UMUM
Dapat dipastikan bahwa, saat ini yang namanya Media Sosial (Medsos) sudah dipakai oleh siapapun, baik itu muda atau tua, pria ataupun wanita, berpendidikan maupun tidak, pokoknya semua orang akan memakai yang namanya itu Medsos. Karena begitu masipnya informasi melalui Medsos ini, maka bagi mereka yang kurang periksa tidak dapat membedakan apakah informasi yang diterima itu benar adanya atau tidak, ini dapat akan berakibat fatal. Sekarang ini orang dapat dengan mudah membuat berita bohong, gambar bohong bahkan vidio dapat dibuat bohong juga.
Peristiwa sebelum Pemilu ini terutama tentang Pilpres sungguh sangat terasa, pemakai Medsos mungkin merasa saat itu tidak sedang hidup sebagai masyarakat Indonesia. Mulai dari Pemuka agama, Pejabat setingkat yang berkedudukan di lingkaran pertama dari Kepala Negara bahkan terhadap Kepala Negara sekalipun baik sebagai Kepala Negara ataupun sebagai Calon Presiden tidak luput dari pendegradasian, pembunuhan karakter, ujaran kebencian, fitnah dan semacamnya oleh mereka yang tidak mengidolakannya. Demikian sebaliknya bagi pendukung kandidat penentang Petahana, Dari kubu-kubu entah apa yang akan dipakai sebagai istilah, saling "membunuh" mungkin sebagai istilah yang sesuaai, bukan membunuh secara fisik, tetapi membunuh secara karakter, baik menggunakan masa lalu, SARA, ataupun hasil kerja dan profesi yang pernah dan sedang digeluti.
Di Medsos yang paling umum, misalnya WhatsApp (WA) atau FaceBook (FB). Ambil saja WA, Medsos ini bisa dibuat grup, umumnya disingkat WAG, WhatsAppGroup. Di dalam grup biasanya akan ada dari banyak anggota dan biasanya juga terdiri dari anggota dari banyak latar belakang yang tentu akan memiliki dukungan yang berbeda terhadap kubu-kubu (Pilpres kali ini hanya diikuti oleh dua kontestan). Medsos seperti tidak pernah sepi dari saling merendahkan kubu yang tidak didukung. Bahkan terkadang memfitnah. Apabila memuji yang didukung ataupun membagikan program-program yang didukung merupakan sesuatu yang sangat bagus, saat ini yang terjadi sebaliknya, yang dibagi adalah informasi tentang kelemahan kandidat yang tidak didukung, bahkan terkadang setelah diperiksa lebih jauh ternyata informasi yang dibagikan adalah informasi bohong atau hoax.
Hampir semua lapisan masyarakat tidak ada yang menganalisa tentang informasi yang diterima. Yang terpenting apabila yang dibagi adalah sesuai dengan apa yang didukung, maka itu akan dibagikan kepada yang lain. Apabila informasi yang dibagikan adalah informasi yang bertentangan dengan yang didukung, maka ini akan langsung dibalas seolah-olah harus mempertahankan yang didukung agar tetap tidak direndahkan. Padahal informasi itu apabila ditelusuri sebenarnya adalah informasi bohong.
Keributan antar dua kubu sepertinya tidak akan pernah damai, minimum sampai dengan hari pencoblosan tanggal 17 April, 2019 ini. Hal ini sangat nyata terlihat di setiap kesempatan, antara kedua kubu sama-sama militannya. Komentar-komentar yang saling dilempar seperti masih menyimpan berjuta amunisi serangan balik apabila komentarnya mendapatkan sanggahan. Banyak alasan untuk mendukung atau tidak mendukung seorang calon. Apakah itu dari segi performa atau tampilan badaniah, cara mengeluarkan pendapat melalui pidato,
Dapat dipastikan bahwa, saat ini yang namanya Media Sosial (Medsos) sudah dipakai oleh siapapun, baik itu muda atau tua, pria ataupun wanita, berpendidikan maupun tidak, pokoknya semua orang akan memakai yang namanya itu Medsos. Karena begitu masipnya informasi melalui Medsos ini, maka bagi mereka yang kurang periksa tidak dapat membedakan apakah informasi yang diterima itu benar adanya atau tidak, ini dapat akan berakibat fatal. Sekarang ini orang dapat dengan mudah membuat berita bohong, gambar bohong bahkan vidio dapat dibuat bohong juga.
