Friday, October 24, 2014

HAMPIR SAJA (2)

Seperti yang aku tulis di bagian pertama, kisah ini merupakan kelanjutan dari kisahku ketika aku sudah remaja dan seterusnya. Di dalam kisah ini yang aku harapkan hanyalah, aku bisa merenungkan agar cerita seperti ini tidak terjadi kepadaku atau orang-orang dekatku bahkan kepada siapa saja yang bisa aku temui.

STADION 10 NOPEMBER

Ketika aku duduk di bangku SMA, hampir setiap remaja SMA di Surabaya Utara sangat menggandrungi sepak bola. Permainan yang paling populer sehari-hari juga  main sepak bola. Juga waktu itu, hampir setiap orang Surabaya akan mencintai klub sepak bola yang bernama Niac Mitra. Niac Mitra akan selalu menempati posisi atas pada klasemen sepak bola antar klub di Indonesia. Untuk itulah, setiap warga Surabaya akan merasa bangga dengan Niac Mitra, termasuk juga aku.

Saingan-saingan berat Niac Mitra adalah; Pelita Jaya Jakarta dan Indonesia Muda Jakarta juga. Apabila Niac Mitra bertemu melawan tim-titm saingan beratnya, hampir dipastikan apabila pertandingannya diselenggarakan di Stadion 10 Nopember, Tambak Sari, dipastikan akan dipenuhi oleh penonton dari Surabaya.

Hari Minggu sore itu Niac Mitra akan bertanding melawan Indonesia Muda. Dua kekuatan utama sepak bola dari Timur dan Barat. Lokasi bertandingnya akan diselenggarakan di Gelora 10 Nopember Tambak Sari, Surabaya. Aku dan teman kelasku jauh hari sebelum pertandingan terselenggara sudah merencanakan untuk menyaksikan pertandingan dua kekuatan itu secara langsung di stadion. Aku dan semua orang yang suka bola pasti akan menganggap bahwa kedua tim kuat ini akan bertading dengan sengit. Maka aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Apalagi pertandingannya akan berlangsung pada hari minggu, dimana hari sekolahku sedang libur. Aku harus menunjukkan bahwa aku memang betul-betul penggemar berat Niac Mitra.

Pertandingan akan dimulai pada pukul 4 sore. Sejak pukul 2 siang aku sudah berangkat dari rumah dengan teman kelasku itu. Dan sebelum sampai stadion aku dan temanku langsung memarkir sepeda motorku di rumah teman kakak temanku tidak jauh dari stadion. Ke stadion aku berjalan kaki saja walaupun membutuhkan waktu sekitar 5 menitan, hal ini lebih menguntungkan daripada memarkir sepeda motor dekat stadion dengan biaya sama dengan biaya masuk stadion. Di sepanjang jalan yang aku lalui, calon penonton yang lain juga banyak yang berjalan kaki. Ini membuat aku dan temanku semakin mempercepat jalanku, khawatir tidak mendapatkan karcis masuk.

Sesampai di stadion, calon penonton sudah memadati sampai ke areal parkir, bahkan sudah banyak yang masuk stadion. Aku dan temanku belum memiliki karcis masuk. Niatku akan membeli di loket ketika aku sampai di stadion. Namun apa boleh buat, karcis masuk sudah ludes, adanya hanya sudah di tangan para calo yang harganya tidak sebanyak jumkah uang yang ada di semua saku pakaianku. Aku tetap tidak pesimis, aku coba mengelilingi stadion mencari celah bagaimana aku bisa masuk stadion.

Aku terus berjalan mengelilingi stadion. Pluit pertandingan aku dengar sudah ditiup pertanda pertandingan sudah dimulai. Dan diiringi tepukan para penonton aku dan temanku berhenti sejenak sambil berkata, "cuk, sudah dimulai!". Tepat di ujung kanan stadion (sebelah utara stadion dekat jalan raya) banyak orang berhenti. Rupanya mereka antri untuk masuk stadion dengan cara menaiki merambat melalui tiang kolom stadion. Tiang kolom persegi yang hampir tegak lurus sebesar pelukanku. Aku lihat lucu saja, bahkan terkadang ngeri juga.

Orang-orang naik satu per satu seperti kera menaiki pohon nyiur. Lucunya ketika yang sudah ada di atas kehabisan tenaga atau putus asa dan melorot ke bawah, maka akan mengakibatkan semua yang ada di bawahnya melorot juga karena beban orang yang melorot di atasnya. Ngerinya, pasti orang yang berada pada  titik paling bawah akan mendapatkan beban paling berat. Bahkan terkadang orang dari atas seolah jatuh bebas menimpahi orang-orang yang sedang berada di bawahnya.

Aku diajak oleh temanku untuk menaiki tiang kolom itu, tetapi aku tidak mau. Karena sayangnya melewatkan pertandingan penting ini, temanku akhirnya meninggalkan aku naik tiang kolom beton berwarna coklat muda masuk ke dalam stadion, sambil menenteng sandalnya, dia berhasil.

Aku lebih memilih tetap di bawah sampai ada ide orang-orang untuk menjebol pintu gerbang tepat berada di belakang dekat dengan dimana temanku naik tiang masuk stadion tadi. Ide itu datang tepat ketika aku sedang mengintip ke dalam stadion melalui celah daun pintu utara yang keduanya terkunci dengan rantai dan gembok selebar telapak tanganku. Sehingga aku saat ide itu dikumandangkan aku berada di tempat yang paling depan tepat di bagian luar pintu yang ingin dijebol. Suara riuh sorak-sorai penonton di dalam stadon membuat aku tidak ingin beranjak dari celah mengintip orang-orang dari belakang mereka. Yang aku lihat dari celah itu hanyalah, orang-orang berloncat-loncat sambil bersorak karena merekapun terhalang pemandangannya oleh penonton di depan mereka.

Aba-aba sudah mulai dikumandangkan dan akupun juga mengikutinya sebagai salah seorang yang berada di tempat yang paling depan. Sambil menyebut hitungan satu, dua dan tiga tenaga orang-orang menggoyang pintu gerbang termasuk aku setelah hitungan "tiga" disebut. Setiap hitungan ketiga disebut bersama-sama pintu semakin besar goyangannya karena tenaga orang-orang yang mendorong semakin besar pula. Demikian tenagaku yang berada di tempat paling depan. Pintu gerbang yang memiliki dua daun pintu dengan diikat keduanya oleh rantai besi yang digembok kuat sekali terlihat semakin melemah ikatan engsel-engselnya yang terikat ke sisi dalam kusen beton stadion.

 Sejenak kemudian salah satu daun pintu yang berada di depanku jatuh karena terlepas dua engsel atas dan bawah, tetapi daun pintu sebelah kiriku tidak roboh, sehingga kedudukan daun pintu di depanku ujung yang ada engselnya lepas dan jatuh merebah ke atas tanah, sedangkan ujung satunya lagi tetap terikat kuat  dengan rantai pada daun pintu satunya. Hal ini membuat daun pintu yang jatuh berkedudukan miring karena menggantung pada daun pintu yang masih tegar berdiri. Orang dari belakangku terus saja mendesak dan aku tidak memiliki kesempatas untuk naik ke atas daun pintu yang jatuh. Kaki-kakiku terjepit oleh dorongan dari belakangku dan daun pintu yang menggantung. Teriakanku yang meminta mereka untuk tidak terus mendorong aku, tidak berarti apa-apa.

Aku terus terdesak dan orang-orang dari belakangku terus saja meloncat dan naik ke daun pintu dan juga menaiki badanku yang merebah karena kuatnya dorongan dari arah belakangku. Aku teperangkap di atas daun pintu yang terjatuh. Aku tidak kuasa untuk bangun karena semua orang berlari menginjak-injak seluruh bagian tubuhku. Yang bisa aku lakukan hanyalah berusaha melindungi leherku dengan tangan kananku dan aku pikir aku berhasil.

Wajahku, perutku, kaki dan tanganku terus menjadi pijakan orang-orang yang berlari memasuki stadion tanpa bayar. Aku terus bertahan dari injakan dan injakan orang-orang yang berlari di atasku. Aku terkadang susah bernafas. Aku terkadang tidak dapat menahan keluarnya kotoran melalui duburku karena tekanan orang yang menginjak-injakku.

Yang aku ingat hanyalah ibuku. Ingatan itulah yang membuat aku terus bertahan agar aku jangan sampai meninggal. Peristiwa berbahaya bagiku terus terjadi sekitar beberapa menit. Dan sampai ada anak lelaki kecil tersangkut di atas perutku.

Aku terus mencoba bertahan meskipun perutku sudah aman tertutupi oleh anak kecil yang menyangkut di atasku. Wajah, leher, tangan kanan dan kaki-kakiku terus diinjak-injak oleh mereka yang berrhamburan masuk stadion. Lalu aku lihat dari arah dalam stadion dua orang dari pihak keamanan berseragam coklat tua datang beraksi sambil menyabetkan tongkat rotan. Gerakan orang berlari untuk memasuki stadion segera berkurang dan terhenti.

Bagi yang sudah terlanjur berlari di pintu masuk harus berhadapan dengan tongkat pecut rotan pihak keamanan. Walaupun orang sudah tidak lagi menginjak-injak badanku aku tidak bisa langsung membangunkan badanku. Anak yang tersangkut di atas perutku penyebabnya, dia tidak bangun-bangun walaupun peristiwa mengerikan sudah terhenti, sampai salah seorang anggota keamanan memungutnya, lalu ia dibawa dengan digendong untuk mendapatkan pertolongan.

Segera setelah anak itu tidak lagi di atas perutku aku baru sadar bahwa di dalam celana dalamku pasti sudah banyak kotoran yang keluar secara paksa tadi akibat aku diinjak-injak orang-orang yang masuk secara ilegal tadi, termasuk juga aku saat ini. Sambil aku pegangi celanaku aku menuruti saja perintah anggota keamanan ke mana aku harus pergi. Aku dimintanya untuk ke ruangan tempat pertolongan berada. Tempatnya ada di bawah teribun barat stadion. Sambil terhuyun-huyun badanku ketika aku berjalan, perasaanku kini terasa hidup kembali.

Ketika aku sampai di ruangan tempat pihak keamanan menyuruhku, aku langsung mencari toilet atau kamar mandi. Ketika aku temukan aku langsung masuk dan membuka pakaian bawahku. Aku campakkan langsung celana dalamku. Lalu aku bersihkan celana panjangku dari bercak-bercak air akibat tembusan kotoranku dari celana dalam. Setelah bersih aku buang celana dalamku yang terkontaminasi kotoranku ke dalam tong sampah yang ada di sebelah luar kamar mandi. Lalu aku ke tempat dimana pertolongan pertama diberikan.

Aku lihat ada beberapa orang yang sedang berbaring. Dalam benakku mengatakan, "pasti orang-orang itu telah mengalami nasib seperti aku, telah dinjak-injak orang lain, akan tetapi, nasibnya lebih parah daripada aku".

Aku lihat wajahku lagi di dalam kaca dekat washtafel. Aku coba membersihkan secara perlahan-lahan dengan air dari kran washtafel. Goresan-goresan bekas injakan orang-orang tampak memenuhi wajahku. Yodium atau obat merah yang aku dapati dari penjaga pertolongan pertama aku oleskan ke bagian wajahku yang terluka, termasuk sedikit di bagian leher dan dadaku.

Setelah aku sudah merasa lebih baik, aku keluar dari tempat pertolongan menuju tribun barat stadion untuk melanjutkan menyaksikan pertandingan antara Niac Mitra melawan Indonesia Muda. Gemuruh penonton mengiringi kedatanganku ke atas tribun walaupun perasaanku tidak bersemangat sebesar ketika aku belum diinjak-injak orang.

Seorang pemuda menyapaku sambil menantangku. Dia pikir warna merah karena olesan obat merah adalah hiasan untuk pihak tim tertentu, yang pasti untuk Niac Mitra warna favoritnya adalah warna hijau. Untung kondisi supporter sepakbola tidak seganas saat ini, jika iya, mungkin aku sudah dikeroyok sampai tak berkutik barangkali.

Ketika aku pulang aku langsung menuju tempat parkir sepeda motorku yang aku titipkan di rumah teman kakak dari temanku, itu karena rumahnya terletak di kampung dekat dengan stadion Tambak Sari. Di sana temanku sudah menungguku karena sudah sampai terlebih dahulu. Ia kaget melihat wajahku dengan banyak olesan warna merah. Ia bertanya mengapa pakaianku jadi kusam. Setelah aku ceritakan apa yang telah terjadi. Maka ia lalu tertawa terbahak-bahak sambil menasehati aku bahwa aku hampir saja mati. Sambil bergurau di atas sepedamotorku, aku dan temanku pulang.

MINUM TOWAK 

Awal tahun kuliah aku merasa bangga sekali terhadap keadaan di sekelilingku. Aku tersanjung karena aku adalah salah satu dari hitungan jari satu tangan dari semua mahasiswa yang ada di kampungku. Walaupun begitu, aku tidak merasa tinggi hati terhadap siapa saja. Aku tetap bergaul dengan teman-teman di kampungku walaupun dari mereka ada beberapa bahkan tidak tamat Sekolah Dasar.

Aku senang bergurau dengan mereka manakala ada waktu senggangku. Terkadang aku juga larut mengikuti irama mereka. Aku ingin banyak variasi dalam hidupku, adalah keinginan umum para remaja. Yang terpenting bagiku adalah, aku tidak ikut berjudi apabila mereka melakukannya. Aku tidak akan ikut mengunjungi tempat PSK untuk melakukan transaksi dengan para PSK. Dan aku tidak akan ikut main perempuan apabila mereka melakukannya. Aku tidak ikut mencuri atau merampok seandainya mereka melakukannya. Kalaupun aku ingin minum minuman keras, maka paling tinggi aku minum bir satu botol setengah literan. Itupun aku lakukan dengan teman dari luar Jawa yang kos di kampungku. Itupun aku lakukan ketika aku hampir lulus dari kuliah program D3 ku.

Aku selama itu merupakan seseorang yang belum terinveksi oleh dunia maksiat di depan mata mereka. Aku sendiri tidak perduli dengan pandangan mereka bahwa aku tetap menjadi seorang remaja yang manis di kampungku. Teman-temanku tidak berani mengajakku apabila mereka akan melakukan hal-hal yang dilarang oleh hukum. Mungkin aku memang anak yang baik di mata teman di kampungku.

Aku terkadang melihat temanku minum yang mereka sebut anggur. Sebetulnya minuman itu biasa dipakai sebagai "jamu" bagi mereka yang sedang kecapekan atau kelelahan. Biasanya dipakai sebagai campuran jamu di warung-warung penjual jamu tradisional. Oleh teman-temanku dipakai sebagai minuman untuk mabuk-mabukan. Aku melihatnya ngeri sekali. Minum segelas anggur kecil saja aku beraninya hanya mencicipi, apalagi diminta untuk meminum satu gelas, sungguh bisa muntah aku.

Suatu hari di suatu malam aku diajak temanku yang biasa minum towak ke warung langganannya sejauh sekitar 5 Kilometer dari rumahku melalui jalan raya. Towak adalah terbuat dari air buah aren yang disimpan lama diawetkan untuk menjadi minuman keras. Pengawetan dilakukan dengan cara disimpan di dalam tempat tertutup selama beberapa hari sampai menjadi berkadar asam tinggi. Biasanya aku minum jenis minuman ini yang dikenal dengan nama es leghen (leghen dari bahasa Jawa yang berarti manisan). Minuman segar dari air buah aren sebelum diturunkan menjadi minuman towak.

Aku hanya ikut saja teman-teman sebayaku dari tetangga rumah. Aku berenam dengan mengendarai tiga sepeda ayun saling berboncengan. Sesampainya di suatu warung di daerah sebrang jalan gedung SMA Negri 7 Ngaglik, ada tiga warung yang menjual minuman towak. Temanku memilih warung yang paling barat karena menurut mereka merupakan warung yang menjual towak paling enak rasanya. Aku hanya melihat lihat saja. Semua temanku mulai memesan satu botol berukuran 2 literan. Satu persatu diminta untuk meminum seteguk gelas dari penyedia minuman.

