Saturday, November 23, 2013

LIBURAN 2013

Garuda Indonesian Airways (GIA)

Hari ini sudah memasuki bulan September 2013, kira-kira sebulan setengah lagi aku akan mengambil cuti pulang ke Indonesia bersama istriku. Aku akan mengambil keuntungan dari libur Hari Raya Adha depan, perkiraanku, libur Hari Raya akan satu minggu penuh, ini merupakan kebiasaan di UAE jika Idul Adha tiba, maka secara nasional akan mendapatkan hari libur minimum 3 hari, sehingga jumlah cutiku akan dapat tambahan selama libur Hri Raya itu.

Istriku sekarang masih berada di Amerika untuk menjenguk putriku yang sedang kuliah di Seattle, sesuai rencana dia juga akan ke Kanada sekalian untuk mengantar putraku kuliah di University of British Columbia (UBC) Vancouver, Kanada, lalu akan kembali ke Abu Dhabi pada tanggal 20 September ini. Tiket pesawat untuk pulang ke Indonesia belum aku pesan. Setelah aku konsultasikan ini dengan istriku melalui email, maka dia memintaku untuk memesan tiket sedekat mungkin dengan jadwal kepulangan ke Indonesia nanti, karena akan lebih murah, itu menurut pengalamannya, dan dia lebih suka memilih terbang dengan Etihad Airways.

Aku mulai memeriksa pasaran tiket melalui internet beberapa penerbangan dari Abu Dhabi ke Surabaya untuk membandingkan harganya. Harga rata-rata dari semua yang aku temukan adalah diatas 3000 Dirhams pulang-pergi, kecuali GIA yang memasang tarif di bawah 3000 Dirham, tepatnya 2870 Dirham untuk hari-hari tertentu, di mana jadwal cutiku termasuk di dalam tanggal promosi dari GIA itu. Aku coba menyampaikan ini kepada istriku dan aku memberinya juga linknya. Ia lalu menjawab tidak setuju dengan harga semahal itu, lalu aku dimintanya untuk menunggu untuk mengecek lagi sampai waktu mendekati tanggal cutiku.

Setelah dua hari dari promosi, aku lihat kembali semua penerbangan ke Surabaya, ada beberapa penerbangan sudah menaikkan harga tiketnya, ada pula yang tetap seperti dua hari yang lalu. Sedangkan harga promosi the lowest price dari GIA sekitar tanggal cutiku sudah tidak ada lagi dan berganti dengan harga baru sekitar 4000 Dirham lebih. Aku informasikan ini kepada istriku yang masih di Amerika, dia tetap yakin bahwa nanti harga tiket akan turun lebih dari itu. Aku menyerah saja pada usulan istriku karena menurut pengalaman yang aku ketahui tahun lalu bahwa tiket yang pernah dipesan tiga bulan sebelum keberangkatan lebih mahal daripada harga tiket seminggu sebelum keberangkatan ke Indonesia.

Seminggu kemudian aku mencoba untuk memeriksa kembali melalui internet harga-harga tiket yang aku cari, aku dapati bahwa semua perusahaan penerbangan sudah menaikkan harga tiket mereka. Lalu aku lihat di GIA memasang harga promosi the lowest price ke Surbaya seperti sebelumnya, tetapi pada tanggal keberangkatan yang aku perlukan tidak ada, yang ada the lowest price nya seminggu mundur dari hari cutiku. Aku menjadi lebih khawatir lagi, jangan-jangan memang harga tiket ke Surabaya semakin lama akan semakin tinggi. Aku sampaikan ini kepada istriku, tetapi dia masih saja tetap merasa yakin bahwa nanti pada saat menjelang keberangkatan harganya akan turun lebih murah daripada itu. Lagi-lagi aku menyerah dengan keyakinannya.

Hari ini sudah tanggal 16 September, empat hari lagi istriku akan kembali ke Abu Dhabi dari perjalanannya ke Amerika Serikat dan Kanada. Aku mencoba memeriksa harga-harga tiket ke Surabaya, beritanya secara keseluruhan hampir sama, semua harga tiket naik. Aku mencoba memeriksa tiket di GIA pada tanggal keberangkatanku, ternyata ada promosi lagi hanya pada tanggal keberangkatanku yaitu 11 Oktober 2013, selebihnya sekitar seminggu sebelum atau setelah dari hari itu tidak ada. Pikiranku muulai kalut, di dalam hati aku ingin memberitau istriku, sedangkan di dalam pikiranku mengatakan untuk memesannya tanpa membertau istriku terlebih dahulu, karena jika ini diberitaukan kepada istruku aku yakin jawabannya akan sama, yaitu menunggu sampai dekat dengan tanggal keberangkatan untuk membeli tiketnya. Secara diam-diam aku sudah memutuskan sesuatu, aku lebih memilih mengikuti pikiranku saja, memesan tiket promosi the lowest price dari GIA tanpa memberitau istriku terlebih dahulu daripada memberitaunya tetapi akan beresiko diminta untuk memesannya nanti, hal ini akan berakibat kehilangan kesempatan promosi ini. Aku pesan tiket untuk dua orang, aku dan istriku dengan harga 2870 Dirham per tiket dari Abu Dhabi ke Surabaya, berangkat pada tanggal 11 Oktober dan kembali dari Surabaya pada tanggal 15 Nopember 2013.

Sehari setelah istriku sampai di Abu Dhabi aku memintanya untuk memeriksa harga-harga tiket ke Surabaya pada tanggal 11 Oktober sesuai rencana keberangkatan ke Surabaya. Sampai beberapa hari ia tetap mendapati harga tiket yang semakin lama semakin naik saja, bahkan ada yang menawarkan dengan harga sampai 7000 Dirham lebih serta yang paling rendah menawarkan dengan harga mendekati 5000 Dirham. Akhirnya istriku mulai goyah keyakinannya melihat bahwa semakin dekat dengan keberangkatan harga tiket ke Surabaya akan semakin mahal, iapun mulai sedikit gelisah juga. tiap hari dan setiap saat ia memonitornya. Hasilnya tetap saja, tidak ada satupun harga tiket ke Surabaya yang semakin murah kecuali sebaliknya.

Kini tiba giliranku untuk mengatakan yang telah aku lakukan tentang tiket kepadanya, lalu secara perlahan aku katakan bahwa, aku sudah memesan tiket ketika harganya masih dalam promosi dulu, harga sebesar 2870 Dirham. Ia kaget seperti tidak percaya. Lalu aku ceritakan masalahnya, iapun menerimanya. Dengan demikian aku dan istriku akan memakai GIA dalam berlibur ke Indonesia nanti.

GIA Kok Begini

Kebetulan Hari ini tanggal 11 September, pukul 21.00 nanti merupakan jadwal penerbanganku dan istriku dari Abu Dhabi ke Surabaya dengan pesawat GIA. Setelah sholat Maghrib di Masjid sebelah, jam di tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 18 lewat 20 menit. Sejak sebelum sholat aku sudah memakai pakaian untuk pergi ke Surabaya malam ini. Aku keluar apartemenku tepat pada pukul 18:30 menuju taksi. Sopir taksi yang aku pesan melalui telepon sudah menelponku sejak dua menit lalu memberitahukan bahwa dia sudah sampai di bawah apartemenku, Alreef Down Town Building No. 5. Perjalanan menuju Bandara International Abu Dhabi dari tempat tinggalku berjarak kira-kira 15 menit dengan taksi. Sesampai di Bandara aku langsung menuju ke pemeriksaan barang. Empat konter pemeriksaan barang yang dijaga oleh para Polisi Bandara dipenuhi para calon penumpang yang akan meninggalkan Abu Dhabi di malam ini. Para calon penumpang antri cukup panjang. Jarakku dengan konter ketika aku antri kira-kira limbelasan meter. Kereta dorongku dan istriku yang membawa barang bawaan berjalan perlahan-lahan. Aku mulai membuka jam tanganku, ikat pinggangku, sepatuku dan mengeluarkan dompet dan telepon genggamku ketika aku sudah dekat dengan konter pemeriksaan untuk aku letakkan di dalam kotak plastik milik Bandara guna discan bersama-sama tas-tas bagasiku. Setelah aku melalui pintu scan, seorang petugas memeriksa dengan scan tangan ke seluruh bagian tubuhku dan tanganku diminta untuk diletakkan lurus ke samping. Setelah semua pemeriksaan selesai dan aku dipastikan lolos, cepat-cepat aku raih kembali semua barang-barangku untuk aku naikkan kembali ke atas kereta dorong, lalu aku pakai kembali semua perlengkapanku yang aku lepas untuk discan tadi.