Peristiwa sebelum Pemilu ini terutama tentang Pilpres sungguh sangat terasa, pemakai Medsos mungkin merasa saat itu tidak sedang hidup sebagai masyarakat Indonesia. Mulai dari Pemuka agama, Pejabat setingkat yang berkedudukan di lingkaran pertama dari Kepala Negara bahkan terhadap Kepala Negara sekalipun baik sebagai Kepala Negara ataupun sebagai Calon Presiden tidak luput dari pendegradasian, pembunuhan karakter, ujaran kebencian, fitnah dan semacamnya oleh mereka yang tidak mengidolakannya. Demikian sebaliknya bagi pendukung kandidat penentang Petahana, Dari kubu-kubu entah apa yang akan dipakai sebagai istilah, saling "membunuh" mungkin sebagai istilah yang sesuaai, bukan membunuh secara fisik, tetapi membunuh secara karakter, baik menggunakan masa lalu, SARA, ataupun hasil kerja dan profesi yang pernah dan sedang digeluti.
Di Medsos yang paling umum, misalnya WhatsApp (WA) atau FaceBook (FB). Ambil saja WA, Medsos ini bisa dibuat grup, umumnya disingkat WAG, WhatsAppGroup. Di dalam grup biasanya akan ada dari banyak anggota dan biasanya juga terdiri dari anggota dari banyak latar belakang yang tentu akan memiliki dukungan yang berbeda terhadap kubu-kubu (Pilpres kali ini hanya diikuti oleh dua kontestan). Medsos seperti tidak pernah sepi dari saling merendahkan kubu yang tidak didukung. Bahkan terkadang memfitnah. Apabila memuji yang didukung ataupun membagikan program-program yang didukung merupakan sesuatu yang sangat bagus, saat ini yang terjadi sebaliknya, yang dibagi adalah informasi tentang kelemahan kandidat yang tidak didukung, bahkan terkadang setelah diperiksa lebih jauh ternyata informasi yang dibagikan adalah informasi bohong atau hoax.
Hampir semua lapisan masyarakat tidak ada yang menganalisa tentang informasi yang diterima. Yang terpenting apabila yang dibagi adalah sesuai dengan apa yang didukung, maka itu akan dibagikan kepada yang lain. Apabila informasi yang dibagikan adalah informasi yang bertentangan dengan yang didukung, maka ini akan langsung dibalas seolah-olah harus mempertahankan yang didukung agar tetap tidak direndahkan. Padahal informasi itu apabila ditelusuri sebenarnya adalah informasi bohong.
Keributan antar dua kubu sepertinya tidak akan pernah damai, minimum sampai dengan hari pencoblosan tanggal 17 April, 2019 ini. Hal ini sangat nyata terlihat di setiap kesempatan, antara kedua kubu sama-sama militannya. Komentar-komentar yang saling dilempar seperti masih menyimpan berjuta amunisi serangan balik apabila komentarnya mendapatkan sanggahan. Banyak alasan untuk mendukung atau tidak mendukung seorang calon. Apakah itu dari segi performa atau tampilan badaniah, cara mengeluarkan pendapat melalui pidato,
Keributan yang umumnya diciptakan ataupun diperberat oleh para politikus ini membuat banyak orang terbuai, bahkan sampai-sampai membawa urusan alam setelah mati. Sahabat yang tadinya sebagai karib, karena perbedaan ini menjadi renggang. Seorang yang tadinya dikagumi mendadak menyebalkan ketika diketahui bahwa yang didukung berbeda. Bahkan sekolah tempat anak menuntut ilmu menjadi tidak mengenakkan lagi ketika mengetahui bahwa para guru yang mengajar mendukung yang lain.