Temanku sejak awal mengatakan bahwa towak memiliki rasa sama dengan minuman leghen. Ini yang membuat aku ingin mencobanya. Lalu aku mencobanya. Benar, towak memiliki rasa seperti leghen, tetapi baunya sedikit banger (banger adalah sebutan bau bagi sesuatu/air yang mengeluarkan bau busuk). Itu mungkin karena towak disimpan lama sehingga membentuk jamur dan mengakibatkan bau agak banger. Entahlah, tetapi karena rasanya yang aku kenal, aku jadi ingin mencobanya lagi, lagi dan lagi.

Aku lihat teman dari bekas teman kelas SMP ku minum banyak sekali. Dia mengatakan sebelum dia berangkat dari rumahnya tadi, dia minum minyak kelapa terlebih dahulu. Aku tidak mengerti apa maksudnya, mengapa ia minum minyak goreng kelapa sebelum berangkat untuk minum towak. Aku tanyakan kepadanya. Dia menjawab bahwa, agar towak yang akan dia minum nantinya akan cepat keluar menjadi kemih. "Heem", gumamku. Jadi dia memang sudah mempersiapkan diri untuk minum banyak towak malam ini.

Memang di kampungku, bagi peminum yang bisa minum minuman keras lebih banyak artinya seseorang akan lebih tahan terhadap pengaruh minuman keras, karena tahan berarti tidak cepat menjadi mabuk, dengan demikian dia akan lebih unggul dari yang lainnya, sehingga dia dibilang juara anti mabuk.

Aku lihat temanku yang telah minum minyak kelapa sejak dari rumahnya sering keluar warung untuk buang air kecil. Aku mendengar suara pancuran air yang dia keluarkan karena dia buang air kecil di selokan yang mengalir di bawah warung minum dari arah samping dekat aku duduk di kursi kayu panjang warung.

Aku akhirnya disuguhi lagi, lagi dan lagi. Sampai akhirnya dua botol tambahan semuanya dihabiskan isinya. Lalu aku dan temanku merasa cukup, setelah dibayar biaya minum towak lalu bersiap-siap untuk pulang.

Ketika aku berdiri, aku merasa ada sesuatu pada diriku, terutama semacam ada beban lain tersembunyi di kepalaku. Aku masih sadar seperti sedia kala, tetapi aku sedikit merasa bergoyang, sedikit sekali. Aku lihat akulah yang paling sadar menurutku waktu itu. Mungkin karena aku minum tidak sebanyak yang telah mereka minum. Tetapi mataku seperti susah untuk aku kedipkan. Ketika aku berkedip maka seluruh kulit wajahku harus aku gerakkan, rasanya berat sampai di kepala.

Seperti ketika berangkat tadi, aku yang mengendalikan setir sepedaku ketika berjalan pulang. Hari sudah malam bahkan sudah masuk dini hari. Sepanjang jalan yang aku lalui dengan teman-temanku sepi sekali kecuali truk-truk gandengan yang biasa jalan malam sampai pagi.

Dalam perjalanan pulangku terkadang aku merasa terhuyun-huyun ketika aku mengayuh sepedaku. Aku jadi teringat teman sekolahku bercerita tentang ketika membuat seekor anjing menjadi mabuk dengan memberi makan dan minuman yang memabukkan. Ketika si anjing mabuk dan berjalan dalam keadaan mabuk, si anjing berjalan terhuyun-huyun. Dia senang sekali melihatnya. Barangkali keadaanku adalah sama dengan anjing cerita temanku itu apabila aku berjalan dalam keadaan mabuk.

Aku sekarang merasa setengah mabuk. Sesekali sepedaku menyelonong ke arah tengah jalan raya tanpa aku sadari karena aku harus mencari keseimbangan diri ketika menyetir. Beruntungnya, truk-truk besar melewatiku setelah aku kendalikan sepedaku ke jalur kiri yang seharusnya. Teman-temanku juga sama saja. Aku dan mereka terus bersepeda menuju pulang sambil terus bercanda.

Tidak terasa aku sudah sampai di depan kampung rumahku. Kini aku terbebas dari resiko celaka di jalan raya petang hari. Sesampai di rumah aku parkir sepeda ayahku di tempatnya, lalu aku langsung tidur di tempat tidurku. Tidur setengah mabuk sungguh pulas sekali. Tak ada mimpi yang datang, aku terasa seperti tidak ingat apa-apa lagi. Ingatan sepertinya sudah kalah dengan rasa mabuk minuman leghen banger yang disebut towak.

Ketika aku bangun dari tidur mabuk matahari sudah agak meninggi. Kepala yang tadinya terasa berat sudah tidak aku rasakan lagi. Setelah aku kedipkan mataku memastikan bahwa aku sudah pulih kembali lalu aku angkat kepala dan badanku untuk bangun dari tempat tidurku.

Aku kaget sekali ketika aku mau beranjak dari tempat tidurku ada gundukan tanah di sebelah tempat tidurku. Gundukan yang sedang dihampiri oleh para lalat. Ibuku yang sedang duduk di ruang tamu tidak jauh dari tempat tidurku aku lihat jelas ketika memberitauku bahwa dibawah gundukan tanah itu ada muntahan dari mulutku semalam. Muntahan ketika aku sedang tidur. Aku bertanya seolah tidak percaya, dan ibuku meyakinkanku lagi sambil menarik hidungnya karena mengernyitkan kedua alisnya ketika menyebut bahwa muntahanku baunya busuk sekali.

Aku heran sekali, mengapa semalam aku tidak terasa ketika aku mengeluarkan muntah. Mengapa aku tidak bangun ketika aku mengeluarkan muntah. Aku selamanya belum pernah mengalami mabuk. Apakah itu mabuk perjalanan ataupun mabuk karena minuman keras. Aku sungguh tidak percaya ketika sedang mengeluarkan muntahab aku tidak merasakannya sama sekali, tidak sedikitpun. Lalu ibuku menanyaiku dengan siapa aku semalam minum. Aku jawab dengan teman-temanku dan siapa saja aku semalam minum. Tetapi aku memintanya agar tidak menanyai atau menegor teman-temanku karena minum semalam adalah atas kemauanku, dan lagi, aku sudah cukup dewasa dalam mengendalikan diri.

Aku mengakui bahwa jika kesalahan ini sepenuhnya merupakan kesalahanku. Akulah orang yang hanya perlu untuk dinasehati dalam hal ini. Sejak saat itu, aku tidak ingin lagi minum minuman towak. Rasa bau banger masih melekat, terasa ketika aku bangun tidur, walaupun aku sudah tidak mabuk lagi.

 SUKA MAIN BILYARD

Sejak aku kelas 1 SMA, aku sudah memiliki sepeda motor sendiri. Orang tuaku membelikannya agar aku pakai terutama untuk keperluan sekolah. Aku memiliki teman kelas yang sudah lebih paham dariku dalam menjalankan sepeda motor. Karena aku kurang memahami menjalankan sendiri sepeda motor, maka aku ajak dia untuk menyetirkan sepeda motorku ketika berangkat dan pulang sekolah. Kecuali itu aku sambil belajar menimba ilmu menyetir sepeda motor darinya. Teman sekolah yang selalu naik sepeda motorku itu memiliki banyak teman di kampung sekitarnya. Bahkan dia kenal dengan anak-anak bandel kampung sebelahnya.

Suatu kali aku diajaknya main bilyard milik orang Banjar di kampung Benteng, kampung sebelah rumahku. Anak lelakinya dibawah usiaku suka sekali main bilyard. Aku bisa dikatakan tidak pernah main bilyard sebelumnya, lalu aku mulai belajar main bilyard kembali dari meja milik orang Banjar itu. Walaupun sebelumnya aku pernah main, tetapi hanya asal-asalan saja.

Temanku sepertinya sudah lama sekali mainnya. Dia jauh lebih piawai dari pada aku. Semakin hari aku semakin menyukainya. Apabila terhadapku ada kekurang tepatan dalam memainkan bilyard, temanku akan selalu memberitauku bagaimana seharusnya aku memainkannya. Aku semakin lama semakin piawai juga. Namun terkadang meja bilyardnya dipakai untuk taruhan antar para pemain di situ.

Meja bilyardnya dipakai sebagai tempat berjufi oleh pemain lainnya. Sebenarnya biaya sekali main murah sekali. Seharga dua potong tempe goreng saja. Modus judinya sederhana. Biasanya peserta sekali main sampai lebih dari 4 orang. Setiap orang diminta untuk membayar uang sebesar biaya sewa bilyard sekali main. Siapa yang memenangkan permainan maka dialah yang berhak mengambil semua uangnya dipotong biaya sewa meja bilyard sekali main. Biaya itu sudah termasuk biaya sewa meja bilyard.

Untuk bermain memakai bantuan kartu remi. Kartu dikocok, lalu didistribusikan, sehingga masing-masing para pemain atau peserta memiliki 4 kartu. Angka yang berada pada kartu di setiap pemain merupakan nomer bola bilyard yang harus dimasukkan sampai habis. Setiap pemain mendapat giliran masing-masing untuk memukul bola. Biasanya yang mengawali untuk memukul adalah peserta yang mengocok dan mendistribusikan kartu. Untuk pukulan pertama dilakukan sekeras-kerasnya. Seandainya ada yang masuk, maka nomor kartu seperti bola yang masuk diturunkan, agar sisa yang dipegang mudah dilihat sebagai antisipasi. Untuk selankutnya giliran orang berikutnya. Setelah orang pertama selesai membuka dengan pikulan pertama untuk memecahkan bola yang terkumpul agar terpencar, sehingga nantinya akan lebih mudah untuk dibidik, maka aturannya seperti berikut.

Bola yang hanya bisa dibidik adalah bola yang ada pada nomor kartu di tangan. Apabila bola yang dibidik tidak masuk, lalu giliran pemain berikutnya untuk melakukan bidikan. Apabila secara tidak sengaja menyentuh bola yang bukan haknya tidak mengapa asalkan bola itu tidak masuk ke lubang. Apabila bola yang bukan haknya dimasukkan baik sengaja atau tidak, maka perserta dianggap gugur dan tidak diperkenankan untuk melanjutkan permainannya lagi sampai permainan tsb. selesai.

Pemenangnya adalah siapa yang bola sesuai dengan nomer kartu di tangannya sudah habis atau masuk semuanya terlebih dahulu, baik bola-bola itu dimasukkan oleh dirinya sendiri ataupun oleh peserta lainnya.

Aku selalu merasa bosan menunggu permainan mereka untuk menunggu giliranku main. Terkadang aku pulang saja atau kalau aku mau aku harus datang lebih awal. Walaupun demikian apabila para peserta ingin main pakai kartu, maka aku harus mengalah. Karena pemilik meja lebih menyukai permainan pakai kartu daripada latihan biasa dikarenakan pada permainan kartu selesai per game nya lebih pendek daripada latihan biasa, sehingga pemilik akan mendapatkan uang sewa lebih cepat. Aku akhirnya tidak tahan juga karena aku ingin bermain maka aku akhirnya ikut bergabung juga negikuti pernainan bilyard dengan kartu.

Semakin hari aku semakin terbiasa dengan permainan bilyad. Walaupun itu merupakan judi juga, aku anggap judi kelas ringan dan judi yang memerlukan keterampilan. Setelah lama aku larut dalam permainan bilyard aku menjadi ketagihan. Maka yang ada sekarang padaku untuk permainan ini tujuannya untuk memenangkan setiap permainan. Selain menjadikan aku tidak harus membayar sewa meja, aku juga akan mendapatkan tambahan uang.

Lalu aku coba mengajak temanku yang lain dari kampungku. Dia ternyata menyukai permainan bilyard dengan sistem judi. Aku jadi semakin sering mengajaknya pula. Ada informasi dari teman mainku di bilyard oarang Banjar bahwa di daerah Dupak Jaya, tempat mangkalnya para PSK yang dikenal dengan nama Kremil, menyewakan meja bilyard dengan permainan ini. Sebenarnya aku lihat hampir di setiap tempat permainan bilyard yang aku kunjungi banyak pengunjungnya yang melakukan permainan judi ini.

Setelah aku pahami alamat letaknya, dengan berepeda motor aku dan teman dari kampungku berangkat sekitar pukul 7 sore ke Kremil. Setelah sepeda motorku aku parkir, teman yang mengabari aku tentang tempat di Kremil sedang bermain dengan peserta lainnya yang semuanya belum aku kenal. Aku dan temanku dipersilahkan oleh temanku yang sudah datang terlebih dulu. Lalu aku menawarkan diri untuk ikut bermain dengan mereka.

Aku diijinkan langsung main, dan temanku yang juga baru datang bersamaku bisa main setelah ada dua peserta lainnya mengundurkan diri. Lalu aku bermain.

Aku terus main dan aku masih termasuk yang menang karena uangku bertambah banyak. Sejenak kemudian ada seorang yang berjalan agak sempoyongan datang. Lalu dia berbicara dengan salah seorang yang sedang bermain bilyard denganku. Ia terus berbicara dan temannya menjawab seenaknya saja sambil bermalas-malasan. Aku biarkan saja karena ia nampaknya sedang setengah mabuk datang sambil mengajak berbicara temannya yang sedang bermain dengan aku.

Setelah beberapa game selesai dan waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam lebih, orang mabuk itu tetap saja berbicara, bahkan mendesak temannya untuk pulang. Aku coba memberitau bahwa temannya masih ingin main dan dia masih dalam posisi kalah. Sontak saja orang yang setengah mabuk itu mendengar komentarku marah besar, bahkan kemudian menantang aku untuk berkelahi.

Dia menunjukkan pisau yang sedang ia selipkan di balik bajunya. Aku tidak merasa khwatir bahkan aku mendekatinya. Prinsipku apabila dia menggerakkan tangannya memulai untuk memukul ataupun mebgambil pisau yang ia bawa, aku akan langsung memukulkan bagian pegangan stik bilyard yang sedang aku pegang.

Aku tidak perduli. Aku hampiri dia semakin dekat saja. Antara wajahku dan wajahnya sangat dekat, walaupun wajahku dan wajahnya sangat dekat sekali aku tetap mengawasi tangannya yang tidak dia gerakkan. Sampai ada orang yang melerainya.

Setelah aku dan dia berpisah lalu dia keluar sambil berkata kalau dia akan pulang dan memanggil saudaranya yang bekerja di TNI AD. aku dimintanya untuk menunggu. Lalu dia pergi.

Ketika dia pergi aku berkata kepada temanku yang berangkat bersama ke tempat ini tadi. Ideku aku utarakan bahwa sebaiknya kita meninggalkan tempat ini. Setelah temanku setuju, lalu aku mengucapkan permisi pada para pemain yang sedah menyelesaikan game setelah aku ribut sama orang setengah mabuk yang mengatakan akan memanggil saudara dari Angkatan Darat tadi. Dan merekapun memaklumi situasi saat itu merekapun tidak keberatan. Lalu aku ambil sepeda motorku yang aku parkir di depan arena rumah bilyard, lalu aku membonceng temanku keluar dari Komplek Kremil.

Aku dan temanku di jalan terkadang bersenda guarau ketika sedang mengingat peristiwa ribut-ribut dengan orang setengah mabuk tadi. Aku pikir, untung antara aku dan dia tidak sampai terjadi perkelahian. Tidak lama kemudian aku sudah sampai di depan kampungku dan aku langsung nongkrong di Gang 2 kampungku, tempat biasa aku dan teman-temanku yag lain cangkrukan. Lalu aku dan merek ngobrol ke sana ke mari untuk membunuh waktu malam mingguku.