Seketika setelah semuanya beres aku langsung mencari konter GIA. Wanita penjaga konter memperbolehkan dua tas bagasi dan seikat pipa-pipa korden masuk dalam bagasi pesawat GIA. Berat total seluruh barangku dan istriku ke dalam bagasi seberat 58 kologram. Dua tas jinjing beroda untukku dan istriku dan satu tas tangan untuk istrilu dibawa ke dalam kabin pesawat. Setelah memasuki tempat pemeriksaan passport aku dan istriku langsung menuju gate nomor 7 tempat aku harus boarding nanti. Jadwal penerbangan pada pukul 21.05, ini berarti hanya tinggal sekitar satu jam lagi aku akan terbang ke Surabaya. Aku dan istriku duduk di kursi sebelah kanan depan gate nomor 7. Aku lihat istriku sibuk dengan ipad memakai wifi Bandara, dan aku sendiri sibuk dengan handponeku.

Tepat pukul 20.45 aku masuk pesawat. Lima menit sebelum jadwal keberangkatan ada pengumuman bahwa tutup sistem pengisian bahan bakar pesawat sedang ada masalah teknis, dan diperkirakan pengisian bahan bakar akan selesai sekitar satu jam lagi. Setelah satu jam menunggu, lalu menyusul pemberitahuan lagi dari kokpit pesawat bahwa pengisian bahan bakar sudah selesai dan pesawat siap untuk terbang, tetapi pesawat harus menunggu giliran jadwal terbang karena kerusakan tadi, selama lebih kurang tiga jam lagi pesawat akan diperbolehkan terbang. Ini berarti pesawat GIA yang aku tumpangi ditunda selama hampir empat setengah jam.

Setelah tertunda hampir empat jam setengah dari jadwal yang seharusnya maka akhirnya pesawat lepas landas menuju Jakarta. Sesuai durasi transit untuk menunggu penerbanganku dari Jakarta ke Surabaya adalah 3 jam, sedangkan penundaan penerbangan dari Abu Dhabi hampir empat setengah jam, ini berarti pesawat yang akan membawaku ke Surabaya nanti sudah berangkat pula dan harus diganti juga. Ketika aku sampai di Bandara Sukarno Hatta (Suta), aku langsung ke konter transit di dalam Bandara Suta di terminal 2. Petugas memberiku jadwal penerbangan baru dengan tenggang waktu hanya 30 menit untuk boarding menuju ke Surabaya. Ketika aku tanyakan apakah barang-barang bagasiku akan dapat menjadi satu pesawat dengan aku karena waktu yang sempit ini, petugas konter menjamin bahwa bagasiku akan jadi satu pesawat denganku. Dengan perasaan ragu akan bagasiku aku dan istriku bergegas menuju gate tempat aku harus boarding secepatnya menuju Surabaya.

Penerbangan dari Jakarta ke Surabaya memakan waktu sekitar satu seperempat jam lamanya. Di dalam pesawat aku disuguhi minum dan snack. Sesampai di Bandara Juanda Surabaya aku langsung menuju tempat pengambilan bagasi. Konveyor mulai bergerak setelah hampir limabelas menit aku menunggunya. Sampai konveyor berhenti bergerak pertanda semua barang bagasi sudah tuntas dikeluarkan, barang-barang bagasiku tidak satupun yang muncul. Ketika aku tanyakan kepada seorang petugas berdasi dan berbaju putih dengan bercelana panjang krem, apakah sudah tidak ada barang bagasi lagi yang keluar dari penerbangan nomor pesawat ini, ia menjawab sudah tidak ada lagi. Lalu aku melaporkan kepada petugas GIA di dalam Bandara Juanda tentang barang-barang bagasiku yang tidak ada. Setelah bukti bagasi aku serahkan kepada lelaki petugas GIA Bandara, ia langsung mencatatnya di satu formulir putih dengan rangkap warna hijau dan kuning. Aku ditanyai seperti di interogasi saja, petugas penanya sambil mencatat jawabanku di dalam formulir isian. Intrerogerasi berjalan selama lebih dari sepuluh menit. Setelah itu aku diminta untuk tanda tangan, lalu tindasan warna hijau diberikan kepada ku.

Di dalam kantor GIA Bandara Juanda ada komputer dengan monitor tabung hanpa yang sudah kusam, demikian pula printernya, nampaknya karena modelnya sudah lama. Telepon kantor tidak aku lihat. Petugas menggunakan telepon seluler untuk menelpon kepentingan kantor. Seorang perempuan di depan komputer sedang sibuk melayani perempuan yang sedang tidak menemukan barang bagasinya pula, aku harus menunggu giliran perempuan ini selesai. Petugas wanita ini juga lalu menelpon seseorang untuk menanyakan barang bagasiku sambil membaca nomor bagasiku. Lalu aku diminta oleh perempuan GIA itu untuk menunggunya sebentar karena petugas yang telah ia hubungi sedang memeriksanya. Sejenak di benakku aku jadi teringat keadaan situasi konter-konter penerbangan di Abu Dhabi. Komputer mereka semuanya sudah flat screen, printernya sudah yang ink jet, serta pengecekan barang-barang sudah menggunakan scan pada bar code yang selalu online. Lalu aku menyimpulkan di dalam hati, bahwa infrastruktur untuk arus informasi di dalam kantor penerbangan masih lebih baik di Abu Dhabi dibanding dengan di Surabaya.

Jawaban yang aku tunggu tidak kunjung tiba, aku masih diminta untuk menunggunya saja, seketika itu aku melangkah ke luar kantor GIA duduk menghadap ke konveyor bagasi. Sampai pesawat berikutnya yang dari Jakarta tiba. Ini berarti aku sudah menunggu hampir satu jam. Aku coba berdiri dan menunggu di depan konveyor sambil mengharap bagasiku ikut di dalam pesawat berikutnya. Dari kejauhan ada tas biru sedang keluar seperti tas bagasiku. Memang benar, tas biru yang aku lihat adalah milikku. Lalu sesaat kemudian disusul tasku berwarna hitam yang lebih besar dan yang terakhir seungguk pipa yang dibungkus dengan plastik transparant dari Abu Dhabi. Aku khabarkan kepada petugas yang memberiku kertas tanda bukti lapor bahwa semua bagasiku telah aku temukan, sekalian aku ingin mengembalikan surat tanda bukti lapor barangkali diminta, petugas memberitahuku untuk menyimpan denganku surat tanda bukti yang masih aku pegang. Kini barang-barang bawaanku aku naikkan ke atas kereta dorong yang aku ambil dari kumpulan kereta dorong di dalam Bandara. Kini aku akan keluar menuju ke taksi Bandara ketika waktu mrnunjukkan pukul 17.10 waktu Surabaya.

Sepeda Motor

Setelah semua barang bagasi dinaikkan ke atas kereta dorong Badara Juanda, aku jadi lingak-linguk mencoba melihat dari kejauhan para petugas jaga di pintu pemeriksaan barang keluar Bandara. Istriku mengusulkan untuk memakai jasa porter saja agar tas bawaan tidak diperiksa, tetapi aku tidak menyetujuinya. Menurut istriku, jika memakai jasa porter untuk mendorong kereta dorong maka tas-tas bagasi tidak akan diperiksa atau diperiksa sekedarnya saja tanpa harus dibongkar semuanya, itu menurut pengalamannya. Aku kini mulai sadar bahwa aku sedang berada di Negara yang dengan uang semuanya bisa diatur. Tetapi aku katakan tidak perlu jasa porter karena semua barang bawaan dapat ditangani sendiri. Untuk pemeriksaan adalah yang penting barang bawaan yang dibawa adalah bukan barang haram, maka untuk memeriksa semua barang bawaan dari luar negeri adalah merupakan tugas para petugas pemeriksa barang di Bandara, biarlah mereka periksa sepuasnya. Saya hanya menganggukkan diri ketika menatap mata seorang petugas pemeriksa barang yang setengah tersenyum ketika memandangku. Diapun membalas anggukanku dengan menganggukkan kepalanya dengan membuka bibirnya lebih lebar melanjutkan senyumnya tadi. Aku mengartikan bahwa barang bawaanku tidak perlu diperiksa dan aku langsung terus menuju ke luar Bandara.