MASA TENANG PEMILU
Kampanye-kampanye sudah semakin intens, para pendukung dari kedua kubu semakin mendapatkan tenaga, harapan mereka sama, bahwa jago yang didukung memenangkan kontes Pilpres ini. Setiap calon melakukan safari untuk menyapa pendukung mereka, serta untuk mencari tambahan perolehan suara mereka. Media-media bermain dan dimainkan untuk meramaikan kesempatan dan kegiatan yang mereka lakukan. Selain kampanye safari ada pula program Debat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, debat ini terdiri dari lima kali debat yang akan disiarkan melalui media masa main steam.
Debat Capres pertama sudah dilaksanakan. Sepertinya meragukan tentang efektifitas Debat Capres ini untuk menarik calon pemilih berpindah haluan. Mengingat para pendukung dari kedua belah pihak nampaknya merupakan pendukung fanatik. Merah, putih hijau ataupun hitam sekalipun warna yang didukung, bagi para pendukung adalah sama saja, tetap akan didukung. Ini yang nampak apabila dilihat bagaimana komentar yang berhamburan di setiap Medsos..
Lalu, apakah ada Calon Pemilih yang belum meniatkan ataupun menetapkan siapa yang akan didukung?
Mengacu pada hasil survei sebelum Pemilu, memang ada Calon-calon Pemilih yang tidak mengisi tentang siapa yang akan dipilih. Namun itu bukan berarti mereka belum memiliki niatan pada calon siapa suaranya akan diberikan. Walaupun setelah debat hasil survei menunjukkan adanya perubahan walaupun kecil sifatnya, namun setelah selang seminggu kemudian hasil surveinya seolah kembali lagi seperti ketika debat Capres belum dilaksanakan.
Dari kampanye safari yang dilakukan oleh kedua belah Pasangan Calon (Paslon), terlihat antusiasme masyarakat yang menyambutnya, namu ada kalanya antusiasme masyarakat yang menolaknya. Jadi teringat dulu ketika kampanye pada waktu Orba berkuasa, setiap kampanye seperti sudah diatur bahkan teratur, tidak ada masyarakat yang menolak suatu kampanye. Kalaupun tidak suka tidak ada yang mengganggu ataupun menolak. Yang tidak berkenan tidak menghadirinya. Walaupun terkadang ada rumor bahwa, kalau memilih yang itu atau yang ini akan murtad misalnya. Pawai benar-benar melakukan pawai berkendaraaan, tanpa adanya gangguan. Mungkin agar tidak bentrok waktu pawai dibuat tidak bersamaan.
Dulu tidak ada yang namanya Debat Capres, mungkin karena Penguasa Orba tidak menyukai atau karena Capres Era Orba diharapkan hanya ada satu Capres, atau di masa Orba memang tidak ada program adu program Capres melalui Debat Capres. Pemilih sudah diatur sedemikian rupa. Pemilu di hari kerja dan tidak ada libur kerja. Artinya Pesta Demokrasi tanpa hari libur. Setiap pegawai memilih di TPS dekat dengan kantor di mana dia bekerja. Dan hasilnya sudah dapat diprediksi. Penguasa akan tetap berkuasa lagi berkesinambungan. Sampai ada pendapat bahwa Pemilu yang berazaskan LUDER tidak sepenuhnya azas itu dipakai. Lain halnya dengan era sekarang ini, era Reformasi, azas LUBER dipakai akan tetapi apa yang akan dipilih oleh seseorang calon pemilih sudah menjadi rahasia umum.
Artinya, debat Capres itu bisa dianggap penting karena akan dapat merubah arah tendensi pemilih terutama bagi mereka yang masih belum atau samar-samar menentukan dukungannya. Ini akan sangat berarti sekali apabila jumlah dukungan yang sudah bisa dikatakan tetap memiliki perbedaan yang cukup tipis sekali. Yang tadinya dinyatakan kalah oleh hasil-hasil survei dapat menjadi sebaliknya apabila di dalam debatnya memberikan performa yang lebih baik dari saingannya.
Yang banyak berpengaruh juga adalah Politik Identitas. Ynag dimaksud dengan ini adalah menggunakan Agama (Islam) sebagai landasan berkampanye. Runyamnya dari kedua kubu memang ada perbedaan. Yang satu lebih condong berkampanye menggunakan Politik Nasionalisme, dan yang lain berbasis Politik Identitas. Walaupun keduanya bukan 100% pendukungnya memakai seperti mereka. Ada bukti di pihak Nasionalis ada banyak tokoh Agama yang mendukungnya, dan juga di pihak Identitas juga ada banyak tokoh Nsionalis yang mendukungnya. Akan tetapi cara mereka dalam melakukan kampanye menorehkan lebel Nasionalis atau Identitas.