Di sekolah aku menceritakan kejadian yang telah terjadi padaku di malam minggu kemarin. Aku lalu dinasehati oleh teman sekolahku bahwa di tempat pelacuran seperti itu harus hati-hati, terutama kalau sedang ribu-ribut dengan orang dari kampung itu. Sebaiknya dihindari karena orang-orang di kampung itu biasanya untuk mengalahkan lawannya dia berteriak "maling" pada lawan yang sedang diributi, lalu tetangga dan orang-orang di sekitar situ akan menangkapnya dan dia akan dihakimi oleh massa. Bahkan ada cerita yang bisa sampai mati segala karena dihakimi massa di situ.

Sejenak aku berpikir, lalu aku bergumam di depan temanku bahwa, semalam aku cepat-cepat keluar ketika lawan ributku pulang untuk memanggil saudaranya adalah langkah yangbenar. Dan aku berterimakasih pada Tuhan dimana aku telah diberi petunjuk untuk pulang. Lalu aku terdiam.

Seminggu setelahnya aku bertemu dengan temanku main bilyard di Kremil yang lain dimana waktu kejadian malam ribut itu dia datang terlebih dulu, dan dia masih tetap tinggal di ruang bilyard ketika aku dan temanku pulang meninggalkannya. Dia terkadang lewat depan rumahku ketika pulang kerja. Ketika berpapasan aku langsung dia panggil dan diajak ngobrol. Aku dibilangnya beruntung malam itu aku cepat-cepat pergi dari tempat bilyard. Seorang yang ribut dengan aku itu tidak lama kemudian setelah aku pulang datang lagi bersama teman-temannya dan mencari aku. Apabila aku masih tetap di situ entah apa yang akan terjadi kepadaku.

Dia dan aku hanya bisa bersyukur bahwa kejadian malam itu tidak sampai berlanjut. Dan aku berjanji untuk tidak akan datang lagi ke tempat itu.

NAIK SEPEDA MOTOR LAGI

Ini merupakan tahun ke 15 aku sekeluarga hidup di Abu Dhabi, dan cuti liburan tahun ini aku sekeluarga pulang ke Indonesia. Setiap pulang cuti, aku dan keluargaku selalu bolak-balik Surabaya-Nganjuk. Di Surabaya aku dan orang tuaku tinggal dan di Nganjuk istri dan orang tuanya tinggal. Jarak dan waktu bukanlah suatu masalah, tetapi untuk mencapai ke dan dari keduanya merupakan permasalahan yang tersendiri, karena aku tidak memiliki mobil sendiri. Pikiranku mengatakan untuk apa aku memiliki mobil, sedangkan aku sekeluarga tinggal dan bekerja di Abu Dhabi, memakai mobil sewa apabila diperlukan akan lebih efisien dari banyak hal.

Suatu hari ketika aku sedang berada di Nganjuk, secara mendadak aku harus ke Surabaya. Untuk mencari kendaraan sewa tidak ada kesempatan lagi, sehingga aku rencanakan naik kereta api dari Kertosono ke Surabaya. Apalagi aku akan ke Surabaya sendirian, sehingga besok dari rumah aku naik sepeda motor sampai ke Kertosono. Sepeda motor di parkir di sana, lalu naik kereta api ke Surabaya, dan  kembali lagi ke Nganjuk pada hari yang sama.

Aku berangkat sekitar pukul 6.30 pagi dari rumah. Jaket dan helem sudah aku persiapkan sejak malam sebelumnya. Setelah semua persiapan aku anggap cukup, aku berpamitan pada istriku sebelum menaiki motor ke arah timur menuju ke Kertosono.

Dalam perjalanan menuju Kertosono aku merasakan bahwa naik sepeda motor ini cukup enak juga. Desiran sejuknya udara pagi menembus ke kulit dadaku. Sepeda motor berumur enam tahunan masih cukup mulus untuk aku naiki. Di sepanjang jalan aku banyak menemui petani menggayuhkan sepeda mereka. Para pelajar sedang menuju ke sekolah dengan sepeda motor mereka. Hal mengingatkan aku ketika aku masih kuliah dulu.

Di jalanan aku terus melamun sambil menikmati asyiknya naik sepeda motor, tidak terasa jalan tikungan terakhir sudah di depan mata ketika aku keluar niatan bahwa jika nanti tidak ada kereta atau harus menunggu kereta terlalu lama aku bisa juga mengendarai sepeda motor ke Surabaya dan kembali ke Nganjuk lagi.

Ketika aku akan melintasi Kertosono, apa yang aku khawatirkan takut menunggu kereta tidak terjadi, aku justru tetap berjalan lurus tidak berhenti di Stasiun kereta Kertosono.  Aku tidak ingin naik kereta melainkan aku meneruskan sepeda motorku terus berjalan langsung menuju ke Surabaya. Istriku tidak aku beritau. Aku yakin bahwa jalan ke Surabaya dengan sepeda motor akan sangat mengasyikkan dan tidak akan memiliki permasalahan kemacetan dibanding dengan membawa mobil sendiri. Aku sungguh enjoy dan akan tetap enjaoy dengan mengendarai sepeda motor jarak jauh ini.

Suatu pengalaman yang pernah aku lakukan sekitar 18 tahun yang lalu, ketika aku masih baru kawin mengantarkan sepeda motorku untuk istriku di Nganjuk. Akan tetapi kali ini aku tidak mampir di satu warungpun untuk makan, waktu itu aku mampir sampai 2 warung makan, pertama di Jombang, dan kedua di Kertosono.

Kertosono, kota kecamatan paling timur dari Kabupaten Nganjuk, wilayah yang diakhiri dengan sungai Brantas. Di sebelah timur Kertosono adalah sungai Brantas yang membatasinya dengan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Jombang.

Jembatan baru Sungai Brantas hanya panjangnya saja menakjubkan, besarnya terkadang tidak mencukupi untuk menghadapi jumlah kendaraan yang melintas. Jalan-jalan banyak dilalui oleh sepeda motor. Bis antar kota tidak lagi sebanyak ketika aku masih baru kenal istriku dulu. Akan tetapi truk-truk besar dan kecil semakin merajalela saja.

Pematang sawah di tepi jalan-jalan sebelum masuk kota Jombang sudah banyak dipenuhi bangunan baru. Rumah makan dari pecel lele sampai tempe penyet, dari bebek goreng sampai ikan bakar, bengkel mobil dan gudang, perumahan dan ruko, daerah yang berkembang pesat sekali. Demikian juga ketika menuju luar kota sampai di Mojokerto. Walaupun ukuran jalan relatif tidak berubah, namun menjamurnya bangunan baru sepanjang jalan sungguh menakjubkan. Satu hal yang menjadi catatanku, jumlah sepeda motor di jalan raya, bagaikan taawon keluar dari sarangnya, hampir tak ada celah karena banyaknya sepeda motor, mulai dari yang muda sampai yang tua, lelaki dan perempuan.

Jarak ke Surabaya semakin dekat saja. Aku kini sudah menuju ke Kerian, daerah Industri di luar Surabaya. Seperti dugaanku, jalan keluar dari Kerian sudah mulai tersendat, terutama ketika akan memasuki perbatasan kota Surabaya. Aku mengikuti saja orang-orang lain yang membawa sepeda motor, mengambil jalan agak mendekat ke jejeran mobil dan bis untuk bisa saling mendahului. Namun aku sadar bahwa apa yang sedang aku lakukan ini berbahaya bagi diriku sendiri, lalu aku sebisa mungkin berjalan mencari keamanan, biar terlambat asal selamat, begitu pikiranku.

Untuk pertamakalinya setelah hampir limabelas tahun tidak melintasi tengah kota Surabaya dengan sepeda motor. Aku merasa lebih aman bermotor di tengah kota ini daripada perjalananku dari Nganjuk tadi, padahal jalannya lebih sesak di sini. Ini mungkin karena semua orang berusaha untuk tertib berlalulintas, ini karena banyaknya juga Polisi yang memasang mata kepada setiap setelah pengendara di jalan.

Kota kelahiranku ini memang sudah berkembang pesat sekali. Gedung-gedung tinggi banyak bermunculan, walaupun tidak sepesat Abu Dhabi, tetapi Surabaya sudah merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia setelah Jakarta. Kontaku ini nampak bersih dan terawat. Sejak sebelum aku meninggalkan kota ini, penghargaan Adipura, kota terbersih di Indonesia sudah sering diraihnya. Barangkali sejak saat itu masyarakat Surabaya memulai cara hidup bersih lingkungan.

Sekitar dua jam kemudian setelah aku meninggalkan rumah Nganjuk aku sampai di rumah Surabaya. Rumak peniggalan dari kedua orang tuaku yang sekarang ditempati oleh dua saudara dan ibu tiriku. Ada anak dari keponakanku juga yang tinggal di rumah ini, dia sementara waktu tinggal karena sedang kuliah di sini.

Sesampai di rumah Surabaya wajahku terasa tebal sekali seperti terbedaki debu jalanan. Aku langsung membersihkan wajahku dengan air ledeng rumahku sampai dua kali. Pembersihan yang pertama aku bilas dengan air, karena kurang mempan lalu yang kedua aku pakai sabun juga. Dan aku hanya sebentar di Surabaya karena aku bisa menyelesaikan urusanku dengan cepat. Setelah sholat Duhur kemudian makan siang, lalu aku kembali lagi meneruskan perjalanan ke Nganjuk.

Aku keluar rumah Surabaya sekitar pukul 1 siang, setelah aku yakin bahwa semua urusan yang telah direncanakan selesai. Aku jalankan sepeda motorku dengan kecepatan santai saja sambil menikmati perjalanan jalan dalam kota Surabaya. Aku masih ingin melepaskan rindu menyusuri Kota kelahiranku. Terkadang di perjalanan aku teringat ketika aku masih kuliah dulu, menyusuri jalan-jalan kota Surabaya bagaikan pekerjaan setiap hariku.

Waktu seperti berlalu begitu cepat dan tidak terasa aku sudah melewati daerah Wonokromo, daerah selatan kota yang paling sibuk menurutku, karena di sanalah tempat betemunya angkutan dari berbagai penjuru Surabaya, baik dengan mikrolet, kereta api dan bis kota.

Aku mulai mempercepat kendaraanku setelah melewati bundara Waru., Sidoarjo. Kebiasaan cara berlalulintas di UAE terkadang tidak bisa aku rubah, untuk itu aku harus betul-betul fokus dan berhati-hati. Yang mengkhawatirkan aku adalah, aku menjalankan kendaraanku di kanan jalan padahal di Indonesia harus di kiri jalan, ini yang aku takuti, kalau sampai lupa aku bisa celaka duabelas jadinya. Setelah melewati Mojolerto aku naikkan lagi laju kendaraanku, walaupun kecepatannya tidak akan aku lebihkan dari 60 kilometer per jam.

Angin menerpa dadaku dengan kuatnya karena sepeda motorku melawan arah gerakannya. Debu debu jalanan beterbangan terutama apabila bis antarkota atau truk besar sedang berjalan cepat. Aku terkadang harus ekstra hati-hati dengan kendaraan seperti itu. Aku lihat tiba-tiba ada mobil kijang kotak coklat bergerak dari bahu jalan sebelah kiri. Nampaknya Kijang itu ingin masuk ke jalan raya. Di depanku tidak ada kendaraan besar atau sepeda motor. Seperti di UAE, sebelum memasuki jalan raya dari bahu jalan, sopir akan melihat kendaraan dari arah belakang atau depan, dan apabila ada kendaraan dengan jarak yang mebahayakan, sopir akan memberi kesempatan agar kendaraan dari arah belakang atau depan agar berlalu.

Aku terus jalan saja tanpa mengurangi kecepatan sepeda motorku, aku yakin sopir kijang telah melihatku sedang melintasi jalannya dan memberiku kesempatan untuk terus berjalan. Aku terus berjalan saja, kijang itu juga terus berjalan, malah lebih gila lagi menutku, dia seolah memotong jalanku karena harus naik dari bahu jalan tanah menuju ke jalan aspal. Aku seolah tidak memiliki kesempatan lagi untuk menghindar karena dekatnya jarak antara sepeda motorku dan kijang coklat itu. Aku juga tidak memiliki banyak kesempatan untuk menghindar dari gerakan kijang yang aku harap akan memperlambat atau menghentikan diri itu. Yang bisa aku lakukan hanyalah untuk terus dengan laju sepeda motorku.

Dari depan aku lihat truk besar berkepala agak putih dan memiliki bak hijau. Kalau aku menginjak rem sepeda motorku aku akan terus meluncur dan konsekwensinya sepeda motorku akan menabrak kijang. Aku tancap saja sepeda motorku lebih kencang lagi. Ketika ujung moncong kanan kijang sudah sejajar dengan ujung depan sepeda motorku. Aku percepat tarikan sepeda motorku lagi karena kijang tidak juga berhenti, sambil menggoyangkan bagian atas sepeda motorku ke arah kanan ketika badanku melintasi moncomg ujung mobil kijang, akhirnya aku berhasil melintasinya dengan selamat.

"Wow", aku bilang dalam hati,
"hanya dalam ukuran seper sekian detik saja aku akan mengalami kecelakaan", unkapanku dalam hati lagi.

Aku hanya bisa bersyukur tanpa harus memarahi siapa-siapa. Aku baru menyadari kembali bahwa, memang di Negaraku cara untuk menjalankan kendaraan tidak memiliki aturan yang jelas di jalan raya. Jadi aku harus seperti yang lain, harus waspada, siapa yang cepat dia yang dapat.

Hanya aku setelahnya membayangkan, jika sampai aku menabrak sedikt saja moncong kanan mobil kijang tadi. Aku akan kehilangan keseimbangan. Dari arah depanku mobil truk atau jalan yang sibuk. Entahlah. Aku betul betul bersyukur sekali tidak terjadi yang tidak-tidak. Trauma itu terus aku bawa sampai aku sampai di Abu Dhabi.

END

HAMPIR SAJA (1)

UMUM

Apabila dilihat dari judul tulisan ini, bisa bermaksud banyak tujuan. Misalnya; hampir saja aku dapat untung besar, atau  hampir saja aku lulus tes masuk kerja di Perusahaan Asing, atau aku hampir saja diterkam buaya di sungai, atau aku hampir saja yang lainnya. Namun sebenarnya yang akan ditulis dalam tulisan ini hanya permasalahan "hampir saja" aku mati.

Ada orang selama dalam mengarungi hidup mereka mengalami hal-hal yang membahayakan diri mereka sendiri, bahkan terkadang bisa dikatakan melawan maut. Pengalaman itu terkadang bukan hanya sekali, dua kali, bahkan lebih dari itu. Pengalaman itu ada dikarenakan akibat dari unsur kesengajaan, juga ada dari unsur keharusan, dan ada pula dikarenakan dari unsur kecelakaan. Tentu ada yang mellihat atau menyaksikan sendiri bagaimana seseorang yang hampir saja kehilangan hidupnya oleh sebab apa saja.

Pengalaman seseorang yang hampir saja yang akan mengakibatkan kematian karena unsur kesengajaan merupakan suatu petualangan hidup dari kebanyakan orang pemberani. Seorang pemberani biasanya akan melakukan tindakan melawan maut dikarenakan terpaksa dengan catatan; bisa karena tidak ada pilihan lain atau karena ingin menunjukkan keberaniannya disebabkan oleh keuntungan yang sedang dikejar.

Sedangkan pengalaman yang membahayakan karena kecelakaan merupakan kejadian dari orang yang kurang memperhitungkan keadaan sebelum bertindak, atau, diakibatkan karena dari kecerobohan pihak lain. Pengalaman bahaya karena kecelakaan ini, dapat disebabkan kekurang pahaman terhadap akibat dari tindakan yang akan dilakukan, atau akibat dari kecerobohan orang lain. Yang mana apabila hal yang dilakukan akan berakibat bahaya terhadap diri atau orang lain.