Di luar bandara aku coba melirik kiri-kanan mencari kantor penukaran uang asing, tetapi tidak satupun yang terbuka. Jam di lengan kiriku menunjukkan pukul 14san siang waktu Abu Dhabi, ini berarti sudah pukul limaan sore waktu Surabaya. Perhatianku beralih ke loket taksi. Aku mencari kantor taksi Prima, taksi Bandara yang biasa aku naiki jika aku pulang ke rumah Surabaya dengan taksi. Aku temukan loket taksi lain, lalu aku menghampirinya. Petugas loket menyampaikan bahwa ongkos taksi ke Surabaya Utara alamatku sebesar 135.000 Rupiah. Namun karena tidak melayani dengan uang Dollar maka aku tinggalkan saja tawaran itu. Beranjak ke arah lebih luar aku dapati loket taksi Prima. Petugas di loket bersedia menukar uang Dollar istriku jika ingin ditukarnya. Ongkos taksi yang ditawarkan adalah 115.000 Rupiah. Akhirnya menuju ke rumah Surabaya aku naik Taksi Prima.

Semua barang bawaanku tidak bisa masuk ke dalam bagasi taksi. selain taksinya relatip kecil, Toyota Yaris, juga barang-barang milik sopir seperti kaleng-kaleng, botol-botol dan kain-kain lap menhabiskan sekitar seperempat dari volume ruang bagasi taksi. Aku bergumam dalam hati bahwa, bagaimana barang-barang bawaan saya bisa masuk bagasi taksi semua, sedangkan barang-barang milik sopir sudah cukup memenuhi sebagian ruangan bagasinya. Mungkin sopir mempersiapkan banyak barang bawaannya untuk menjaga jika mobil menghadapi masalah di tengah jalan. Akhirnya satu tas besar dan satu tas jinjing beroda bawaanku disimpan di kursi penumpang bagian belakang taksi sebelah kiri tempat duduk istriku.

Untuk keluar dari Bandara Juanda setiap mobil harus melalui pintu parkir, setiap mobil diwajibkan untuk membayar parkir melalui pintu otomatis paska bayar lalu setiap sopir akan mendapatkan karcis tanda lunas bayar. Tetapi sopir taksi yang aku tumpangi memilih salah satu pintu keluar yang portalnya tetap terbuka dan dijaga oleh seseorang yang siap menerima uang dari sopir mobil yang melintasi. Aku menanyakan kepada sopir taksi yang aku tumpangi setelah melintasi portal mengapa penjaga pintu tadi tidak memberinya karcis tanda lunas bayar. Ia mengatakan, bahwa pintunya rusak, maka karcisnya tidak diberikan. Aku menanyakannya lagi apakah biaya yang dikeluarkan adalah sama antara melewati pintu yang masih beroperasi dan melalui pintu rusak. Ia mengatakan bahwa jika melalui pintu rusak biayanya lebih kecil, itu pula yang menyebabkan mengapa karcis tidak diberikan oleh petugas. Di dalam benakku mengatakan bahwa uang itu bagaimana dapat masuk ke dalam hitungan pemasukan. Lagi-lagi dipikiranku mengatakan, inilah Negara dengan uang bisa diatur.

Aku meminta agar sopir melalui jalan tol dari pintu Waru menuju Perak. Biaya tol dibebankan kepada penumpang taksi, itu sedah lumrah, lalu aku menyiapkan uang lima ribuan Rupian saja karena biayanya 4.500 Rupiah dari Waru menuju Perak. Ketika akan memasuki pintu tol lama Waru, jalan macet panjang sekali. Akhirnya sopir mengambil pintu tol baru yang menurutnya lebih macet lagi. Aku lihat jalannya tidak semacet melalui pintu tol lama. Perjalanan dari Waru ke Perak ditempuh hampir dalam waktu tigapuluh menitan. Ketika taksi ke luar pintu tol Perak dan masuk melalui jalan Perak Barat, jumlah sepeda motor lebih mendominasi melintassi jalan jauh melebihi jumlah kendaraan lainnya. Ketika aku sampaikan kepada sopir taksi tentang keherananku itu, ia mengatakan bahwa, saat sekarang untuk memiliki sebuah sepeda motor baru cukup hanya memiliki uang muka sebanyak 500.000 Rupiah saja ditambah foto copy Kartu Tanda Penduduk, sisanya dapat diangsur setiap bulan.

Sesampai di depan gang rumah, taksi aku suruh berhenti di depan Prim Kopal. Lalu aku memanggil becak untuk membawa semua barang bawaanku masuk gang kecil menuju rumahku yang diwarisi oleh kedua orang tuaku. Karena jaraknya tidak lebih dari seratus meter, maka ibu tiriku menganjurkan aku memberi ongkos tidak lebih dari 5000 Rupiah. Kamar sudah siap untuk aku tidur, mungkin istriku sudah mengabarkan bahwa aku dan istriku akan datang hari ini. di rumah ini aku akan tidur satu malam saja.

Setelah menginap semalam di Rumah Surabaya, pagi berikutnya aku dan istriku menuju ke Nganjuk, rumah istriku untuk bertemu terutama dengan ayah dari istriku. Dengan mobil sewaan yang sudah dipersiapkan oleh keponakan. Toyota jenis Rush yang masih mulus aku bersama istriku menyusuri jalan-jalan dari Surabaya menuju Nganjuk. Aku tidak menyangka dengan apa yang aku lihat saat ini di jalan-jalan raya yang aku lalui. Jumlah sepeda motor di jalan-jalan yang aku lalui sungguh luar biasa banyaknya. Mereka menjadi raja di semua jalan. Aku harus menyetir mobil dengan extra hati-hati. Mereka muncul dari arah belakang baik dari kiri ataupun kanan mobil yang sedang aku kendalikan. Kecepatan mereka sungguh luar biasa dibanding laju mobil-mobil sebelahnya. Aku lihat sepeda motor dikendarai oleh lelaki ataupun perempuan dari hampir semua umur, mulai dari anak sampai orang tua. Ketika ada lampu lalulintas, dan lampu yang sedang sedang menyala yang berwarna merah, mereka saling berdesakan untuk menjadi yang palig terdepan. Beberapa detik (5an detik) sebelum lampu warna hijau menyala mereka sudah mulai bergerak melintasi batas pemberhentian. Bahkan mereka berjalan jika tidak ada kendaraan yang melintas pada daerah lampu hijau walaupun lampu hijau untuk hak mereka belum menyala. Tentu ketika lampu hijau menyala mereka seakan akan seperti gerombolan semut kesetanan yang harus didahulukan. Kendaraan besar harus rela bergerak perlahan atau tidak bergereak karena memberi kesempatan kepada sepeda motor yang bergerak secara tidak beraturan terlebih dahulu.

Helem teropong lebih disukai oleh pengendara sepeda motor. Bagi yang tidak memakai helm teropong biasanya mukanya ditutupi sehelai kain barangkali untuk mencegah debu masuk ke pernafasan atau menempel di bagian wajah. Ada banyak anak ataupun orang dewasa yang bersepeda motor tanpa memakai helm. Walaupun mereka melintas di depan Polisi yang sedang mengatur jalan raya mereka tidak ditegor oleh Polisi yang melihatnya, bahkan mereka tidak takut kepada polisi yang dilintasinya walaupun bersepeda motor tanpa memakai helm merupakan pelanggaran bermotor.

Saya yakin semua anak yang memakai sepeda motor tidak memeiliki surat ijin mengemudi sebagaimana yang diwajinkan kepada pemakai kendaraan bermotor karena mereka pasti masih di bawah umur. Sehingga sepanjang jalan yang lebih aku perhatikan adalah pengendara sepeda motor daripada mobil, karena mereka dengan kecepatan tinggi dan dengan sedikit bersinggungan maka sepeda motor akan mudah oleng dan dan terpental, jika terjatuh besar kemungkinannya akan membawa korban terhadap pengendaranya. Lain halnya dengan mobil, jika bersinggungan yang rusak adalah mobilnya. Aku berucap syukur kepada Tuhan aku dapat selamat sampai di Nganjuk rumah istriku. Tetapi, sisa trauma menyetir mobil diantara sepeda motor untuk kembali ke Surabaya tetap masih ada di dalam kepalaku.