PENGAMBILAN SUARA
PENGAMBILAN SUARA
Walaupun Pemilu tahun 2019 ini seperti sama saja dibandingkan dengan Pemilu paska Reformasi ini, akan tetapi apabila ditelaah lebih dalam lagi sebetulnya ada perbedaan.
Pemilu seperti biasanya, masuk ke dalam bilik dengan Kertas Surat Suara yang berisi, Calon-calon Presiden dan Wakilnya, dan Legislatip Pusat dan Daerah. Itu melalui mekanisme dari Daftar Pemilih yang ada pada pelaksana Panitia Pemungutan Suara di Tempat Pemungutan Suara masing-masing. Dimana Daftar Pemilih itu biasanya disebut dengan Daftar Pemilih Tetap atau DPT yang legalitasnya dilakukan oleh pihak Komisi Pemilihan Umum atau KPU Pusat berdasarkan daftar yang telah diajukan oleh Pnitia Pemungutan Suara atau PP di tingkat Kelurahan. Calon pemilih didaftar didaftar dalam kurun waktu yang sudah ditentukan, bshksn dilkukan pemutakhiran setiap waktu. Setelah melewati hari akhir, maka pendaftaran sebagai calon pemilih ditutup, dan tidak dapat ditambah lagi kecuali bagi mereka yang pindah Tempat Pemungutan Suara (TPS)-nya dengan dibuktikan dengan Formulir khusus bahwa DPT di mana calon pemilih didaftar telah dihapus dan akan dimasukkan sebagai Pemilih Tambahan pada TPS yang dituju.
Akan tetapi pada Pemilu 2019 ini ada perbedaan apabila dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya. DPT yang sudah diterima dan disahkan itu masih dapat ditambah lagi. Ini mungkin untuk memberikan kesempatan kepada calon pemilih yang masih belum terjaring pada Pendaftaran Calon Pemilih dalam waktu yang telah ditentukan. Serta khusus untuk Pelaksanaan Pemilu di Luar Negeri, bukan hanya dilaksanakan di Kantor Kedutaan Besar atau Konsulat RI atau KBRI atau KJRI, tetapi juga ada TPS keliling yang mengunjungi terutama kantong-kantong tempat Warga Negara Indonesia terkonsentrasi yang memiliki jarak yang jauh dengan KBRI atau KJRI. Itu juga sudah diberi fasilitas Pemilu melalui Pos.
PASKA PEMILU
Seandainya umur seseorang dapat diketahui, maka tanggal pastinya akan dicatat. Karena itu merupakan hari terakhir dia hidup di dunia ini. Orang itu akan mempersiapkan segalanya dalam menyambut hari terakhirnya di dunia fana untuk menuju ke kehidupan baru di alam akhirat nanti. Ketiks detik-detik kematian itu tiba, sakratul maut atau sekarat ketika menuju kematian akan dirasakan. Tentu yang ada di dalam perasaan orang yang sedang mengalami sekarat itu akan tergantung dari kepercayaan dirinya ketika mengisi hidup yang telah dilaluinya. Ada yang merasa senang dan tenang di dalam menghadapi kematian. Ada yang biasa-biasa saja, dan bahkan ada yang khawatir atau terlalu khawatir di dalam menghadapi kematiannya. Karena sebetulnya yang akan merasakan tentang kehidupan setelah mati adalah orang itu sendiri. Mereka akan berkaca terhadap jalan hidup yang telah mereka lalui. Orang lain hanya kalaupun bisa sebatas menilai dengan apa yang diketahui secara kasat mata saja, selebihnya tidak akan dapat diketahui sesungguhnya, orangnya sendirilah yang akan dapat mengetahui tentang jalan hidup yang telah dilaluinya. Di akhirat nanti akan menjadi orang yang beruntung atau merugi.