Aku memiliki beberapa pengalaman kejadian yang sungguh-sungguh bisa berakibat merengut nyawaku, dan pengalaman itu merupakan pengalaman yang bisa dipakai untuk keperluan sebagai renunganku sepanjang hidupku. Setelah aku mengarungi kehidupan sudah lebih dari setengah abad lamanya ini, kini baru aku sadari bahwa pengalaman-pengalaman berbahaya di masa lalu sepertinya tidak masuk akal, sehingga aku masih bisa bernafas sampai saat ini. Tetapi kenyataannya aku masih tetap hidup. Aku masih sehat. dan aku masih mampu beraktivitas sebagaimana mestinya sebagai seseorang yang berusia lebih dari setengah abad lamanya. Untuk itu, pengalaman seperti itu karena tidak ingin terulang kembali, aku anggap suatu pengalaman penting yang tidak perlu terjadi lagi, dan inilah yang menjadi alasan mengapa aku harus menuliskan pengalaman-pengalaman itu.

Pengalamanku itu aku tulis menjadi dua bagian. Itu karena menurutku cukup banyak dan panjang. Selain itu, agar aku, atau yang lain tidak merasa bosan untuk membacanya. Bagian pertama merupakan pengalaman sejak aku kecil sampai aku lulus SD, dan bagian kedua merupakan kumpulan peristiwa mengerikan sejak aku setelah lulus SD sampai sekarang.

RUMAH SAKIT

Seperti anak kebanyakan, sejak kecil aku selalu dirawat dan hidup bersama kedua orang tuaku. Ketika aku masih berusia di bawah 2 tahun, nenekku dari ibu juga hidup bersama aku dan kedua orang tuaku. Nenek bertugas menjaga aku di rumah ketika ibu dan ayah sedang disibukkan oleh pekerjaan dalam mencari nafkah keluarga. Ayahku bekerja sebagai Pegawai Negri Sipil di Penataran Angkatan Laut (PAL) Ujung, Surabaya, sedangkan ibuku dari pagi buta sampai tengah hari berjualan ikan segar di pasar Pecindilan.

Ketika aku masih kecil dan masih tergantung pada ibuku untuk meminum ASI, aku terkadang mengalami kesulitan untuk melaksanakan buang air kecil. Semakin lama aku semakin merasakan kesulitan itu. Orang tuaku mengetahui tentang keadaanku. Ayah dan ibu membantuku dengan berusaha memberikan pengobatan deritaku sebaik mungkin.

Kedua orang tuaku selalu mencoba membawaku ke "orang pintar" ("orang pintar" adalah seseorang yang tidak memiliki pendidikan medis yang dianggap bisa menyembuhkan penyakit seseorang terutama sakit akibat dari makhluk halus) untuk membantu kesulitanku itu.  Bahkan tidak jarang aku dibawa oleh orang tuaku ke luar kota juga untuk pengobatan melalui "orang pintar" yang dianggap memiliki kemampuan lebih dibandingkan yang selama ini diketahui. Anjuran ataupun berita dari orang yang dikenal untuk pengobatanku, akan dicoba apabila dapat memberikan harapan dalam membantu kesulitan dalam melancarkan usahaku buang air kecil yang sedang aku hadapi. Semua dari "orang pintar" yang telah dikunjungi menyimpulkan bahwa aku sedang menderita kencing batu. Lalu orang tuaku juga mencoba untuk membawaku ke Rumah Sakit di Kotaku, dan kesimpulannya sama saja, aku menderita kencing batu!.

Kencing batu inilah yang telah membuat aku selama ini mengalami kesulitan ketika akan melaksanakan  buang air kecil. Dimana gejalanya sudah diketahui sejak aku berumur kurang dari 1 tahun. Karena keadaan waktu itu yang membuat kedua orang tuaku tidak membawaku secara langsung ke Rumah Sakit. Sebagai penggantinya aku dibawa berobat ke "orang-orang pintar". Berobat ke "orang pintar" merupakan suatu kebiasaan masyarakat pedesaan yang jauh dari pendidikan formal. Kenyataannya hampir semua orang di tempat-tempat  tertentu akan mengalami kesembuhan setelah dibawa berobat ke "orang pintar". Rumah Sakit merupakan tempat yamg asing sekali bagi masyarakat pedesaan waktu itu. Bahkan Rumah Sakit merupakan tempat yang menakutkan. Di Rumah Sakit ada urusan administrasi, ada jarum suntik, ada gunting atau pisau bedah, ada pembalut luka yang semuanya serba menakutkan.

Orang tuaku terutama ibuku, khawatir sekali untuk membawa aku berobat ke Rumah Sakit. Kedua orang tuaku lebih memiliki rasa nyaman apabila pengobatan dilakukan dengan bantuan "orang pintar". Hal demikian terus berlangsung sementara aku semakin lama semakin sulit untuk melaksanakan buang air kecil. Bahkan nenekku pernah bercerita karena sulitnya ketika aku sedang melakukan buang air kecil, terkadang yang keluar adalah kotoran dari dubur terlebih dulu sebelum air kemih.

Aku sungguh sangat menderita sekali. Namun karena aku mash kecil, aku tidak memperdulikannya. Aku tetap bermain dengan teman-temanku. Karena itu, aku sangat kurus sekali. Kulitku kering sekali. Aku  benar-benar menjadi seorang anak yang kurang gizi. Itu semua akibat dari penderitaan kencing batuku. Aku kini setelah mempunyai anak sendiri, membayangkan bagaimana perasaan kedua orang tuaku waktu itu.

Sebagai anak tunggal, maka semua tumpuan harapan orang tuaku pasti hanyalah kepadaku. Semua kebaikan yang mereka cari pastilah tujuan utamanya untuk diriku. Semua usaha yang telah mereka lakukan adalah untuk kebaikanku. Mereka tentunya sudah berusaha sebaik mungkin untuk membantu aku. Sampai suatu malam ibuku bermimpi tentang aku. Dalam mimpinya aku sedang memakai selimut serba putih masuk dan diangkut mobil ambulan untuk dibawa ke Rumah Sakit. Pagi ketika ibuku bangun dari tidurnya menceritakan tentang mimpinya semalam kepada ayahku. Dari mimpinya itu ibu memberikan kesimpulan bahwa, aku harus dibawa ke Rumah Sakit!. Ayahku langsung tidak menyetujuinya. Ayah menentangnya. Tetapi keyakinan ibuku karena pengaruh mimpi yang dia alami malam itu membuat ibu memiliki keyakinan bahwa, aku harus diobati di Rumah Sakit, dan aku harus dibawa ke Rumah Sakit.

Ayah sepertinya sudah tidak bisa mengelak lagi dengan keyakinan kuat ibuku. Apalagi melihat keadaanku, semakin hari semakin tersiksa saja, demikian juga kedua orang tuaku. Akhirnya ayah setuju mengikuti keyakinan ibuku, aku dimasukkan ke Rumah Sakit untuk dioperasi agar batu yang bersarang di dalam kandung kemihku dikeluarkan.

Usiaku sudah mencapai 24 bulan ketika kedua orang tuaku memberanikan diri agar aku masuk rumah sakit, tetapi keadaanku sungguh memprihatinkan. Aku sungguh tidak memberikan gambaran tentang keadaan keuangan kedua orang tuaku yang sama-sama memiliki pekerjaan dengan penghasilan cukup karena hanya memiliki satu anak yang masih hidup. Dibandingkan dengan teman sebayaku aku kurus dan kecil sekali. Inilah salah satunya barangkali yang membuat ibuku menderita akibat gejolak di dalam perasaannya, sehingga dia mendapatkan mimpi agar dia merasa yakin bahwa jalan yang lain yang lebih baik untuk mengobati kencing batuku masih ada. Keadaanku itu yang membuat ayahku pula menyerah dengan ajakan akibat dari  mimpi ibuku.

MENGHADAPI MAUT YANG PERTAMA

Aku sesungguhnya tidak menyadari apa yang akan dilakukan oleh tim dokter Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya waktu itu. Yang aku tau, aku setiap malam tidur sendirian di dalam tempat tidur berjeruji besi khusus anak. Aku tidak bisa keluar dari tempat tidur itu tanpa bantuan perawat yang menemaniku. Yang aku ingat, aku selalu merasa senang ketika ibu, ayah atau tetangga yang aku kenal datang menjengukku. Dan aku selalu menangis ketika mereka sedang meninggalkan aku di hall tempat aku tidur sendirian di dalam tempat tidur berpagar yang tidak mampu aku naiki. Aku merasa seperti di dalam kurungan kasur beralaskan plastik reksin tebal bermotif kembang. Walaupun ibu dan ayahku selalu mengatakan bahwa mereka hanya tinggal dan tidur di luar hall dan tidak pulang ke rumah, aku tetap saja merasa sedih di dalam hall Rumah Sakit. Aku benar-benar dikurung.

Setelah beberapa hari aku dikurung dalam tempat tidur tinggal di hall ditemani para perawat, dan anak-anak lain sebayaku terkurung di tempat tidur mereka masing-masing, aku diminta untuk pindah ruangan. Aku diantar oleh perawat yang menjagaku menuju tempatku yang baru. Tetapi mengapa sejak kemarin malam aku tidak diberi makan dan minum, padahal aku lapar dan haus. Aku lihat ada beberapa orang berbaju serba putih ketika aku memasuki ruangan berbau obat-obatan yang menyengat hidungku. Nampaknya orang-orang bebaju putih itu memang sengaja sedang menungguku di ruangan baru itu. Semua dari mereka baik dan ramah kepadaku.

Aku merasa biasa saja dengan mereka, toh aku tidak bisa meminta pertolongan ayah atau ibuku walaupun aku merasa khawatir terhadap mereka. Mungkin ini karena aku sudah terbiasa dan sudah beradaptasi dengan lingkungan Rumah Sakit dan dengan orang-orang berbaju serba putih.

Aku dibiarkan saja setelah aku dipindah dari tempat tidur dorong yang membawaku dari hall tadi ke tempat tidur di tengah-tengah orang-orang berbaju putih itu. Mereka berbicara sendiri sebelum aku diperiksa oleh lelaki seusia ayahku dengan alat yang ia hubungkan ke telinganya. Lalu aku dimintanya minum air dari gelas yang sudah mereka persiapkan. Aku merasa senang sekali karena aku memang merasa haus sekali karena sejak tadi pagi aku minta makan dan minum tetapi tidak diberi. Makan dan minumku terakhir aku lakkan kemarin petang.

Perawat yang biasa menemani aku tidak ada lagi berada di ruangan baru untukku. Aku sekarang ditemani oleh banyak orang laki-laki berbaju putih semuanya. Aku lalu diajak bicara tetapi aku merasa seperti ingin tidur saja. Walaupun begitu, aku masih teringat ketika aku diminta oleh lelaki di depanku untuk memulai menghitung gelas di atas meja setelah aku disuntik untuk diobati. Hitungan terhadap semua gelas belum aku selesaikan aku sudah tidak kuat dengan rasa kantuk. Dan aku jatuh tudur di atas tempat tidur baruku di dalam ruang yang dijaga orang-orang berpakaian serba putih. Saat itulah aku tidak tau kalau aku dioperasi. Orang-orang berbaju serba putih mengambil batu di dalam kantong kemihku.

Ketika aku terbangun dari tidurku aku merasa lemas sekali. Kedua tanganku diikat dan tangan kiriku dihubungkan dengan selang putih menuju ke kantong plastik berisi air. Aku dijaga oleh seorang wanita berdiri dekat tempat tidurku dan dua orang berbaju serba putih. Aku melihat di sekelilingku, aku lihat ayah, ibu dan tetanggaku menungguku dari balik jendela kaca ruanganku. Semua dari mereka memberiku senyum, tetangga teman ibuku melambaikan tangannya, aku hanya mampu bekedip karena aku belum bisa menggerakkan badanku. Aku ingin mengatakan kepada mereka bahwa aku lapar, bahwa aku haus, aku ingin makan, dan aku ingin minum. Mereka barangkali tidak tau apa yang aku rasakan saat itu. Mereka bisanya hanya tersenyum sambil memandang ke arahku.  Tubuhku masih terasa lemas. Mungkin sebaiknya aku tidur lagi saja.

Ketika aku bangun kembali, ayah dan ibuku sudah berada di sampingku. Aku sudah tidak berada di ruangan tempat baruku tadi. Aku dipindah ke tempat yang baru lagi. Perawat baru yang menemani aku membawa segelas air untukku. Ketika aku melihatnya, gelas berisi air di tangan perawat itu seperti aku ingin tancap saja untuk meraihnya. Aku seperti ingin merebutnya saja. Aku sudah tidak tahan  untuk meneguk semua isinya. Namum aku masih ditahan oleh perawat itu. Badanku ia angkat bersama dengan separuh dari tempat tidurku. Lalu aku seolah-olah merebut gelasnya dan aku meminum air dari gelas sekaligus. Aku baru bisa berhenti meneguknya setelah air dalam gelas benar-benar sudah dalam keadaan kosong. Kini aku merasa lega sekali walaupun aku masih ingin minum air lagi.

Ketika malam tiba, ayah, ibu dan para tetanggaku keluar dari ruang tempat tidurku. Aku harus tidur ditemani perawatku dari kejauhan. Manakala pagi sudah tiba kembali, ayah dan ibuku bersamaku lagi.

Aku senang sekali ketika aku dibawa pulang ke rumah. Entah berapa lama aku meninggalkan rumahku yang terbuat dari kayu sirap itu. Aku semacam merasa pulih kembali siap bermain dengan teman-temanku. Walaupun aku masih belum diijinkan ayah untuk berlari, tetapi saat itu aku merasa sudah terlepas dari bahaya yang mengancam hidupku.

MASUK DAPUR KUPOLA

Sejak operasi pengambilan kencing batu dari dalam kandung kemihku, aku tidak mengalami kesulitan lagi ketika aku membuang air kecil. Aku sudah tidak merasakan lagi kesakitan ketika aku melakukan buang air kecil. Yang aku rasa setiap hari ketika aku melakukan buang air kecil adalah, sedikit nyeri di bagian depan-bawah badanku diantara selangkanganku. Tetapi itu masih jauh lebih baik apabila aku bandingkan dengan ketika aku masih belum dioperasi dulu. Rasa sakit itu semakin hari semakin menghilang saja, sampai akhinya aku merasa tidak ada rasa sakit sedikitpun ketika aku melakukan buang air kecil. Akan tetapi, apabila aku sedikit saja berlari, hentakan akibat langkah cepatku dengan tanah membuat sakit di selangkanganku datang kembali. Itu aku rasakan sampai beberapa bulan lamanhya. Untuk itu aku selalu memilih menghindari berlarian.

Sehari-hari aku tinggal bersama nenek dari ibuku. Kedua orang tuaku sibuk seperti biasanya. Nenek juga memiliki peliharaan sapi yang ia tinggal di Madura demi menjagaku di Surabaya. Dia terkadang merasa khawatir terhadap sapi yang ia tinggal walaupun sapi-sapinya sedang dirawat oleh suami dari adik ibuku. Ketika aku sudah hampir sembuh total, aku dia ajak ke desa di Madura. Di desa aku bebas bermain ke mana saja. Aku suka sekali mandi di sungai. Luka operasi yang belum sepenuhnya sembuh, semakin memburuk saja. Mungkin inveksi telah mengakibatkan lukaku semakin parah. Dua minggu kemudian ayahku datang untuk menjengukku. Ayah kaget ketika melihat lukaku yang sudah menganga. Esok hari itu juga aku dan nenekku langsung dibawa ke Surabaya. Di Surabaya aku langsung dibawa ke Rumah Sakit lagi. Ketika Dokter yang mengobati aku melihat kondisi lukaku yang sudah menganga lagi, marah sekali terhadap ayahku. Sejak saat itu aku di Surabaya sampai aku benar-benar sembuh sekali.

Nenek merasa bersalah sekali dengan keadaanku itu. Nenek kini tidak bisa memberikan alasan untuk membawaku lagi ke Madura demi untuk melihat sapi-sapinya. Nenek pasrah saja tentang sapi-sapinya kepada menantu dan cucu-cucunya yang berada di Madura. Akhinya aku memang dapat sembuh total dari luka bekas operasi kencing batuku.