Walaupun terkadang aku menghadapi kemacetan di hampir sepanjang jalan yang aku lalui, aku sudah mengantisipasinya. Aku tau itu dikaarenakan terutama lebar jalan yang relatip tetap yaitu kebanyakan satu atau dua lajur di setiap jalurnya dan dengan peningkatan kendaraan yang tentu semakin lama semakin banyak. Demikian juga di jalan desa dari Kertosono menuju Balunggebang. Walaupun keadaan jalan masih lancar tetapi sepeda motor juga cukup banyak pula. Bahkan angkutan pedesaan mikrolet jurusan Kertosono ke Lenkong dan dari Lenkong ke Gondang sudah tidak beroperasi lagi. Menurut orang orang desa istriku, itu dikarenakan hampir semua orang memiliki sepada motor sehingga mikrolet tidak ada yang menaikinya.

Sesampainya di rumah, Istriku langsung menemui ayahnya, demikian pula aku. Yang membukakan pintu rumah istriku adalah kakak perempuan tertua istriku dari lain ibu. Keadaan ayah istriku sudah nampak tua sekali, itu sesuai dengan umurnya yang sudah mendekati 80 tahun. Dia sudah susah untuk berjalan, penglihatannya sudah kabur, tangannya harus merambat memegang dinding ke dinding, dari tiang ke pintu, gerakannya sudah lamban sekali, sorot pandangan matanya seperti terfokus pada apa yang sedang ia lihat sebelum mengenali apa yang sedang dilihatnya. Kakak perempuan tertua dari istriku yang selalu menemani Mertuaku. Ia janda beranak satu yang tinggal sendirian di rumah sebelah, rumahnya bisa tembus lewat pintu tengah ke rumah istriku. Mertuaku tinggal di rumah istriku. Setiap malam kakak perempuan istriku tidur di rumah istriku menemani mertuaku. Ia merasa takut tidur sendirian di rumahnya sendiri sejak ditinggal mati oleh suaminya setahun yang lalu. Menurutnya bahwa bayangan suaminya selalu menghantuinya ketika tidur sendirian di rumahnya.

Aku coba melihat sekeliling dalam rumah istriku. Ada bekas-bekas air bocor di beberapa tempat langit-langit rumah istriku. Di dapur bahkan langit langitnya menjadi rusak. Ketika hujan datang aku mencoba memeriksanya. Atap di atas dapur ada tetesan air masuk ke dalam, sayang hujannya di waktu sudah agak petang sehingga aku tidak dapat naik ke atas langit-langit karena gelap. Pada hujan berikutnya di siang hari aku memeriksanya dan mencoba memperbaiki bocornya dengan memakai plastik yang aku dapati di bawah atap sebelahnya. Sayang aku belum bisa melihat hasilnya karena hujan sudah berhenti sebelum perbaikanku selesai aku kerjakan. Yang paling parah adalah bocor dari atap di depan pojok kiri garasi. Aku mencoba untuk menaiki atap rumah dengan tangga dari depan garasi tetapi aku tidak berhasil menaikinya karena tangga yang ada panjangnya tidak mendukung. Ketika aku sampaikan kepada seorang 'tukang' yang dahulu pernah membangun rumah istriku dan kebetulan menyapaku ketika sedang lewat depan rumah istriku, ia mengatakan bahwa, talang (penadah) air hujan di pojok kiri depan garasi dulunya memang dibuat tidak kedap air sejak awal sehingga air hujan akan keluar talang dari luar pipa paralon yang tidak kedap dengan talang. Ia menyarankan agar talangnya dibuatkan permanen dengan cor semen dan aku memintanya untuk memperbaikinya sesuai idenya.

Selama dua malam setelahnya aku dan istriku kembali ke Surabaya lagi. Karena esok harinya akan menuju ke Madura, Desa Pakomg Kec. Modung Kabupaten Bangkalan. Dalam perjalanan ke Surabaya aku semakin biasa dengan hiruk-pikuk sepeda motor dari arah belakang kanan atau kiri mobilku. Terkadang ada juga yang memotong dengan kecepatan cukup tinggi. Aku bersyukur dapat dapat selamat juga dari mereka sampai Surabaya. Sehari setelahnya aku dan istriku menuju Pulau Madura melalui jembatan Suramadu. Keadaan jalan-jalan raya hampir sama saja seperti di jalan raya dari Surabaya menuju Nganjuk. Sepeda motor masih mendominasi semua jalan raya. Seperti biasa aku harus extra hati-hati karenanya. Hampir satu jam aku lalui jalan menuju desa orang tuaku dengan lancar dan menyenangkan. Ruamah-rumah di kanan dan kiri jalan semakin banyak. Restoran-restoran tradisional semakin banyak pula. Tetapi jalan rayanya idak ada banyak perubahan di sepanjang jalan yang aku lalui. Kecuali jalan baru dari jembatan Suramadu ke jalan Socah semua jalan hampir sama seperti yang pernah aku lihat empat puluh tahun terakhir ini. Sesampai di jalan desa masuk menuju tujuanku, aku lihat cermin kaca spion kanan karena mobilku harus berbelok kanan masuk jalan desa depan sekitar seratur meteran lagi. Aku pastikan bahwa mobilku harus berjalan sekanan mungkin sambil aku kurangi kecepatan mobilku agar lebih mudah berbelok dan sekalian menguatkan isharat lampu riting yang telah aku hidupkan. Karena aku sudah yakin bahwa tidak ada kendaraan dari arah belakang kanan mobilku ketika aku sudah sanpai membelokkan mobilku maka secara meyakinkan aku langsung membelokkan mobilku. Tiba-tiba aku dengar suara mesin sepeda motor yang menaikkan akseleresinya dan sedetik kemudian aku dengar suara 'brak' serta getaran di mobilku. Istriku sedikit berteriak dengan mengatakan bahwa ada yang menabrak mobilku. Aku lihat semua mata menuju pada sepeda motor yang sedang roboh di belakang mobilku serta mobilku. Sambil aku injak rem agar mobilku berhenti setelah masuk pertigaan lalu ada orang desa memakai sarung memintaku untuk berhenti sambil melambaikan tangannya. Sejenak aku toleh ke belakang aku melihat lelaki setengah baya mencoba membangunkan sepeda motornya lalu mendorongnya ke arah bibir jalan. Lalu aku menyadarinya bahwa mobilku ditabrak sepeda motor dari arah belakang kanan.

Lelaki yang meminta menghentikan mobilku lalu memperingatkanku agar melihat ke belakang sebelum aku membelokkan mobku, serta dia memberitauku bahwa aku sudah memberi lampu isyarat bahwa aku akan berbelok kanan. Lelaki yang terjatuh karena menabrakku berdiri sambil memeriksa sepeda motornya lalu aku hampiri. Aku menanyakannya apakah tidak terluka. Wanita yang berdiri di belakang sepeda motornya ternyata juga penumpang sepeda motor yang menabrak mobilku. Aku tanyakan pula tentang keadaan wanita yang dibonceng oleh pengemudi sepeda motor apakah baik baik saja. Setelah mereka memastikan bahwa baik penumpang ataupun sepeda motor nereka tidak mengalami gangguan hal-hal yang berat karena kecelakaan ini, lalu aku memeriksa mobilku. Aku lihat ada sedikit goresan dan lecet di bagian belakang kanan mobil karena kecelakaan ini. Hal ini aku nilai tidak seberapa untuk melanjutkan urusan kecelakaan apalagi sampai ke Polisi, dan lagipula dari pihak yang menabrak juga tidak ada yang dikhawatirkan. Lalu aku mengatakan, bahwa lupakan kecelakaan ini dan mari kita melanjutkan perjalanan kita masing-masing. Setelah pengemudi sepeda motor menyetujuinya lalu aku menyalaminya sebelum masing-masing melanjutkan perjalanan. Aku sempat khawatir jika hal ini sampai ada Polisi yang sedang melintas. Ataupun juga karena kerumunan orang-orang sekitar yang ingin ikut campur pada urusan orang dimana pendapat mereka bisa berbalik arah, yaitu bukan didasarkan pada yang benar atau yang salah akan tetapi berdasarkan mana yang paling parah penderitaan akibat kecelakaan ini. Sesampainya di desa orang tuaku aku langsung menuju ke rumah yang ditinggali oleh ayah dan ibuku. Rumah sudah dalam keadaan rusak berat tidak terawat karena tidak ada yang menempati. Langgarnya sudah lama dibongkar karena sudah rusak, itu kata suami saudari angkatku dari keluarga ibuku. Dan kayu kayunya sudah dibawa ke rumah orang tua asli istrinya tempat mereka tinggal, dimana sebagian kayu kayunya dipakai sebagai bahan untuk membenahi langgar rumah mertuanya itu. Aku pikir, inilah akibat dari properti yang tidak terurus, semua orang ingin memilikinya.