PASKA PEMILU
Seandainya umur seseorang dapat diketahui, maka tanggal pastinya akan dicatat. Karena itu merupakan hari terakhir dia hidup di dunia ini. Orang itu akan mempersiapkan segalanya dalam menyambut hari terakhirnya di dunia fana untuk menuju ke kehidupan baru di alam akhirat nanti. Ketiks detik-detik kematian itu tiba, sakratul maut atau sekarat ketika menuju kematian akan dirasakan. Tentu yang ada di dalam perasaan orang yang sedang mengalami sekarat itu akan tergantung dari kepercayaan dirinya ketika mengisi hidup yang telah dilaluinya. Ada yang merasa senang dan tenang di dalam menghadapi kematian. Ada yang biasa-biasa saja, dan bahkan ada yang khawatir atau terlalu khawatir di dalam menghadapi kematiannya. Karena sebetulnya yang akan merasakan tentang kehidupan setelah mati adalah orang itu sendiri. Mereka akan berkaca terhadap jalan hidup yang telah mereka lalui. Orang lain hanya kalaupun bisa sebatas menilai dengan apa yang diketahui secara kasat mata saja, selebihnya tidak akan dapat diketahui sesungguhnya, orangnya sendirilah yang akan dapat mengetahui tentang jalan hidup yang telah dilaluinya. Di akhirat nanti akan menjadi orang yang beruntung atau merugi.
Demikian pula terhadap para calon yang akan dipilih di dalam Pemilu. Ketika hari H Pemilu sedang tiba, itu sebetulnya merupakan hari terakhir dari dunia pencalonan menuju ke dunia nyata paska Pemilihan. Apakah seorang calon akan terpilih atau tidak sesungguhnya sudah dapat diketahui ketika sesaat sebelum Pemilu itu dilaksanakan. Apakah seorang calon akan terpilih atau tidak sudah dapat dirasakan ketika sebelum Pemungutan Suara dilaksanakan. Apakah akan menuju ke jalan kekalahan atau kemenangan sudah dapat dirasakan. Untuk itu banyak dari para calon akan melakukan apasaja untuk mencapai tujuan sebelum Pemungutan Suara nanti, terutama pada waktu ketika hari H sudah dekat. Itulah biasanya yang dikenal dengan istilah Serangan Pamungkas, Serangan Fajar dal lain sebagainya
Demokrasi sejatinya adalah pemandatan pemilih yang dilakukan melalui Pemungutan Suara. Yang disebut Pemilih dalam hal ini sesuai dengan yang sudah dipersaratkan oleh Undang-Undang Pemilu. Setiap Pemilih meiliki hak yang sama dalam memberikan suara mereka. Mereka ini sejatinya yang disebut "People Power". Hasil mayoritas dari pilihan merekan merupakan yang diberi mandat oleh para Pemilih. People Power bukan yang disalah artikan melakukan demonstrasi atau orasi dalam mencapai tujuan "demokrasi mereka". People Power adalah demokrasi melalui Pemungutan Suara. Karena di situ setiap orang dihargai sama, tidak lagi dikelaskan melalui kasta-kasta misalnya karena pendidikan, karena kedudukan di dalam suatu Agama, karena status ekonomi, sosial ataupun jabatan seseorang. Demokrasi satu orang dihargai 1 suara.
Tidak jarang ada calon yang dipilih merasa bahwa mereka dipastikan sebagai pemenang. Baik itu yang akan jadi anggota parlemen, kepala daerah ataupu kepala negara. Untuk itu bebekal dengan kepercayaan itu mereka sudah berani memvonis dirinya sebagai pemenang dalam Pemilu kali ini. Mereka ada yang sudah melakukan deklarasi kemenangan, melakukan syukuran, pesta bahkan ada pendukung mereka yang memanggil dengan menyebut sebujan jabatan yang sedang diperebutkan, misalnya Pak Presiden, dan lain sebagainya. Ketika KPU mengumumkan semua hasil Pemilu serentak yang telah dilakukan, hasilnya bukan seperti yang telah sebagian mereka duga, banyak dari mereka yang sudah melakukan layaknya suatu hasil kemenangan ternyata mereka kalah. Itulah yang disebut salah duga.