Setelah aku sudah tidak perlu lagi untuk berkunjung ke Rumah Sakit untuk mengontrol luka bekas operasiku, nenek mulai memikirkan kembali tentang bagaimana keadaan suasana rumahnya di Madura. Ia lalu mengutarakan hasratnya untuk pulang ke Madura membawa aku lagi. Ayah dan ibuku udah tidak memiliki rasa khawair tentang keadaan lukaku paska operasi, lalu orang tuaku memberi ijin nenekku untuk pulang ke Madura dengan membawa aku ke Desa. Akhirnya nenek pulang ke Madura dan aku ia bawa juga.

Aku suka sekali tinggal bersama nenekku. Setiap hari aku dibuatkan nasi putih dan gorengan dadar telor, telor bebek ataupun telor ayam. Tetapi, aku lebih menyukai makan telor bebek dadar, telor yang setiap pagi selalu ada dari bebek-bebek peliharaan suami adik ibuku. Telor bebeknya sengguh gurih sekali, dari kejauhan bau gorengan dari dapur sungguh membuat setiap orang ingin menyantapnya. Apalagi di desa, makan nasi dengan telor termasuk menu makanan cukup wah. Telor dari bebek-bebek yang setiap sore diberi makan bekicot, bebek-bebek yang seharian bebas mencari makan menyusuri kali tidak jauh dari belakang rumah nenek.

Aku suka sekali bermain di kali untuk mencari ikan, dengan pancing atau meraba bagian bawah batu-batu kali mengharapkan ada udang di balik batu. Aku sering ikut suami bibiku mengarit mencari ke Gunung Embilleh. Dan juga, aku bermain bersama anak-anak di Desa nenekku.

Ketika musim hujan datang, manakala aku dan anak Bibiku masih di Gunung Embilleh, aku ikut mencari dan menangkap burung yang sedang mandi di air hujan. Terutama, ketika hujan turun di awal musim hujan atau hujan pertamakali, burung-burung banyak yang senang atau langsung pada menyambut datangnya air dengan mandi, dan aku beserta anak-anak bibiku mengintai untuk menangkap mereka, juga anak-anak lain tetangga nenekku. Ketika hujan semakin lebat burung-burung akan semakin basah dan mengalami kesulitan untuk terbang. Sayap dan badan mereka terbebani air hujan, sehingga mereka benar-benar tidak mampu lagi untuk terbang jauh dan cepat. Itulah saatnya burung-burung dikejar, dan yang kesulitan terbang akan ketahuan, merekalah untuk ditangkapi. Terutama burung muda dengan kekuatan yang lebih lemah daripada burung induknya.

Sasaran utama yang ingin ditangkap adalah burung kutilang dan podang, dua burung yang memiliki suara siulan yang merdu dan cukup bervariasi, sehingga memiliki harga yang cukup baik dibanding butung jenis lainnya.  Atau burung lainnya apabila meraka tidak ditemukan. Bisa menangkap satu ekor saja sudah cukup beruntung, karena medan pengejaran yang memiliki bebatuan cadas dan banyak yang lancip serta banyak pohon kecil berduri terkadang harus pulang dengan tangan kosong tetapi telapak kaki ada yang terluka.

Hasil tangkapan dibawa pulang untuk dipelihara. Umumnya burung-burung liar memerlukan waktu cukup lama untuk menjadi jinak. Rasa trauma hidup di dalam sangkar akan menyiksa burung tangkapan. Terkadang laparpun tidak mau makan karena mengalami stress. Anak bibiku tidak perduli, bahkan agar cepat menjadi jinak burung liar sering pula dipegang dan sering dimandikan dengan tangan. Pakan (makanan) selalu dicarikan pakan yang paling disukai. Pisang jenis kepok atau buah pepaya sajian yang paling disukai burung kutilang atau podang.

Lalu setelah mulai jinak dipanggil dengan suara siul. Lambat laun burung liar mudapun menjadi jinak. Panggilan siulan dijawab juga. Lalu setelahnya menunggu seseorang apabila ada yang berminat untuk membelinya. Dan burung liar yang sudah jinak akan berpindah tangan sesuai kesepakatan harganya.

Ketika musim kemarau mulai datang, musim kawin burung-burung juga dimulai. Seiring pohon-pohon di alas mengeluarkan buah, burung-burung juga sudah mulai menetaskan telor-telor mereka. Sejak burung mulai membuat sarang mereka, anak-anak sudah mulai mengintainya. Mereka berebut untuk mencari sarang. Bagi siapa yang melihat untuk pertama kalinya, dialah pemilik sarang burung sampai telor burung metetas. Ketika anak-anak burung sudah mulai tumbuh bulu, anak-anak burung diambil untuk dipelihara oleh yang memilikinya. Inilah salah satu sebabnya mengapa sekarang hampir tak satupun burung yang pernah aku buru itu tidak pernah kelihatan di gunung Embilleh.

Ketika musim kemarau mulai datang. Beberapa anak muda dan/atau orang tua membuat rencana dengan mmbentuk suatu kelompok. Rencanan membakar batu cadas untuk dijadikan batu gamping. Batu-batu di sekitar Desa nenekku umumnya berwarna keputihan seperti banyak mengandung kaporit. Batu yang sangat baik untuk dijadikan kapur. Batu-batu banyak beserakan di atas gunung Embilleh. Bahkan pada tempat-tempat tertentu bagian gunung terbentuk dari bongkahan batu kapur yang disebut batu "kombhung" menurut orang-orang Desa nenekku, dan batu kombhung itu digali dan dipotong seukuran bata merah untuk dibuat sebagai bahan pengganti bata merah untuk bahan membangun tembok rumah-rumah penduduk.

Pembakaran batu gamping dimulai dengan penggalian untuk membuat dapur pembakaran (tungku) yang mereka sebut "birungan'. Bentuknya seperti sumur sedalam maksimum 2 meter dan di salah satu sisinya bagian agak bawah kira-kira setengah meter dari dasar dapur diberi lubang sebagai tempat jalan masuk kayu bakar. Setelah selesai menggali dapur atau menggunakan dapur pembakaran bekas musim panas yang lalu, kemudian mulai mengumpulkan kayu-kayu untuk digunakan sebagai bahan bakarnya nanti. Kayu ranting dengan daun yang masih segar dijemur di sekitar dapur pembakaran. Kayu dan ranting dikumpulkan sedikit demi sedikit. Setiap pergi ke gunung untuk mencari rumput untuk makanan ternak, anggota kelompok menyambi juga mengambil ranting-ranting kayu dari pohon klobur, nyamplong atau ranting kayu lain yang tidak bisa digunakan sebagai pakan sapi atau kambing. Untuk itu penjemuran kayu bisa sampai satu bulan lamanya, bahkan bisa lebih yang penting kayu bakar harus benar benar kering. Daun daun ranting yang awalnya hijau segar sampai menjadi coklat dan getas.

Setelah kayu dinilai cukup dari jumlah dan kekeringannya lalu dimulailah mencari batu yang akan dibakar. ukuran batu benar-benar dipilih sehingga nanti bisa ditata di atas dapur pembakaran. Batu-batu ditata sedemikian rupa sehingga batu-batu bisa membentuk kubah agar bisa dibakar dari bawahnya. Penataan dilakukan dengan sangat hati-hati memastikan bahwa ketika dibakar nanti akan bisa menerima cukup panas dari api kayu bakar. Jika tidak, maka batu gamping akan menjadi kurang masak karena akan terhalang untuk mendapatkan panas api dari bawahnya. Juga jika tidak tepat dalam menatanya akan beresiko roboh, baik sebelum dibakar ataupun ketika sedang dibakar. Celakanya apabila robohnya terjadi ketika sedang dalam pembakaran, maka pembakaran batu akan menjadi tamat malam itu, karena untuk menata kembali batu yang sedang dibakar harus menunggu batu menjadi dingin. Menunggu api menjadi padam dengan sendirinya. Pembakaran dilakukan pada malam hari, umumnya dilakukan semalam suntuk.

Bagus sekali, kali ini pembakaran batu gamping berjalan sesuai rencana kelompok pembakar batu, ketika aku bangun tidur pagi hari semua dari mereka sudah bubar dan batu-batu gamping yang sudah dibakar tetap mengepulkan asap dari sisa-sisa kayu bakar yang masih hidup sejak semalam, atau karena bara batuyang dibakar masih panas.

Aku dan teman sebayaku menyukai kepulan asap dari dalam tungku melalui celahcelah batu gamping panas. Aku dan teman-temanku menggunakannya sebagai mainan untuk menerbangkan kapas yang diambil dari pohon-pohon kapas yang tumbuh di sekitar pagar pembatas perkaragan rumah nenekku. Ketika kapas naik karena terbawa asap aku dan temanku bersorak kegirangan. Sekali, dua kali dan seterusnya. Aku semakin asyik saja sampai aku lupa diri, dan tiba-tiba aku terjatuh ke galian tenpat jalan untuk menyuguhkan kayu bakar. Di sana ada batu gamping yang diambil dari tatanan pagi tadi sebagai contoh apakah batu sudah matang atau belum dengan keadaan masih panas. Aku menjerit kesakitan ketika bagian paha kanan bawahku menempel ke batu panas itu, dan kulit pahaku menyatu dengan batu gamping panas, ketika aku mengangkat diriku menjauhi batu itu, kulitku merah karena panas sekali, dan aku menangis sekuat kuatnya menahan rasa panas di pahaku.

Serentak orang-orang yang melihatnya membantuku dan aku secepatnya dibawa ke Puskesmas  unuk diobati. Puskesmas letaknya sungguh jauh sekali dari Desa nenekku, Puskesmas berada di Tanah Merah, untuk membawa aku, aku  digendong di belakang suami Bibiku. Tanah Merah berjarak sekitar 15 Kilometer dari rumah nenekku, tidak ada cara lain untuk sampai ke sana kecuali ditempuh dengan jalan kaki, sungguh membosankan, lelah sekali, itu aku, aku tidak tau bagaimana yang dirasa oleh suami Bibiku. Setiap tiga hari sekali aku harus mengunjungi Puskesmas untu terus berobat. Seiring dengan kesembuhan lukaku, rasa sakit sudah semakin menghilang dan aku lambat laun bisa berjalan sendiri secara normal.

Aku bersyukur akhirnya aku bisa sembuh setelah diobati ke Puskesmas Tanah Merah. Sebulan kemudian dari kecelakaan itu aku sudah pulih kembali. Sejak saat itu aku dibawa kembali oleh orang tuaku ke Surabaya, lalu aku tinggal bersama kedua orang tuaku lagi.

Kini hidupku menyendiri di rumah dari pagi hingga siang ketika ayah dan ibuku mencari nafkah. Aku ditipkan ke tetangga sebelah yang sehari-hari tinggal di rumah mereka saja. Mereka senang saja karena saat itu belum banyak anak-anak lecil di sekitar rumahku. Anak kecil akan menjadi sesuatu yang menhibur buat mereka. Aku bebas bermain dengan teman-teman sebayaku sekitar rumah orang tuaku saja. Aku sudah memegang kunci rumah sendiri sejak kecil ketika aku ditinggal oleh orang tuaku. Tetanggaku menjagaku dari jauh saja. Ibu baru pulang ke rumah sekitar jam 1 siang, sedangkan ayah sampai di rumah pulang kerja sekitar pukul 3 siang.

MANDI DI SUNGAI

Ketika Hari Raya akan tiba, ayah dan ibuku selalu pulang ke Madura. Ayah dan ibu ingin bersilaturahmi dengan nenek dan anggota keluarga lainnya. Dan aku bisa bertemu kembali dengan teman-teman mainku dulu. Ketika hari-hari besar Agama Islam tiba, suasana aktivitas orang-orang  memang dipenuhi dengan cara tradisi. Kenduri secara bergiliran dari rumah ke rumah. Di Madura ayah biasanya mengunjungi saudara, dan kenalannya, termasuk pamanku, adik ayah yang aku panggil "Teh", Teh kependekan dari kata "ghutteh" yang berarti paman.

Dekat rumah Teh ada Pondok Pesantren Pakong. Dekat rumah Teh ada sungai yang mengalir tak jauh dari belakang rumahnya. Sungai itu juga mengalir melalui depan Pondok Pesantren.

 Anak lelaki tetangga Teh adalah temanku, dia lebih muda sekitar satu tahunan dari aku.  Aku sendiri masih berumur sekitar 8 tahunan, dan aku senang bermain dengannya, anak desa baik dan polos.

Aku bertiga dengan dia dan anak lelaki Teh berjalan menuruni tabun sampai ke pinggir sungai belakang rumah Teh Rumli. Anak lelaki Teh lebih kecil dari anak lelaki tetangga Teh, ia hanya ngikut saja. Ada tempat untuk mandi di sungai, pada air bening anak lelaki tetangga Teh yang tidak  memakai baju atasan lansung membuka celana pendeknya dan langsung meloncat saja. Di desa waktu itu merupakan hal yang biasa bagi anak-anak kecil bermain tanpa memakai baju kecuali celana pendek saja. Dia lalu ke tepian lagi dengan mudah seperti anak yang berjalan di air. Kini giliranku tanpa pikir aku buka pakaianku, karena tidak tau tentang keadaan air langsung meloncat juga ke sungai menirukan dia. Aku langsung tenggelam ke dalam sungai. Sungai dalam sekali, tinggi kepalaku tidak jajak di sungai itu. Aku tidak bisa berenang, yang aku lakukan hanyalah berusaha bernafas dengan meloncat-loncat sampai kepalaku ke udara. Aku terus melakukan itu tanpa menyerah. Terus aku meloncat-loncat untuk bernafas walaupun aku sudah terasa lemas tidak bertenaga.

Ketika aku meloncat-loncat ke udara yang aku lihat kedua temanku berdiri saja di tepi sungai. Aku terus meloncat-loncat sambil mengambil nafas. Anak lelaki tetangga Teh nampak kebingungan tidak tau apa yang harus ia lakukan melihat keadaanku. Tetapi aku terus meloncat untuk bernafas sampai tiba-tiba anak tetangga Teh melakukan sesuatu untukku. Dia berenang menghampiri aku yang semakin lemas. Lalu dia pungut dengan menjambak dan menarik rambutku dengan tangan kanannya. Aku yang sudah lemas tidak berdaya membalas tarikannya, dan aku seolah tidak memiliki tenaga untuk berpegangan kepada dia. Aku menyerah ketika ada rasa tarikan di rambutku. Aku terus ia tarik sambil dia berenang ke arah pinggir sungai yang lebih dangkal. Ketika kakiku terasa menyentuh tanah dan tubuhku masih dalam keadaan miring  karena diseret oleh dia. Aku langsung beranjak dan berlari sambil sempoyongan karena kehabisan tenaga ke pinggir sungai, tanah gundukan yang tidak berair. Lalu aku tertegun sejenak lemas dan lunglai karena merasa benar-benar kehabisan tenaga.

Dia dan anak lelaki Teh  hanya tercengang melihat keadaanku. Berangsur-angsur aku dapat pulih kembali. Dan ketika aku sudah merasa memiliki tenaga untuk keluar dari pinggir sungai, aku dan anak tetangga Teh segera memakai pakaianku dan bersama-sama anak pamanku segera kembali pulang menuju rumah ghutteh.

Setelah temanku menceritakan apa yang telah terjadi kepada ayah dan Ghutteh, Teh dan ayahku merasa menyesal sekali atas kejadian yang telah menimpaku tadi. Ghutteh mengatakan bahwa aku bisa meninggal dunia apabila tidak ditolong oleh anak lelaki kecil tetangganya yang juga temanku dan teman anak lelakinya itu.

Aku terkadang berfikir, seandainya anak tetangga Ghutteh tidak memiliki inisiatif menyeretku. Seandainya dia berinisiatif meminta pertolongan pulang  memanggil ayah atau Ghutteh, bisa-bisa keadaan sudah terlambat. Tetapi aku masih diberi panjang umur karena dia, anak lelaki kecil dari desa yang sudah bisa berenang. Terimakasih lelaki kecil tetangga Ghutteh, Tuhan telah memilih engkau untuk menolongku ketika aku tenggelam di sungai belakang rumah ghuttehku.