Rumah tinggalan orang tuaku kondisinya parah sekali, dinding belakang yang terbuat dari anyaman bambu sudah copot semua. Atap-atapnya sudah ada yang runtuh berserakan di lantai dua kamar tidurnya. Lemari kayu sudah reot termakan rayap. Hanya dinding rumah bagian depannya yang terlihat masih utuh. Cagak-cagak rumah juga terlihat masih kokoh. Di benakku aku merasa bingung melihat kenyataan ini. Setelah aku pikir masak-masak lalu yang ada adalah, lebih baik dirubuhkan saja rumah tinggalan orang tuaku ini daripada dibeperbaiki, toh nantinya juga tidak ada yang menempatinya, pecuma saja diperbaiki, akan diserang rayap lagi. Aku sadar kini bahwa kedua orang tuaku dengan susah payah telah membangun rumah ini untuk berpisah dengan orang tua ibuku. Namun kini kenyataannya memang berbeda, aku sekeluarga tinggal di Luar Negeri dan rumah ini tidak ada yang mau menempatinya apalagi disewakan. Ini merupakan konsekwensi logis dari hasil migrasi orang-orang daerah ke luar daerah. Malahan beberapa tetangga sebelah sudah lama rumahnya dirobohkan karena tidak ada yang menempatinya. Termasuk tetangga rumah orang tuaku dan tetangga rumah orang tua ibuku.

Properti

Sejak sebelum aku cuti, aku berniat untuk tidak mengeluarkan pengontrak dari dua rumahku di Delta Sari Indah (DSI) dan Bukit Palma (BP) dengan alasan, bahwa rumah di DSI akan diperbaiki agar memiliki nilai kontrak yang lebih baik. Sedangkan rumah di BP karena ingin dibuat sebagai tempat tinggal sendiri jika sedang pulang cuti ke Surabaya. Nilai kontrak rumah DSI yang terakhir adalah empat setengah juta Rupiah per tahunnya, padahal untuk rumah seperti milikku pasaran nilai kontraknya minimum 10 juta Rupiah. Sedangkan BP sebesar enam setengah juta tetapi aku menerima hanya tiga juta per tahunnya sisanya diambil oleh makelar pengontrak.

Aku memiliki dua properti di DSI, satu rumah dan satu stan di Pasar DSI. Rumah sudah kosong sejak akhir September lalu sedangkan stan pasar sudah lama kosong (sejak enam tahun terakhir). Rencana yang telah aku dan istriku sepakati untuk properti di DSI adalah; pengontrak rumah akan dikeluarkan, lalu mengganti lantai tekel biasa yang ada sebelumnya dengan keramik, menutup bagian belakang sisa tanah dan diberi atap agar dapat dipakai sebagai garasi atau car port, dan membenahi hal-hal lain jika diperlukan. Sedangkan untuk stan di Pasar DSI akan dijual saja.

Karena rumah sudah kosong, maka aku mencari tukang yang akan menangani rencana perbaikan rumah di DSI. Sungguh luarbiasa sulit untuk mendapatkan tukang. Secara kebetulan ada teman istri yang tinggal di Delta Fortuna sedang merenovasi rumahnya, lalu aku diperkenalkan kepada tukangnya. Syukurlah tukang yang merenovasi rumah teman istriku bersedia untuk mengerjakan perbaikan rumahku. Akhirnya disepakati harga per meter persegi memasang lantai sebesar 50.000 Rupiah. Seluruh perbaikan termasuk memasang lantai keramik sebanyak 53 meter persegi, memotong 5 daun pintu (2 pintu kamar tidur, 1 pintu dapur, 1 pintu masuk depan dan 1 pintu masuk belakang), mengganti kusen depan dengan kusen cor dan daun jendela dari aluminium, ganti langit langit terrace ruang tamu, nutup car port dan nambah atap, ngecat seluruh tembok termasuk pagar serta membersihkan rumah. Seluruh pekerjaan dikerjakan selama duapuluh harian lebih. Dan biaya yang aku keluarkan adalah sekitar dua puluh juta Rupiah.

Sedangkan stan pasar karena masih belum laku dijual walaupun sudah dipasang dalam iklan di internet hanya dibelikan kunci gembok baru yang sebelumnya tidak ada. Awalnya aku lupa nomor stanku di pasar DSI, lalu aku menanyakan di koperasi yang menangani pasar. Petugas mencoba mencari di daftar pemilk pasar tetapi dia tidak menemukan namaku atau istriku. Lalu aku memutuskan ke stan-stan yang pintunya lama tertutup di deretan stanku, lalu aku mencoba kunci stanku yang aku bawa, disaksikan oleh petugas koperasi. Ketika aku cobakan kunciku pada stan pertama di deretan stanku aku dapati kunciku dapat membuka stan pertama. Tetapi aku terkejut karena di dalam stan itu ada banyak barang. Dan stan itu tembus dengan toko sebelahnya. Ketika aku katakan bahwa stan ini adalah stanku tiba-tiba ada seorang perempuan yang keluar dari toko sebelah mengatakan bahwa stan itu miliknya yang sekarang dipakai sebagai gudang. Dan ia mengatakan bahwa kunci pintunya rusak. Rupanya aku sudah melakukan kesalahan yang tidak aku sengaja.

Aku melanjutkan ke stan tertutup berikutnya, sampai aku mendapatkan kunci yang aku bawa dapat membuka satu pintu pada stan nomer D29. Inilah stan yang aku cari, demikian gumamku, lalu aku katakan pada wanita petugas koperasi yang mengikutiku. Kemudian aku dan dia kembali ke kantor koperasi setelah pintu stan ditutup kembali. Sesampai di kantor, wanita itu langsung mencari nama pemilik stan nomer D29, ia mengatakan bahwa stan itu atas nama Siti Sundari. Aku katakan, betul, awalnya memang dia yang membeli atas kuasaku, lalu kemudian sudah dibalik nama menjadi atas namaku melalui petugas dari Nganjuk dengan panggilan Pak Totok. Setelahnya aku meminta nomor Pak Totok untuk aku hubungi. Lalu aku keluar dari kantor itu menuju ke dalam pasar lagi untuk mencari kunci gembok. Setelah kunci gembok aku pasang sebagai kunci tambahan pada pintu stanku, lalu aku pergi ke rumahku.

Pengontrak rumah di BP sudah keluar sejak bulan Juli lalu. Ketika aku lihat sesampainya di rumah BP kondisinya sangat memprihatinkan. Pintu dapur rusak dimakan percikan air hujan, demikian juga pintu belakang rumah, selain perckan air juga sengatan sinar matahari, ia rusak berat dari bagian luarnya. Istriku mengusulkan agar rumah dicat dan yang rusak diperbaiki, serta menambah satu kamar tidur lagi agar menjadi tiga kamar tidur. Aku setuju saja walaupun sebenarnya usulan menambah kamar tidak sepenuhnya setuju, karena memerlukan banyak uang serta rencana secara menyeluruh dari rumah itu belum aku pikirkan. Apabila bangunan permanen ditambahkan, maka kelak jangan ada pembongkaran lagi jika ada renovasi. Akhirnya aku mencoba mencari tukang yang akan dapat mengerjakan semua itu. Saat ini susah sekali untuk mendapati tukang. Aku tanyakan kepada tetanggaku yang bekerja sebagai tukang, ia menyatakan tidak ada, mereka semuanya sibuk. Beberapa hari aku berusaha mencari, tanya sana sisni tentang tukang namun hasilnya tetap saja sama, tidak mendapatkan tukang sampai suatu hari aku teringat anak dari saudara ibuku alias kakak dari ibu tiriku yang bisa bekerja sebagai tukang. Lalu aku hubungi dan aku bawa ke rumah BP menjelaskan rencanaku. Ia nampaknya tidak siap dengan pekerjaan besar yang aku rencanakan, bahkan ia merasa khawatir jika perjaannya belum selesai selama aku di sini dan ia bekerja tanpa aku nanti karena aku sudah kembali ke Abu Dhabi. Lalu ia mengusulkan agar dicat saja, toh rumahnya akan ditinggal, sayang diperbaiki jika tidak untuk ditinggali. Akhirnya aku katakan kepada istriku agar rumah di BP dicat saja dan melakukan perbaikan yang kecil-kecil saja. Ia lalu setuju.

