnya wajib mentaati "Penguasa" sepanjang si "Penguasa" mentaati "Rasul".
Jadi, wahyu yang tersusun secara berurutan itu bukanlah hanya sembarangan saja diturunkan melainkan agar bermakna jelas dan dapat dilaksananakan secara hirarki sesuai aturan subjek dan objek.
Tentang Objek
Objek yang dimaksud adalah seluruh manusia yang beriman kecuali penguasa yang telah disebutkan sebagai salah satu subjek dari tiga hirarki Subjek. Jadi, yang dimaksud kita adalah termasuk anda dan saya sekarang dengan syarat apabila objek itu beriman, mereka yang lalu dan mereka yang akan datang dengan catatan beriman dan tidak menjadi Penguasa sebagai objek Rasul, dengan kata lain tidak termasuk Allah, dan Rasul.
Jika ada seseorang mendengar dan melaksanakan perintah selain yang disebutkan sebagai subjek, sebenarnya orang tersebut tidak memehami makna sami'na wa ato'na secara utuh. Untuk itulah ada sebuah kisah bahwa para sahabat Rasul akan melaksanakan perintah Rasul dengan tanpa mempertanyakan perintah yang diberikan kepada mereka, karena Rasul sebagai subjek pada sistem sami'na wa ato'na sedangkan para sahabat sebagai objeknya.
Tentang Hadist
Hampir seluruh hadist ditulis (baca dibukukan) kira-kira seratus tahun setelah Rasul SAW wafat. Penilaian sahnya suatu hadist dengan metode penyelidikan yang sudah dipatok oleh para ahli hadist, maka hadist-hadist yang memenuhi kriteria akan menjadi hadist yang sah atau benar sedangkan yang tidak, akan menjadi hadist yang lemah, tidak sah bahkan palsu. Di sinilah letak permasalahan pada penerapan sistem sami'na wa ato'na.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah perawi hadist yang telah menyatakan bahwa suatu hadist itu sah adalah termasuk pada salah satu kriteria subjek?.
Apabila mereka bukan penguasa, maka melaksanakan hadist yang disyahkan ahli hadist bukanlah termasuk melaksanakan sistem sami'na wa ato'na, karena seseorang sebetulnya tidak melaksanakan perintah Rasul tetapi melaksanakan perintah yang disebut hadist oleh ahli hadist dari hasil penyelidikan para ahli hadist yang membenarkan bahwa hadist yang diriwayatkan adalah benar-benar dari Rasul SAW. Lain halnya dengan melaksanakan perintah suatu hadist yang disyahkan dan diriwayatkan oleh seorang ahli hadist tetapi terlebih dahulu menyelidiki sendiri tentang kebenaran hadist yang sudah disahkan tersebut, bukan berarti terus langsung percaya dengan apa yang diituliskan oleh ahli hadist, karena akibatnya bukan melaksanakan sesuai dengan sistem yang sudah digariskan pada sami'na wa ato'na, akan tetapi melaksanakan perintah para perawi hadist.
Permasalahan Yang Dihadapi
Kini, untuk mendapatkan sebuah hadist dari perintah langsung dari Rasul SAW adalah tidak mungkin, lalu mempercayai hadist-hadist yang ditulis oleh ahli hadist masih menyisakan tanda tanya. Lalu bagaimana cara mendapatkan tentang hadist yang memang benar-benar dari Rasul SAW?
Untuk mejawab pertanyaan ini dapat dikatakan sangat sulit, karena antara hadist-hadist yang ada sebelum ditulis oleh para penulis hadist banyak yang sudah bercampur dengan yang bukan hadist, bahkan bisa jadi masih ada juga hadist yang lolos dan dinyatakan sah padahal itu bukan hadist. Dan juga sebaliknya, dipastikan masih ada yang benar-benar hadist tetapi dinyatakan palsu karena tidak memenuhi kriteria persyaratan yang telah dipatok oleh para perawi hadist. Sehingga perintah yang dinyatakan oleh perawi hadist dilaksanakan bulat-bulat. Inilah permasalahannya, subjek dan objek.
Akal
Ada banyaknya hadist-hadist yang sudah dinyatakan sah akan tetapi di pihak lain tidak kalah dahsyatnya beredar hadist-hadist yang kadang bertentangan dan dinyatak sah juga, hal ini memberikan manusia untuk mencarikan suatu solusi. Runyamnya apabila hadist-hadist yang bertentangan itu tidak ada rujukannya samasekali di dalam Alqur'an. Pada keadaan inilah pemakaian akal diperlukan. Walaupun terkadang pemahaman yang telah dibenarkan oleh akal saat ini belum tentu dapat bertahan selamanya. Itu bukanlah tujuannya. Yang terpenting ada jembatan untuk memberikan argumentasi tentang pilihan atau pemakaian hadist yang sedang bertentangan.
Seperti yang telah diketahui bahwa akal bekerja dengan cara logis. Logis merupakan satu-satunya jalan untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu untuk dinobatkan menjadi benar atau tidak. Ini penting sekali bagi subjek agar perintah yang akan diberikan kepada objek memenuhi sistem sami'na wa ato'na.
Siapa Subjeknya Bila Pemerintah Tidak Memerintahkan
Sistem sami'na wa ato'na hanya mengenal tiga subjek berjenjang. Lalu apabila Pemerintah tidak memberikan arahan pada suatu hal yang spesifik, siapakah subjeknya? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita lihat keterangan di bawah ini.
Perawi hadist sejatinya adalah objek, diri kita sendiri juga objek. Lalu ada suatu perintah yang bukan datang dari subjek dan harus dilaksanakan, misalnya ingin memberi uang kepada orang yang sedang meminta di tengah jalan. Kebetulah Pemerintah setempat tidak memberikan petunjuk diperbolehkan atau dilarang memberikan misalnya uang kepada pengemis di jalanan. Sedangkan menurut hadist yang beredar adalah dianjurkan untuk memberikan sebagian rejeki kepada yang memerlukannya. Di sinilah diperlukan adanya subjek baru sebagai subjek berjenjang di atas, yaitu dengan mengangkat pemimpin lain selain pemimpin resmi daerah itu, baik dirinya sendiri ataupun perawi hadist tersebut.
Apabila dirinya sendiri yang diangkat sebagai pemimpin khusus untuk masalah yang tidak diperintahkan oleh pemimpin sebenarnya, maka akallah yang akan memberikan keputusan. Tetapi apabila perawi hadist yang diangkat menjadi pemimpin, maka apa yang dinyatakan sah oleh mereka harus diikuti tanpa ada alasan apapun.
Demikian tulisan pendek ini semoga bermanfaat.
Nasuki@emirates.net.ae
No comments:
Post a Comment