BAJING LONCAT MENCARI MINYAK SISA

Aku masih duduk di bangku kelas 6 SD ketika aku sudah berumur 15 tahun. Tentu, dari umurku aku sudah cukup memiliki akal untuk melakukan apa saja dibanding teman-temanku di kelasku. Aku sudah muballigh (teenager) walaupun ukuran badanku biasa saja. Kebanyakan teman dikampungku tidak menempuh sekolah formal. Karena itu sejak kecil kebanyakan dari mereka sudah berusaha mencari uang jajan sendiri. Dan terkadang uang yang diperoleh dipakai untuk membantu orang tua terutama ibu mereka.

Banyak dari temanku mencari uang dengan cara mencari sisa-sisa minyak kelapa dari dalam drum minyak yang baru saja dituang isinya. Sisa-sisa minyak yang masih tertinggal di dalam drum diambil dengan cara menggunakan sepon yang diikatkan pada sebatang keratan bambu sepanjang 1,2 meteran. Sepon yang kendalikan dengan tangkai keratan bambu dimasukkan ke dalam drum melalui lubang drum yang tanpa penutup. Dengan mengusapkan sepon ke dasar drum sisa-sisa minyak yang tertinggal akan terserap oleh sepon. Lalu sepon  yang sudah membawa sisa minyak diangkat keluar drum diperas di kaleng biskuit yang sudah dipersiapkan dengan tambahan kawat agar bisa dijinjing.

Aku senang menyaksikan orang-orang yang sedang berebut untuk mencari minyak. Terutama karena ada teman-temanku. Terkadang apabila ada drum yang masih penuh sedang diturunkan dengan dijatuhkan dari atas truk ke tanah, akan berakibat kebocoran karena penurunan dari atas truk didorong dengan dirolling jatuh langsung mengenai ban-ban bekas ban truk sebagai bantalan agar tidak secara langsung membentur tanah.

Ketika drum bocor, di dekat lubang drum bocor karena retak akan menetes minyak keluar dari drum. Karena drum dibiarkan untuk beberapa lama sebelum dimasukkan ke dalam gudang untuk dituang isinya, bagi penemu kebocorang pertama kalinya akan menganggap minyak bocor dari drum merupakan milik si penemu, dan si penemu akan mengamankan drum tersebut. Lalu kemana minyak menetes ke atas tanah, tanah tempat menetes akan digali membentuk cekungan seperti mangkok memakai sendok agar minyak yang keluar tertampung di dalam cekungan itu, dan apabila minyak sudah memenuhi cekungan lalu dipindahkan ke kaleng yang sudah dipersiapkan. Demikian seterusnya sampai drumnya diambil untuk dimasukkan ke gudang untuk dituang seluruh isinya.

Demikian juga pada drum-drum kosong setelah isinya dituang akan masih ada sisa karena mengeluarkan isi drum tidak mungkin bisa seratus persen kosong. Sisa-sisa yang masih tertinggal di dalam drum itu kemudian dibersihkan oleh teman-temanku. Terkadang teman-temanku mencari minyak goreng sisa dengan memanjat truk di jalanan.  Apabila ada truk yang memuat drum minyak goreng bekas, teman-temanku akan memanjat ke atas truk untuk selanjutnya mengikuti kemana truk itu pergi. Dan di atas truk mereka sambil mengambil minyak sisa dari dalam drum.

 Aku terkadang mengikuti temanku untuk memanjat truk, lalu turun ketika truk berjalan agak perlahan, biasanya di sekitar perempatan. Naik dan turun dari truk yang sedang berjalan bukanlah pekerjaan yang mudah. Seseorang harus mengetahui caranya, kalau tudak bisa mengakibatkan celaka patah kaki, terguling-guling atau kecelakaan lainnya.

Aku awalnya hanya ikut teman-temanku yang suka mencari minyak sisa di atas truk. Ketika ingin mengunjungi tempat tertentu, biasanya naik truk dari perempatan Pegirian karena truk berjalan perlahan. Ketika turun juga demikian, mencari tempat di mana truk akan berjalan perlahan.


Aku sebenarnya ingin sekali melakukan seperti apa yang dilakukan teman-temanku mencari minyak sisa. Tetapi aku tau bahwa orang tuaku akan marah sekali apabila mereka mengetahuinya. Karena aku dibekali uang saku yang tergolong cukup setiap harinya, dimana ibuku selalu memberiku uang jajan setiap pagi.

Aku terkadang ketika belajar memanjat truk berjalan di jalan raya mengikuti teman-temanku yang sedang mencari minyak sisa dari dalam drum. Bahkan aku sampai ke daerah Kerian pula yang jaraknya sekitar 60 Kilometer dari Surabaya. Aku akhirnya tau teknik naik dan turun dari truk yang sedang berjalan cepat sekalipun.

Yang aku sukai naik truk dengan bak terbuka di belakang. Naiknya mudah dan turunnyapun juga mudah. Ketika akan menaiki truk, pastikan kedua telapak tangan berada di atas geladak bak truk. Lalu sambil berlari mengkuti keepatan truk tangan menekan geldak bak dan kaki sedikit ditekuk sambil berlari berusaha memanjat ke atas sehingga dada di atas perut menyangkut pada geladak truk. Setelahnya usahakan salah satu kaki (biasanya kaki kanan) naik ke atas geladak dengan membengkokkan badan ke arah kaki yang akan dinaikkan. Setelah salah satu kaki naik, lalu naikkan badan dengan menekankan kedua telapak tangan beserta lengan yang masih berada di atas geladak truk sehingga salah satu kaki yang masih belum naik dapat juga naik ke atas geladak truk. Setelah kedua kaki berada di atas geladak truk berarti seseorang sudah sepenuhnya berada di atas truk.

Lalu untuk meloncat turun dari truk yang sedang berjalan juga ada teknik yang harus diperhatikan. Untuk truk dengan bak terbuka; posisikan badan antara tengah sampai kiri truk sebelum meloncat. Posisi paling kiri lebih baik karena salah satu tangan beisa berpegangan pada salah satu dinding bak truk. Jangan sekali-kali menggunakan bagian kanan bak truk karena dikhawatirkan jika jatuh dan mengarah ke arah tengah jalan akan menyebabkan tersambar ditabrak kendaraan dari arah yang berlawanan.

Ketika akan turun, pastikan badan menghadap ke arah belakang truk. Lalu dengan sedikit membunggukkan badan termasuk juga sedikit menekuk lutut bersiap-siap untuk meloncat turun. Keadaan badan dan kaki harus tetap sedikit membungkuk ke arah depan ketika sedang meloncat. Pastikan bahwa posisi badan juga dibuat sedikit miring dengan salah satu kaki (biasanya kaki kanan) berada sedikit di depan kaki satunya. Ketika meloncat usahakan kaki yang paling depan menyentuh permukaan jalan terlebih dahulu dan diikuti oleh kaki satunya lagi. Sebetulnya kedua kaki seakan-akan menyentuh permukaan jalan dalam waktu bersamaan. Ketika kaki-kaki menyentuh permukaan jalan, kondisi tubuh dan kaki harus tetap membenguk ke arah depan untuk melawan gaya tarik ketika jatuh akibat kecepatan truk.

Aku dan teman-temanku melakukan itu tanpa memakai alas kaki, memang dengan tanpa alas kaki seolah-olah kaki langsung melekat di atas permukaan jalan ketika meloncat dari atas truk.

Kini aku bagaikan tenggelam ke dalam lumpur, lambat laun aku semakin tenggelam ke arah dasar lumpur tanpa ada yang menolong untuk mengangkatku ke permukaan, semakin lama aku semakin jauh ke dasar lumpur. Akhirnya akupun sampai ke dasar lumpur dan mencoba untuk mencari minyak sisa sendiri dari dalam drum, seperti yang dilakukan oleh teman dekatku.

Memang sungguh menyenangkan bisa menghasilkan uang sendiri, penghasilan yang aku gunakan untuk tambahan uang jajanku yang sudah cukup. Tetapi aku harus tetap waspada dari pandangan orang tuaku. Teman-temanku juga mengetahui bahwa pekerjaanku ini tidak boleh diketahui oleh orang tuaku.

Karena aku sudah semakin ketagihan dengan hasil uang dari mencari minyak sisa yang aku cari  untuk tambahan uang jajanku, aku semakin nekad saja mencari minyak sisa. Setiap aku selesaikan pekerjaan baruku, sebelum aku pulang ke rumah, aku bersihkan badanku agar kedua orang tuaku tidak menciumnya. Kaleng dan keratan bambu dengan sepon di salah satu ujungnya aku titipkan di tempat dimana teman-temanku menyimpan milik mereka. Semakin lama semakin asyik saja, sehingga setiap pulang dari sekolah dasarku aku langsung tancap gas mencari minyak goreng sisa.

Hari minggu merupakan hari libur dan jalan-jalan di Surabaya Utara menjadi legang. Akan tetapi, ada satu tempat yang masih memiliki kegiatan walaupun di hari minggu, tempat tidak mengenal hari minggu, yaitu Pelabuhan Tanjung Perak. Ke sanalah aku dan teman-temanku mencari sasaran minyak goreng sisa di hari Minggu.

Aku berangkat agak pagi, sehingga dengan memanjat truk dari Jalan Danakarya (sekarang Jalan Iskandar Muda) sekitar pukul 7an aku sudah sampai di daerah Pelabuhan. Seperti biasa aku dan teman-temanku terpencar mencari sasaran sendiri-sendiri. Sekitar pukul 10 hampir separuh dari kaleng yang selalu aku jinjing telah terisi hampir setengahnya. Aku pikir, ini sudah cukup untuk menambah uang di sakuku nantinya. Tanpa ada seorang temanpun aku berniat untuk pulang saja.

Seperti ketika aku berangkat tadi pagi, aku akan pulang dengan cara memanjat truk pula. Aku menunggu di pertigaan jalan sebelum keluar jalan raya mengharapkan ada truk berjalan perlahan yang sejalan dengan arahku untuk aku panjati. Semenit kemudian memang ada truk yang sedang mengambil jalan akan membelok ke arah yang aku inginkan. Aku lalu bersiap-siap dan ketika truk sudah sejajar dengan aku, aku lalu berlari ke arah belakang truk. Kebetulan truknya tanpa penutup bak belakang dan di geladak belakangnya ada lubang karena rusak yang bisa aku pakai sebagai pegangan untuk naik ke atas geladak belakang truk.

Tanpa pikir panjang aku letakkan kaleng berisi minyak goreng sisa setengah penuh hasilku pagi ini. Lalu tanpa pikir pula aku langsung memanjat naik ke atas truk dengan cara memegangkan kedua tanganku pada lubang di geladak truk sekuatnya, lalu aku meloncat ke atas geladak untuk mengaitkan dadaku sambil berpegang erat pada lubang geladak truk untuk kemudian menaikkan salah satu kakiku ke atas geladak agar aku aman dapat naik sepenuhnya ke atas truk. Aku tidak bisa meloncat lebih tinggi lagi karena ukuran badanku walaupun sudah kelas 6 SD masih setinggi geladak truk. Ketika dadaku sudah mengait di atas geladak truk dan kedua kakiku masih dalam keadaan menggelantung diantara jalan raya dan geladag belakang truk  dan aku belum sempat sempat menaikkan kakiku ke atas truk, tiba-tiba truk berguncang keras sekali karena sedang melintasi rel kereta api yang terletak melintang terhadap jalan yang sedang dilaluinya. Celakanya, minyak dari dalam kaleng yang berada tepat di depan wajahku memancar keluar karena kerasnya guncangan. Dan akibatnya sebagian muncratan minyak dari dalam kaleng di depanku mengenai wajah dan mataku.

Aku jadi panik sekali karena aku merasa mataku agak perih, aku memikirkan yang bukan-bukan terhadap mataku sambil menahan perihnya mata akibat tumpahan minyak kotor yang aku ambil dari dalam drum tadi sementara posisiku tetap menggelantung. Aku jadi kehilangan keseimbangan karena kekacauan dalam pikiranku, badanku sudah bergeser semakin ke bawah karena guncangan keras tadi. Sehingga aku  susah sekali untuk menaikkan kakiku ke atas truk untuk mengamankan diriku karena badanku juga sudah bergeser karena guncangan tadi. Posisiku jadi tidak seimbang untuk terus menaikkan kakiku sementara truk berjalan semakin kencang saja. Pikiranku semakin panik, aku dihadap kepada pilihan yang sama-sama bahayanya.  Apabila aku paksakan melepaskan peganganku untuk turun akan sangat bahaya sekali bisa-bisa aku jatu terguling-guling di atas jalan raya karena aku turun dari truk dalam keadaan tidak seimbang sedangkan truk berjalan sangat kencang. Apabila aku tetap bertahan menggelantung aku akhirnya akan kehabisan tenaga dan akan jatuh juga.

Di tengah-tengah kepanikan pikiranku tiba-tiba truk bergerak semakin pelan sambil menuju ke arah jalur hijau dimana Pom Bensin berada, lalu berhenti di Pom Bensin untuk mengisi bahan bakar. Saat itulah kesempatanku untuk meloncat turun dari truk. Dan aku sudah merasa aman kembali. Aku langsung mengusap mukaku dengan bagian sisi dalam bajuku. Lalu aku pungut kembali kaleng minyakku dari atas truk dan kemudian aku duduk sejenak sambil melanjutkan untuk membersihkan mata dan wajahku dari muncratan minyakku tadi.

Aku bersyukur sekali saat itu, apabila truk tidak berhenti di Pom Bensin entah apa yang akan terjadi pada diriku. Lalu kemuadian setelah aku tenang, aku naiki lagi truk yang masih belum selesai mengisi tangkinya dengan bahan bakar untuk melanjutkan perjalananku pulang ke rumah. Benar dugaanku, truk berjalan melalui jalan raya di depan kampungku. Lalu aku turun di tikungan sebelum melintasi depan kampungku. Hasil minyakku aku jual ke langgananku, seorang Ibu dari temanku yang sudah biasa sebagai penadah bagi siapa saja yang ingin menjual hasil perolehan minyak bekas.

Memanjat kendaraan truk yang sedang melaju kencang di jalan raya, dan turun meloncat dari atas geladak tempat muatan truk yang sedang melaju kencang di jalan raya sudah menjadi kebiasaanku setiap hari. Kemanapun  aku ingin pergi, aku biasa memanjat kendaraan truck, pick-up, suv, dlsb.

Untuk mencapai tujuanku. Sampai ke tempat dekatpun terkadang apabila aku malas untuk berjalan kaki, aku lebih memilih dengan cara memanjat kendaraan umum saja, asyik sekali.

BAJING LONCAT MENCURI GARAM

Siang hari minggu itu, aku dan salah satu teman mainku iseng ingin pergi jalan-jalan ke daerah Wonokusumo. Daerah paling macet di Utara Kotaku karena banyak becak-becak yang melalui jalan menuju ke sana, sejak dari Jalan Karang Tembok sampai ke Jalan Wonokusumo. Becak-becak seenaknya saja dalam memakai jalan, pengemudinya susah diatur. Apalagi di ujung Jalan Karang Tembok dekat  pertigaan dengan Jalan Wonokusumo ada rel kereta api yang melintas dan tidak jauh dari rel ada sungai, sehingga bentuk jalan menaiki jembatan dan rel kereta api. Kebanyakan becak-becak hanya berjalan dengan didorong saja.

Hanya kendaraan kecil saja yang akan melalui jalan menuju ke Wonokusumo.  Celakanya lagi, apabila ada truk yang sedang melaluinya dan kebetulan ada kereta api yang sedang melintasi memotong Jalan Karang Tembok, maka jalan akan macet total. Para tukang becak dan sepeda akan berusaha memakai jalan sebagai yang paling dahulu. Kendaraan-kendaraan yang lebih besar harus tetap berhenti mengalah, memberikan kesempatan kepada mereka.