Perbaikan akan dimulai setelah aku dan istriku kembali dari Nganjuk. Itu tepat pada hari Sabtu. Perkiraan tiba di Surabaya dari Nganjuk adalah Sabtu pukul 8 pagi. Rencanaku selain kakak ibu tiriku aku akan membawa keponakanku untuk membantu pekerjaanku. Pagi ketika aku tiba di rumah Sawah Pulo aku langsung makan pagi. Lalu istri dan keponakanku ikut bersamaku. Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Aku langsung menuju ke toko materialan di Jl. Iskandar Muda dulunya Jl. Dana Karya. Aku membeli material terutama untuk pengecatan. Aku beli cat tembok putih ukuran 25 liter, puas satu biji, roller dua biji, kapi satu biji, dan rempelas. Setelah itu aku langsung menjemput tukang. Di dalam mobil kami semua berdiskusi tentang pekerjaan yang akan dilakukan. Menurut tukang catnya kebanyakan. Aku lalu berfikir mengapa tidak aku membeli sedikit terlebih dahulu lalu nanti membeli lagi jika dianggap kurang. Sesampainya di BP sudah pukul 11 siang, sebelumnya di tengah perjalanan setelah di Jl. Banyu Urip dekat Benowo mampir di toko material lainnya membeli cat minyak warna putih untuk dipakai pada pintu dan jendela. Pekerjaan perbaikan dimulai dengan membersihkan tembok dari kontaminasi isolasi yang menempel, cat-cat yang sudah terkelupas dan kotoran lainnya oleh sarang serangga karena lama tidak dibersihkan. Aku perkirakan semua perkerjaan pengecata akan selesai dalam waktu dua hari.

Ditengah perbaikan aku lihat kerusakan pintu dapur, pintu belakang dan jendela kamar depan dikarenakan percikan air hujan dan pancaran sinar matahari. Aku akhirnya memutuskan untuk menambah naungan untuk semua itu agar terhindar dari air dan sinar matahari. Tetangga depan rumah sudah melakukan seperti yang aku inginkan itu, aku akan melakukan hal yang sama dengan model yang sedikit berbeda. Aku panggil melalui telepon teknisi yang membuat carport di rumah DSI. Ia setuju untuk datang memeriksanya. Ia datang lima hari sebelum aku kembali ke Abu Dhabi. Setelah setuju tentang bentuk dan harganya maka teknisi akan menyelesaikannya dalam waktu tiga hari. Aku anggap relatip murah karena ongkos tukang sekarang rata rata 75.000 Rupiah per hari. Jika carport dan naungan satunya dikerjakan dalam tiga hari oleh tiga orang maka ongkosnya saja perhari adalah 225.000 Rupiah per hari, sedangkan harga per meter perseginya adalah untuk yang lengkung 325.000 per meter persegi sedangkan yang lurus adalah 300.000 Rupiah per meter persegi. Setelah empat hari semua pekerjaan selesai dikerjakan. Dan kini rumahku di BP tampak tidak seperti biasanya.

Naungan untuk pintu belakang aku buatkan sendiri, ini sudah aku siapkan sebelumnya, aku harus membeli gergaji baru dan membawa kayu bekas dari rumah di DSI. Dibantu oleh keponakanku tulang-tulangnya aku buatkan dari kayu, sedangkan atapnya aku buatkan dari atap gelombang akrelic biru dan separuh atasnya diberi lembaran polyurethane. Setelah ukuran naungan aku pastikan lalu aku buatkan tiga tulang utamanya . Kemudian tiga tulang itu aku lekatkan ke dinding bagian luar dengan paku beton, karena dengan paku biasa tidak berhasil. Setelah rangka atau tulang terpasang lalu aku pasang atap gelombang dan kemudian lembaran polyurethane di atasnya. Kini rumah di BP sudah aman dari kerusakan karena percikan air hujan dan sengatan sinar matahari.

Masalah tahun-tahun yang lalu masih saja tetap ada karena memang belum ada perbaikan yang memadai. Bocor air hujan dari atap di atas dapur, dari atap pojok kiri garasi, kamar tidur ujung barat yang turun dan pintu lemari yang masih belum dipasang. Aku mencoba mencari tukang tetapi tukang yang aku inginkan sedang sibuk. Seorang tetangga mengatakan jika tukang tetangga bekas tukan yang membuat rumah Nganjuk sedang libur dan bersedia untuk mengerjakan perbaikan rumah istriku. Alu minta bantuan tetangga untuk menghubunginya. Ketika ia tiba di rumah aku tunjukkan apa yang harus diperbaiki. Ada lima macam perbaikan yang harus dilakukan, seluruhnya; memperbaiki salah satu lantai kamar yang turun, memperbaiki secara permanen atap garasi yang bocor, menambah kunci baut menara pada pintu garasi, memasang siku pada semua jendela bagian atas, dan memperbaiki wuwung rumah kakak perempuan istriku.

Aku serahkan uang untuk membeli bahan kepada tetangga rumah, lalu aku katakan agar pekerjaan dimulai. Sayangnya ketika hari yang sudah ditentukan untuk mulai bekerja si tukang sakit panas, sehingga tidak dapat memulai pekerjaannya. Sampai aku meninggalkan Indonesia menuju Abu Dhabi semua pekerjaan belum dapat dimulai, sebab setelah sembuh dari sakit, tukang mengerjakan installasi listrik yang menurutnya sudah lama dipesan orang.

Istriku memiliki sejumlah tanah sawah pemberian dari orang tuanya, semuanya terletak di Desa Balonggebang, juga ada dua petak dari pembelianku semuanya terletak di Desa. Ngujung Kec. Gondang. Tanah-tanah dari orang tuanya belum bersertifikat dan sekarang sedang dalam proses pengurusan yang dilakukan oleh Desa. Sedangkan dari pembelianku yang satu sudah bersertifikat yang satunya lagi sertifikatnya belum jadi walaupun sudah diurus dalam waktu bersamaan dengan yang satunya sejak tahun 2007 yang disebut SMS (Sertifikat Massal). Ketika aku urus sertifikatnya di kantor agraria Nganjuk, berkas-berkasnya tidak ditemukan. Orang terakhir yang aku hubungi nampaknya ogah-ogahan untuk mencari berkas itu karena pengurusannya sudah lama, ia mengatakan bahwa untuk mencari berkas lama ia harus mencari buku daftarnya terlebih dahulu dimana dia sendiri tidak mengetahui buku itu ada dimana. Akhirnya dia akan memberitau Pak Carik Ngujung setelah berkasnya selesai di cari.

Mencari Tanah di Daerah Wisata

Aku dan istriku sudah lama menginginkan ingin memiliki properti di Lombok, NTB. Ini dikarenakan anak-anak sudah jauh semua, sehingga jika mereka terus menetap di Luar Negeri adalah lebih baik bertemu di tempat wisata ketika mereka sedang berlibur saja daripada bertemu di rumah Surabaya atau Nganjuk. Aku dan istriku sudah sering sekali melihat-lihat iklan melalui internet tanah-tanah yang akan dijual di Lombok. Namun terkadang juga melihat pula iklan tanah dijual di daerah Kota Batu. Karena uang yang terbatas maka aku dan istriku memutuskan berkonsentrasi mencari tanah di Batu saja, karena di Lombok kebanyakan tanah yang ditawarkan berukuran luas sekali.

Iklan dua bulan sebelumnya tanah di Jl. Indragiri 2, Batu sebesar 273 neter persegi masih belum laku, itu ditawarkan dengan harga 150 juta Rupiah. Aku dan istriku mencoba melihat tanah itu ke lokasi. Ternyata tanahnya adalah tiga tanah kapling berderet yang memiliki tiga sertifikat. Tetapi sekarang harga penawarannya adalah 191 juta Rupiah. Artinya per meter persegi ditawarkan seharga 700 ribu Rupiah. Dimana menurut yang menawarkan bahwa tanah itu sedah ditawar oleh penawar lain sebesar 650 ribu Rupiah per meter persegi. Aku rasa tawaran itu cukup mahal walaupun harganya terjangkau oleh keadaan keuanganku. Aku lihat pemandangan di bawah tanah kapling itu cukup bagus sekali. Orang-orang di sawah masih sibuk bekerja walaupun azan ashar baru saja terdengar. Lalu aku coba berjalan menuju ke arah bawah tempat orang-orang sedang meladang itu. Aku coba menemui orang-orang yang sedang beristirahat dari meladang dan mengutarakan niatku mengapa aku datang ke tempat mereka ini. Salah satu dari mereka menceritakan tentang harga tanah disekitar ladang tempat mereka bekerja. Lalu dia memberitauku bahwa ada sawah yang akan dijual tetapi pemilik dan harganya belum diketahui, sawahnya persis di depanku dan luasnya sekitar 1200 meter persegi. Aku memberitau dia untuk mencari tau si pemilik sawah serta harganya, dan tiga hari lagi aku akan kembali ke sini lagi. Sebelum aku pergi aku meminta nomor telephonnya.

Aku hubungi penjual tanah kebun yang lain, nomor HPnya aku simpan sejak dari Abu Dhabi yang lalu. Ia sedang berada di Dau, bagian lain dari Kota Malang yang dekat dengan Kota Batu. Setelah sepakat maka kami akan bertemu di Kantor Balai Desa Purwo Asri. Letak kebunnya masuk melalui kantor desa itu. Aku diminta untuk mengikuti saja dia masuk ke naik ke arah letak kebunnya. Sampai jalan aspal sudah berakhir tetapi letak kebun yang dituju masih belum juga sampai. Kini jalan makadam yang harus dilalui. Sampai pada tanjakan yang cukup terjal, mobil tidak kuat naik tanjakan, mesin mobilpun jadi mati. Aku meminta sopir untuk aku gantikan. Sambil berkelakar aku dapat membawa mobil sampai tujuan. Untuk menuju ke lokasi kebun aku harus mearkir mobil sejauh lebih dari limapuluh meteran. Luas kebun sekitar setengah hektaran. Kontur tanah menurun ke bawah. Di dalam kebun ada banyak pohon aple, sebagian sudah ditebangi untuk diganti dengan tanaman jeruk. Sebelum keluar istriku mengambil markisa yang tidak diperdulikan. Tanah kebun ditawarkan 500 juta Rupiah. Aku tidak menawar karena aku tidak tertari karena lokasi yang kejauhan. Aku pikir ini bisa hilang karena aku akan kesasar. Akhirnya si pemilik tanah mengatakan bahwa harga belinya adalah 350 juta ditambah ongkos urusan surat sebesar 27,5 juta Rupiah. Ia kini menyerahkan kepadaku untuk menawarnya. Namun aku sudah tidak berminat karena lokasi kejauhan dengan jalan utama.

Kini aku harus kembali ke Surabaya lagi. Kendali mobil aku kembalikan kepada sopir sewaan. Setelah makan malam maka mobil langsung menuju ke Surabaya.

Selama tiga hari pikiranku dihantui antara untuk membeli tanah kapling yang ditawarkan 700 ribu Rupiah per meter persegi itu atau menunggu berita dari orang yang sedang mencari informasi tanah 1200 meter persegi saja. Ini lumrah menurutku karena aku memiliki waktu yang terbatas di Indonesia. Setelah tiga hari aku kembali ke tempat dimana tanah kapling seluas 273 meter persegi tadi. Aku melihat ada tiga patokan baru bertuliskan BPS telah ditancapkan di bagian depan tanah-tanah kapling itu. Lalu aku segera menghubungi pengiklan tanah itu. Alangkah terkejutnya ternyata tanah kapling itu sedah laku seharga 700 ribu 3upiah per meter persegi. Aku meresa menyesal tidak mengambilnya terlebih dahulu ketika itu. Aku segera mencari seseorang yang tiga hari lalu menjanjikan akan memberi informasi tentang pemilik dan harga penewaran tanah sawah seluas 1200 meter persegi yang akan dijual. Informasi pemilik sudah didapat tetapi harga penawaran tidak diberikan oleh pemiliknya. Orang yang memberi informasi memberitau pemilik tanah bahwa harga tanah disekitar sawah yang akan dijual berharga sekitar 450 sampai dengan 500 ribu Rupiah. Aku jadi bergumam mengapa mendahului penawaran dengan memberi tau penjual harga pasarannya. Biarkan saja barangkali si penjual akan menawarkan tanahnya dengan harga yang lebih rendah.

Aku lalu diajak menemui pemilik tanah sawah, tanah ini sedang digarap/dipakai oleh yang bukan pemiliknya, dengan kata lain sawah ini sedang disewakan. Si penyewa merupakan orang yang mengetahui rumah pemilik sawah, aku ajak dia mengantar ke rumah pemilik sawah. Orang yang memberi informasi memakai sepeda motornya sendiri, sedangkan istriku dan penggarap sawah semobil dengan aku. Dalam lima menit kami sampai di tujuan, aku langsung ditemui oleh wanita tua yang berjalan agak membungkuk. Wanita tua dihadapanku itu tidak dapat memberi harga dengan alasan akan berkonsultasi dengan analk analnya termasuk suaminya. Wanita tua ini sedang hidup satu rumah dengan suami, anak perempuan, menantu dan seorang gadis kecil cucunya. Sebenarnya ia masih memiliki dua orang anak lagi yang hidup terpisah darinya, mereka sudah berkeluarga semua. Mengenai harga ia lalu memberitauku untuk kembali lagi beberapa hari lagi setelah ada kata sepakat dengan anak-anaknya.

Tiga hari kemudian aku mengunjungi rumahnya lagi. Kini harga tanah sudah ia buka, ia menawarkan 600 ribu per meter persegi. Aku langsung menawarnya sebagai berikut; jika boleh dengan harga 450 ribu permeter persegi maka akan aku beli dengan uang kontan, namun jika boleh diangsur maka aku mau dengan harga 500 ribu Rupiah per meter persegi. Akhirnya ia menurunkan harga tawarnya menjadi 550 ribu Rupiah dengan catatan akan berdiskusi lagi dengan anak anaknya lagi jika aku mau. Aku pergi saja karena tidak ada harga kesepakatan. Di benakku aku berminat sekali terhadap tanah wanita tua itu. Aku memang memiliki sifat terlalu bernafsu dengan apa yang sedang aku inginkan. Ini yang membuat aku susah untuk mengendalikan diri. Apalagi aku dihantui dengan waktu yang terbatas ada di Indonesia.

Hari itu sudah agak sore. Aku dan istriku memutuskan untuk menginap di Kota Batu. Kami mencari hotel yang kiranya sesuai dengan keinginan kami. Awalnya dimulai dari Hotel Royal Orchid di Indargiri 2, lalu ke Hotel-hotel lainnya. Semua hotel tidak memiliki AC, termasuk juga hotel berbintang tiga. Harga sewa permalam hotel kelas Melati 200 ribu Rupiah per malam dan Bintang Tiga 700 ribu Rupiah lebih. Akhirnya aku dan istriku memilih menginap di Hotel Royal Orchid Jl. Indragiri 2.

Suasana hotel sangat sepi, di seberang kamar tempat aku menginap terlihat Kondominium Hotel Royal Orchid bagus sekali. Aku dan istriku tidur di kamar deluxe lantai dua hotel. Pagi ketika makan pagi aku hanya melihat hanya satu regu keluarga lain sedang makan pagi juga. Mungkin karena bukan akhir pekan maka suasana hotel sedang sepi. Sebenarnya hotelnya bagus, namun kebersihan taman-tamannya kurang baik, ini jika dibandingkan dengan keadaan hotel berbintang tiga di Dubai atau Abu Dhabi. Taman-tamannya tidak terawat baik, daun-daun tanaman tidak dipotong secara profesional sehingga sisa-sisa daun yang seharusnya diotong malah memberi kesan kotor di tempat tanaman.

Aku mencoba menghubungi penjual tanah lain yang aku kenal melalui internet. Ia setuju menemuiku di Hotel tempat aku menginap esok pagi. Setelah berbincang sejenak lalu aku dibawa ke tempat dimana ada tanah ditawarkan. Letaknya sekitas sepuluh menit ke arah bawah dari hotel tempat aku menginap. Tanahnya adalah tanah kapling ditawarkan seharga 900 ribu Rupiah per meter persegi. Aku dan istriku kurang tertarik dengan tanah itu jika dibandingkan dengan tanah yang ditawarkan oleh wanita tua kemaren. Menurut si penawar tanah bahwa di dekat tanah yang ditawarkan itu akan dibangun Asian Park, taman internasional yang cukup besar. Bahkan gunung kecil di dekat tanahnya sudah dihibahkan oleh Pemerintah Kota Batu kepada investor yang akan membuat Asian Park.