Aku dan temanku memanjat naik mobil box menuju ke Wonokusumo karena adanya hanya mobil itu. Aku dan dia berdiri di belakang boxnya dengan menginjakkan kaki pada tangga kecil sambil memegangkan tangan pada jeruji belakng box. Ketika turun mudah sekali karena mobil berjalan cukup pelan karena macet.

Karena hari sedang mendung, mendung yang semakin hebat, aku dan temanku khawatir akan turun hujan, maka aku  dan temanku sepakat untuk kembali pulang.

Seperti biasa aku dan temanku suka memanjat kendaraan untuk pulang. Kali ini bentuk mobil yang aku naiki sama dengan ketika aku berangkat tadi, mobil box.

Ketika aku naik di atas tangga belakang boxnya, sambil memegangkan tangan ke jeruji box aku dan temanku melihat garam di dalam box mobil. Mobil box yang sedang aku dan temanku tumpangi sedang mengangkut garam kotak yang dikemas di dalam plastik tembus pandang berisi 10 kotak masing-masing plastiknya. Temanku memiliki ide untuk mengambil garam dari dalam box mobil untuk dijual nanti. Tetapi aku tidak menyetujuinya karena hal itu bukan pekerjaan kita. Temanku masih saja memaksakan diri untuk mengambil sampai ia berhasil mengambil 1 box garam yang telah aku tolaknya. Kotak garam dibiarkan saja di dalam box mobil tetapi siap untuk dikeluarkan kapan saja.

Aku dan temanku terus saja dengan mobil box. Ketika sampai di perempatan Pegirian aku mengajaknya turun mumpung mobil berjalan masih pelan. Tetapi temanku tidak mau. Ketika mobil sudah sampai di Jalan Danakarya depan gang rumahku dia turun sambil tertawa dan aku belum siap, sehingga aku menunda untuk turun di bundaran depan saja. Ketika mobil sudah mendekati bundaran lajunya semakin pelan. Pada waktu tidak secepat sebelumnya akupun berusaha turun.

Aku turunkan kaki kananku terlebih dahulu untuk kemudian kaki kiriku mengikutinya kemudian. Aku tidak siap betul rupanya ketika aku turunkan kaki kananku. Sehingga kaki kiriku tidak secara otomatis mengikutinya melainkan masih tetap berada di atas tangga mobil box. Yang terjadi tidak pernah aku duga aku terpelanting terguling, dan bagian atas kanan ujung belakang kepalaku terbentur aspal jalan raya. Aku merasa permukaan jalan raya seperti bergoyang, seperti aku sedang di atas kapal berada di atas gelombang besar.

Karena aku takut disambar mobil lain dari belakang sambil terhuyun-huyun aku mencoba menyeimbangkan badanku yang terasa seperti berjalan di atas gelombang aku berlari ke arah rerumputan di tengah-tengah taman bundaran sebelah kananku. Ketika aku sampai di tepi rerumputan aku langsung menjatuhkan diri dan mencengkramkan kedua tanganku pada rerumputan agar aku tidak merasa bergoyang lagi. Aku terus cengkramkan erat pada rerumputan kedua tanganku sambil aku duduk kaki kiri bersila dan kaki kanan tetap lurus merebahkan badanku di atas rumput hijau taman bundaran depan Yayasan Sekolah Al Irsyad itu.

Aku terus tetap merebah sampai aku tidak merasa seperti bergoyang-goyang lagi. Akhirnya badanku pulih kembali hanya kepalaku yang terbentur ke aspal tadi masih terasa sakit. Kemudian aku langsung berjalan pulang menyusuri tepi Jalan Danakarya menuju ke mulut gang rumahku tempat temanku turun tadi.

Temanku masih menungguku dan aku lihat dia sudah tidak memegang garam lagi di tangannya. Ketika aku ceritakan apa yang telah terjadi kepadaku dia langsung terbahak bahak. Ketika aku tanyakan dimana garamnya dia mengatakan bahwa garamnya sudah ia jual pada pemilik warung di depan mulut gang rumahku.

Aku berpikir, seandainya hari itu bukan hari minggu dan aku terjatuh dari atas kendaraan kemungkinan aku akan disambar kendaraan dari arah belakangku. Apabila kendaraan melaju cukup kencang, kemungkinan benturan kepalaku dengan aspal akan menjadi lebi keras lagi. Sejak saat itu aku mulai tidak menyukai lagi untuk memanjat truk atau kendaraan lainnya. Dan aku mulai kembali sesuai apa yang diharapkan oleh kedua orang tuaku.

Akibat benturan kepalaku dengan permukaan aspal, mengakibatkan benjolan. Benjolan di bagian kanan belakang kepalaku masih membekas dalam waktu cukup lama, bahkan aku pernah khawatir bahwa bekas itu akan menetap lalu menjadi besar. Akan tetapi kenyataannya terjadi lain, setelah aku duduk di SMA benjolan itu akhirnya tidak ada lagi. (Bersambung)




JADI ORANG KAYA HARTA

Ini adalah sebuah peristiwa yang terjadi akibat sama-sama tidak saling mengenal. Aku tidak pernah kenal si Mester ('Mester' adalah suatu sebutan di kampungku, Surabaya Utara bagi lelaki bule, sedangkan bagi lelaki Arab disebut 'Tuan'), karena aku kurang paham apa sebenarnya permintaan si Mester ketika dia menelphonku, dan si Mester karena keinginan yang menggebu tidak pandang bulu, siapa saja yang bisa dihubungi pasti ingin dia santap, yang penting mengenai sasaran.

Kisah ini diawali pada suatu pagi ketika aku sedag bekerja yang aku rasa seperti biasa, sibuk, sibuk dan sibuk pada pekerjaan kantor melayani kastemer untuk dibuatkan penawaran karena ingin menyertifikatkan kapal-kapal mereka. Handphone (HP)ku tiba-tiba berdering sebelum tengah hari. Aku kini padahal jarang menerima panggilan lewat HPku, dia tak biasa berdering sejak aku bekerja di perusahaan baru,Tasneef selama dua tahun terakhir ini.Karena, walaupun aku selalu mempersiapkan penawaran untuk kastemer akan tetapi aku tidak berhubungan langsung dengan mereka. Ketika aku lihat screen HPku, yang muncul hanya nomer saja tanpa nama, berarti nomer itu belum aku kenal. Dengan sedikit berat hati aku tekan saja tombol bergambar telephon untuk menjawabnya. setelah aku jawab,
"hallo?", Aku dengar lawan bicaraku menjawab dengan logat bahasa Ingris bernada berat, dengan suara seperti tersimpan di pangkal tenggorokannya. Aku merasa yakin bahwa orang ini pasti orang Ingris asli, dan juga pasti asli dari Ingris.Begini kira-kira jawabannya,

"Hallo, is this Nasuki?",
"Yes, speaking",
"My name is ........"

Suaranya memaksa aku tanpa banyak pikir kecuali aku berusaha untuk lebih fokus agar aku bisa mengerti tentang apa yang sedang ia sampaikan. Dia memperkenalkan namanya sampai diulang sebanyak 3x, itu bukan karena dia tidak becus melafadkan namanya kepadaku, akan tetapi karena aku mendengarnya tidak jelas dengan intonasi beratnya, sehingga aku menanyakan kembali begitu dia menyebut namanya sampai 3x. Aku agak malu karena aku selalu menjawabnya dengan nada tanya,"sorry?". Sampai jawaban yang ketiga cukup jelas aku dengar karena HPku aku tempelkan serapat mungkin di daun telinga kiriku. Selain itu, yang di sana menaikkan suaranya sambil memperlambat lafad namanya, sehingga dia mengiyakan ketika aku ulangi apa yang telah dia sebutkan,
"Steve Hutton".

Lalu dia melanjutkan percakapannya,
 "How are you Mr. Nasuki?",
"Very good, and how are you, too?,
"Wonderful Mr. Nasuki; my I talk to you for a second Mr. Nasuki?",
"Of course, and what can I do for you?"
Dia memperbanyak percakapan sepertinya sedang memperkenalkan siapa dirinya. Walaupun aku sendiri hanya menduga-duga tetapi aku selalu menjawabnya dengan mantap, "OK" atau "Yes". Kesimpulanku waktu itu adalah, paling dia bilang tentang siapa dia, dan di perusahaan mana dia sedang bekerja. Aku iyakan saja apa yang dia katakan walaupun yang dia ucapkan tidak jelas bagiku. Aku tidak ingin dia mengetahui bahwa aku tidak sepenuhnya memahami apa yang sedang dia katakan. Aku bukan tidak bisa berkomunikansi dengn berbahasa Ingris, aku yakin bisa karena sudah lebih dari 20 tahun di Abu Dhabi, tetapi berbicara dengan orang pribumi Ingris memang masih menjadi hal yang aku pantangi. Yang jelas, kantornya di Etihad Tower dekat Emirates Palace Hotel, itu saja yang jelas aku dengar dengan jelas.

Dia meneruskan percakapannya sambil aku mendekat ke jendela kantorku, terkadang suaranya terputus-putus, itu alasannya, barangkali signal ke HPku agak lemah.

Aku tetap menempelkan HPku sedekat mungkin ke daun telingaku. Menurut pengertianku dia menyampaikan ingin menjaga hartaku. Lalu dia ingin bertemu dengan aku. Sebelum aku jawab permintaannya, dia mengatakan kalau aku alihkan ke dalam bahasa Indonesia bahwa kira-kira begini,
"Pokoknya aku ingin bertemu dengan kamu, itu perintah dari atasanku".
"Boleh saja akan tetapi dimana dan kapan?", begitu jawabku.

Dia menawari aku dengan mengajakku apabila aku ingin bertemu di kafe dekat rumahku atau mana saja yang aku inginkan. Akupun menyanggupinya untuk bertemu, tetapi aku tidak mau di kafe. Lalu aku dan dia sepakat akan bertemu besok sore pukul 4 di kantorku.

Walaupun dia sudah menawari aku untuk bertemu di kafe dekat dimana aku tinggal atau kafe mana saja, aku tetap menolaknya. Aku lebih suka bertemu di kantorku. Aku tidak ingin berhutang budi pada seseorang yang membuat aku harus membayarnya. Aku tidak ingin bersenang-senang dahulu tetapi aku akan "bendol di kemudian". Aku pilih pukul 4 dengan harapan itu sudah di luar jam kantorku, jam 4 merupakan tepat jam pulang dari waktu jam kerjaku. Setelahnya, dia menutup HPnya dan aku kembali lagi ke meja kerjaku untuk meneruskan pekerjaanku yang harus aku selesaikan sebelum jam pulang kantor.

Sesampai di rumah aku sampaikan kepada istriku tentang seseorang yang ingin bertemu dengan aku karena dia ingin menjaga hartaku . Istriku seperti tanpa pikir langsung memberi peringatan agar aku jangan kebanyakan macam-macam besok,
"Yang penting, apabila ditawari apa-apa jangan langsung diiyakan, dipikir dulu", begitu permintaannya yang harus aku iyakan juga.

"Iya, memangnya harta kita seberapa banyak, kok minta dijagakan oleh orang lain", jawabku singkat.

Sejak sore dari pulang kerja aku sudah memikirkan tentang baju yang mana yang akan aku pakai besok ketika bertemu dengan Mester yang menelphonku tadi. Aku coba menyibak baju dan celana yang berada di gantungan baju kantorku yang ada di gantungan baju di depan tempat tidur dalam kamar tidurku. Semua baju yang sudah diloundry masih menggantung dengan bungkus plastik dari loundry. Akhirnya aku temukan juga.

Aku biasanya tidak terlalu dipusingkan dengn masalah baju apa yang akan aku pakai, yang penting tidak kotor. Tetapi kali ini aku seperti di saat masih remaja dulu, mau pergi, mau bertemu siapa aku harus memilih baju yang mana sebaiknya atau yang pantas aku pakai. Kali ini aku pilih baju yang paling baru yang dibelikan istriku ketika ia ke Seattle, Amerika waktu itu. Baju bermotif kotak-kotak kecil bergaris biru muda dengan dasar warna kulit telor bebek. Baju yang pasti  cocok jika dipadu dengan celana gelap agak hitam nanti, dan sepatu hitam yang jarang aku pakai dan dibeli di Dubai sekitar 5 tahun lalu pasti mantab. Pikiranku kini terasa tenang untuk urusan pakaian besok ketika harus bertemu dengan Mester itu.

Ketika pagi tiba, tepatnya pukul 5:10, alarm HPku berbunyi membangunkan aku. Aku sengaja setiap hari bangun pagi dengan alarm yang aku atur agar aku bisa sholat Subuh berjamaah di Masjid dekat rumahku.

 Aku merasa lebih percaya diri pada pagi ini setelah aku memakai baju dan celana serta sepatu yang aku pilih semalam. Aku berangkat seperti biasanya dengan membawa makanan siap disantap untuk lanjutan makan pagi di kantor terbuat dari roti somon yang aku isi dengan olesan krem keju, serta nasi dengan lauk-pauk dalam kotak plastik taper ware yang dipersiapkan istriku untuk jatah makan siangku di kantor.

Aku lebih suka membawa makanan buatan sendiri ke kantor karena dijamin murah dan bersih. Selain itu aku tidak perlu repot-repot mencari makan keluar kantor atupun memesannya dari luar kantor nanti.

Sebelum aku berangkat, aku tanya istriku bagai mana pendapatnya teantang pakaian yang sedang aku pakai saat ini, sambil melirik ke arahku seakan ia tidak ingin mengangkat mukanya dari Tablet yang sedang ia baca ia mengatakan,
"OK!".

Lalu ia lihat kembali Tabletnya untuk melanjutkan apa yang sedang ia baca.

Ketika aku di kantor, aku disibukkan dengan pekerjaanku yang harus aku selesaikan pada hari itu. Pikiranku juga mempersiapkan pertemuan dengan si Mester nanti sore. Waktu sudah mendekati pukul 12 siang ketika HPku bedering. Ketika aku lihat nomornya nampak dari Abu Dhabi phone line, bukan dari HP. Aku sedikit ragu tetapi tetap saja aku angkat. Biasanya telephon beginian mah ke HPku dari broker properti menanyakan tentang apartemenku yang sedang aku tinggali, apakah ingin dijual atau disewakan. Ketika aku jawab,

"Hallo?",
"Apakah ini Mr. Nasuki?" dalam bahasa Ingris yang hampi mirip dengan Mester kemarin akan tetapi kali ini agak jelas. Setelah aku jawab,
"Benar".

Maka lelaki lawan bicaraku mengatakan bahwa aku dan temannya, Mr. Steve Hutton sedang  ada janji sore ini, namun, dia bilang bahwa temannya tidak bisa datang karena hari ini sibuk dan besok juga ada janji dengan orang lain di dekat kantorku Musaffah.  Lalu dia menawari aku untuk mengundurkan jadwal pertemuannya menjadi besok juga. Aku sepakati dengan catatan; besok agar bertemu paling lambat pukul 12 siang saja. Aku sengaja memilih waktu seperti itu karena aku besok setelah pulang kerja berencana ke kantor Lalu Lintas untuk mengurus SIM milik putriku.

Gagalnya pertemuan hari ini sebenarnya sudah merugikan aku. Semalam aku sudah memilih baju yang paling bagus untuk menyambut orang bule dengan bahasa Ingris yang kental itu. Aku akhirnya meyerah dengan penampilanku hari ini, aku pikir, aku sudah layu sebelum berkembang. Tetapi pikiranku meyakinkan diriku sendiri, bahwa besok aku akan tetap memakai baju yang sama walaupun misalnya sudah lungset. Dan setelah sholat Dhuhur, aku biarkan lengan bajuku tetap tergulung setengah dari lenganku karena mengambil wuduk, agar seperti biasanya dan aku merasa dan kelihatan lebih santai.

Ketika sampai di rumah aku khabarkan kepada istriku bahwa pertemuanku dengan si Mester kemarin diundur menjadi besok. Istriku hanya tersenyum karena sedang asyik dengan Tablet di tangannya. Aku berkata dalam pikiranku,
"Biarpun besok tidak jadi, tidak apa-apa, biar aku tidak terbebani aku anggap besok siang tidak ada pertemuan lagi, titik".

Seperti biasa setelah sholat Subuh, aku langsung mempersiapkan makan pagiku dengan menuangkan corn flake rasa natural dari tempat plastik di atas meja makan dapur apartemenku. Setelahnya aku tuangka susu yang aku racik sendiri dari susu bubuk kaleng bertuliskan 'Skimmed Milk' dalam laci di bawah dekat tempat cuci piring. Sambil makan pagi aku membaca berita lewat internet laptop yang aku nyalakan sebelum aku mempersiapkan makan pagi tadi. Ketika makan pagi siap untuk aku santap, laptop pun sudah siap pula untuk dipakai mencari berita dari situs yang aku sukai, detik.com dan/atau kompas.com, terkadang juga gulfnews.com.

Aku tetap terfokus pada laptopku ketika aku lihat istriku keluar dari kamar tidur sudah bagun dari tidurnya. Karena ia menuju dapur, tentunya dia juga sudah sholat Subuh. Seperti biasa setiap pagi, ia mempersiapkan lauk-pauk untuk makan siangku yang akan aku bawa ke kantor nanti. Nasi dalam rice cooker sudah aku masak sejak sebelum aku mempersiapkan makan pagiku tadi, sehingga sekarang tentunya sudah matang dan siap untuk dimasukkan ke dalam kotak makan siangku. Sehingga aku tinggal mempersiapkan roti yang diisi dengan olesan krem keju sebagai tambahan lanjutan makan pagiku di kantor.

Aku berangkat agak pagi hari ini karena nanti siang aku ingin keluar kantor lebih awal. Rencananya aku ingin meminta ijin atasanku untuk keluar kantor 1 jam sebelum jam pulang. Aku juga akan makan siang lebih awal khawatir si Mester, tamuku akan datang lebih awal juga.

Ketika jam tanganku menunjukkan pukul 11:30, aku ambil kotak makan siangku dan menuju ke dalam kantor kosong untuk seorang menejer yang tidak ingin menempatinya. Tempatnya nyaman dengan meja tulis besar dan kursi empuk memiliki sandaran untuk kepala. Tempat yang cukup bagus digunakan sebagai tempat makan siang daripada tidak ada yang menempati, 'mubazzir' kalau dibiarkan kosong. Setelah selesai makan siang, jam tanganku menunjukkan limabelas menit sebelum pukul 12 siang. Ketika jam tanganku menunjukkan pukul 12 siang aku masih belum menerima telephon dari si Mester kemarin lusa itu. Aku coba menengok keluar melalui pintu darurat kantor yang memilki kaca tembus pandang dekat dapur kantor. Aku awasi pelataran parkir sampai sejauh aku bisa melongok. Aku lihat kembali jam tanganku, dan sekarang sudah pukul 12;02. Aku lalu memutuskan kembali ke dalam ruang kerjaku untuk melanjutkan pekerjaanku yang tinggal finishing belum aku selesaikan sejak kemarin.

Pikiranku menyerah saja, mau datang kek, mau nggak mah, terserah. Paling akan seperti kemarin mundur lagi. Tetapi, jika dia minta mundur lebih siang atau sore hari ini,
"Sorry, no way!!".

Demikian gumamku karena aku ada keperluan lain nanti, aku akan ke kantor Lalu Lintas pada pukul 2 siang.

Ketika aku baru saja memulai membuka berkas kertas kerja dan tampilan layar monitor laptopku telephon di mejaku berdering dari panggilan pos sekuriti kantorku. Ketika aku angkat penjaga pintu sekuriti memberitau aku bahwa ada orang bernama 'Steve' ingin bertemu dengan aku. Setelah aku ijinkan untuk masuk, lalu aku tutup kembali berkas di atas meja kerjaku untuk kemudian aku keluar ruangan dengan maksud turun ke lantai dasar menyambut tamuku yang sudah aku tunggu tetapi baru datang ingin menemuiku.  Ketika aku sampai di mulut tangga sebelum aku turun menitinya, tamuku sudah muncul di pertengahan tangga naik mendahului aku turun dengan pakaian jas dan dasi sangat necis sekali. Dugaanku benar, aku harus berpakaian bagus juga karena orang bule bisanya memakai setelan jas.

Aku langsung menyapanya dengan ucapan,
"Are you Mr. Hutton?".
"Yes, absolutly".

Lalu aku julurkan tanganku untuk  menyalaminya,
"Hi, Mr. Hutton, I am Nasuki, and how are you?.
"I'm fine, Mr. Nasuki, and how are you today".
"I'm verry good".

Sambil aku bersalaman untuk menyambutnya aku perhatikan ada sedikit keringat di wajahnya, sambil aku tawari pertemuannya akan dilaksanakan di dalam ruang rapat kantorku yang kosong. Setelah aku dan dia saling melepas tangan aku membuka pintu ruang rapat, dan aku persilahkan dia duduk, lalu aku hudupkan AC untuk ruang itu agar suhu udara di dalamnya lebih segar menyambut kedatangan tamu yang aku yakin kepanasan dari luar kantor sana.

Sebelum pertemuan dimulai aku tawari dia minum, ketika Ansari, seorang 'tea boy' kantor sudah berada di depanku karena telah aku panggil dengan kode kedipan tadi sebelum aku dan tamuku masuk ruang rapat. Tea boy merupakan panggilan pelayan di kantor-kantor di Abu Dhabi, tea boy bukan berarti tukang teh yang masih remaja, itu hanya panggilan saja, untuk itu tea boy kantorku sudah memiliki anak yang sedang duduk di bangku SMP.

Tamuku tidak ingin kopi, juga tidak untuk teh, hanya air putih saja maunya. Seperti janji yang sudah disepakati sebelumnya, dia hanya ingin bertemu aku selama 30 menitan saja. Dia tidak ingin mengganggu kesibukanku terlalu lama, maka acarapun segera dimulai setelah saling memperkenalkan diri.

Dia mengawali bagaimana dia bisa sampai menemukan kantorku ini, dimana dia baru pertamakali ke daerah Musaffah. Pikirku,
"Tentu saja ini baru pertama kali, lha wong dia tadi berkata bahwa ini merupakan minggu pertamanya  di UAE".

Dia menceritakan bagaimana dia dan perusahaannya bekerja. Dia biasa menangani suatu investasi baik jangka panjang atau jangka pendek bukan dengan cara kebanyakan. Caranya merupakan sesuatu cara yang baru dan dijamin tidak memiliki resiko bagi investor. Artinya, uang investor dijamin tidak akan hilang, akan kembali seratus persen pada situasi yang paling jelek sekalipun. Dia juga tidak meminta gaji dari investor, dia hanya menjalankan uang yang ditanamkan sedemikian rupa untuk keuntungan investor.

Sambil melamun aku berkata dalam hati,
"Lalu uang untuk membeli makan, kamu belanjakan untuk pakaian necismu, transportasi yang membawamu kemari, dari mana?. Mana ada orang seperti dia bekerja secara suka rela. Bohong besar".

Itu kesimpulan benakku saat itu.

Dia terus melanjutkan pengenalannya. Cara investasi lama ada dua macam, ada yang beresiko berat dan ada yang beresiko ringan. Itu tergantung investasi dimana ditanam. Apabila ditanam di tempat dengan keuntungan yang besar, maka reikonya juga besar, demikian sebaliknya. Aku pikir,
"Anak kecilpun tau tentang ini, siapa yang berani dialah yang akan berhasil, jika berhasil, dan dialah yang hancur apabila rugi".

Sebelum dia melanjutkan keterangannya aku memotong paparannya agar aku tidak seperti orang bloon yang bisanya cuma menjadi pendengar yang manis. Aku katakan bahwa,
"Aku pernah mengikuti investasi di perusahaan bernama Eagle International, suatu perusahaan investasi jangka panjang dengan jalan membeli saham, uang atau komoditi setiap bulan, dan sampai bulan terrtentu bisa berhenti, atau jalan  terus. Dan apabila berhenti, nanti ketika jatuh tempo akan mendapatkan pendapatan bulanan seperti yang ditarget sejak awal. Jika diteruskan membayar akan mendapatkan pendapatan lebih karena kelebihan kumpulan dana yang sudah melebihi kebutuhan minimum yang diperkirakan".

Lalu aku melanjutkannya dan bilang bahwa,
"Au menyesal kemuadian. Alasannya karena investasiku aku tarik setelah aku selesaikan mengumpulkannya selama 3 tahun, pas jatuh temponya. Lalu aku belikan ruko di Kertoono dan aku sewakan sampai sekarang. Seandainya aku teruskan, maka sekarang merupakan tahun ke empatbelas. Jika aku terus mengumpulkanyang waktu itu 1000 Dirham per bulan, kali 14 dan kali 12, maka aku sudah memiliki uang paling tidak 160 ribu Dirham lebih berada di Eagle International. Itulah yang aku sesali".

Lalu aku singgung juga bahwa aku sendiri pernah bermain saham di UAE, dan berakhir rugi. Diapun tersenyum sinis, seolah mengatakan,
"Kapok, loh, makanya ikut gue aja".

Lalu dia aku persilahkan untuk meneruskan celotehannya. Aku dengarkan saja, tetapi lama-kelamaan secara tidak sadar aku terbawa juga dari kendali ceritanya. Aku jadi mengandai-andai dalam lamunanku sambil mendengarkan dia terus bercerita. Seandainya aku punya uang banyak, seandainya aku memiliki kelebihan sisa gaji banyak. Beruntung secepatnya aku kemudian sadar kembali ketika dia merogoh tas jinjing yang ia letakkan di kursi kosong sebelah kanannya.

Tidak terasa waktu sudah hampir 30 menit berlalu ketika dia mengeluarkan formulir yang dia sebut 'questioners form', suatu formulir berisi daftar pertanyaan-pertanyaan kertas agak kaku-tebal berwarna hijau. Dia mengisinya satu persatu dataku dengan mencontoh dari kartu nama yang aku dan dia saling tukar tadi. Lalu data pribadi lainnya termasuk pendapatanku setiap bulan dan harta kekayaan yang aku miliki. Aku jawab semua pertanyaannya sesuai kehendakku. Data yang aku berikan sengaja tidak akurasi, karena aku tidak terlalu yakin dengan yang dia perkenalkan, dan lagi, data pribadi sampai pendapatan dan harta kekayaan tidak bisa diobral ke sembarang orang. Sampai aku ditanya juga tentang berapa harapan pendapatanku ketika aku pensiun nanti jika tinggal di Indonesia. Aku bilang bahwa,
"Aku menginginkan seribu Dollar Amerika perbulan saja".

Pengisian pertanyaan tersendat ketika dia ingin mengetahui jumlah tabunganku di bankku saat ini. Aku bisa saja mengarang tentang jumlah yang dia minta, tetapi dalam hal ini aku tidak ingin memberinya sebelum aku menanyakan kepada istriku. Aku tidak bisa memberinya karena detail besaran tabunganku yang mengetahuinya hanyalah istriku. Aku katakan bahwa jika itu penting, maka datanya nanti harus aku tanyakan istriku ketika aku ada di rumah. Dia mengatakan bahwa data itu penting untuk diketahui untuk menganalisa bagaimana aku bisa sampai pada penghasilan keinginanku ketika aku pensiun nanti.

Aku lihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 1 siang kurang limabelas menitan. Aku bilang kepadanya agar pertemuan ini dipercepat karena aku harus ada meeting lainnya setelah ini. Questioners terus dilanjutkan sampai akhirnya aku menandatangani format hijau itu. Aku agak tidak enak untuk memberikan tandatanganku di format itu. Pikiranku macam-macam lalu aku bubuhkan paraf saja daripada tandatangan. Kemudian dia minta untuk direkomendasikan kepada teman-temanku apabila aku merasa puas dengan apa yang telah ia ceritakan. Setelah aku jawab 'iya', lalu dia dan aku mengakhiri pertemuan. Diapun berlalu dari lantai 1 kantorku dan aku secepatnya menghadap atasanku untuk membicarakan sisa pekerjaanku sebelum aku keluar kantor sejam lebih awal untuk ke kantor Lalu Lintas.

Aku keluar kantor pulang tepat waktu sesuai rencanaku, sejam sebelum jam seharusnya. Aku merasa lega, pekerjaanku sudah selesai, dan sudah aku mintakan tanda tangan serta aku serahkan bos supaya dikirim kepada kastemer.

Sebelum aku keluar kantor, aku telephon putriku mengabarkan bahwa aku sedang keluar kantor,  putriku memintaku untuk mengabarinya agar dia bisa mempersiapkan sebelum aku sampai di rumah. Di rumah aku tidak bertemu istriku, dia sedang menghadiri pesta undangan ibu-ibu temannya. Putriku masih di dalam kamar mandi melakukan persiapan untuk ke kantor Lalu Lintas urusan SIMnya. Tentang pertemuanku dengan si Mester tadi, aku akan ceritakan nanti saja kepada istriku jika dia sudah sampai di rumah.

Ketika istriku sudah di rumah, aku ceritakan apa yang telah aku alami tadi dengan konsultan investasi bule di kantorku. Dia tentu tidak setuju untuk aku ikut investasi,
"Wong untuk biaya operasional sehari-hari saja sekarang megap-megap", demikian protesnya.

"Bayangkan, satu anak kuliah di Kanada, dan satunya beberapa bulan yang lalu baru selesai dari kuliah di Amerika. Ada angsuran apartemen perbulan yang masih belum lunas. Uang gambar tekkek apa untuk investasi?. Apalagi orang Bule!, gajinya tentu gedhe. Udah!, nggak usah macem-macem", demikian nasehatnya.

"OK", kataku
"aku akan infokan kepadanya mekalui email seperti yang telah aku janjikan tadi", demikian jawabku menyetujui usulan dan nasehat istriku.

Aku terus berpikir tentang kalimat yang harus aku sampaikan kepada si Mester yang telah aku temui itu. Aku ulur sehari, dua hari, dan di akhir hari yang kedua pas lagi weekend aku selalu membawa pulang laptop kantor. Aku ingat yang aku berikan adalah kartu namaku sehingga aku harus menjawabnya dengan memakai alamat email kantor. Jadi, suatu kebetulan sekali aku sedang membawa laptop kantorku. Aku akhirnya menemukan jawaban rangkaian kalimatnya. Yang jika aku artikan kira-kira berbunyi sebagai berikut:

Yth. Mr. Steve,

Aku mengharapkan anda dalam keadaan baik. Setelah aku berdiskusi dengan istriku, maka aku simpulkan sebagai berikut:
  1. Karena hartaku merupakan harta keluarga termasuk anak dan istriku, maka pemakaiannya untuk investasi harus dibicarakan bersama keluarga, paling tidak dengan istriku. 
  2. Dari titik 1 di atas, istriku tidak menyetujuinya, dimana akupun harus menghormati pendapatnya, sehingga aku tidak akan menginvestasikan hartaku saat ini baik jangka panjang ataupun pendek melalui perusahaanmu. 
  3. Sebagaimana investasi memiliki resiko kerugian baik dibidang materi atau waktu, maka aku tidak bisa merekomendasikan kepada siapapu tentang investasi yang kamu tawarkan, aku tidak ingin memiliki keterikatan psikologi karenanya terhadap siapa saja yang aku perkenalkan. 
Demikian yang bisa aku sampaikan dan terimakasih atas perkenalan sitem investasi baru kepadaku, serta mohon maaf dengan kesimpulanku itu.

Setelah aku tulis salam hormat, lalu aku kirim emailku sesuai dengan email di kartu nama yang ia berikan kepadaku. Sampai seminggu lamanya aku tidak mendapatkan jawaban darinya. Aku anggap dia sudah tidak akan menghiraukan aku lagi, karena aku tidak seperti apa yang pernah dia harapkan, seseorang yang memiliki harta untuk diinvestasikan melaluinya.

END