Setelah makan siang aku kembali lagi ke rumah wanita tua kemaren. aku mengharap ada kesepakatan harga hari ini, karena aku harus kembali ke Surabaya setelah satu malam menginap di Kota Batu. Akhirnya harga disepakati 525 ribu Rupiah per meter persegi. Lalu wanita tua itu menyerahkan semua urusannya kepada menantu yang hidup serumah dengannya. Dia mengatakan bahwa, semuanya apa kata menantunya, dia yang akan memutuskan segalanya.

Aku langsung menuju ke Surabaya, mulai mengumpulkan uang untuk membayar sebisa mungkin sebesar setengah dari harga totalnya, sedangkan sisanya akan aku bayar setelah empat bulan kemudian. Hal ini sudah disepakati oleh menantunya juga. Aku juga mulai mempersiapkan surat-surat yang diperlukan untuk urusan ke notaris nantinya, yang diperlukan hanya foto kopi Kartu Penduduk dan Tanda Pengenal.

Hari ini tanggal 4 Nopember, sebelas hari lagi aku akan kembali ke Abu Dhabi. Hari ini pula aku harus ke notaris di Jl. Diponegoro, Kota Batu. Aku, istriku, wanita tua pemilik tanah dan menantunya pergi ke notaris dengan mobilku. Aku serahkan semua surat-surat yang notaris perlukan kepada petugas di kantor notaris. Setelah surat-surat sudah dipersiapkan, aku, istriku, si penjual, dan menantunya menandatangani surat perjanjian jual beli. Suami dari wanita tua itu diminta juga untuk tanda tangan, tetapi karena dia tidak turut serta maka tidak bisa dimintai tandatngannya, dan nanti akan diurus oleh menantu wanita tua pemilik tanah itu.

Dari kantor notaris langsung menuju kantor Bank BCA. Istriku harus mentrasfer uang ke rekening si menantu sebesar 15 juta Rupiah. Si menantu dari wanita tua itu mengatakan bahwa harga total dari tanah mertuanya adalah 525 juta Rupiah. Aku sedikit kaget walaupun aku simpan rapat-rapat perasaanku. Aku katakan kepada istriku dengan berbisik bahwa harga total tanahnya adalah 525 juta Rupiah bukan 525 ribu Rupiah per meter persegi menurut si menantu ibu. Aku katakan kepada istriku bahwa semua keputusan sudah diserahkan kepada menantunya, maka biarkan saja apabila harga total tanah sebesar itu. Istriku pada awalnya terkejut walaupun akhirnya setuju. Setelah mentransfer uang muka sebesar 15 juta Rupiah lalu menantu pemilik tanah menyebutkan kekurangannya nanti bagaimana. Wanita pemilik tanah mendengar bahwa menantunya memberi harga 525 juta Rupiah, ia lalu memarahi menantunya. Menantunya meyakinkan mertuanya bahwa harganya adalah 525 juta Rupiah, itu total harganya. Si pemilik tanah tetap pada pendiriannya bahwa harga yang disepakati adalah 525 ribu Rupiah per meter persegi sedangkan si menantun juga ngotot bahwa hargabya 525 juta Rupiah totalnya. Akhirnya disepakati harga baru bahwa total harga jual belinya adalah 600 juta Rupiah totalnya. Dengan syarat bahwa, masing-masing penjual dan pembeli harus membayar kewajibannya di notaris dan para perantaranya. Ada dua perantara dalam jual-beli tanah ini, sehingga komisi satu perantara ditanggung penjual dan satu perantara lagi dibebankan kepada pembeli.

Serelah aku pikir-pikir maka aku merasa berdosa kepada penjual tanah karena perselisihan harga tadi, hal ini akhirnya aku diskusikan kembali dengan iistriku. Ia juga merasakan hal yang sama. Aku mengibaratkan seandainya si menantu akan memutuskan dengan harga yang lebih daripada yang pernah disepakati dengan wanita tua itu, apakah aku dan istriku akan rela?. Akhirnya kami berdua memutuskan akan membayar harga tanah nantinya 525 ribu Rupiah per meter persegi, sehingga ubtuk luas tanah 1220 meter persegi akan dibayar sebesar 640 juta Rupiah, tetapi yang 40 juta Rupiah akan dibayar setelah semua surat-surat selesai dibalik nama kepadaku. Aku khawatir jika ini dikatakan sekarang maka proses balik nama harus menunggu semua pembayaran selesai.

Aku dan penjual sepakat pula bahwa pemberian komisi kepada semua perantara adalah satu persen dari harga jual, itu jika harga transaksi lebih dari 100 juta Rupiah. Sehingga masing masing perantara mendaoatkan 3 juta Rupiah. Perantara dari pihak penjual yaitu orang yang sedang menyewa tanah itu menerima pemberian ini, sedangkan orang yang memberiku informasi yang menjadi tanggunganku tidak terima jika diberi komisi sebesar itu. Walaupun sudah aku tambahi 1 juta 3upiah sebagai bonus tetap saja menuntut masih kurang, ia meminta satu persen dari aku. Sedangkan perantara lainnya agar juga diberi 1 persen dari pihak penjual. Akhitnya aku katakan nanti akan aku tambahi sehingga masing-masing akan mendapatkan 1 persen. SMS ku tidak digubris atas tambahan yang akan aku berikan sehingga istriku memintaku untuk membiarkan saja tidak usah ditambahi sekalian. Entahlah.

Penjual meminta pembayaran awal sebesar 250 juta Rupiah. Aku terpaksa harus menjual emah batangan yang sengaja aku bawa dari Abu Dhabi sebesar 50 gram di Pasar Blauran untuk menambahi kekurangan uang mukaku. Penjual meminta uang kontan bukan melalui transfer ke rekening. Aku jadi khawatir menarik uang lebih dari 200 juta Rupiah digendong dan berjalan menuju mobil untuk ke rumah penjual tanah. Akhirnya aku setuju dan aku jemput wanita tua itu dengan suaminya agar menandatangani berkas di notaris sebelum aku bayar uangnya. Setelah tandatangan pihak notaris meminta surat keterangan dari Desa bahwa perbedaan nama yang tertulis di dalam sertifikat tanah adalah sama orangnya dengan nama berejaan baru yang ditulis di dalam Kartu Tanda Penduduknya. Aku menuju ke BCA dekat alun-alun Kota Batu. Aku meminta istriku saja yang ke dalam Bank sedangkan aku, wanita tua dan suaminya akan mengurus surat keterangan nama dari Kantor Desa Sawahan. Setelah surat keterangan selesai aku antarkan mereKa ke kantor notaris untuk menyerahkannya.

Selesai urusan di kantor notaris lalu aku menjemput istriku di Bank BCA. Aku menengok ke dalam Bank mendapati istriku berdiri di depan konter, aku anggap penarikan uangnya masih belum selesai. Ketika aku sampai di dalam mobil aku melihat istriku dari kaca spion tengah, sedang berjalan dengan tas berat digendong yang dipenuhi oleh uang kertas seanyak 215 juta Rupiah. Sesampainya di dalam mobil istriku komplain mengapa dia tidak ditemani dari dalam bank, sedangkan jarak dari bank ke mobil sekitar limapuluh meter. Di dalam mobil uang sebanyak 235 juta dipindahkan ke dalam tas waniita tua penjual tabah. Aku pesan kepada mereka agar tas berisi uang dibawa oleh suami ibu, sedangkan wanita tua naik ojek saja.

Syukurlah semuanya berjalan dengan lancar walaupun di dalam dadaku aku merasa berdosa karena perbedaan harga dari penjual tanah dan menantunya. Walaupun perasaan itu tetap berngiang sampai saat ini, setelah aku meninggalkan Indonesia menuju Abu Dhabi sekalipun sejak tanggal 15 Nopember 2013. Semoga semuanya akan berjalan lancar, sehingga tanah itu akan menjadi resmi milikku dan aku dapat membayar kekurangan uang yang seharusnya.

Selesai.

Medeo 22 Nop. 2013.